Anda di halaman 1dari 12

1. Faktor risiko infeksi pada kasus An. Deni.

Berdasarkan data yang diperoleh ditemukan faktor risiko infeksi luka operasi
pada An.Deni antara lain:
a. Jenis operasi, sifat operasi dan lama operasi. Jenis operasi yang dilakukan
yaitu laparotomi eksplorasi karena adanya appendisitis yang mengalami
perforasi. Perforasi appendiks menimbulkan reaksi berupa inflamasi
peritoneal lewat kebocoran isi dari usus ke sekitar peritonium. Sifat
operasi yang dilakukan adalah emergensi. Sifat emergensi berkaitan
dengan taktik dan persiapan pre operatif. Sifat operasi emergensi
mempunyai kemungkinan Standar Operasional Prosedur (SOP) pre
operatif yang dilakukan lebih cepat, sperti: Hand Hygiene, trepanasi,
sterilisasi, persiapan anastesi, verifikasi, dan lain sebagainya. Risiko IDO
pada operasi emergensi adalah 4,72 kali daripada operasi elektif. Durasi
operasi yang lama mengakibatkan paparan udara yang lebih panjang
terhadap area pembedahan yang dapat mengakibatnya masuknya flora dan
bakteri eksogen dan translokasi bakteri endogen.
b. Status nutrisi klien dan asupan nutrisi yang tidak adekuat, ditandai dengan
klien hanya makan ½ porsi, klien juga dibatasi makan yang mengandung
protein tinggi yaitu daging dan ikan. Protein sangat dibutuhkan dalam
proses penyembuhan luka. Nutrisi yang optimal merupakan kunci utama
untuk pemeliharaan seluruh fase penyembuhan luka. Faktor status nutrisi
dan asupan nutrisi yang kurang akan mengakibatkan imunosupresi yang
berpengaruh pada lamanya penyembuhan luka dan meningkatkan tingkat
risiko infeksi. (Yuwono, 2013)

2. Analisa data dan rumusan masalah keperawatan risiko infeksi.


DO:
- Tampak luka sepanjang 10 cm, dijahit cutgat 10 buah, dehisence
sepanjang 2 cm, tampak kemerahan, rabaan hangat, terdapat pus hijau
kekuningan.
- Suhu 38,5°C, Nadi 125x/menit, RR 40x/mnt
- Akral hangat berkeringat
- Muka kemerahan
- Selama dirawat An. D malas makan
- Makan habis ½ porsi
DS:
- An. D menyatakan tidak suka dengan diet dari RS.
- An. D menghindari makanan yang amis (daging, ikan)

3. Rencana tindakan untuk mengatasi masalah risiko infeksi An. Deni.


NOC:
Keparahan infeksi
- Kemerahan
- Cairan (luka) yang berbau busuk
- Drainase purulen
- Demam
NIC:
a. Perawatan daerah (area) sayatan
- Jelaskan prosedur pada pasien, gunakan persipan sensorik
- Periksa daerah sayatan terhadap kemerahan, bengkak, atau tanda-
tanda dehisense atau eviscerasi
- Catat karakteristik drainase
- Monitor proses penyembuhan di daerah sayatan
- Bersihkan daerah sayatan dengan pembersihan yang tepat
- Bersihkan mulai dari area yang bersih ke area yang kurang bersih
- Monitor sayatan untuk tanda dan gejala infeksi
- Gunakan kapas steril untuk pembersihan jahotan benang luka yang
eisien, luka dalam dan sempit, atau luka berkantong
- Bersihkan area sekitar drainase atau pada area selang drainase
- Berikan plester penutup
- Berikan salep antiseptik
- Arahkan pasien bagaimana meminimalkan tekanan pada daerah insisi
- Arahkan pasien dan keluarga cara merawat luka insisi termasuk tanda-
tanda infeksi
b. Kontrol infeksi
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan perawatan pasien
- Laukan tindakan-tindakan pencegahan yang bersifat universal
- Pakai sarung tangan sebagaimana dianjurkan oleh kebijakan
pencegahan universal/universal precaution.
- Pastikan teknik perawatan luka yang tepat
- Tingkatkan intake nutrisi yang tepat
- Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan
kapan harus melaporkannya kepada pentedia perawatan kesehatan
- Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai bagaimana
menghindari infeksi
c. Perlindungan infeksi
- Monitor adanya tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
- Monitor kerentanan terhadap infeksi
- Pertahankan asepsis untuk pasien berisiko
- Periksa kondisi setiap sayatan bedah atau luka
- Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
- Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan
kapan harus melaporkannya kepada pentedia perawatan kesehatan
- Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai bagaimana
menghindari infeksi
d. Manajemen nutrisi
- Tentukan status gizi pasien dan kemampuan pasien untuk memenuhi
kebutuhan gizi
- Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan untuk
memenuhi persyaratan gizi
- Atur diet yang diperlukan
e. Terapi nutrisi
f. Monitor nutrisi
g. Perawatan luka
4. Tanda yang menunjukkan adanya infeksi adalah
a. Badan terasa hangat.
b. Leukosit 20.900/uL.
c. Tampak kemerahan kondisi luka.
d. Perabaan hangat.
e. Terdapat pes hijau kekuningan.
f. Suhu badan 38,5oC.
g. Dehiscence sepangjang 2 cm.

5. Patofisiologi infeksi:
Terjadinya infeksi bakteri membutuhkan inokulum balteri (100000 organisme
per ml eqksudat atau per gram jaringan atau per mm2 daerah permukaan),
lingkungn ayang rentan terhadap bakteri, hilangnya pejamu terhadap infeksi
(sawar fisik terganggu, respon biokimiawi menurun, respon selular menurun).
Bakteri menimbulkan beberapa efek sakitnya dengan melepaskan senyawa
enzim(misal streptokinase, hialurodinase, hemolisin), eksotoksin (dilepaskan
oleh bakteri intak terutama gram positif), endotoksin (lipopolisakarida
dilepaskan dari dinding sel saat kematian bakteri). Perjalanan alamiah infeksi
a. Respon inflamasi yang timbul (rubor, dolor, kalor,tumor)
b. Resolusi yaitu reaksi inflamasi menetap dan infeksi menghilang
c. Penyebaran infeksi: langsung ke jaringan sekitar, sepanjang daerah
jaringan, melalui sistem limfatik, melalui aliran darah
d. Pembentukan abses: terkumpulnya pus pada suatu tempat
e. Organisasi: jaringan granulasi, fibrosis, jaringan parut,
f. Infeksi kronis: menetapnya organisme pada jaringan menimbulkan
respon inflamasi kronik (Grace, Pierce A, 2006)
6. Pathway infeksi:
7. Tindakan yang harus segera dilakukan perawat apabila menemukan kasus
luka seperti pada An. Deni:
a. Observasi vital sign, penampilan luka dan daerah sekitar luka.
b. Observasi kecukupan nutrisi pasien & hasil laboratprium.
c. Rawat luka dengan memperhatikan tehnik steril (septik dan antiseptik),
cuci tangan sesuai prosedur sebelum dan sesudah melakukan interaksi
terhadap pasien.
d. Bersihkan lingkungan dengan benar selama dan setelah digunakan oleh
pasien, terapkan universal precaution.
e. Ajarkan pasien tehnik mencuci tangan yang benar, ajarkan keluarga dan
pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan keluar kamar
pasien.
f. Kolaborasi pemberian antibiotik.

8. Komplikasi infeksi pada kasus An. Deni:


Luka dapat meluas dan menyebabkan proses penyembuhan menjadi lebih
lama sehingga terjadinya dehiscence yang dapat mengarah ke sepsis.

9. Faktor budaya yang bertentangan dengan asuhan keperawatan yaitu An. Deni
mengihndari makanan amis (daging ikan) agar luka cepat sembuh.

10. Kasus An. Deni dapat dikatakan SSI karena banyak hal yang dialami pasien
yang menunjukkan adanya tanda dan gejala SSI seperti luka pasien terlihat
kemerahan, adanya pus berwarna hijau kekuningan, dan pasien memiliki suhu
badan yang tinggi yaitu 38,5oC.

11. Konsep yang benar tentang waktu penetapan Surgical Site Infection (SSI):
Infeksi Luka Operasi (ILO) atau Infeksi Tempat Pembedahan (ITP)/ Surgical
Site Infection (SSI) adalah infeksi pada luka operasi atau organ/ruang yang
terjadi dalam 30 hari paska operasi atau dalam kurun 1 tahun apabila terdapat
implant. Sumber bakteri pada ILO dapat berasal dari pasien, dokter dan tim,
lingkungan, dan termasuk juga instrumentasi (Hidayat NN, 2009).
12. Konsep SSI (Superficial, deep incisional, and organ/space) (Dorman dan
Deans, 2000)
a. Klasifikasi
Klasifikasi SSI menurut The National Nosocomial Surveillence Infection
(NNIS) terbagi menjadi dua jenis yaitu insisional dibagi menjadi
superficial incision SSI yang melibatkan kulit dan subkutan dan yang
melibatkan jaringan yang lebih dalam yaitu, deep incisional SSI. Menurut
NNSI, kriteria untuk menentukan jenis SSI adalah sebagai berikut :
1) Superficial Incision SSI (ITP Superfisial)
Merupakan infeksi yang terjadi pada kurun waktu 30 hari paska
operasi dan infeksi tersebut hanya melibatkan kulit dan jaringan
subkutan pada tempat insisi dengan setidaknya ditemukan salah satu
tanda sebagai berikut:
a) Terdapat cairan purulen.
b) Ditemukan kuman dari cairan atau tanda dari jaringan
superfisial.
c) Terdapat minimal satu dari tanda-tanda inflammasi
d) Dinyatakan oleh ahli bedah atau dokter yang merawat.
2) Deep Insicional SSI (ITP Dalam)
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska
operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1
tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak
berhubungan dengan operasi dan melibatkan jaringan yang lebih
dalam (contoh, jaringan otot atau fasia) pada tempat insisi dengan
setidaknya terdapat salah satu tanda:
a) Keluar cairan purulen dari tempat insisi.
b) Dehidensi dari fasia atau dibebaskan oleh ahli bedah karena ada
tanda inflammasi.
c) Ditemukannya adanya abses pada reoperasi, PA atau radiologis.
d) Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter yang merawat
3) Organ/ Space SSI (ITP organ dalam)
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska
operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1
tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak
berhubungan dengan operasi dan melibatkan suatu bagian anotomi
tertentu (contoh, organ atau ruang) pada tempat insisi yang dibuka
atau dimanipulasi pada saat operasi dengan setidaknya terdapat salah
satu tanda:
a) Keluar cairan purulen dari drain organ dalam.
b) Didapat isolasi bakteri dari organ dalam.
c) Ditemukan abses.
d) Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter.
b. Pencegahan ILO
Pencegahan ILO harus dilakukan, karena jika tidak, akan
mengakibakan semakin lamanya rawat inap, peningkatan biaya
pengobatan, terdapat resiko kecacatan dan kematian, dan dapat
mengakibatkan tuntutan pasien. Pencegahan itu sendiri harus dilakukan
oleh pasien, dokter dan timnya, perawat kamar operasi, perawat ruangan,
dan oleh nosocomial infection control team.
Prinsip pencegahan ILO adalah dengan:
1) Mengurangi resiko infeksi dari pasien.
2) Mencegah transmisi mikroorganisme dari petugas, lingkungan,
instrument dan pasien itu sendiri.
Kedua hal di atas dapat dilakukan pada tahap pra operatif, intra
operatif, ataupun paska operatif. Berdasarkan karakteristik pasien, resiko
ILO dapat diturunkan terutama pada operasi terencana dengan cara
memperhatikan karakteristik umur, adanya diabetes, kebiasaan merokok,
obsesitas, adanya infeksi pada bagian tubuh yang lain, adanya kolonisasi
bakteri, penurunan daya tahan tubuh, dan lamanya prosedur operasi.
13. Faktor yang mempengaruhi terjadinya Surgical Site Infection (Yuwono,
2013):
a. Sifat operasi (derajat kontaminasi operasi): semakin tinggi derajat
kontaminasi maka risiko terjadinya Surgical Site Infection semakin
meningkat.
b. Nilai ASA (American Society of Anesthesiologists): semakin tinggi nilai
ASA maka semakin tinggi pula terjadinya Surgical Site Infection.
c. Komorbiditas Diabetes Mellitus: pasien dengan komorbiditas DM 1,87
kali lebih berisiko untuk terjadinya SSI dibandingkan pasien yang tanpa
komorbiditas DM.
d. Suhu tubuh sebelum operasi: pada psien dengan suhu yang tidak normal
mengalami SSI 3,1 kali dibanding dengan pasien dengan suhu normal.
e. Lama operasi: lama operasi berbanding lurus dengan risiko infeksi luka
dan memperberat risiko akibat kontaminasi.

14. Evidence base untuk mengurangi risiko SSI.


a. Pemberian oksigen 80% melalui masker.
Pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi 80% melalui masker (10
L/menit NMR) dapat menurunkan insiden infeksi luka operasi (Wildan
Djaya, 2012).
b. Pemberian cairan IV hangat selama periode pembedahan.
Pemberian cairan IV hangat selama periode pembedahan dapat mencegah
terjadinya hipotermi karena dapat merusak sistem imun sehingga terjadi
fasokonstriksi kulit dan mengurangi aliran darah ke tempat operasi yang
dapat meningkatkan risiko SSI (Yuwono, 2013).
c. Membersihkan area yang dioperasi (yang penuh rambut) dengan clippers.
Membersihkan area yang dioperasi (yang penuh rambut) dengan clippers
mendukung menurunkan SSI karena area yang penuh rambut merupakan
tempat hidup mikroorganisme (Eva Agustina, 2013).
d.

15. Cairan pembersih yang lebih unggul dalam mencegah SSI.


a. Alkohol
Alcohol berfungsi sebagai desinfektan dengan cara melarutkan lipid pada
membrane sel mikroorganisme dan juga mendenaturasi protein yang
dimiliki oleh mikroorganisme tersebut, sehingga bagian yang diolesi
alcohol akan berkurang angka hitung kumannya. Akan tetapi masih
didapati staphylococcus SP pada hasil identifikasi kuman, hal tersebut
dikarenakan alcohol yang bersifat cepat menguap sehingga menyebabkan
kontak yang sangat singkat menyebabkantidak cukup waktu membunuh
bakteri jenis Staphylococcus SP. (Susatyo, 2016)
b. Providone iodine
Providine iodine adalah agen antimikroba yang efektif dalam desinfeksi
dan pembersihan kulit baik pra maupun pasca operasi, dalam
penatalaksanaan luka traumatic yang kotor pada pasien rawat jalan
(Ganiswara, 1995). Providine iodine berfungsi sebagai antiseptic, mampu
membunuh mikroorganisme, seperti bakteri, jamur, virus, protozoa dan
spora bakteri dengan merusak protein dan DNA mikroba.
c. Clorhexidine
Clorhexidine pada kondisi fisiologis dapat mengikat bakteri disebabkan
adanya interaksi antara muatan positif molekul clorhexidine dengan
dinding sel bakteri yang menyebabkan terjadinya penetrasi ke dalam
sitoplasma dan pada akhirya menyebabkan kematian mikroorganisme
(Rondhianto, Wantiyah, dan Putra, 2016).
Dari jurnal yang didapat membuktikan bahwa chlorhexidine-alkohol terkait
dengan penurunan tingkat SSI. Penelitian melaporkan tingkat kolonisasi
bacterial yang lebih rendah apabila chlorhexidine-alkohol digunakan daripada
providine (Firas Ayoub, .

16. Pada kasus An. Deni termasuk tipe superficial SSI.


Superficial SSI merupakan infeksi yang terjadi pada kurun waktu 30 hari
paska operasi dan infeksi tersebut hanya melibatkan kulit dan jaringan
subkutan pada tempat insisi dengan ditemukan tanda sebagai berikut:
a) Terdapat cairan purulen atau pus berwarna hijau kekuningan
b) Balutan bersih tidak terdapat rembesan.
c) Adanya nyeri tekan di sekitar luka pembedahan.
d) Terdapat tanda-tanda inflamasi berupa kemerahan dan akral terasa
hangat.

17. Perbedaan superficial SSI dan Deep SSI:


a. Superficial SSI
Terjadi dalam 30 hari sejak tindakan pembedahan dan melibatkan hanya
kulit dan jaringan. Subkutan insisi dan minimal ada 1 kriteria dibawah
berikut ini:
1) Drainase purulen dari insisi superfisial
2) Organisme dari spesimen insisi superfisial aseptik dengan uji
mikrobiologis untuk diagnosis atau tatalaksana
3) Insisi superfisial yang dibuka oleh dokter bedah, dokter, dan uji
kultur/non-kultur tidak dilakukan, namun terdapat: nyeri, bengkak
terlokalisir, eritema, panas.
4) Diagnosis SSI superfisial oleh dokter bedah/dokter.
b. Deep SSI
Terjadi dalam 30-90 hari setelah prosedur operasi dan melibatkan
jaringan lunak dalam (otot, fascia) dan minimal 1 kriteria dibawah
berikut ini:
1) Drainase purulen
2) Insisi dalam yang ruptur, dibuka/di aspirasi oleh dokter, dan terdapat
organisme dengan uji mikrobiologis yang bertujuan untuk diagnosis/
tatalaksana, atau jika tidak dilakukan uji mikrobiologis, terdapat
demam, nyeri terlokalisir.
3) Abses atau tanda infeksi insisi dalam yang terlihat secara anatomis/
histopatologis/ pencitraan.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Eva. (2017). Pengaruh prosedur operasi terhadap kejadian infeksi


pada pasien operasi bersih terkontaminasi.
Ayoub, Firas. (2018). Chlorhexidine-alkohol dibandingkan dengan povidine
iodine untuk persiapan kulit pre operatif. International Journal of
Surgery Open. (Diambil dari www.elsevier.com/locate/ijso).
Djaya, Wildan. (2012). Efek oksigen konsentrasi tinggi pasca operasi
laparotomi pada peritonitis terhadap tingkat infeksi luka operasi.
(Diambil dari http://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/mkb/
artikel/view/83).
Dorman, H. J. D., & Deans, S. G. (2000). Antimicrobial Agent from Plans:
Antibacterial Activity of Plan Volatile Oils, Journal of Applied
Micobiology, 88, 208-216.
Ganiswara, S.B. (1995). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI.
Grace, Pierce A. (2006). At A Glance Ilmu Bedah. Jakarta: Erlangga.
Rondhianto, Wantiyah, & Putra F.M. (2016). Penggunaan Chlorhexidine
0,2% dengan Povidin Iodin 1% sebagai dekontaminasi mulut
terhadap kolonisasi staphylococcus aureus pada pasien pasca
operasi anestesi umum. Nurseline Journal, Volume 1. (Diambil dari
http://media.neliti.com).
Susatyo, J. H. (2016). Perbedaan Pengaruh Pengolesan dan Perendaman
Alkohol 70% Terhadap Penurunan Angka Hitung Kuman pada Alat
Kedokteran Gigi. Jurnal Vokasi Kesehatan Volume 2, Nomor. 2.
(Diambil dari http://ejournal.poltekkes-pontianak.ac.id).
Yuwono. (2013). Pengaruh Beberapa Faktor Risiko Terhadap Kejadian
Surgical Site Infection (SSI) Pada Pasien Laparotomo Emergency.
JMJ, Volime 1, Nomor 1. (Diambil dari http://eprints.unsri.ac.
id/3161).

Anda mungkin juga menyukai