Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Anatomi dan Histologi Ginjal

Sistem urinaria terdiri atas dua ginjal dan dua ureter bermuara pada satu vesika urinaria
kemudian keluar dengan satu uretra. Organ ginjal berbentuk seperti kacang letaknya
retroperitoneal dinding posterior cavum abdomen. Ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri
karena adanya hati. Di atas setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal yang terbenam dalam
jaringan ikat. Tepi medial ginjal yang cekung adalah hilus, terdapat arteri (renalis), vena
renalis dan pelvis renalis berbentuk corong. Irisan sagital ginjal, bagian luar disebut korteks,
bagian dalam disebut medula, medula terdiri atas piramid renal berbentuk kerucut. (Guyton
dan Hall, 1995 ; Eroschenko, 2000).

Gambar 2.1. Anatomi ginjal (Eroschenko, 2000)


Gambar 2.2. Anatomi ginjal (Eroschenko, 2000)

Dasar setiap piramid menyatu dengan korteks, apeks bulat setiap piramid disebut
papila renalis, dikelilingi kaliks minor berbentuk corong. Kaliks minor bergabung
membentuk kaliks mayor, dan akhirnya bergabung membentuk pelvis renalis. Setiap pelvis
renalis keluar sebagari ureter (Guyton dan Hall, 1995 ; Eroschenko, 2000).

Nefron merupakan unit fungsional terkecil ginjal. Setiap ginjal terdapat kurang lebih
satu juta nefron (Guyton dan Hall, 1995; Eroschenko, 2000). Tiap nefron terdiri dari
korpuskula renal dan tubuli renal.

a) Korpuskula renal terdiri atas glomerolus merupakan anyaman kapiler dan dibungkus oleh
kapsul glomerular (Bowman)

b) Tubuli renal terdiri atas : Tubulus kontortus proksimal, Ansa henle dan Tubulus kontortus
distal.
Gambar 2.3. Nefron (Eroschenko, 2000)

Glomerolus terletak di korteks kemudian menyambung tubulus kontortus proksimal


masih berada di korteks, selanjutnya menjadi ansa henle terletak di Medula, menyambung
tubulus kontortus distal terletak di korteks kemudian menyambung ke tubulus koligens
(Guyton dan Hall, 1995; Eroschenko, 2000).

Gambar 2.4. Penampang Glomerolus (Robbins dan Cotran, 2005)


Bila glomerolus dipotong melintang akan terlihat gambaran endotel pembuluh darah
dengan Fenestrae sebagai lubang untuk filtrasi, sel mesangial terletak di bagian sentral, sel
visceral yang berbatasan langsung dengan endotel dibatasi oleh membran basalis. Bagian tepi
dari sel visceral membentuk kaki 10 podosit. Kaki podosit bersama sama dengan dinding
endotel membentuk Fenestrase. Sebelah luar dari sel visceral terdapat parietal. Antara sel
visceral dan sel parietal merupakan suatu ruangan untuk memproses terjadinya urin yang
akan bermuara pada lumen tubulus proksimal (Robbins dan Cotran, 2005).

Gambaran histologi pada ginjal normal baik bagian korteks maupun medula. Bagian
korteks terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, tubulus 9 distal sedangkan bagian medula
terdiri dari ansa henle dan tubulus koligens yang akan bermuara ke dalam pelvis ginjal.
Pembuluh darah yang masuk ke dalam glomerolus disebut vasa aferen kemudian bercabang
cabang membentuk kapiler kemudian bersatu lagi membentuk vasa aferen akan mengelilingi
tubulus proksimal ansa Henle, tubulus distal (Guyton dan Hall, 1995; Eroschenko, 2000).

Gambar 2.5. Histologi kortek dan medulla ginjal (Eroschenko, 2000)


Gambar 2.6 Histologi Ginjal (Eroschenko, 2000)

2.2 Fisiologi Ginjal

Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia
darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan air secara selektif.
Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi
sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan
zat terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin
(Price dan Wilson, 2012).
Menurut Sherwood (2011), ginjal memiliki fungsi yaitu:
a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam pengaturan
jangka panjang tekanan darah arteri.
c. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian akan
mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari darah pun diubah
menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Setelah ureter, urin akan
ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan keinginan
berkemih dan keadaan memungkinkan, maka urin yang ditampung dikandung kemih akan di
keluarkan lewat uretra (Sherwood, 2011).
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang
hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam
plasma, kecuali protein, di filtrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat
glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi
secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi tidak difiltrasi, kemudian di reabsorpsi parsial,
reabsorpsi lengkap dan kemudian akan dieksresi (Sherwood, 2011).

2.3 Sindrom Nefrotik

2.3.1 Definisi Sindrom Nefrotik

S u a t u ko m p l e ks k l i n i s ya n g m e n c a k u p p r o t e i n u r i a m a s s i f , d e n ga n pe
ngeluaran protein didalam urine 3,5 gr atau lebih perhari, hipoalbuminemia dengan kadar
albumin plasma kurang dari 3gr/dl, edema generalisata yaitu gambaran klinis yang
paling mencolok serta hiperlipidemia dan lipiduria.Saat onset sedikit atau tidak terdapat
azotemia, hematuria atau hipertensi. ( robbims patologi 585 )

2.3.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah
2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,1 dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per
100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per
100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1. ( konsensus idai 2012)
2.3.2 Etiologi
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti
penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein,
dan lain-lain. Pada konsensus ini hanya akan dibicarakan SN idiopatik. ( idai 2012
konsnsus )

Pada etiologi sindrom nefrotik hampir 75-80% belum diketahui atau idiopatik, yang
akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi
antigen-antibodi. Penyebab sindrom nefrotik pada anak-anak adalah :

a. Glomerulonefritis kelainan minimal (sebagian besar).

Dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan mikroskop


elektron tampak foot processus sel epitel berpadu. Dengan cara imunofluoresensi
ternyata tidak terdapat IgG atau imunoglobulin beta-1C pada dinding kapiler
glomerulus. Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa.
Prognosis lebih baik dibandingkan dengan golongan lain.

b. Glomerulosklerosis fokal dan segmental.

Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai dengan atrofi
tubulus. Prognosis buruk.

c. Glomerulonefritis membranoproliferatif.

Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis
di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta-1A rendah. Prognosis tidak baik.

d. Glomerulonefritis membranoproliferatif.
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis
di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta-1A rendah. Prognosis tidak baik.

2.3.3. Manifestasi klinik


1. Gejala utama yang ditemukan adalah :
a. Edema anasarka.
Pada awalnya dijumpai edema terutamanya jelas pada kaki, namun dapat juga pada
daerah periorbital, skrotum atau labia. Bisa juga terjadi asites dan efusi pleura.
Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka). ilmu kesehatan anak
fkui
b. . Proteinuria> 0,05 g/kg BB/hari pada anak – anak. at glance sistem ginjal idai
c. . Hipoalbuminemia < 20-30 mg/dl. iv. Hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia >
200mg/dl . idai
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan
disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala
infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya peritonitis atau hipovolemia. Dalam laporan ISKDC (International
Study for Kidney Diseases in Children), pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan
peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara. ( idai konsesus 2012 )

Penegakan Diagnosa Sindrom Nefrotik

a. Anamnesis :

Keluhan Utama : Gejala sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebra dan
pretibia. Edema palpebra timbul pada saat bangun tidur, semakin siang edema palpebra akan
semakin berkurang namun akan tampak edema pretibia.
Apabila lebih berat akan disertai asites, edema skrotum/labia, dan efusi pleura. Ketika
sudah terdapat efusi pleura dapat timbul gejala sesak napas. Asites dan sesak napas sering
menyebabkan anak menjadi rewel, tidak mau makan, tampak lemah, nyeri perut, dan gejala
lain. Protein yang terdapat dalam urin menyebabkan urin menjadi berbuih.
Gejala lain yang dapat timbul namun jarang terjadi misalnya hipertensi, hematuria, diare,
dan lain-lain. Pada sindrom nefrotik sekunder akan disertai gejala penyakit dasarnya.
Keluhan lain yang biasa disebutkan adalah demam, kejang, dan dengan syok.

b. Pemeriksaan Fisik
- Edema ( palpebra, pretibia, skrotum/ labia, seluruh tubuh).
- Asites
- Sesak napas (Efusi Pleura)

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang paling diperlukan adalah pemeriksaan protein,
albumin dan kolesterol dengan hasil sebagai berikut :

1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio


protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+).

2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL

3. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

Pemeriksaan protein urin dapat dilakukan dengan pemeriksaan urin yang


paling sederhana yaitu pemeriksaan urin dengan dipstik. Pemeriksaan tersebut
merupakan pemeriksaan urin semi quantitatif, dengan hasil 1+ (~ 15 mg/dL), 2+
(~100 mg/dL) dan 3+ (~ 300 mg/dL). Pada sindrom
nefrotik tes dipstik menunjukkan proteinuria >2+.
Pada SN terjadi penurunan albumin serum, yang merupakan akibat proteinuria
dan ketidakmampuan hati dalam meningkatkan sintesis albumin.
Kreatinin serum pada SN dapat menunjukkan hasil yang rendah, normal,
maupun meningkat. Kreatinin serum yang rendah merupakan akibat hiperfiltrasi pada
glomerulus. International study of kidney disease in children (ISKDC) melaporkan
antara 1/3 - 1/2 kasus SN idiopatik menunjukkan kadar kreatinin lebih tinggi dari
persentil 98 sesuai dengan umurnya. Laporan lain peningkatan kreatinin terjadi pada
32,5% pasien dengan SN kelainan minimal, 40,6% pasien dengan glomerulosklerosis
fokal segmental (GSFS), dan 50% pasien dengan glomerulonefritis
membranoproliferatif (MPGN).

BATASAN

 Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/ jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
 Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m 2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu.
 Relaps jarang : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal
atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan.
 Relaps sering (frequent relaps) : relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun.
 Dependen steroid : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
 Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full
dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
 Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4
minggu

TATA LAKSANA UMUM

Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.

Diitetik

Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan


menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi)
dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi
energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan
diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2
g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.

Diuretik

Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik,
perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2
minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Bila pemberian
diuretik tidak berhasil (edema refrakter), bia-sanya terjadi karena hipovolemia atau
hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1
g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat
diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah
terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah
overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat
dilakukan pungsi asites berulang. Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema tampak
pada Gambar 1.

Gambar 1. Algoritma pemberian diuretik.

Imunisasi

Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau
total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais.
Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh
diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian
prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral,
campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat
imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m 2 LPB/hari atau 2
mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis
prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dosis penuh ( full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi
dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB
(2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah
makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. 8

B. PENGOBATAN SINDROM NEFROTIK SERING RELAPS ATAU DEPENDEN


STEROID

Pada sindrom nefrotik yang sering relaps atau dependen steroid pengobatan lanjutan
adalah pemberian steroid jangka panjang dan penggunaan kortikosteroid sparing agent.

Jika terjadi relaps sering, diberi prednison dosis penuh sampai terjadi remisi (paling
sedikit 2 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating bersama dengan obat kortikosteroid
sparing agent. Skema pengobatan relaps sering dan dependen steroid tidak berubah. Skema
pengobatan SN relaps frekuen dan dependen steroid dengan obat kortikosteroid sparing agent
tertera pada Gambar 2. Di samping itu KDIGO juga menganjurkan pemberian CPA
(siklofosfamid) selama 8-12 minggu. Apabila siklofosfamid oral tidak ada, maka pada
sindrom nefrotik yang sering relaps juga diberikan CPA seperti pada dependen steroid selama
6 bulan (Gambar 2).
Gambar 2 : Pengobatan SN relaps sering dan Dependen Steroid dengan Siklofosfamid (CPA)

Preparat kortikosteroid sparing agent yang dianjurkan pada sindrom nefrotik adalah,

 Siklofosfamid atau klorambusil dengan dosis siklofosfamid 2 mg/kg/hari selama 8-12


minggu, dosis kumulatif maksimal 168 mg/kg. Siklofosfamid diberikan setelah
pasien mengalami remisi dengan steroid dosis penuh ( full dose ). Sedangkan dosis
klorambusil 0,1-0,2 mg/kg/hari, dosis kumulatif maksimal 11,2 mg/kg.
 Levamisol, dosis 2,5 mg/kgbb/hari diberikan bersamaan dengan prednison
alternating (selang sehari) selama 12 bulan. Apabila obat dihentikan, seringkali
pasien relaps kembali
 Kalsineurin inhibitor siklosporin atau takrolimus, dosis 4-5 mg/kg/hari 2x sehari.
Dosis takrolimus 0,1 mg/kgbb/hari, 2x sehari diberikan jika ditemukan efek samping
kosmetik pada pemberian siklosporin. Lama pemberian kalsi-neurin inhibitor 12
bulan, pada umumnya akan terjadi relaps jika obat dihentikan.
 Mikofenolat mofetil (MMF) dengan dosis 1200 mg/m2 /hari 2x sehari selama 12
bulan, obat ini juga jika pemberiannya dihentikan pasien akan relaps
 Rituxima hanya diberikan pada kasus dependen steroid yang terus menerus relaps
jika sudah mendapat kalsineurin inhibitor dengan dosis optimal atau menderita efek
samping.
 Mizoribin tidak dianjurkan untuk pengobatan pasien relaps sering/dependen steroid.
Azatioprin juga tidak dianjurkan untuk diberikan pada sindrom nefrotik anak.
Pemberian siklofosfamid pada pasien SN relaps sering atau dependen steroid,
menghasilkan luaran yang sama dalam mengurangi relaps. Siklofosfamid dapat diberikan per
oral 8-12 minggu atau intravena (CPA puls) satu kali per bulan, selama 6 bulan. Pemberian
secara oral maupun intravena tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada jumlah relaps
dalam 12-24 bulan pasca terapi. Pemberian siklofosfamid hanya diberikan 1x dalam setahun
karena efek kumulatif untuk mengurangi kejadian azospermia/keganasan.

C. PENGOBATAN SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Sindrom nefrotik resisten steroid terdiri dari resisten primer dan sekunder. Resisten
primer apabila terjadi pada pengobatan inisial (awal) yaitu setelah diberi preparat
kortikosteroid selama 8-12 minggu tidak terjadi remisi. Sedangkan resisten sekunder jika
pada pasien sindom nefrotik yang telah berulang kali mendapat steroid (relaps frekuen) atau
dependen steroid. 9

Pada sindrom nefrotik resisten steroid dianjurkan :

1. Melakukan biopsi ginjal untuk mengevaluasi gambaran patologi anatomi, pada


umumnya FSGS atau yang lainnya
2. Melakukan evaluasi fungsi ginjal dengan mengukur GFR atau e.GFR
3. Pemeriksaan protein kuantitatif 9

Kidney Disease Improving Global Outcomes tidak menganjurkan pemberian


siklofosfamid pada sindrom nefrotik resisten steroid oleh karena penelitian randomized
control trial yang dilakukan oleh ISKDC tidak menunjukkan perbedaaan antara
CPA+prednison dengan prednison tersendiri (56% dibanding 46%). 9

Namun berdasarkan pengalaman di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta dan studi Rio


dkk9 masih banyak yang melaporkan pemakaian siklofosfamid pada pengobatan sindrom
nefrotik resisten steroid dengan hasil baik. Sedangkan CPA masih dipakai sebagai
pengobatan lini pertama jika terjadi resisten dengan kortikosteroid (Gambar 3). Pemberian
CPA hanya dilakukan satu kali dalam setahun karena ditakutkan melampaui dosis kumulatif.
Rangkaian CPA berikutnya diberikan sesudah melewati satu tahun dari CPA sebelumnya.
Obat imunosupresan yang dianjuran oleh KDIGO 2013 pada sindrom nefrotik resisten steroid
adalah kalsineurin inhibitor, MMF, dan tambahan pemberian ACE-inhibitor dan/atau
angiotensin II reseptor bloker (ARB).

Gambar 3 : Skema pengobatan SNRS (Resisten Steroid) dengan Siklofosfamid 9

Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid primer/ sekunder meliputi :

a. Kalsineurin inhibitor, diberikan selama 6 bulan bersama dosis rendah kortikosteroid.


Apabila dalam 6 bulan terjadi remisi partial (atau total) dapat dilanjutkan 6 bulan lagi.

b. Mikofenolat mofetil, diberikan apabila dengan CNI tidak remisi. Cara penggunaan MMF
sama dengan kalsineurin inhibitor yaitu 6 bulan pertama bila terjadi remisi partial atau total
dilanjutkan 6 bulan lagi.9

Apabila pasien sindrom nefrotik steroid resisten mengalami relaps kembali setelah
pengobatan maka dianjurkan diberikan preparat kortikosteroid oral seperti pengobatan relaps,
pada umumnya remisi cepat tercapai. Dapat juga kembali ke imunosupresan yang
sebelumnya, kecuali jika dipergunakan CPA untuk menghindari efek kumulatif, atau
menggantikan dengan obat imunupresan yang lain. Rituximab tidak dimasukkan dalam
rekomendasi KDIGO karena sampai saat ini belum ada randomized control trial dan adanya
efek samping yang berat. 9

D. PENGOBATAN SN DENGAN KONTRAINDIKASI STEROID

Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti
tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat
diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per
oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA
puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 –
750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2
jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian
CPA puls adalah 6 bulan).

PEMBERIAN OBAT NON-IMUNOSUPRESIF UNTUK MENGURANGI


PROTEINURIA

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blocker


(ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini
dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan
mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui
penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor
(PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya
glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada
SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko
untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan
bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih
banyak. Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk
diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau
imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:

Golongan 1 : ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5 mg/kgbb/hari
dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal.

Golongan 2 : ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal.

TATA LAKSANA KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK

1. INFEKSI

Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu
segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan
peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman
Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae ) perlu diberikan pengobatan penisilin
parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau
seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN
adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila
terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu
kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal
imunoglobulin intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir
intravena (1500 mg/m 2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari
dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari,9 dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.

2. TROMBOSIS

Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti defek
ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh
vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan
pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan
warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin
dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.

3. HIPERLIPIDEMIA

Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL
kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau
normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan
morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.

Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan
tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan diit lemak.
Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi
badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun
lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase(statin).

4. HIPOKALSEMIA

Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:


1. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan
osteopenia
2. Kebocoran metabolit vitamin D

Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan)
dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU).
Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb
intravena.

5. HIPOVOLEMIA

Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai
sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20
mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb

(tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria,
diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.

6. HIPERTENSI

Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN
akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin
converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau
antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.

7. EFEK SAMPING STEROID

Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan,
karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping
tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku,
peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang.
Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid,
pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali,
dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.
INDIKASI BIOPSI GINJAL

Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini:

1. Pada presentasi awal

a. Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun

b. Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, atau kadar komplemen C3


serum yang rendah

c. Hipertensi menetap

d. Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia

e. Tersangka sindrom nefrotik sekunder

2. Setelah pengobatan inisial

a. SN resisten steroid

b. Sebelum memulai terapi siklosporin

INDIKASI MELAKUKAN RUJUKAN KEPADA AHLI NEFROLOGI ANAK

Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada

ahli nefrologi anak:

1. Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit sindrom nefrotik di
dalam keluarga

2. Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi ginjal,
atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau lesi di kulit

3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, toksik
steroid.

4. Sindrom nefrotik resisten steroid

5. Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid.

Anda mungkin juga menyukai