Berdasarkan data yang diperoleh ditemukan faktor risiko infeksi luka operasi
pada An.Deni antara lain:
a. Jenis operasi, sifat operasi dan lama operasi. Jenis operasi yang dilakukan
yaitu laparotomi eksplorasi karena adanya appendisitis yang mengalami
perforasi. Perforasi appendiks menimbulkan reaksi berupa inflamasi
peritoneal lewat kebocoran isi dari usus ke sekitar peritonium. Sifat
operasi yang dilakukan adalah emergensi. Sifat emergensi berkaitan
dengan taktik dan persiapan pre operatif. Sifat operasi emergensi
mempunyai kemungkinan Standar Operasional Prosedur (SOP) pre
operatif yang dilakukan lebih cepat, sperti: Hand Hygiene, trepanasi,
sterilisasi, persiapan anastesi, verifikasi, dan lain sebagainya. Risiko IDO
pada operasi emergensi adalah 4,72 kali daripada operasi elektif. Durasi
operasi yang lama mengakibatkan paparan udara yang lebih panjang
terhadap area pembedahan yang dapat mengakibatnya masuknya flora dan
bakteri eksogen dan translokasi bakteri endogen.
b. Status nutrisi klien dan asupan nutrisi yang tidak adekuat, ditandai dengan
klien hanya makan ½ porsi, klien juga dibatasi makan yang mengandung
protein tinggi yaitu daging dan ikan. Protein sangat dibutuhkan dalam
proses penyembuhan luka. Nutrisi yang optimal merupakan kunci utama
untuk pemeliharaan seluruh fase penyembuhan luka. Faktor status nutrisi
dan asupan nutrisi yang kurang akan mengakibatkan imunosupresi yang
berpengaruh pada lamanya penyembuhan luka dan meningkatkan tingkat
risiko infeksi. (Yuwono, 2013)
5. Patofisiologi infeksi:
Terjadinya infeksi bakteri membutuhkan inokulum balteri (100000 organisme
per ml eqksudat atau per gram jaringan atau per mm2 daerah permukaan),
lingkungn ayang rentan terhadap bakteri, hilangnya pejamu terhadap infeksi
(sawar fisik terganggu, respon biokimiawi menurun, respon selular menurun).
Bakteri menimbulkan beberapa efek sakitnya dengan melepaskan senyawa
enzim(misal streptokinase, hialurodinase, hemolisin), eksotoksin (dilepaskan
oleh bakteri intak terutama gram positif), endotoksin (lipopolisakarida
dilepaskan dari dinding sel saat kematian bakteri). Perjalanan alamiah infeksi
a. Respon inflamasi yang timbul (rubor, dolor, kalor,tumor)
b. Resolusi yaitu reaksi inflamasi menetap dan infeksi menghilang
c. Penyebaran infeksi: langsung ke jaringan sekitar, sepanjang daerah
jaringan, melalui sistem limfatik, melalui aliran darah
d. Pembentukan abses: terkumpulnya pus pada suatu tempat
e. Organisasi: jaringan granulasi, fibrosis, jaringan parut,
f. Infeksi kronis: menetapnya organisme pada jaringan menimbulkan
respon inflamasi kronik (Grace, Pierce A, 2006)
6. Pathway infeksi:
7. Tindakan yang harus segera dilakukan perawat apabila menemukan kasus
luka seperti pada An. Deni:
a. Observasi vital sign, penampilan luka dan daerah sekitar luka.
b. Observasi kecukupan nutrisi pasien & hasil laboratprium.
c. Rawat luka dengan memperhatikan tehnik steril (septik dan antiseptik),
cuci tangan sesuai prosedur sebelum dan sesudah melakukan interaksi
terhadap pasien.
d. Bersihkan lingkungan dengan benar selama dan setelah digunakan oleh
pasien, terapkan universal precaution.
e. Ajarkan pasien tehnik mencuci tangan yang benar, ajarkan keluarga dan
pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan keluar kamar
pasien.
f. Kolaborasi pemberian antibiotik.
9. Faktor budaya yang bertentangan dengan asuhan keperawatan yaitu An. Deni
mengihndari makanan amis (daging ikan) agar luka cepat sembuh.
10. Kasus An. Deni dapat dikatakan SSI karena banyak hal yang dialami pasien
yang menunjukkan adanya tanda dan gejala SSI seperti luka pasien terlihat
kemerahan, adanya pus berwarna hijau kekuningan, dan pasien memiliki suhu
badan yang tinggi yaitu 38,5oC.
11. Konsep yang benar tentang waktu penetapan Surgical Site Infection (SSI):
Infeksi Luka Operasi (ILO) atau Infeksi Tempat Pembedahan (ITP)/ Surgical
Site Infection (SSI) adalah infeksi pada luka operasi atau organ/ruang yang
terjadi dalam 30 hari paska operasi atau dalam kurun 1 tahun apabila terdapat
implant. Sumber bakteri pada ILO dapat berasal dari pasien, dokter dan tim,
lingkungan, dan termasuk juga instrumentasi (Hidayat NN, 2009).
12. Konsep SSI (Superficial, deep incisional, and organ/space) (Dorman dan
Deans, 2000)
a. Klasifikasi
Klasifikasi SSI menurut The National Nosocomial Surveillence Infection
(NNIS) terbagi menjadi dua jenis yaitu insisional dibagi menjadi
superficial incision SSI yang melibatkan kulit dan subkutan dan yang
melibatkan jaringan yang lebih dalam yaitu, deep incisional SSI. Menurut
NNSI, kriteria untuk menentukan jenis SSI adalah sebagai berikut :
1) Superficial Incision SSI (ITP Superfisial)
Merupakan infeksi yang terjadi pada kurun waktu 30 hari paska
operasi dan infeksi tersebut hanya melibatkan kulit dan jaringan
subkutan pada tempat insisi dengan setidaknya ditemukan salah satu
tanda sebagai berikut:
a) Terdapat cairan purulen.
b) Ditemukan kuman dari cairan atau tanda dari jaringan
superfisial.
c) Terdapat minimal satu dari tanda-tanda inflammasi
d) Dinyatakan oleh ahli bedah atau dokter yang merawat.
2) Deep Insicional SSI (ITP Dalam)
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska
operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1
tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak
berhubungan dengan operasi dan melibatkan jaringan yang lebih
dalam (contoh, jaringan otot atau fasia) pada tempat insisi dengan
setidaknya terdapat salah satu tanda:
a) Keluar cairan purulen dari tempat insisi.
b) Dehidensi dari fasia atau dibebaskan oleh ahli bedah karena ada
tanda inflammasi.
c) Ditemukannya adanya abses pada reoperasi, PA atau radiologis.
d) Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter yang merawat
3) Organ/ Space SSI (ITP organ dalam)
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska
operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1
tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak
berhubungan dengan operasi dan melibatkan suatu bagian anotomi
tertentu (contoh, organ atau ruang) pada tempat insisi yang dibuka
atau dimanipulasi pada saat operasi dengan setidaknya terdapat salah
satu tanda:
a) Keluar cairan purulen dari drain organ dalam.
b) Didapat isolasi bakteri dari organ dalam.
c) Ditemukan abses.
d) Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter.
b. Pencegahan ILO
Pencegahan ILO harus dilakukan, karena jika tidak, akan
mengakibakan semakin lamanya rawat inap, peningkatan biaya
pengobatan, terdapat resiko kecacatan dan kematian, dan dapat
mengakibatkan tuntutan pasien. Pencegahan itu sendiri harus dilakukan
oleh pasien, dokter dan timnya, perawat kamar operasi, perawat ruangan,
dan oleh nosocomial infection control team.
Prinsip pencegahan ILO adalah dengan:
1) Mengurangi resiko infeksi dari pasien.
2) Mencegah transmisi mikroorganisme dari petugas, lingkungan,
instrument dan pasien itu sendiri.
Kedua hal di atas dapat dilakukan pada tahap pra operatif, intra
operatif, ataupun paska operatif. Berdasarkan karakteristik pasien, resiko
ILO dapat diturunkan terutama pada operasi terencana dengan cara
memperhatikan karakteristik umur, adanya diabetes, kebiasaan merokok,
obsesitas, adanya infeksi pada bagian tubuh yang lain, adanya kolonisasi
bakteri, penurunan daya tahan tubuh, dan lamanya prosedur operasi.
13. Faktor yang mempengaruhi terjadinya Surgical Site Infection (Yuwono,
2013):
a. Sifat operasi (derajat kontaminasi operasi): semakin tinggi derajat
kontaminasi maka risiko terjadinya Surgical Site Infection semakin
meningkat.
b. Nilai ASA (American Society of Anesthesiologists): semakin tinggi nilai
ASA maka semakin tinggi pula terjadinya Surgical Site Infection.
c. Komorbiditas Diabetes Mellitus: pasien dengan komorbiditas DM 1,87
kali lebih berisiko untuk terjadinya SSI dibandingkan pasien yang tanpa
komorbiditas DM.
d. Suhu tubuh sebelum operasi: pada psien dengan suhu yang tidak normal
mengalami SSI 3,1 kali dibanding dengan pasien dengan suhu normal.
e. Lama operasi: lama operasi berbanding lurus dengan risiko infeksi luka
dan memperberat risiko akibat kontaminasi.