Anda di halaman 1dari 4

KASUS PELANGGARAN HAK DAN PENGINGKARAN KEWAJIBAN WARGA

NEGARA
1. KASUS PELANGGARAN HAK WARGA NEGARA OLEH NEGARA
Hak-hak dasar menurut alinea kedua Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Right) adalah hak dasar yang secara kodrati sebagai
auugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang melekat dan dimiliki setiap manusia, bersifat universal dan
abadi, meliputi hak hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak
kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan kesejahteraan oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas
oleh siapaun. Manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa berupa akal budi dan nurani
yang manberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk
yang akan mengarahkan dan membimbing sikap dan perilaku dalam menjalani
kehidupannya. Dengan demikian maka manusia memiliki budi sendiri dan karsa yang
merdeka secara sendiri, manusia memiliki martabat dan derajat yang sama, maka manusia
memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama pula. Derajat manusia yang luhur (human
dignity), nilai-nilai manusia yang luhur berasal dari Tuhan sebagai sang pencipta. Dengan
akal budi dan nuraninya tersebut, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan
sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut
manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang
dilakukannya. Kebebasan dan hak-hak dasar itulah yang disebut dengan hak dasar yang
melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak
tersebut tidak dapat diingkari, oleh sebab itu pengingkaran terhadap hak tersebut berarti
mengingkari harkat dan martabat manusia. Negara, pemerintah, atau organisasi apapun
mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak dasar pada setiap manusia
tanpa terkecuali. Lni berarti bahwa hak dasar harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan
dalam penyelenggaran kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

Penetapan hak warga negara adalah hal mutlak yang harus mendapat perhatian
khusus dari negara sebagai jaminan di junjung tingginya sila ke-5 yaitu “Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat |ndonesia”. Pengakuan Hak sebagai warga negara indonesia dan
konsepnya mendorong terciptanya suatu masyarakat yang tertata baik. Namun dalam praktik
atau kenyataannya hak warga negara justru hanya dijadikan slogan pemerintah untuk
menarik simpati warga negara dan diajak untuk “bermimpi" bisa mendapatkan pengakuan
akan hak-hak tersebut secara utuh. Misalnya saja hak warga negara untuk mendapatkan
penghidupan yang layak. Tentunya jika melihat kondisi rakyat di negara Indonesia ini. Hal itu
hanya menjadi impian semata. Pengakuan hak hanya untuk warga negara yang mampu
membeli hak-hak tersebut dengan uang, jabatan dan kekuasaan. Sedangkan untuk rakyat
yang kurang beruntung kehidupannya hanya bisa menunggu kapan mereka diperhatikan
kesejahteraannya atau menunggu berubahnya kebijakan pemerintah yang lebih memihak
kepada mereka. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, setiap warga negara dijamin haknya
oleh pemerintah sesuai dengan yang tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Namun seperti yang kita ketahui dan kita rasakan, hingga saat ini masih banyak
perilaku yang dianggap merupakan pelanggaran terhadap hak warga negara, baik oleh
Negara ataupun warga negara lainnya. Memang didalam pelaksanaannya ada
kecenderungan lebih mengutamakan hak - hak daripada kewajiban-kewajiban asasi warga
negara. Ada kecenderungan menuntut hak-hak yang berlebihan sehingga merugikan orang
lain. Penuntutan hak-hak yang berlebih-lebihan atau tanpa batas akan merugikan orang Iain
yang memiliki hak yang sama. Oleh sebab itu, pelaksanaan hak-hak warga negara perlu
dibatasi, akan tetapi tidak dihilangkan atau dihapuskan. Peianggaran terhadap hak asasi
manusia sebetulnya karena terjadinya pengabaian terhadap kawajiban asasi. Sebab antara
hak dan kawajiban merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Bila ada hak pasti ada
kewajiban, yang satu mencerminkan yang lain. Bila seseorang atau aparat negara
meiakukan peianggaran HAM, sebenarnya dia telah melalaikan kewajibanya yang asasi.
Sebaliknya bila seseorang/kelompok orang atau aparat negara melaksanakan kewajibanya
maka berarti dia telah memberikan jaminan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh di
negara kita sudah punya UU No.9 tahun 1998 tentang Kebebasan Berpendapat berkenaan
dengan hak untuk menyampaikan aspirasi secara lisan dan tertulis. Disatu sisi undang-
undang tersebut merupakan hak dari seseorang warga negara, namun dalam penggunaan
hak tersebut terselip kewajiban yang perlu diperhatikan. Artinya seseorang atau kelompok
yang ingin berunjuk rasa dalam undang-undang tersebut harus memberi tahu kepada pihak
keamanan (Polisi) paling kurang 3 hari sebelum hak itu digunakan. Hal ini dimaksudkan
untuk menghormati hak orang lain seperti tidak mengganggu kepentingan orang banyak,
mentaati etika dan moral sesuai dengan budaya bangsa kita. Contoh lain, dalam lingkungan
sekolah dapat saja terjadi dalam peiajaran di kelas untuk praktek PPKn yang meiakukan
kegiatan seperti diskusi atau debat yang bebas mengemukakan pendapat tetapi mereka
dituntut pula menghormati hak-hak orang iain agar tidak terganggu. Begitu pula kebebasan
untuk mengembangkan kreativitas, minat dan kegemaran (olah raga, kesenian, dll) tetapi
hendaklah diupayakan agar kegiatan tersebut tidak mengganggu kegiatan lain yang
diiakukan oleh siswa atau warga sekolah lainnya yang juga merupakan haknya. Banyak
contoh lain dalam lingkungan kita baik di sekolah maupun di dalam masyarakat yang
menuntut adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Untuk itu marilah kita
laksanakan apa yang menjadi hak dang kewajiban kita dan itu termuat dalam berbagai
aturan/norma yang ada dalam negara dan masyarakat. Semoga dalam pemerintahan
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kala hak-hak dan kewajiban-kewajinai
negara dan warga negara dapat terwujud sesuai dengan apa yang tersurat dan tersirat
dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pelanggaran hak warga negara terjadi ketika warga negara tidak dapat
menikmati atau memperoleh haknya sebagaimana mestinya yang ditetapkan oleh
konstitusi atau peraturan perundangan Iainnya. Pelanggaran hak warga negara
merupakan akibat dari adanya kelalaian atau pengingkaran terhadap kewajiban baik
yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh warga negara itu sendiri. Misalnya
kemiskinan yang masih menimpa sebagian masyarakat Indonesia, penyebabnya
bisa dari pemerintah ketika program pembangunan tidak berjalan sebagaimana
mestinya sepertinya banyaknya korupsi, atau bisa juga disebabkan oleh perilaku
warga negara sendiri yang malas untuk bekerja atau tidak mempunyai keterampilan,
sehingga mereka hidup di garis kemiskinan. "
Pelanggaran terhadap hak warga negara bisa kita lihat dari kondisi yang saat ini
terjadi di negara kita misalnya:
a. Proses penegakkan hukum masih belum optimal dilakukan, misalnya masih
terjadinya kasus salah tangkap, perbedaan perlakuan oknum aparat penegak
hukum terhadap para pelanggar hukum dengan dasar kekayaan atau jabatan
masih terjadi. Hal itu merupakan bukti bahwa amanat Pasal 27 ayat (1) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan "SegaIa warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya", belum sepenuhnya terlaksana.
b. Saat ini, tingkat kemiskinan dan angka pengangguran di negara kita masih
cukup tinggi, padahal Pasai 27 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. ’
c. Semakin merebaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia seperti pembunuhan,
pemerkosan, kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya, padahal Pasal 28 A - 28
J UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin keberadaan Hak Asasi
Manusia
d. Masih terjadinya tindak kekerasan mengatasnamakan agama, misalnya penyerangan
tempat peribadatan, padahal Pasal 29 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
e. Angka putus sekolah yang cukup tinggi mengindikasikan beium terlaksananya secara
sepenuhya amanat Pasal 31 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
f. Pelanggaran hak cipta, misalnya peredaran VCD/DVD bajakan, perilaku plagiat dalam
membuat sebuah karya.
g. Penangkapan dan penahanan seseorang demi menjaga stabifitas, tanpa berdasarkan
hukum.
h. Pengeterapan budaya kekerasan untuk menindak warga masyarakat yang dianggap
ekstrim yang dinilai oieh pemerintah mengganggu stabilitas keamanan yang akan
membahayakan kelangsungan pembangunan.
i. Pembungkaman kebebasan pers dengan cara pencabutan SIUP, khususnya terhadap
pers yang dinilai mengkritisi kebijakan pemerintah, dengan dalih mengganggu stabilitas
keamanan.
j. . Menimbulkan rasa ketakutan masyarakat Iuas terhadap pemerintah, karena takut
dicurigai sebagai oknum pengganggu stabilitas atau oposan pemerintah (ekstrlm),
hilangnya rasa aman demikian ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi
warga negara.
k. Pembatasan hak berserikat dan berkumpul serta menyatakan pendapat, karena
dikhawatirkan akan menjadi oposan terhadap pemerintah.

Contoh kasus antara warga negara dengan negara:


Kasus Syiah di Sampang Madura, negara mengabaikan prinsip Hak Asasi Manusia :
Kekerasan yang berulang di Kabupaten Sampang, Pulau Madura, Jawa Timur, menunjukkan
negara gagal melindungi warganya sendiri. Akibat pemahaman tidak utuh, agama mudah
dimanipulasi untuk berbagal kepentingan.Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama
dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia Benny Susetyo Pr., menilai kekerasan
berlatar agama yang terus berulang terjadi akibat agama tidak dipahami secara utuh dalam
konteks sosial politik dan budaya zaman. Agama selalu dikaitkan dengan kebenaran absolut.
Akibatnya, agama mudah dimanipulasi kepentingan politik jangka pendek. Di Sampang,
konflik awalnya bisa disebabkan faktor pribadi dan masalah ekonomi serta politik lokal.
Namun, akibat tafsir agama tunggal dan negara yang seharusnya menjadi penjaga
konstitusi gagal berperan, kondisi semakin buruk (Kompas.com Selasa, 28 Agustus 2012).
Apa yang terjadi di Sampang Madura terhadap kaum Syiah adalah bukti negara kembali
mengabaikan prinsip hak asasi manusia (HAM). Hal ini terlihat ketika ada yang menjadi
korban yang meninggal jiwa, luka-Iuka serta rumah warga dibakar oleh sekelompok
masyarakat. Pertikaian komunal di Sampang Madura adalah bentuk bagaimana sekelompok
mayoritas melakukan tindakan di luar nalar kemanusiaan, hanya karena faktor satu
kelompok masyarakat tidak berkeyakinan Iayaknya mereka. Diperkuat dengan bukan kali
pertama perisitiwa serupa terjadi, beberapa bulan yang lalu peristiwa pembakaran rumah
terhadap kaum Syiah juga terjadi. Hal inilah menjadi sebuah tanda tanya besar bagi
Pemerintah terkhusus kepada pihak bewvenang dalam hal ini kepolisian yang seharusnya
memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat. Tetapi seiring dengan adanya korban
jiwa dan korban Iuka menunjukkan bahwa ada terjadi pembiaran yang sistematis.
Pembiaran yang sangat diluar prosedural, dimana peran kepolisian tidak optimal bukan
karena tidak tahu, tetapi sepertinya karena faktor kesengajaan. Jadi kalaupun banyak kabar
yang beredar seputar kasus di Sampang Madura, hal yang harus disorot adalah kaitan telah
terjadi lntoleransi dan pelanggaran hak asasi manusia yang mengakibatkan hilangnya
nyawa. Karena kasus lni meninggalkan bekas yang dalam bagi korban yang kesemuanya
adalah kaum Syiah, kecuali tadi banyak kelompok masyarakat didalamnya, mungkin alasan
beberapa pihak yang -mengatakan bahwa kasus Sampang disebabkan oleh persoalan
asmara atau keluarga atau lainnya. Masyarakat juga harus memahami dan melihat benar
bahwa peristiwa ini telah membuat masyarakat Syiah Sampang Madura mengungsi dan
kehilangan tempat tinggal. Bahkan perhatian pemerintah yang datangpun sepertinya akibat
terjebak dengan sudah terlalu besar peristiwa itu, andai masih peristiwanya seperti
beberapa bulan yang lalu maka pemerintah tidak akan ambil pusing terutama pemerintah
pusat yakni Presiden SBY (Presiden periode 2009-2014). Bahkan respons Presiden SBY
yang menyatakan bahwa intelijen lemah melakukan deteksi. hanya untuk menyelamatkan
citra dirinya di mata internasional, bukan pembelaan terhadap korban penyerangan, kata
Hendardi melalui siaran pers di Jakarta, Selasa. Menurut dia, cara seperti itu adalah lalim
karena semata-mata demi dirinya sendlri yang tidak mau kehilangan muka. Respon reaktif
bukan untuk memperbaiki kinerja menjamin kebebasan warga, tapi hanya untuk merawat
paras dirinya. Untuk kemudian mengacu pada pengembalian hak-hak masyarakat sipil dalam
hal ini kaum Syiah maka presiden ditantang untuk bertindak tegas. Tidak memberikan
kekawatiran terhadap masyarakat, lakukan pengamanan terhadap masyarakat dan libatkan
semua elemen yang berweweanag untuk mempercepat rekonsiliasi. Pemerintah harus
menjamin peristiwa ini tidak berkepanjangan, tindak tegas pelaku dibelakangnya. Kalau itu
harus melibatkan pemerintah daerah sekalipun, kenapa tidak mereka semua ditindak sesuai
Hukum yang beriaku .

Anda mungkin juga menyukai