Anda di halaman 1dari 3

Kisah Pak AR Fachrudin Ajari

Mahasiswa Cara Hadapi


Kristenisasi dengan Jurus
Cerdas
Pernah membaca buku “Anekdot dan Kenangan Lepas tentang Pak AR”?
Buku itu ditulis Pak Sukriyanto AR, putra beliau. Yang paling inspiratif dari
buku itu adalah anekdot berjudul: Menjadi Konsultan Dakwah. Saya
sering ceritakan kepada orang lain.

Suatu hari Pak AR Fachruddin didatangi mahasiswa yang kost di


sekitar kali Code Yogyakarta. Mereka mengeluh karena setiap Minggu
kampung mereka didatangi Pastur yang menyebarkan agama Kristen.
Banyak anak tertarik pada kehadiran Pastur itu.

“Pastur itu pandai sekali menarik anak-anak sehingga mereka senang


mendengarkan ceramahnya. Pastur itu kadang membawa permen, buku tulis
dan lainnya,” kata mereka, “Kalau begitu apa yang sudah kalian lakukan?”
tanya Pak AR “Ya belum melakukan apa-apa, belum bisa,”
jawab para mahasiswa.

Inilah penyakit umum di antara kita. Jika menghadapi masalah, langkah


paling awal dan paling utama dilakukan adalah mengeluh. Lalu meyampaikan
kepada orang lain agar mengatasi masalahnya. Celakanya dengan
menyampaikan kepada orang lain kita merasa tugas sudah selesai.
Pertanyaan yang sering kita lakukan adalah “mengapa”. Mengapa Pastur itu
datang? Mengapa anak-anak-anak tertarik? Lalu berhenti di situ. Tidak di-
sambung dengan pertanyaan: “Apa”. Apa yang
harus saya lakukan untuk mengatasi masalah ini?

Pak AR memang lain. Mari kita perhatikan apa yang dilakukan Pak AR.
“Adakah di antara kalian yang bisa menyanyi?” tanya Pak AR
kepada para mahasiswa itu. “Ya, bisa kalau untuk didengar diri sendiri,”
jawab mahasiswa. “Ada yang bisa main gitar, punya gitar?” tanya Pak AR.
“Ya bisa,” jawab mereka. “Ada yang bisa membuat mainan dari
kertas, seperti burung kertas atau kapal terbang atau kupu-kupu kertas?”
tanya Pak AR. Mereka menjawab bisa. “Ada yang bisa mengajar berhitung?
Bisa mendongeng? Bisa mengaji?” tanya Pak AR. “Bisa!” jawab mereka.

Pak AR lalu menetapkan langkah. “Setiap Minggu biarkan diisi Romo Pastur.
Senin, kalian ajak anak-anak membuat mainan kertas. Selasa, kalian ajari
berhitung. Rabu, kalian ajari menyanyi sambil main gitar. Kamis, kalian ajari
mengaji. Jum’at, kalian mendongeng, Sabtu, ajari bahasa, sejarah, atau
terserah kalian. Saya yang memberi buku dan permen. Ambil besuk,” kata
Pak AR. Program dimulai minggu depan.

Sebelum mereka pulang, Pak AR titip dua lagu untuk diajarkan kepada anak-
anak. Lagu pertama: “Topi Saya Bundar” tetapi syairnya diubah menjadi:
“Tuhan saya satu, satu Tuhan saya, kalau tidak satu, bukan Tuhan saya”.
Lagu kedua: “Tuhan Allah satu. Tak berbapak ibu. Tak beranak dan tak
bersekutu. Tuhan Maha Esa. Tak ada bandingnya. Tak bercucu dari suatu
apa. Seandainya Tuhan itu dua. Dunia sungguh sudah binasa.”

Setelah sebulan, para mahasiswa itu datang lagi dan melaporkan bahwa
Romo Pastur sudah tidak berkunjung lagi. “Ya, tapi kamu jangan berhenti.
Pengajian jalan terus, dongengnya terus, berhitung, bahasa,
sejarah jalan terus,” kata Pak AR sambil tersenyum.

Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari anekdot ini. Gaya Pak AR yang
selalu sejuk membuat orang tidak pernah merasa tersakiti. Sejuk tetapi
teguh dan kreatif. Agaknya inilah gaya asli Muhammadiyah. Pak AR tidak
menyuruh para mahasiswa itu mengepalkan tinju, menghadang Romo
Pastur agar tidak masuk kampungnya. Atau melakukan demo untuk menarik
perhatian. Atau melakukan tidak kekerasan lainnya. Pak AR memilih bersaing
dengan Romo Pastur secara fair. (*)
*) Tulisan lengkap Wakil Ketua PWM Jatim, Nur Cholis Huda ini bisa
Anda baca pada buku “Anekdot Tokoh-Tokoh Muhammadiyah”, terbitan
Hikmah Press, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai