Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Kemajuan ilmu dan teknologi di segala bidang dalam kehidupan membawa dampak
yang sangat signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup, status kesehatan, umur harapan
hidup dan bertambahnya usia lanjut yang melebihi perkiraan statistik. Kondisi tersebut akan
merubah komposisi dari kasus-kasus penyakit infeksi yang tadinya menempati urutan pertama,
sekarang bergeser pada penyakit-penyakit Degeneratife dan metabolik yang menempati urutan
pertama. Benigna prostat hyperplasia (BPH) adalah penyakit yang di sebabkan oleh penuaan
yang biasanya muncul pada lebih dari 50% laki-laki yang berusia 50 tahun ke atas (Wilson dan
price, 2005).

kelenjar prostat non Benigna prostat hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kanker.
Benigna prostat hyperplasia di jumpai pada lebih dari pria berusia di atas 60 tahun. Benigna
prostat hyperplasia dapat menyebabkan penekanan pada uretra di tempat uretra menembus
prostat sehingga berkemi menjadi sulit dan mengurangi kekuatan aliran urine atau
menyebabkan urine menetes (Corwin, 2009). Penyebab terjadinya BPH saat ini belum di
ketahui secara pasti, tetapi beberapa hipotesis mengatakan bahwa BPH erat kaitannya dengan
kadar di hidrosteron (DHT) dan proses aging penuaan (Purnomo, 2011). Pembesaran prostat
menyebabkan rangsangan pada kandung kemi atau vesika, sehingga vesika sering berkontraksi
meskipun belum penuh apabila vesika dekompensasi, akan terjadi retensi urine sehingga pada
akhir miksi akan di temukan sisa urine, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemi
atau vesikolhithiasis (Sjamsuhidayat dan Jong, 2005).

Data prevalensi BPH secara makroskopi dan anatomi sebesar 40% dan 90%, terjadi
pada rentang usia 50-60 tahun dan 80-90 tahun (Amalia Riski, 2010). World Health
Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2009, dua di antara tiga lansia di seluruh dunia
yang berjumlah 600 juta, akan hidup dan bertempat tinggal di negara-negara sedang
berkembang, kenaikan sebanyak ini akan terjadi di Asia. Sampai sekarang ini penduduk di 11
negara anggota WHO kawasan Asia Tenggara yang berusia di atas 60 tahun berjumlah 142
juta orang dan di perkirakan akan terus meningkat hingga 3 kali liapat di tahun 2050. Seiring
dengan meningkatnya angka harapan hidup ini, WHO memperkirakan bilangan penderitaan
hipertropi prostat di dunia adalah sekitar 30 juta penderita dan akan meningkat pula pada
tahun-tahun mendatang. Di indonesia hipertropi prostat merupakan penyakit urutan ke dua
setelah batu saluran kemih. Dan jika di lihat secara umumnya di perkirakan hampir 50% pria
indonesia yang berusia 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun di temukan
menderita penyakit hipertropi prostat, selanjutnya 5% pria indonesia sudah masuk ke dalam
lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh karena itu, jika di lihat dari 200 juta lebih bilangan
rakyat indonesia maka dapat di perkirakan 100 juta adalah pria, maka dapat di nyatakan secara
umum bahwa kira-kira 2,5 juta pria indonesia menderita hipertropi prostat. Indinesian kini
semakin hari semakin maju dan berkembang, dengan berkembangnya sebuah negara, maka
umur harapan hidup semakin bertambah, maka kadar penderita hipertropi prostat juga turut
meningkat.

Prinsip utama penanganan benigna prostat hyperplasia meliputi watch waitting,


medikamentosa, pembedahan, dan dua macam reseksi prostat transuretral (TURP), atau insisi
prostat transuretral (TUIP atau BNI). Adapun pemeriksaan lain di antaranya : Elktrovaporisasi,
laser prostatektomi, serta tindakan invasive minimal di antaranya adalah thermoterapi, TUNA
(transuretral needle ablation of the prostate), pemasangan stent (prostacath), HIFU (high
intensif focused ultrasound). Pembedahan di rekomendasikan pada pasien-pasien BPH di
antaranya adalah tidak menunjukan perbaikan setelah terapi medikamentosa, mengalami
retensi urine, infeksi saluran kemi berulang, hematuria, gagal ginjal, dan timbulnya batu
saluran kandung kemi atau penyulit akibat obstuksi saluran kemi bagian bawah (Basuki, 2011).

Angka kejadian BPH di indonesia yang pasti belum ada yang di teliti,tetapi sebagai
gambaran hospital prevalensi di dua rumah sakit besar di jakarta yaitiu yaitu di rumah sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Sumberwaras selama tiga tahun (1994-1997) terdapat
1040 kasus BPH. Sedangkan di RSUP DR. M. Djamil padang berdasarkan data rekam medis
jumlah poliklinik selama 6 tahun (januari 2006-september 2011) sebanyak 3780 kasus BPH,
sedangkan berdasarkan data sub bagian bedah urologi tahun 2006-2011 yang di lakukan
operasi TURP 562 kasus di RSUD Gambiran jawa timur sendiri pada tahun 2009 dari 416
pasien Urologi yang di lakukan tindakan TUR-P sebanyak 305 pasien atau 78%.

Sindrom TURP adalah sindroma yang di sebabkan karena kelebihan volume cairan
irigasi sehingga menyebabkan hiponatremia (Peters and Olson, 2011). Sindrom ini di sebabkan
oleh post TUR tumor kandung kemi, dignostik penyakit dengan cystoscopy, percutaneus
nephrolithotomy, arthroscopy, berbagai macam tindakan tindakan ginekologi yang
menggunakan endoscopy dan irigasi, kelebihan penyerapan cairan irigasi TURP, terbukanya
sinus pada prostat, tingginya tekanan cairan irigasi, wsaktu operasi lebih dari 60 menit
(Hawary, 2009). Prevalensi kasus ini di inggris selama dua puluh tahun terakhir menunjukan
insiden sindrom TURP ringan ke sedang adalah 0,5% hingga 8% dengan angka kematian 0,2%
hingga 0,8%. Sedangkan untuk kategori berat mencapai 25% (Reich, 2008). Di indonesia
khususnya di RS PKU Muhamadiyah Yogyakarta adalah 4,7% dari 168 tindakan TURP (Data
Rekam Medis PKU I Yogyakarta, 2013).

Patofisiologi dari sindrom ini di mulai ketika absorpsi cairan irigasi melalui sinus
prostatik selama TURP. Liter cairan irigasi yang terserap ke pembulu darah selama satu jam
operasi mampu menurunkan konsentrasi nartium 5 hingga 8 mmol/L. Maka dari itu salah satu
etiologi dari sindrom ini adalah lamanya waktu operasi karena berdampak menurunkan
konsentrasi natrium (kurang dari 135 mml/L). Efek negatif dari penurunan kadar natrium akan
memunculkan osmotic gradient antara intra seluler dan ekstra seluler dalam otak sehingga
cairan intravaskuler berpindah tempat kemudian menyebabkan brain edema, meningkatkan
cairan intrakranial dan memunculkan gejala neurologik (Hawary, 2009).

Karakteristik dari sindrom TURP sebagai dampak dari hiponatremia adalah


kebingungan, mual dan muntah, hipertensi, bradikardi, dan gangguan penglihatan. Bahkan
pasien dengan anastesi spinal menunjukan tidak dapat tenang, gangguan cerebral dan gemetar.
Ketiga hal ini adalah gejala awal dari sindrom TURP (Marszalek, 2009). Sindrom TURP
memiliki dua kategori yaitu : ringan yang di tandai dengan nyeri kepala, disorentasi, mual dan
muntah, kadar natrium (120-135 mml/L), anemia, CRT lebih dari 3 detik. Sedangkan yang
berat di tandai dengan hipertensi, takikardi, suara paru ronchi, kadar ureum dan kreatinin
meningkat, kadar natrum menurun (kurang dari 120 mml/L, gangguan kadar kalium, koma,
takipnue, fungsi penglihatan menurun, edema kaki (Claybon, 2009, Hawary, 2009). Kejadian
sindrom TURP sangat cepat, dapat terjadi 15 menit setelah operasi selesai hingga 24 jam
(Swaminathan and Tormey, 1981). Oleh karena itu penting untuk di lakukan pemeriksaan post
TURP secara dini.

Lebih dari 30 juta kateterisasi urine di lakukan setiap tahun di Amerika Serikat, yaitu
berkisar 10% pada pasien akut dan 7,5% sampai dengan 10% pada pasien yang memerlukan
fasilitas perawatan jangka panjang,, angka ini di perkirakan akan meningkat hingga mencapai
25%. Banyak alasan yang membuat peningkatan tindakan kateterisasi urine, mencakup
kompleksitas perawatan dan tingkat keparahan penyakit (Greene, Marx dan Oriola, 2008).
Kateterisasi urine berdampak trauma pada uretra (Madeo dan Roodhouse, 2009) dan
menimbulkan ketidaknyamanan serta rasa nyeri yang signifikan pada pasien (Nazarko, 2007).

Penatalaksanaan perawatan pasien post operasi BPH salah satunya dengan pemasangan
kateter uretra. Pemasangan kateter uretra adalah memasukan kateter ke dalam buli-buli melalui
uretra. Istilah ini sudah di kenal sejak jaman hipokrates yang pada masa itu menyebutkan
tentang tindakan instrumentasi untuk mengeluarkan cairan dari tubuh. Kateter foley sampai
saat ini masih di gunakan secara luas untuk mengeluarkan urine dari buli-buli, adapun tujuan
kateterisasi ada dua macam yaitu yang di gunakan untuk dignosis dan untuk tujuan terapi.
Kateter yang di pasang untuk tujuan diagnosis secepatnya di lepas setelah tujuan selesai, tetapi
yang di gunakan untuk untuk tujuan terapi, tetap di pertahankan hingga tujuan terpenuhi
(Purnomo, 2011).

Kateter foley adalah kateter yang dapat di tinggalkan menetap untuk jangka waktu
tertentu karena ujungnya terdapat balon yang di kembangkan dengan mengisinya dengan air
sehingga mencega kateter terlepas keluar dari buli-buli. Sesuai percabangannya kateter di
bedakan menjadi dua jenis kateter yaitu kateter cabang dua (two way catheter) yang
mempunyai dua buah jalan antara lain untuk mengeluarkan urine dan memasukan air guna
mengembangkan balon. Dan kateter cabang tiga (three way catheter) yang mempunyai
percabangan (lumen) lagi yang berfungsi untuk mengalirkan air pembilas (irigasi) yang di
masukan ke dalam selang infuse. Kateter ini biasa di pakai setelah operasi BPH untuk
mencegah timbulnya bekuan darah.

Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena data di atas penulis tertarik untuk menulis judul yang di
dapatkan bahwa pasien dan keluarga pernah di berikan penjelasan (edukasi) tentang cara
perawatan kateter urine yang benar, Maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “
bagaimana pengaruh edukasi perawatan kateter urine terhadap peningkatan pengetahuan
keluarga dan pasien Post TUR Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) RSUD Jayapura.
Tujuan penelitian

1. Tujuan umum
Penelitian ini di lakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh edukasi perawatan
kateter urine terhadap peningkatan pengetehuan keluarga dan pasien Post Operasi (TURP)
benigna prostate hyperplasia (BPH).

2. Tujuan khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh edukasi perawatan kateter urine terhadap peningkatan
pengetahuan keluarga dan pasien Post Operasi (TURP) benigna prostate hyperplasia
(BPH).
2. Untuk mengetahui perawatan dan hambatannya kateter urine pada pasien Post TURP
3. Untuk mengetahui tingkat pemahaman keluarga dan pasien tentang cara perawatan
kateter urine.
4. Untuk mengetahui TUR syndroma.

Manfaat penelitian
Hasil penelitian di harapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Rumah sakit
Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat bangsal agar supaya
dapat memberikan penjelasan yang baik kepada keluarga dan pasien agar keluarga dan
pasien dapat memahami cara perawatan kateter urine yang benar.
2. Institusi pendidikan
 Dapat di jadikan kepustakaan mengenai pengaruh edukasi perawatan kateter urine
terhadap peningkatan pengetahuan keluarga dan pasien post operasi (TUR) Benigna
Prostate Hyperplasia (BPH).
 Tersediahnya informasi bagi pelajar tentang pengaruh perawatan kateter urine
terhadap peningkatan pengetahuan keluarga dan pesien post TUR Benigna Prostate
Hyperplasia.
3. Peneliti lain
Peneliti lain dapat mengembangkan penelitian ini di tempat lain dengan metode yang
berbeda sesuai perkembangan medis.
4. Peneliti
Dapat mengaplikasikan metode penelitian di lapangan selama di bangku perkuliaan.

Anda mungkin juga menyukai