MITRA BESTARI
1. Prof. Dr. Wiryatun Lestariana, Apt
2. Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt
3. Prof. Dr. Sudibyo Martono, Apt
4. Dr. Tedjo Yuwono, Apt
5. Prof. Dr. Dachriyanus, Apt
6. Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, MMedSc, PhD
7. Prof. Dr. Lukman Hakim M.Sc., Apt
8. Prof. Dr. Achmad Fudholi, DEA, Apt
9. Prof. Dr. Ibnu Gholib Gandjar, DEA., Apt
DEWAN EDITOR
Ketua : Saepudin, M.Si., Apt
Sekretaris : Rochmy Istikharah, M.Sc., Apt.
Anggota : Vitarani Dwi Ananda Ningrum, M.Si., Apt
Okti R. Mafruhah, M.Sc., Apt
Dimas Adhi Pradana, M.Sc., Apt.
Fithria DA. Suryanegara, M.Sc., Apt.
Ari Wibowo, S.Farm., Apt
Arba Pramudita Ramadani, M.Sc., Apt.
Oktavia Indrati, S.Farm., M.Sc., Apt.
Penerbit
Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Islam Indonesia
Alamat Penerbit
Jurusan Farmasi FMIPA UII
Jl. Kaliurang Km. 14,4 Yogyakarta 55584
Telp. (0274) 896439 ext. 3047
Email: jif@uii.ac.id
DAFTAR ISI
Susunan Redaksi
Daftar Isi i
Research
Pengaruh Nattokinase® Terhadap Daya Kerja Metformin Hcl Pada Tikus Jantan Galur 41
Wistar
Vivi Sofia
Clinical
Kaitan Penggunaan Obat Analgetik dan Anti Inflamasi Non Steroid dengan Kejadian 59
Gagal Ginjal Kronik dada Pasien Hemodialisis di RSU PKU Muhammadyah
Yogyakarta
Woro Supadmi, Lukman Hakim
Uji Aktivitas Hepatoprotektif Teh Hijau Kombucha pada Tikus Putih yang Diinduksi 67
Parasetamol
M.Thesa Ghozali, Puguh Novi Arsito
Dewan Editor
Vivi Sofia
e-mail: vi2_sophia@yahoo.co.id
41
42 | Vivi Sofia
and 180. Blood glucose levels was measured untuk menggunakan metformin HCl, karena
with the GlukoDr. The effect of decreasing
dapat menurunkan nafsu makan (Sumi, H et
blood glucose levels indicated by the value of
LDDK0-180 (Regional Area Under the Curve 0- al, 1990)
180 minutes of the graph time vs blood
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu
glucose levels). The data were tested
statistically by Kruskal-Wallis and Mann dibuktikan dengan penelitian bagaimana efek
Whitney with a level of sigficance 95%. The
dari interaksi antara nattokinase dengan
results showed that administration of
Metformin HCl after 1 hour administration metformin HCl terhadap penurunan kadar
Nattokinase decreased 11,67% of metformin
glukosa dalam darah.
HCl.
t1 − t 0 t −t t −t
LDDK 0−n = [ x(C 0 + C 1 )] + [ 2 1 x(C1 + C 2 )] + ..... + [ n n−1 x(C n + C n−1 )]
2 2 2
Keterangan :
LDDK : Luas Daerah di bawah Kurva
t : waktu (menit)
C : kadar glukosa darah (mg/ml)
Untuk mengetahui penurunan daya kerja dihitung persentase penurunan daya kerja
®
metformin HCl oleh Salakinase , maka dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
A : Persentase penurunan kadar glukosa darah kontrol positif metformin HCl
B : Persentase penurunan kadar glukosa darah kelompok pemberian Salakinase® dosis 0,36 g/kg BB dan
metformin HCl
Tabel 1. Purata perubahan kadar glukosa darah tikus yang dibebani glukosa pada kelompok
I, II, III, dan IV
Berdasarkan purata kadar pada antara kadar glukosa darah terhadap waktu
menit-menit tertentu untuk semua kelompok untuk semua kelompok perlakuan dapat
perlakuan dapat dibuat kurva hubungan dilihat pada Gambar 1.
90
80
paerubahan kadar klukosa
70
60
k nega
(mg/dl)
50
darah
40 k posi
30 salaki
20
salaki
10
0
Gambar 1. Kurva purata perubahan kadar glukosa darah terhadap waktu untuk semua kelompok
®
Pengaruh pemberian SALAKINASE
terhadap daya kerja Metformin HCL dalam
menurunkan kadar glukosa darah
Tabel 2 Hasil perhitungan persentase penurunan kadar glukosa darah pada kelompok I, II, III,
dan IV
nattokinase yang memiliki efek khusus untuk Jadi interaksi yang mungkin terjadi
melancarkan aliran darah dengan cara berdasarkan literatur adalah interaksi
memecah fibrin. Dengan pecahnya molekul farmakodinamik, dimana peningkatan atau
fibrin, maka darah yang kental dengan penurunan efek suatu obat karena pengaruh
viskositas yang tinggi pada kondisi diabetes obat/senyawa lain (Harkness, R, 1989)
yang diakibatkan oleh tingginya kadar
glukosa darah dapat menjadi turun KESIMPULAN
viskositasnya, sehingga mampu menurunkan ®
Pemberian SALAKINASE dengan interval
kadar glukosa darah (Pais, 2006).
waktu 2 jam dapat menurunkan daya kerja
Pada kelompok IV yaitu kelompok
metformin sebesar 11,67%.
®
perlakuan pemberian SALAKINASE dan
Metformin HCl, ternyata dapat
mempengaruhi kadar glukosa darah tikus DAFTAR PUSTAKA
yang dibuat hiperglikemik mempunyai
Harkness, R., 1989, Interaksi Obat,
persentase penurunan kadar glukosa darah diterjemahkan oleh Goeswin Agoes
® dan Mathilda B, Widianto, Penerbit
52,03%. Hal ini berarti Salakinase dapat
ITB, Bandung
menurunkan daya kerja Metformin HCl
National Cardiovascular Centre of Japan,
sebesar 11,67%.
HuBit genomix, NTT DATA,
Hal ini dimungkinkan terjadi interaksi Municipality of Arita. Examining the
effect of natto (fermented soybean)
obat tetapi belum dapat dipastikan interaksi
consumption on lifestyle-related
apa yang terjadi. Interaksi yang merugikan disease establishing natto’s
effectiveness in lifestyle-related
ini dimungkinkan terjadi karena adanya
disease prevention, Japan: NTT
interaksi farmasetis yaitu pada saat DATA on file; 2006
pencampuran obat biasanya berakibat
Pais E, Alexy. T, Holsworth RE Jr,
inaktivasi obat, interaksi farmakokinetik yaitu Meiselman HJ, 2006, Effect of
nattokinase, a pro-fibrinolytic
bila salah satu obat mempengaruhi absorbsi,
enzyme, on red blood cell
distribusi, metabolisme, atau ekskresi obat aggregation and whole blood
viscosity. Clin Hemorheol Microcirc
kedua dengan mengukur kadar obat di
2006; 35(1=2) : 139-42
dalam darah. Pada penelitian ini yang
Tjokroprawiro, A., 2000, Diabetes Klasifikasi,
diamati adalah efek penurunan kadar Diagnosis dan Terapi, 1, 48-57,
glukosa darah jika pemberian dikombinasi. Edisi III, Penerbit PT. Gramedia,
Pustaka Utama, Jakarta.
1 2 3
M. Hatta Prabowo *, Ari Wibowo , Laily Fauziyah
1,2,3
Program Studi Farmasi Universitas Islam Indonesia
*e-mail: htprabowo@gmail.com
47
48 | M. Hatta Prabowo
0.7, respectively. The results indicated that RI mencanangkan program bebas TB 2050.
TLC-densitometry can be developed and all
Rifampicin, isoniazid (INH) dan pirazinamid
validation parameters complied with AOAC
requirements. The correlation coefficient (r) merupakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini
of rifampicin 0.999, INH 0.999 and
pertama yang digunakan untuk pengatasan
pyrazinamide 0.999; recovery of rifampicin,
INH and pyrazinamide were 101.00 %, 94.36 penyakit TB. Ketiga obat ini tersedia dalam
% and 95.69 %, respectively. In addition,
bentuk kombinasi satu sediaan obat dengan
precision, % RSD for rifampicin, INH and
pyrazinamide were 0.55 %, 0.96 %, and 0.98 dosis sesuai standar yang disebut sediaan
% respectively; LOD for rifampicin, INH and
Fixed Dose Combination (FDC). Bentuk
pyrazinamide were 10.91 ppm, 10.38 ppm
and 42.14 ppm, respectively; LOQ for sediaan ini didesain untuk mencegah
rifampicin, INH and pyrazinamide were 33.07
terjadinya resistensi OAT pada pasien TB,
ppm, 31.45 ppm and 127.7 ppm,
respectively. Concentration of rifampicin, INH khususnya pasien dengan tingkat kepatuhan
and pyrazinamide in a tablet were 157.37
minum obat rendah yang disebabkan akibat
mg, 75.26 mg and 400.79 mg that comply
with USP standard. pasien harus mengkonsumsi bermacam-
macam obat dalam waktu yang cukup lama
Keywords: rifampicin-isoniazid-pyrazinamide,
TLC-densitometry, validation sehingga banyak pasien TB yang tidak dapat
menyelesaikan pengobatan hingga tahap
akhir (Peloquin, 2007).
PENDAHULUAN
Namun yang menjadi masalah
adalah banyak sediaan FDC yang beredar di
Hasil survei World Health
masyarakat memiliki dosis dibawah standar.
Organization (WHO) mengenai angka
Fenomena ini tidak hanya terjadi di dalam
kejadian TB di 22 negara, diketahui India,
negeri namun juga di luar negeri.
Cina dan Indonesia berkontribusi lebih dari
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
50 % dari seluruh kasus TB. Indonesia
oleh Food Drug Administration (FDA)
menempati urutan ke-3 setelah India dan
diketahui bahwa 31 % FDC OAT yang telah
Cina (Anonim, 2008). Tingginya kasus TB di
beredar di pasaran Amerika ternyata
Indonesia membuat Departemen Kesehatan
subdosis (Kenyon, et al.,1999).
(a)
(b) (c)
Gambar 1. (a) Struktur kimia rifampicin , (b) Struktur kimia INH, (c) Strutur kimia pirazinamid
Tabel 1. Kombinasi eluen yang digunakan dalam optimasi eluen untuk pemisahan senyawa
rifampicin, INH dan pirazinamid dalam sediaan FDC OAT
Perbandingan Indeks
No Kombinasi eluen
konsentrasi (% v/v) polaritas
1 Metanol: aseton: amonia 4,2: 5,5: 0,3 4,95
2 Aseton: asam asetat glasial 9,9: 0,1 5,2
3 Metanol: toluen: amonia 5,3: 4,4: 0,3 3,76
4 n- heksan: 2-propanol 5:5 2
5 n- heksan: 2-propanol: aseton 4:4:2 2,62
6 n- heksan: 2-propanol: aseton 3:3:4 3,24
7 n-heksan: 2-propanol: aseton: amonia 3:3:3:1 2,73
8 n-heksan: 2-propanol: aseton: amonia: asam format 3: 3,8: 2,8: 0,3: 0,1 2,94
9 n-heksan: 2-propanol: aseton: amonia: asam format 3: 3,6: 3: 0,3: 0,1 2,96
10 n-heksan: 2-propanol: aseton: amonia: asam format 3: 4: 2,6: 0,3: 0,1 2,92
anginkan di suhu kamar. Spot yang telah (slope atau b) pada persamaan garis atau
a
terpisah dianalisa dengan densitometer, regresi linier y = bx + a (Anonim, 2002 ).
sehingga akan didapat data Retardation
factor (Rf) dan Area Under Curve (AUC).
Linieritas kurva baku ditentukan dengan cara
mengolah data konsentrasi seri kadar (x) Pengujian akurasi
dan AUC (y) yang diperoleh dengan Akurasi ditentukan dengan
menggunakan persamaan regresi linier. menggunakan metode standar adisi. Sampel
Linieritas kurva baku baik jika nilai koefisien yang dianalisis mengandung 150 ppm
korelasinya (r) ≥ 0,999 dan koefisien variasi rifampicin, 75 ppm INH dan 400 ppm
regresi (Vx0) ≤ 5 % bila nilai r belum pirazinamid. Sampel ditambahkan dengan 3
a
mencapai 0,999 (Anonim, 2002 ). seri kadar standar yang berbeda yaitu 50,
200 dan 400 ppm untuk rifampicin dan INH
Pengujian presisi serta 100, 400 dan 800 ppm untuk
Pengujian presisi yang dilakukan pirazinamid. Kadar standar yang
adalah keterulangan (repeatability) sebagai ditambahkan ke dalam sampel diharapkan
variasi dalam sehari. Kadar yang digunakan dapat mewakili kadar terendah sampai kadar
dalam pengujian presisi adalah 200 ppm paling tinggi dari kurva baku yang
untuk rifampicin dan INH serta 400 ppm digunakan. Ditotolkan pada plat silika gel 60
untuk pirazinamid . Ditotolkan pada plat silika F254, masing-masing kadar 3 kali penotolan
gel 60 F254 dengan volume 2 µL sebanyak 6 dengan volume penotolan masing-masing 2
spot ripitasi dengan menggunakan linomat, µL dan dielusi dengan eluen terbaik. Spot
dielusi dengan eluen terbaik dan pada plat silika kemudian dianalisis dengan
dikeringkan, spot dalam plat silika kemudian densitometer dan akan diperoleh data
dianalisis dengan densitometer. Data yang berupa nilai AUC sampel yang telah
akan diperoleh adalah nilai Rf dan AUC ditambahkan standar kemudian dihitung %
kemudian dihitung nilai rata-rata ( ),standar perolehan kembali dari masing-masing kadar
deviasi (SD) dan standar deviasi relatif standar yang ditambahkan dalam sampel
(RSD). Berdasarkan AOAC, nilai presisi dengan menentukan persen analit yang
senyawa dengan konsentrasi 100-1000 ppm ditambahkan yang dapat terukur.
baik jika % RSD-nya ≤ 4 % (Anonim, 2002 ).
a
Berdasarkan AOAC, nilai % perolehan
kembali senyawa dengan konsentrasi 10-
Penentuan batas deteksi dan batas 100 ppm baik jika nilainya 80-115 % dan
kuantitasi konsentrasi 100-1000 ppm nilainya antara
Batas deteksi dan batas kuantitasi 85-110 % (Anonim, 2002 ).
a
Tabel 2. Keterangan hasil pemisahan senyawa rifampicin, INH dan pirazinamid dalam sediaan
FDC OAT menggunakan eluen nomor 1- 10
Spot 1
Spot 2
Spot 3
Keterangan :
A: standar pirazinamid;
B: standar INH;
A C: standar rifampicin;
D: sampel
B
Fase diam : silika gel 60 F254
C D Fase gerak : eluen no. 9
Pengembangan : menaik
Penotolan : 2 µL
(a) (b) Deteksi : UV 254 nm
Gambar 2. Hasil kromatogram sampel FDC dibandingkan dengan standar tunggal rifampicin, INH
dan pirazinamid yang dilihat di bawah sinar UV 254 nm (a) dan sinar tampak (b).
Tabel 3. Keterangan hasil uji kualitatif sampel FDC OAT dibandingkan dengan standar tunggal
rifampicin, INH dan pirazinamid
Keterangan :
Rf : Retardation factor
UV : Ultra violet
Tahap penelitian selanjutnya adalah validasi Analytical Chemist (AOAC). Kurva baku
metode analisis meliputi pengukuran dengan linieritas yang baik dapat digunakan
linieritas kurva baku, presisi, batas deteksi, untuk menetapkan kadar sampel yang
batas kuantitasi dan akurasi yang hasilnya kadarnya diperkirakan masuk dalam range
akan dibandingkan dengan persyaratan yang kurva baku yang digunakan.
tertera dalam Association of Official
Optimasi panjang gelombang maksimal (λ gelombang 269 sampai 271 nm, sedangkan
max) pirazinamid dapat berpendar dengan optimal
Optimasi panjang gelombang pada panjang gelombang 272 nm.
maksimal (λ max) dari masing-masing
senyawa bertujuan untuk mendapatkan Linieritas kurva baku
senyawa yang spesifik dengan absorbansi Linieritas suatu metode analisis
yang maksimal sehingga pengukuran kadar dinilai dengan cara menentukan grafik
yang diperoleh juga maksimal. Spesifisitas respon terhadap kadar, koefisien korelasi (r)
suatu metode analisis merupakan dari persamaan garis regresi, dan standar
kemampuan suatu metode analisis untuk deviasi residual (Sy/x) dari garis regresi
mengukur analit yang dituju secara tepat dan (Ermer, et al., 2005). Standar deviasi
spesifik dengan adanya komponen- residual ini akan digunakan untuk
komponen matriks sampel seperti adanya menghitung koefisien variasi regresi (Vx0).
pengganggu. Tujuan penentuan spesifisitas Nilai Vx0 yang direkomendasikan adalah ≤ 5
dalam penelitian ini dapat sebagai uji %, jika koefisien korelasi yang diperoleh dari
identifikasi. Sebagai uji identifikasi karena persamaan regresi linier belum mencapai
dapat membedakan antar senyawa yang 0,999 supaya suatu metode analisis tetap
mempunyai struktur molekul hampir sama dapat dikatakan memiliki linieritas yang baik.
terutama INH dan pirazinamid. ICH merekomendasikan minimal
Hasil optimasi λ max yang dapat menggunakan 5 konsentrasi kadar dalam
dilihat pada Gambar 3 menunjukkan bahwa kurva baku untuk pengujian linieritas kurva
rifampicin, INH dan pirazinamid memiliki λ baku suatu metode analisis (Kenkel, 2000).
max yang berbeda. Rifampicin dapat Hasil pengukuran kurva baku rifampicin, INH
berpendar dengan optimal pada panjang dan pirazinamid menggunakan larutan stok
gelombang 336 nm, untuk INH pada panjang baku campuran dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Persamaan regresi linier kurva baku Rifampicin, INH dan Pirazinamid
Nama Persamaan
No Seri kadar (ppm) Nilai r
senyawa regresi linier
1. Rifampicin 50, 100, 200, 300, 400 0,999 y = 0,994x + 9,672
2. INH 50, 100, 200, 300, 400 0,999 y = 0,996x + 1,942
3. Pirazinamid 100, 200, 400, 600, 800 0,999 y = 1,005x + 140,7
Tabel 5. Nilai batas deteksi dan kuantitasi rifampicin, INH dan pirazinamid
No. Nama senyawa Nilai batas deteksi (ppm) Nilai batas kuantitasi (ppm)
1. Rifampicin 10,91 33,07
2. INH 10,38 31,45
3. Pirazinamid 42,14 127,7
Tabel 6. Hasil pengukuran presisi keterulangan (repeatibility atau intraday precision) rifampicin dan
INH dengan konsentrasi 200 ppm serta pirazinamid 400 ppm dalam larutan baku campuran
Tabel 8. Hasil pengukuran kadar rifampicin, INH dan pirazinamid dalam sampel FDC OAT dengan
metode KLT-Densitometri
Nilai AUC
No. Nama sampel
Rifampicin INH Pirazinamid
1. Replikasi 1 1987,30 1838,40 11797,40
2. Replikasi 2 1996,10 1854,70 11696,50
3. Replikasi 3 2242,80 1843,20 11558,10
Rata-rata 2075,40 1845,43 11684,00
Kadar terukur (ppm) 157,37 75,26 400,79
Kadar terukur (mg) 157,37 75,26 400,79
1 2
Woro Supadmi* , Lukman Hakim
1
Fakultas Farmasi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
*e-mail: wsupadmi@yahoo.com
ABSTRAK ABSTRACT
59
60 | Woro Supadmi
NSAIDs were not assosiation of chronic Januari sampai bulan Agustus 2006 sebagai
renal failure incidence (OR 1.1;p>0.05;CI
berikut; RS Bethesda melayani 91 pasien
0.138 to 7.934).
dengan 636 kali cuci darah, RSU PKU
Keywords: analgesics, chronic renal failure,
Muhammadiyah sebesar 244 pasien dengan
NSAIDs, risk factors
1.927 kali cuci darah dan RS Panti Rapih
sebesar 364 pasien, 2.412 kali cuci darah
PENDAHULUAN
(Kompas, 5/8/2006).
Gagal ginjal kronik merupakan masalah Banyak faktor risiko yang mempengaruhi
kesehatan, sosial dan ekonomi dengan kejadian gagal ginjal kronik, dari hasil
peningkatan insidensi, prevalensi dan penelitian faktor–faktor yang diduga
morbiditas. Gagal ginjal kronik memerlukan berhubungan dengan kejadian gagal ginjal
biaya perawatan yang mahal dengan hasil kronik adalah usia, ras, jenis kelamin dan
perawatan yang buruk (NKF, 2004). Angka riwayat penyakit keluarga, pemakaian obat
kematian akibat gagal ginjal kronik atau end analgetik, OAINS dan diabetes (Mcclellan
stage renal disease terus meningkat di dan Flanders, 2003). Beberapa bukti
banyak negara termasuk negara epidemiologis menunjukkan bahwa terdapat
berkembang seperti di Indonesia (Strong et hubungan antara penggunaan analgetika
al, 2005 ). dan antiinflamasi non steroid secara
Insidensi tahunan gagal ginjal kronik berlebihan dengan kejadian kerusakan ginjal
dilaporkan bervariasi di Amerika pada tahun atau nefropati (De Broe et al, 1996; Fored et
2000 sebesar 1.311 per satu juta penduduk al, 2003).
dengan jumlah penderita sebesar 20 juta
dan diperkirakan pada tahun 2025 akan
METODE PENELITIAN
mencapai dua kalinya. Angka kejadian gagal
ginjal kronik di Jepang, Australia dan Inggris Penelitian ini merupakan penelitian
mencapai 77-283 orang per 1.000.000 kasus - kontrol menggunakan rancangan
penduduk. Angka kejadian penderita gagal hospital based case control study dengan
ginjal kronik di Indonesia, sampai sekarang menelusuri ke belakang apakah ada kaitan
belum ada data yang akurat dan lengkap, antara riwayat penggunaan analgetik dan
namun diperkirakan penderita gagal ginjal OAINS dengan kejadian gagal ginjal kronik
kronik kurang lebih 50 orang per satu juta pada pasien yang melakukan hemodialisis di
penduduk (Suhardjono et al, 2001). rumah sakit PKU Muhammadiyah
Insidensi gagal ginjal kronik di Yogyakarta. Analgetik adalah paracetamol
Yogyakarta diperkirakan sebesar 1000 orang dan antalgin, obat golongan NSAID adalah
tiap 1 juta penduduk atau seorang penderita asam mefenamat, natrium diklofenak, kalium
tiap 1.000 penduduk. Rumah sakit yang diklofenak, piroxicam, tenoxicam, meloxicam,
melayani hemodialisa adalah RSUP Dr. ibuprofen, ketoprofen. Pasien kasus adalah
Sardjito, RS PKU Muhammadiyah, RS Panti pasien gagal ginjal kronik dengan
Rapih dan RS Bethesda. Gambaran hemodialisis secara rutin. Pasien kontrol
pelaksanaan pelayanan hemodialisa bulanan adalah pasien dengan ginjal normal
di beberapa Rumah Sakit mulai bulan melakukan rawat inap dengan kondisi
p value
Karakteristik pasien Kasus Kontrol Jumlah OR
CI 95 %
Jenis kelamin
1. Laki-laki 37 27 64 0,067 1,966
2. Perempuan 23 33 56 0,950 - 4,071
Usia
1. 15 – 45 tahun 18 31 49 0,016 2,494
2. 46 – 75 tahun 42 29 71 1,179 - 5,276
Usia pasien 46–75 tahun mempunyai kemungkinan karena laki-laki kurang hati-
risiko mengalami gagal ginjal kronik 2,5 kali hati dalam penggunaan obat dan secara
lebih besar dari usia pasien 15–45 tahun. sosial kurang memperhatikan kesehatan.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin Beberapa bukti epidemiologi
bertambah usia, semakin berkurang fungsi menunjukkan bahwa ada hubungan antara
ginjal karena disebabkan terjadinya penggunaan analgetik dan anti inflamasi non
penurunan kecepatan ekskresi glomerulus steroid secara berlebihan dengan terjadinya
dan penurunan fungsi tubulus pada ginjal. kerusakan ginjal atau nefropati. Nefropati
Jenis kelamin laki- laki mempunyai risiko analgetik merupakan kerusakan nefron
mengalami gagal ginjal kronik 2 kali dari akibat penggunaan analgetik (Fored et al,
jenis kelamin perempuan, hal ini 2003). Hasil penelitian kaitan riwayat
Tabel 2. Kaitan antara penggunaan analgetik dengan kejadian gagal ginjal kronik
p value
Faktor risiko Kasus Kontrol Total OR
CI 95%
Analgetik ya 2 18 20 0,080 0,08
tidak 58 42 100 0,018-0,366
Tabel 3. Kaitan antara lama penggunaan analgetik dan kejadian gagal ginjal kronik
p value OR
Faktor risiko Kasus Kontrol Total
CI 95 %
Lama 1- 10 tahun 13 22 35 0,688 1,354
penggunaan
analgetik >10 tahun 4 5 9 0,307 - 5,94
Total 17 27 44
Hasil analisis bivariat menunjukkan >10 tahun memberikan peluang 1,4 kali lebih
bahwa variabel lama penggunaan analgetik besar mengalami gagal ginjal kronik. Hal ini
tidak berkaitan dengan kejadian gagal ginjal menunjukkan bahwa lama penggunaan
kronik (OR 1,35;p>0,05). Hal ini disebabkan analgetik >10 tahun meningkatkan risiko
karena lama penggunaan 1-10 tahun dengan terjadinya gagal ginjal kronik.
frekuensi penggunaan analgetik secara terus Jumlah tablet menunjukkan jumlah
menerus minimal 6 tablet setiap bulan, paparan yang merusak ginjal, oleh karena
sedangkan lama penggunaan lebih dari >10 jumlah tablet penggunaan analgetik
tahun tetapi frekuensi penggunaan tidak dianalisis untuk mengetahui kaitan jumlah
terus menerus yaitu setiap 2 bulan atau lebih. tablet dengan kejadian gagal ginjal kronik.
Secara klinik lama penggunaan analgetik Hasil analisis pada Tabel 4.
Tabel 4. Kaitan antara jumlah tablet analgetik dan kejadian gagal ginjal kronik
p value OR
Faktor risiko Kasus Kontrol Total
CI 95 %
Jumlah tablet 1- 500 tablet 6 25 31 0,001 22,917
obat analgetik
>500 tablet 11 2 13 3,981-131
Total 17 27 44
Secara klinik pada pasien yang penggunaan lebih dari lima tahun (Elseviers
menggunakan analgetik lebih dari >500 et al, 1998)
tablet mempunyai risiko 23 kali lebih besar Efek toksik akibat obat anti inflamasi
mengalami gagal ginjal kronik. Kebiasaan non steroid tergantung dengan dosis dan
menggunakan analgetik meningkatkan lama penggunaan obat. Penelitian tentang
terjadinya penyakit gagal ginjal kronik. penggunaan anti inflamasi non steroid dan
Penggunaan asetaminofen lebih dari 5.000 gagal ginjal akut pada pasien usia lanjut
tablet selama lima tahun dapat dilakukan oleh Griffin et al, tahun 2000 di
meningkatkan kejadian penyakit ginjal USA menunjukkan bahwa odds ratio
stadium akhir. Lama penggunaan analgetik penggunaan OAINS adalah 1,58 (95% CI
mempengaruhi lama paparan analgetik 1,34-1,86). Hasil penelitian kaitan
terhadap ginjal. Risiko terjadinya penyakit penggunaan OAINS dengan kejadian GGK
ginjal stadium akhir meningkat pada pada Tabel 5.
Tabel 5. Kaitan antara penggunaan OAINS dengan kejadian gagal ginjal kronik
p value OR
Faktor risiko Kasus Kontrol Total
CI 95%
OAINS ya 8 2 10 0,048 4,47
Tabel 6. Kaitan antara lama penggunaan OAINS dan kejadian gagal ginjal kronik
p value OR
Faktor risiko Kasus Kontrol Total
CI 95 %
Lama 1- 10 tahun 11 4 15 0,496 0,364
penggunaan
OAINS >10 tahun 1 1 2 0,018 - 7,295
Total 12 5 17
Hasil analisis bivariat menunjukkan menggunakan OAINS lebih dari >500 tablet
bahwa jumlah tablet OAINS berkaitan mempunyai risiko 12 kali lebih besar
dengan kejadian gagal ginjal kronik kronik mengalami gagal ginjal kronik pada Tabel 7.
(OR 12,0;p<0,05). Secara klinik pasien yang
Tabel 7. Kaitan antara jumlah tablet OAINS dan kejadian gagal ginjal kronik
p value OR
Faktor risiko Kasus Kontrol Total
CI 95 %
Jumlah tablet 1- 500 tablet 3 4 7 0,036 12,0
OAINS
> 500 tablet 9 1 10 0,936-153
Total 12 5 17
Analgetik dan obat anti inflamasi non OAINS kemungkinan meningkatkan risiko
steroid mempunyai mekanisme kerja gagal ginjal kronik. Hasil analisis bivariat
menghambat sintesis prostaglandin. kaitan antara riwayat penggunaan analgetik
Penggunaan kombinasi analgetik dan dan OAINS pada Tabel 8.
Tabel 8. Kaitan antara penggunaan analgetik dan OAINS dengan kejadian GGK
P value
Faktor risiko Kasus Kontrol Total OR
CI
Analgetik dan ya 9 2 11 0,027 5,12
OAINS
tidak 51 58 109 1,057-24,78
Total 60 60 120
Tabel 9. Kaitan lama penggunaan analgetik dan OAINS dengan kejadian gagal ginjal kronik
p value OR
Faktor risiko Kasus Kontrol Total
CI 95 %
Lama penggunaan 1-10 tahun 16 4 20 0,602 0,5
analgetik dan
OAINS > 10 tahun 2 1 3 0,036-6,9
Total 18 5 23
Penggunaan analgetik dan obat anti muskuloskeletal (30% kasus dan 32%
inflamasi non steroid secara berlebihan kontrol) dan kondisi kardiovaskular dengan
dengan kriteria yang ditetapkan, dilaporkan penggunaan aspirin (12% kasus dan 7% dari
137 kasus (23,5%) dan 196 kontrol (16,5%), kontrol) (Ibanez et al, 2005). Hasil penelitian
memberikan odds ratio 1,22 (95% CI 0,89- kaitan jumlah tablet penggunaan analgetik
1,66). Alasan utama untuk penggunaan dan OAINS dengan kejadian gagal ginjal
analgetik dan OAINS adalah sakit kepala kronik pada Tabel 10.
(37% kasus dan 34% kontrol), dan nyeri
Tabel 10. Kaitan jumlah tablet penggunaan analgetik dan OAINS dengan kejadian gagal ginjal
kronik
p value OR
Faktor risiko Kasus Kontrol Total
CI 95 %
Jumlah tablet 1- 500 tablet 7 2 9 0,964 1,058
analgetik dan
OAINS >500 tablet 11 3 14 0,138-7,934
Total 18 5 23
Hasil analisis bivariat diperoleh (OR dan ketoprofen) berkaitan dengan kejadian
1,1;p>0,05), maka secara statistik tidak ada gagal ginjal kronik (OR 4,4;p<0,05;CI 0,906-
kaitan yang bermakna antara jumlah tablet 21,97), kombinasi analgetik dan obat anti
analgetik dan anti inflamasi non steroid inflamasi non steroid berkaitan dengan
dengan kejadian gagal ginjal kronik. Secara kejadian gagal ginjal kronik(OR 5,1;p<0,05;
klinik jumlah tablet penggunaan analgetik CI 1,057-24,78).
dan anti inflamasi non steroid > 500 tablet
mempunyai risiko 1,1 kali mengalami gagal
DAFTAR PUSTAKA
ginjal kronik. Analgetik dan obat anti
inflamasi non steroid mempunyai mekanisme
Elseviers, M.M., DeBroe,M.E.,
yang sama sehingga apabila digunakan Bengtsson,U.,1996, Analgesic
dalam waktu yang bersamaan dapat nephropathy. Nephrol Dial
Transplant ;11:2407-2408
meningkatkan efek terhadap kerusakan
ginjal. Elseviers,M.M., DeBroe,M.E.,Bengtsson,U,
1998, A long-term prospective
controlled study of analgesic abuse
in Belgium. Kidney Int ;48:1912-
KESIMPULAN 1919
Elseviers,M.M.,Burr,F.R.,Weinberg,C.R,1998,
Riwayat penggunaan analgetik Nonsteroidal anti-inflammatory
drugs and the risk for chronic renal
(paracetamol dan antalgin) tidak berkaitan disease. Ann Intern Med :165-172
dengan kejadian gagal ginjal ronik (OR
Fored,C.M., 2003, Risk factors for the
0,1;p>0,05;CI 0,018-0,366), obat anti development of chronic renal failure,
inflamasi non steroid (asam mefenamat, Stockholm, Karolinska University
Press
natrium diklofenak, kalium diklofenak,
piroxicam, tenoxicam, meloxicam, ibuprofen,
1 2
M.Thesa Ghozali *, Puguh Novi Arsito
1,2
Department of Pharmacy, Faculty of Medicine and Health Science,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
*e-mail: mt_ghozali@ymail.com
ABSTRAK ABSTRACT
67
68 | M. Thesa Ghozali
besar hepatitis dapat menjadi kronis yang 20-30 g (diperoleh dari Laboratorium
akan berlanjut menjadi sirosis dan kanker Farmakologi dan Toksikologi Prodi Farmasi
hati, serta berakhir dengan kematian akibat Fakultas Kedokteran & Ilmu Kesehatan
kegagalan fungsi hati (Anonim, 2004). Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).
Salah satu obat tradisional yang Bahan dan alat yang digunakan pada
diduga memiliki sifat sebagai penelitian ini adalah kombucha tea
hepatoprotektor adalah kombucha tea atau berstandar, sebagai obyek uji, yang
lebih dikenal dengan nama jamur teh atau diperoleh dari hasil pembiakan sendiri,
jamur dipo (Anonim, 2006). Kombucha tea parasetamol yang dibeli di Brataco, kit SGOT
sudah banyak dilaporkan khasiatnya dalam & SGPT merek Dyasis (Jerman), dan pakan
hal medis seperti sebagai anti diabetes, anti tikus yang menggunakan BR-2.
hipertensi, dan anti inflamasi (Frank, 1995). Alat-alat yang digunakan adalah
Kombucha tea merupakan cairan peralatan bedah (gunting, pinset), alat-alat
teh hasil fermentasi dibawah kondisi aerobik gelas yang lazim digunakan (gelas beker,
bakteri acetobacter xylinum dan ragi gelas ukur, labu takar, dan gelas arloji),
saccharomyces sereviceae dalam masa cawan porselen, pipet, mortir dan stamper,
zoogela serupa nata yang disebut “nata de jarum suntik oral volume 3 ml (terumo
tea” atau biasa dikenal sebagai kombucha syiringe), ependroff, sentrifus mikrolab 300
colony (Frank, 1995). Kultur kombucha (Merk, Germany), tabung reaksi, timbangan
tumbuh di dalam medium teh manis yang elektrik, dan timbangan tikus.
kemudian akan menghasilkan berbagai Dosis Parasetamol dan kombucha
macam metabolit yang sangat berguna bagi tea ditetapkan berdasarkan hasil orientasi
kesehatan, seperti asam malat, asam (percobaan pendahuluan) 750 mg/kgBB.
oksalat, beberapa macam asam amino, dan Pengambilan darah dilakukan dari sinus
terutama asam glukoronat (Frank, 1995). orbitalis mata. Serum tikus digunakan dalam
Asam glukoronat sendiri merupakan mengukur aktivitas SGOT & SGPT secara
senyawa endogen yang bekerja pada spektrofotometri menggunakan metode
metabolisme fase dua yang berkonjugasi kinetik GPT-alat. Analisis histopatologi
dengan senyawa-senyawa toksik (Katzung, dilakukan menggunakan hati tikus yang
1998). Berdasarkan kandungan asam disimpan dalam larutan formalin 10% untuk
glukoronat tersebut, maka penelitian ini pembuatan preparat histopatologi sel hati.
kemudian dilakukan untuk mengetahui efek Tikus secara acak dibagi menjadi 5
hepatoprotektif Kombucha tea secara in vivo kelompok. Kelompok I untuk kontrol positif
terinduksi Parasetamol dengan parameter diberikan parasetamol dengan dosis 750
kadar SGOT & SGPT. mg/kg BB. Kelompok ll untuk kontrol negatif
tidak diberi perlakuan apapun. Kelompok lll -
V untuk uji aktivitas hepatoprotektif diberi
METODE PENELITIAN
parasetamol dengan dosis 750 mg/kg BB
Subyek uji yang digunakan adalah yang sebelumnya sudah diberi teh
tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan kombucha dengan variasi dosis sebesar 1,5
umur 40-60 hari, dengan berat badan sekitar ml, 1 ml, dan 0,5 ml secara oral dua kali
sehari selama enam hari berturut-turut dan Kemudian di centrifuge dengan kecepatan
kemudian diberi. Serum dibuat dengan cara 3500 rpm selama 10 menit. Supernatan yang
menampung darah tikus dalam ependroff terbentuk merupakan serum darah.
yang telah diberi heparin secukupnya.
Penelitian ini menggunakan teh hijau pembentukan asam glukoronat yang diduga
sebagai sumber kombucha. Teh hijau berkhasiat sebagai hepatoprotektor. Dari
seberat 20 g diseduh terlebih dahulu dengan hasil optimasi diketahui waktu kultur optimal
menggunakan air mineral 1 liter. adalah 7 hari. Pada hari ke-7 ini diketahui
Penggunaan teh hijau memiliki beberapa rata-rata pH larutan kombucha adalah 3.
keuntungan apabila dibandingkan dengan Larutan kombucha dipersiapkan berbeda
teh hitam. Teh hijau memiliki kapasitas kultur tiap harinya, sehingga kualitas larutan
antioksidan yang lebih tinggi dibanding teh yang diberikan ke hewan uji bersifat
hitam. Hal ini dikarenakan kandungan seragam tiap harinya. Apabila digunakan
Epigalo catechin gallat (EGCG) yang lebih kultur yang sama pada kurun waktu tertentu,
tinggi pada teh hijau. Apabila menggunakan maka pH larutan turun terlalu rendah,
teh hitam maka kandungan EGCG akan sehingga kualitasnya tidak sama.
rendah (Frank, 1995). Penggunaan air Hewan uji yang digunakan pada
mineral dikarenakan dalam pertumbuhan penelitian ini adalah tikus putih galur wistar
jamur kombucha juga diperlukan mineral. dengan berat badan rata-rata 200 g.
Apabila digunakan aquadest maka suplai Pemeriksaan sederhana dan rutin yang
mineral tidak dapat terpenuhi (Frank, 1995). dilakukan untuk pemeriksaan fungsi hepar
Sumber karbohidrat yang digunakan pada adalah pemeriksaan SGPT dan SGOT.
kultur berasal dari sukrosa sebanyak 20 g. Enzim SGPT terikat dalam sitoplasma sel
Sukrosa ini merupakan precursor dari hepar sedangkan enzim SGOT terikat dalam
organel sel hepar. Apabila sel hepar periode pertama kadar SGPT hewan uji
mengalami nekrosis maka akan terjadi normal. Pada periode 2 (setelah pemberian
kenaikan kadar kedua enzim ini dalam hepatotoksin) diketahui sudah diketahui
serum. Walaupun SGPT dan SGOT sering perbedaan kadar SGPT. Untuk kadar SGPT
dianggap sebagai enzim hepar karena kontrol negatif terlihat mencapai kadar
tingginya konsentrasi keduanya dalam 116,15 U/l. Apabila kadar SGPT mencapai
hepatosit, namun hanya SGPT yang spesifik kadar ini diketahui bahwa sudah terjadi
terhadap hepar jika dibandingkan dengan kondisi hepatotoksik. Sedangkan pada
SGOT mengingat SGOT juga terdapat pada kelompok perlakuan lain, diketahui kadar
otot jantung, otot tubuh, ginjal dan pankreas SGPT nya masih normal. Kadar SGPT
(Joyce, 2007). Sebelum dilakukan tersebut diketahui berbeda signifikan dengan
percobaan, tikus dikondisikan terlebih dahulu kontrol negatif (p<0,05). Kadar SGPT
selama 1 minggu. Selama 1 minggu ini tikus terendah dicapai oleh kelompok dosis 0,5 ml,
hanya diberikan pakan saja. Setelah kondisi yaitu 48,96 U/l. Selain itu dari hasil
tikus stabil, maka dilanjutkan dengan interpretasi data kadar SGPT antar
pemberian larutan kombucha selama 1 kelompok perlakuan kombucha (0,5 ml, 1 ml,
minggu. Setelah 1 minggu pemberian larutan 1,5 ml) diketahui dengan semakin
kombucha, dilakukan pengambilan sampel meningkatnya pemberian dosis kombucha
darah periode pertama. Pada periode tidak berkorelasi dengan semakin turunnya
pertama ini belum dilakukan pemberian kadar SGPT sehingga diketahui penurunan
hepatotoksin. Setelah pengukuran kadar SGPT tersebut tidak bergantung pada
SGPT/SGOT periode 1 dilakukan, maka dosis (non dose dependent). Pada dosis k
langkah selanjutnya adalah pemberian (0) diketahui juga terjadi penurunan kadar
hepatotoksin bersama dengan larutan SGPT.
kombucha selama 1 minggu. Setelah 1 Pada periode 1 (sebelum
minggu kadar SGPT/SGOT kembali diukur. pemberian hepatotoksin) diketahui kadar
Berikut adalah data kadar SGOT dan SGPT SGOT antar kelompok tidak berbeda secara
tikus pada periode pertama dan kedua. statistik (p < 0,05) sehingga secara
Pada periode atau minggu 1 keseluruhan disimpulkan bahwa pada
(sebelum pemberian hepatotoksin) diketahui periode pertama kadar SGOT hewan uji
kadar SGPT antar kelompok adalah sama. normal. Pada periode 2 (setelah pemberian
Perbedaan hanya terjadi pada kadar SGPT hepatotoksin) diketahui sudah diketahui
kelompok kontrol negatif. Meskipun perbedaan kadar baik SGOT. Untuk kadar
perbedaan tersebut bermakna secara SGOT kontrol negatif terlihat mencapai
statistik (p < 0,05), namun diketahui kadar kadar 111,80 U/l. Apabila kadar SGOT
SGPT tersebut masih normal (75,95 U/l). mencapai kadar ini diketahui bahwa sudah
Kadar SGPT dikatakan tinggi apabila telah terjadi kondisi hepatotoksik. Sedangkan
mencapai 2x40 U/l. Variasi tersebut terjadi pada kelompok perlakuan lain, diketahui
kemungkinan karena fluktuasi kondisi kadar SGOT nya masih normal. Kadar
fisiologis hewan uji saja sehingga secara SGOT tersebut diketahui berbeda signifikan
keseluruhan disimpulkan bahwa pada dengan kontrol negatif (p<0,05). Kadar
SGOT terendah dicapai oleh kelompok dosis kgBB). Hal ini mengindikasikan telah
1 ml, yaitu 36,26 U/l. Selain itu, dari hasil terjadinya tanda-tanda hepatotoksisitas pada
interpretasi data kadar SGOT antar hepar. Perbedaan tersebut berbeda secara
kelompok perlakuan kombucha (0,5 ml, 1 ml, statistik dengan semua kelompok perlakuan
1,5 ml) diketahui dengan semakin (p<0,05). Pada saat pembedahan juga
meningkatnya pemberian dosis kombucha terlihat adanya steatosis pada hepar.
tidak berkorelasi dengan semakin turunnya Steatosis merupakan penimbunan atau
kadar SGOT sehingga diketahui penurunan akumulasi lemak dalam sel-sel yang
kadar SGOT tersebut tidak bergantung pada biasanya memetabolisme lemak. Hal ini
dosis (non dose dependent). diakibatkan karena kerja hati yang berat
Pada percobaan ini diketahui akibat gangguan hepatotoksin. Transfer lipid
bahwa teh hijau kombucha mampu keluar dari hepar menjadi terhambat dan
menurunkan kadar SGOT/SGPT pada tikus terakumulasi dalam hati. Degenerasi ini bisa
yang teinduksi paracetamol dosis terjadi secara mikrovasikuler maupun
hepatotoksik. Salah satu toksisitas makrovasikuler. Sel-sel yang mengalami
parasetamol adalah karena obat ini degenerasi ini perubahannya bersifat
dimetabolisme oleh enzim CYP450 menjadi reversibel. Apabila dibiarkan lebih lanjut
produk antara yang sangat reaktif yaitu kondisi ini bisa berkembang kearah sirosis
NAPQI (N-Acetyl-P-Benzoquinone Imine) atau nekrosis. Apabila dilakukan
(Katzung, 1998). Secara alamiah tubuh perbandingan % bobot hepar kelompok
mampu membuang senyawa ini dengan perlakuan kombucha (0,5, 1, dan 1,5 ml)
jalan mengkonjugasikannya membentuk dengan k(0) diketahui tidak terjadi
metabolit merkapturat dengan bantuan perbedaan yang signifikan secara statistik
enzim GSH (Glutathion). NAPQI sebenarnya (p<0,05) sehingga diketahui kondisi
hanya diproduksi dalam jumlah kecil, namun hepatotoksik tidak terjadi pada kelompok ini.
tipe ikatannya dengan sel hepatosit bersifat Selain itu dari hasil interpretasi data % bobot
kovalen. Ikatan kovalen diketahui bersifat hepar antar kelompok perlakuan kombucha
kuat sehingga dapat memicu kerusakan sel (0,5 ml, 1 ml, 1,5 ml) diketahui dengan
hepatosit. Apabila kondisi hepatotoksik semakin meningkatnya pemberian dosis
berlangsung lama, maka akan mengarah ke kombucha tidak berkorelasi dengan semakin
nekrosis (kematian) sel hepatosit. turunnya % bobot hepar. Sehingga diketahui
Salah satu manifestasi kerusakan penurunan % bobot hepar tersebut tidak
hepar adalah terjadinya kondisi bergantung pada dosis (non dose
pembengkakan dan perlemakan hepar dependent).
(Frances, 1992). Kondisi ini dapat diamati Hasil penelitian ini secara
dengan mengukur perbedaan bobot hepar keseluruhan diketahui bahwa teh hijau
pasca uji periode 2 sehingga pada penelitian kombucha memiliki efek hepatoprotektif
ini juga dibandingkan bobot hepar pasca uji pada tikus yang terinduksi parasetamol dosis
periode 2. Dari data tersebut diketahui hepatotoksik. Mekanisme hepatoprotektor
bahwa terjadi peningkatan bobot hepar yang secara umum dapat terjadi melalui beberapa
tinggi pada kelompok kontrol negatif (4,51% cara yaitu:
1. Naskah dapat merupakan hasil penelitian, survey, atau telaah pustaka yang erat kaitannya
dengan bidang kefarmasian, kesehatan, dan lingkungan hidup.
2. Naskah berupa penelitian harus belum dan tidak pernah dipublikasikan dalam media cetak lain.
3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa Inggris. Naskah berupa ketikan asli
dikirimkan dalam bentuk print out dan soft copy yang disimpan dalam kepingan CD.
4. Sistematika penulisan ditulis dengan urutan sebagai berikut:
a. judul diusahakan cukup informativ dan tidak terlalu panjang,
b. nama (nama-nama) penulis (tanpa gelar) dan institusi/alamat tempat bekerja ditulis lengkap
dan jelas disertai alamat email korespondensi,
c. intisari dan kata kunci ditulis dalam bahasa Inggris. Intisari tidak lebih dari 250 kata yang
berisi latar belakang penelitian secara singkat, metode, hasil dan kesimpulan penelitian.
kata kunci (keywords) terdiri dari 1-5 kata,
d. pendahuluan berisi latar belakang, tujuan penelitian, masalah yang mendasari penelitian,
dan tinjauan teori,
e. metode penelitian menguraikan bahan dan alat yang digunakan, jalannya penelitian, dan
analisis data dalam bentuk narasi,
f. hasil dan pembahasan,
g. kesimpulan dan saran,
h. ucapan terimakasih (bila ada), dan
i. daftar pustaka.
5. Cara Penulisan: abstrak ditulis dengan jarak 1 spasi dan naskah 1,5 spasi, panjang naskah 10
sampai 15 halaman, dengan format atas dan kiri berjarak 4 cm, kanan dan bawah 3 cm dari tepi
kertas ukuran kwarto/A4
6. Tabel harus utuh dan jelas terbaca dengan judul tabel di bagian atas dengan nomor urut angka
arab. Judul gambar serta grafik ditulis dibawah gambar/grafik dengan nomor urut angka Arab
7. Pustaka dalam naskah ditulis dalam sistem nama-tahun. Bila pustaka mempunyai lebih dari dua
penulis diikuti et al., lalu tahun.
Contoh:
Menurut Thompson (1997), sel kanker kehilangan inhibisi kontak.....
Genus Erythrina menunjukkan aktivitasnyasebagai inhibitor COX II dan anti inflamasi
(Pillay et al., 2001)
8. Daftar pustaka disusun dalam urutan abjad secara kronologis:
a. Untuk buku: nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit, judul buku, jilid, edisi, nama
penerbit, tempat terbit, halaman yang diacu
b. untuk karangan dalam buku: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan,
inisial dan nama editor, judul buku, nama penerbit, tempat terbit, halaman permulaan dan
akhir.
c. untuk karangan dalam majalah atau jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul
karangan, singkatan nama majalah (italic), volume (italic), halaman permulaan dan akhir
karangan tersebut
Contoh:
Ansel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Ibrahim,G., edisi
IV, UI press, Jakarta, pp. 124-143
Grudee, J., 1986, The influence of systemicand local factors on the development of
atherosclerosis, dalam J.K Maruki and S. Bagio (Eds.), Human Atherosclerosis,
Academic Press, London, pp. 131-164
Bryan, T.M., and Chech, T.R., 1999, Telomerase and the maintenance of Chromosome,
Curr. Opin. Cell. Biol, 11, pp. 318-324
9. Apabila diperlukan ucapan terimakasih,supaya dicantumkan di bagian akhir naskah dengan
menyebutkan secara legkap: nama, gelar dan penerima ucapan
10. Redaksi berhak menetapkan tulisan yang akan dimuat, mengadakan perubahan susunan
naskah,memperbaiki bahasa, meminta penulis untuk memperbaiki naskah, dan menolak naskah
yang tidak memenuhi syarat.
11. Penulis yang naskahnya dimuat akan menerima terbitan dua eksemplar.
JIF mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari yang telah memberikan
kontribusi atas terbitnya Jurnal Ilmiah Farmasi volume 9 nomor 1, yaitu