KOLESISTOLITIASIS
Disusun Oleh:
Valdis Suryan 130100254
Meta Winna 130100307
Rafiqa Aulia 130100214
Hareesarvini Muniandy 130100451
Ramlan Zuhair Pulungan 130100004
Genio Oscar Mustamin 130100252
Lily 130100142
Hanna Christin Mutiara 130100127
Almira Dalimunthe 130100093
Khaavenaa Simatharee 130100445
Riri Octavani Banjarnahor 130100259
Parveen Nair 120100
Pembimbing:
Dr. Budi Irwan, Sp.B-KBD
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Kolesistolitiasis” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing kami, dr. Budi Irwan, Sp.B-KBD yang telah meluangkan waktunya
dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga
dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih jauh
dari kesempurnaan, baik dari segi isi maupun susunan bahasanya. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan laporan
kasus ini dan sebagai masukan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Akhir
kata, semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan
semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1. Latar Belakang....................................................................................1
1.2. Tujuan Penulisan.................................................................................1
1.3. Manfaat Penulisan...............................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................3
2.1. Anatomi Hepatobilier Sistem..............................................................3
2.2. Definisi................................................................................................7
2.3. Etiologi................................................................................................7
2.4. Faktor Resiko......................................................................................8
2.5. Gejala Klinis.......................................................................................9
2.6. Diagnosis...........................................................................................14
2.7. Tatalaksana........................................................................................21
2.8. Komplikasi........................................................................................26
2.9. Prognosis...........................................................................................26
BAB III STATUS ORANG SAKIT ...............................................................27
BAB IV DISKUSI KASUS..............................................................................36
BAB V KESIMPULAN...................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................45
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan penulis maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk
mengintegrasikan teori yang telah ada dengan aplikasi pada kasus yang akan
dijumpai di lapangan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.6. Diagnosis
2.6.1. Pemeriksaan Fisik
Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops
kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pankreatiits.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di
daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri
tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena kandung
empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien
berhenti menarik napas.7
2.6.2. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan laboratorik. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila ada sindrom Mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu, dinding yang
udem di daerah kantong Hartman, dan penjalaran radang ke dinding yang
tertekan tersebut. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan
oleh batu di dalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan
mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali
ada serangan akut.
2.6.3. Pemeriksaaan Pencitraan
a) Radiografi Abdomen
Foto polos abdomen nilainya terbatas dalam menilai pasien dengan batu
empedu atau ikterus. Hanya 15-20% pasien akan mempunyai batu opak
yang terletak dalam kuadran kanan atas pada foto polos. Adanya udara
di dalam cabang-cabang biliaris dapat mengindikasikan adanya fistula
kolesistoenterik.
b) Kolesistografi Oral
Kolesistografi oral dikenalkan oleh Graham dan Cole pada tahun 1924.
Fungsi yang dinilai adalah kemampuan absorpsi dari kandung empedu.
Pewarna yodium radioopak dimakan secara oral, diabsorpsi oleh traktus
gastrointestinalis, diekstraksi dalam hati, diekskresikan ke dalam sistem
duktus biliaris, dan dipekatkan dalam kandung empedu. Adanya batu
(terlihat sebagai cacat pengisian dalam kandung empedu yang terlihat
opak) atau tidak terlihatnya kandung empedu, memberikan hasil
pemeriksaan yang “positif”. Tak terlihatnya kandung empedu secara
positif palsu dapat terjadi jika pasien tidak dapat menelan tablet atau
nonkomplians, tablet tidak diabsorpsi melalui traktus
gastrointestinalisatau zat warna tidak diekskresikan ke dalam traktus
biliaris karena disfungsi hati.
c) Ultrasonografi abdomen
Tes ini telah menggantikan kolesistogram oral sebagai prosedur terpilih
saat mengevaluasi pasien untuk batu empedu. kemampuan dari
ultrasonografi abdomen dalam mendiagnosa kolesistitis akuttidak
sebesar dalam mendiagnosa batu. Ultrasonografi bermanfaat dalam
mengidentifikasi dilatasi biliaris intrahepatik dan ekstrahepatik.
d) Tomografi Computer (CT)
Tes ini tidak terlalu sensitif untuk mengidentifikasi kandung empedum
tetapi menyediakan informasi tentang sifat, luas, dan lokasi dilatasi
biliaris dan adanya massa di dalam dan di sekitar traktus biliaris dan
pankreas.
e) Skintigrafi Biliaris
Pemberian intravena salah satu kelompok teknetium-99m yang dilabel
dengan radioisotop asam iminodiasetat, memberikan informasi yang
spesifik tentang patensi dari diktus sistikus dan sensitif dalam
mendiagnosa pasien dengan kolesistitis akut. Tidak seperti
ultrasonograf, yang merupakan tes anatomi, skintigrafi biliaris
merupakan tes fungsional.
f) Kolangiografi Transhepatik Perkutaneus (PTC)
Di bawah kontrol fluoroskopik dan anastesia lokal, dimasukkan jarum
kecil melalui dinding abdomen ke dalam duktus biliaris. Ini
menyediakan suatu kolangiogam dan memungkinkan intervensi
terapeutik bila perlu, didasarkan pada situasi klinis. Bermanfaat bagi
pasien dengan masalah biliaris kompleks, mencakup striktura dan
tumor.
g) Kolangiopankreatografi Retrograd Endoskopik (ERCP)
Menggunakan endoskop pandangan samping, traktus biliaris dan duktus
pankreatikus dapat diintubasi dan dilihat. Keuntungannya adalah
visualisasi langsung dari daereh ampula dan jalur langsung ke duktus
biliaris distal. Ini sangat bermanfaat untuk pasien dengan penyakit
duktus koledokus (jinak dan ganas).
h) Koledoskopi
Bila teknik pencitraan tak langsung merupakan jalur utama bagi
evaluasi pasien dengan penyakit traktus biliaris ekstrahepatik, maka
inspeksi langsung dan visualisasi sistem biliaris merupakan tujuan
utama yang hendak dicapai. Koledoskopi intra operatif agak bermanfaat
dalam mengevaluasi pasien dengan striktur duktus biliaris atau tumor.11
2.7. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Jika
batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang, maka
dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu
(kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan
kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan
pembatasan makanan.
Pilihan penatalaksanaan antara lain :
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat
terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien.
Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b) Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi.
80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena
memperkecil resiko kematian 10ocal10tt10t operasi normal (0,1-0,5%
untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan
paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat
sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa
adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,
banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan
kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah
dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan,
pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan
kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari
prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera
duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama
kolesistektomi laparaskopi.13
c) Kolesistotomi
Bila tindakan pembedahan tidak mngkin dilakukan untuk menghilangkan
penyebab sumbatan, dilakukan tindakan drainase yang bertujuan agar
empedu yang terhambat dapat dialirkan. 13
2.8. Komplikasi
2.9. Prognosis
Komplikasi yang serius dan kematian terkait tindakan operasi sendiri
sangat jarang. Tingkat mortalitas operasi sekitar 0,1% pada penderita
dibawah usia 50 tahun dan sekitar 0,5% pada penderita diatas usia 50 tahun.
Kebanyakan kematian terjadi pada penderita dengan risiko tinggi yang telah
diketahui sebelum operasi. Tindakan operasi dapat meringankan gejala pada
95% kasus batu empedu.12