Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

RESUSITASI JANTUNG PARU

Pembimbing:

Dr. Uus Rustandi, Sp. An

Dr. Ruby Satria Nugraha, Sp.An, Mkes

Disusun Oleh :

Benna Ardiani Renwarin

110.2007.060

Kepaniteraan Klinik Mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas YARSI

Bagian Anestesi - RSUD Arjawinangun

1|Page
KATA PENGANTAR

Assalamua`alaikum, Wr. Wb
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun tugas referat
yang berjudul “Resusitasi Jantung Paru”. Penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna baik
isi maupun penyajiaannya sehingga diharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai
pihak agar dikesempatan yang akan datang penulis dapat membuat yang lebih baik lagi.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ruby Satria
Nugraha, Sp.An, Mkes dan dr. Uus Rustandai, Sp.An sebagai pembimbing dalam penyusunan
referat ini.

Wassalamu`alaikum, Wr. Wb

Arjawinangun, November 2012

Penulis,

2|Page
DAFTAR ISI

Judul Halaman

KATA PENGANTAR......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ........................................................................................................... 3

2.2 Indikasi ........................................................................................................... 3

2.2.1 Henti Napas ...................................................................................... 3

2.2.2 Henti Jantung ................................................................................... 4

2.3 Sistem Pernapasan dan Sirkulasi .................................................................... 5

2.4 Resusitasi Jantung Paru .................................................................................. 6

2.5 Bantuan Hidup Dasar ...................................................................................... 7

2.5.1 A (Airway) Jalan Napas ................................................................... 10

2.5.2 B (Breathing) Bantuan Napas .......................................................... 11

2.5.3 C (Circulation) Bantuan Sirkulasi .................................................... 12

2.5.4 D (Defibrilation) Terapi Listrik ....................................................... 15

2.6 Panduan RJP 2010 .......................................................................................... 16

2.6.1 Menekankan pada RJP yang berkualitas dan secara terus menerus 16

3|Page
2.6.2 Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B ............................................ 17

2.6.3 Rata-rata Kompresi .......................................................................... 18

2.6.4 Kedalaman Kompresi....................................................................... 18

2.6.5 Dengan Tangan saja (Only Hands CPR) ......................................... 19

2.6.6 Identifikasi pernapasan agonal pengantar ........................................ 20

2.6.7 Penekanan Krikoid ........................................................................... 20

2.6.8 Aktivasi Emergency Responses System ........................................... 20

2.6.9 Tim Resusitasi.................................................................................. 21

BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 23

4|Page
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Resusitasi jantung paru adalah serangkaian penyelamatan hidup pada henti jantung.
Walaupun pendekatan yang dilakukan dapat berbeda-beda, tergantung penyelamat, korban, dan
keadaan sekitar, tantangan mendasar tetap ada, yaitu bagaimana melakukan RJP yang lebih dini,
lebih cepat dan lebih efektif. Untuk menjawabnya, pengenalan akan adanya henti jantung dan
tindakan segera yang harus dilakukan menjadi prioritas dari tulisan ini.1

Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa Negara. Terjadi baik di luar
rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan 350.000 orang meninggal per tahunnya
akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang
diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat di resusitasi. Walaupun usaha
untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak
dilakukannya resusitasi. 1,2

Sebagian besar korban henti jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan bayi dan anak juga
mengalaminya setiap tahun. Henti jantung akan tetap menjadi penyebab utama kematian yang
premature, dan perbaikan kecil dalam usaha penyelamatannya akan menjadi ribuan nyawa yang
dapat diselamatkan setiap tahun. 1,2

Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang terlatih dalam
bidang kesehatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para
medis dan juga orang awam. 1,2

Menurut American Heart Associaton, rantai kehidupan mempunyai hubungan erat dengan
tindakan jantung paru, karena penderita yang diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang amat
besar untuk data hidup kembali . 1

5|Page
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bantuan Hidup Dasar

Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif pada organ vital

seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung

dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal. Resusitasi mencegah agar

supaya sel-sel tidak rusak akibat kekurangan oksigen. Bantuan hidup dasar (Basic Life Support)

atau resusitasi ABC atau resusitasi kardiopulmoner berarti menjaga jalan napas tetap paten (A),

membuat napas buatan (B) dan membuat sirkulasi buatan dengan pijatan jantung (C). Tindakan

ini dilakukan tanpa alat atau dengan alat yang sederhana dan harus dilakukan dengan cepat

dalam waktu kurang dari 4 menit pada suhu normal secara baik dan terarah.3

a. Dalam fase I ini terdiri dari langkah yang di A (airway), B (breathing), C

(circulation).

- A (airway ) : menjaga jalan nafas tetap terbuka

- B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat

- C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru

b. Fase II : Advance Life Support (ALS), yaitu BLS ditambah dengan D (drug) dan E

(EKG)

- D ( drugs ) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.

- E ( EKG ) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin untuk mengetahuis

fibrilasi ventrikel.

6|Page
c. Fase III : Prolonged Life Support (PLS), yaitu penambahan dari BLS dan ALS, G

(gauge), H (head), I (Intensive care).

- G ( gauge ) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara

terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.

- H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem saraf

dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat

dicegah terjadinya neurologic yang permanen.

- I (Intensive Care ) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :

trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran

pH, pCO2 bila diperlukan dan tunjangan sirkulasi mengedalikan jika terjadinya

kejang.1,7

Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu dilakukan prosedur awal pada

pasien/korban, yaitu:

a. Memastikan keamanan lingkungan

Aman bagi penolong maupun aman bagi pasien/korban itu sendiri.

b. Memastikan kesadaran pasien/korban

Dalam memastikan pasien/korban dapat dilakukan dengan menyentuh atau

menggoyangkan bahu pasien/korban dengan lembut dan mantap, sambil

memanggil namanya atau Pak!!!/ Bu!!!!/ Mas!!!/Mbak!!!, dll.

c. Meminta pertolongan

Bila diyakini pasien/korban tidak sadar atau tidak ada respon segera minta

pertolongan dengan cara : berteriak ”tolong !!!!” beritahukan posisi dimana,

7|Page
pergunakan alat komunikasi yang ada, atau aktifkan bel/sistem emergency yang

ada (bel emergency di rumah sakit).

d. Memperbaiki posisi pasien/korban

Tindakan BHD yang efektif bila pasien/korban dalam posisi telentang, berada

pada permukaaan yang rata/keras dan kering. Bila ditemukan pasien/korban

miring atau telungkup pasien/korban harus ditelentangkan dulu dengan

membalikkan sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencegah

cedera/komplikasi.

e. Mengatur posisi penolong

Posisi penolong berlutut sejajar dengan bahu pasien/korban agar pada ssat

memberikan batuan nafas dan bantuan sirkulasi penolong tidak perlu banyak

pergerakan.

Gambar 1. Cek kesadaran dan Aktifkan Sistem Emergensi

8|Page
2.1.1 A (Airway) Jalan Nafas

Jika diagnosis henti jantung telah ditegakkan, maka resusitasi harus segera dimulai.

Letakkan pasien pada posisi telentang pada alas keras ubin atau selipkan papan jika pasien

diatas kasur. Jika tonus otot pasien hilang, lidah aan menyumbat faring dan epiglottis akan

menyumbat laring. Lidah dan epiglottis penyebab utama tersumbatnya jalan napas pada

pasien tidak sadar.3 Untuk menghindari hal ini, maka dilakukan beberapa tindakan atau

parasat misalnya:

1. Parasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift maneuver)

Parasat ini dilakukan jika tidak ada traumapada leher. Satu tangan penolong

mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu

dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan epiglottis terbuka,

sniffing position, posisi cium, posisi hirup.3

2. Perasat dorong rahang bawah (jaw-thrust maneuver)

Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorongkedepan pada

sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher. Karena lidah melekat pada rahang bawah,

maka lidah ikut tertarik dan jalan napas terbuka.3

Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit: letakan pasien dalam posisi

terlentang, lakukan ‘manuever triple airway’ (kepala tengadah, rahang didorong kedepan,

mulut dibuka) dan jika mulut ada cairan, lender atau benda asing lainnya, bersihkan

dahulu sebelum memberikan napas buatan.3

9|Page
(a) (b)

Gambar 2. Pembebasan Jalan Nafas teknik Head tilt chin lift (a) dan tehnik jaw thrust manuver (b)

2.1.2 B (Breathing) Bantuan Nafas

Pasien dengan henti napas, tidurkan dalam posisi terlentang. Napas buatan tanpa alat

dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (the kiss of life, mouth-to-mouth), mulut ke

hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup

muka. 3

a. Mulut ke mulut (mouth-to-mouth)

Merupakan cara yang cepat dan efektif. Pada saat memberikan penolong tarik nafas

dan mulut penolong menutup seluruhnya mulut pasien/korban dan hidung

pasien/korban harus ditutup dengan telunjuk dan ibu jari penolong.Volume udara yang

berlebihan dapat menyebabkan udara masuk ke lambung. 3

Gambar 4. Pemberian nafas dari mulut ke mulut

10 | P a g e
b. mulut ke hidung (mouth-to-nose),

Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak memungkinkan,misalnya

pasien/korban mengalami trismus atau luka berat.Penolong sebaiknya menutup mulut

pasien/korban pada saat memberikan bantuan nafas. 3

Gambar 5. Pernafasan dari mulut ke hidung

c. mulut ke stoma trakheostomi

Dilakukan pada pasien/korban yang terpasang trakheostomi atau mengalami

laringotomi.3

Gambar 6. Pernafasan mulut ke stoma.

11 | P a g e
2.1.3 C (CIRCULATION) bantuan sirkulasi

Terdiri dari 2 tahap :

1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korban

Ditentukan dengan meraba arteri karotis didaerah leher pasien/korban dengan cara dua

atau tiga jari penolong meraba pertengahan leher sehingga teraba trakea, kemudian digeser ke

arah penolong kira-kira 1-2 cm, raba dengan lembut selam 5 – 10 detik. Bila teraba penolong

harus memeriksa pernafasan, bila tidak ada nafas berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila

ada nafas pertahankan airway pasien/korban.7,8

2. Memberikan bantuan sirkulasi

Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan sirkulasi atau kompresi jantung

luar dengan cara:

- Tiga jari penolong ( telunjuk,tengan dan manis) menelusuri tulang iga pasien/korban

yang dekat dengan sisi penolong sehingga bertemu tulang dada (sternum).

- Dari tulang dada (sternum) diukur 2- 3 jari ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat

untuk meletakkan tangan penolong.

- Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak tangan

diatas telapak tangan yang lain.Hindari jari-jari menyentuh didnding dada

pasien/korban.

- Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada pasien/korban dengan tenaga

dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan kedalaman penekanan

1,5 – 2 inchi ( 3,8 – 5 cm).

12 | P a g e
- Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan mengembang kembali ke

posisi semula setiap kali kompresi.Waktu penekanan dan melepaskan kompresi harus

sama ( 50% duty cycle).

- Tangan tidak boleh berubah posisi.

- Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30 : 2 baik oleh satu penolong maupun dua

penolng.Kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit. Dilakukan selama 4 siklus.

Tindakan kompresi yang benar akan menghasilkan tekanan sistolik 60 – 80 mmHg

dan diastolik yang sangat rendah.Selang waktu mulai dari menemukan pasien/korban sampai

dilakukan tindakan bantuan sirkulasi tidak lebih dari 30 detik.8

Gambar 7. Kompresi dada

13 | P a g e
2.1.4 D (DEFIBRILATION) terapi listrik

Terapi dengan memberikan energi listrik Dilakukan pada pasien/korban yang penyebab henti

jantung adalah gangguan irama jantung. Penyebab utama adalah ventrikel takikardi atau

ventrikel fibrilasi.Pada penggunaan orang awam tersedia alat Automatic External

Defibrilation (AED).3 Tahapan defibrilasi :

- Nyalakan AED

- Ikuti petunjuk

- Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan gangguan)

PENILAIAN ULANG

Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian pasien/korban dievaluasi kembali :

- Jika tidak ada denyut jantung dilakukan kompresi dan bantuan nafas dengan ratio 30 : 2

- Jika ada nafas dan denyut jantung teraba letakkan korban pada posisi sisi mantap

- Jika tidak ada nafas tetapi teraba denyut jantung, berikan bantuan nafas sebanyak 12

kali permenit dan monitor denyut jantung setiap saat.

Gambar 8. Defibrilasi

14 | P a g e
2.2 Panduan RJP 2005

2.6.1. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus

AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 mengutamakan kebutuhan RJP yang berkualitas

tinggi, hal ini mencakup:

a. Kecepatan kompresi paling sedikit 100 x/menit (perubahan dari ”kurang lebih” 100

x/menit)

b. Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan paling sedikit

sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada penderita anak-anak dan bayi (sekitar

1,5 inchi [4cm] pada bayi dan 2 inchi [5cm] pada anak-anak)

Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan kedalaman mutlak

pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi sebelumnya dari AHA Guidelines for

CPR and ECC

c. Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap setiap kali selesai

kompresi

d. Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada

e. Menghindari ventilasi yang berlebihan

Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi yaitu sebanyak

30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru lahir). AHA Guidelines

for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi untuk memberikan nafas buatan sekitar 1

detik. Begitu jalan nafas telah dibebaskan, kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus

(dengan kecepatan paling sedikit 100 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi. Nafas

15 | P a g e
buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali nafas setiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8-10 nafas

per detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari. 1,2

2.6.2. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B

Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-Circulation berubah

menjadi Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk menghindari penghambatan pada

pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif. Mengamankan jalan nafas sebagai prioritas

utama merupakan sesuatu yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama

oleh penolong yang seorang diri.

Mayoritas besar henti jantung terjadi pada dewasa dan penyebab paling umum adalah

Ventricular Fibrilation atau pulseless Ventricular Tachycardia. Pada penderita tersebut, elemen

paling penting dari Basic Life Support adalah kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada

rangkaian A-B-C, kompresi dada seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan nafas untuk

memberikan nafas buatan, mencari alat pembatas (barrier devices), atau mengumpulkan

peralatan ventilasi. Setelah memulai emergency response system hal berikutnya yang penting

yaitu untuk segera memulai kompresi dada. Hanya RJP pada bayi yang merupakan perkecualian

dari protokol ini, dimana urutan yang lama tidak berubah. Hal ini berarti tidak ada lagi look,

listen, feel, sehingga komponen ini dihilangkan dari panduan.1,2

Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai sesegera mungkin

dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus pertama dari 30 kompresi dada

terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar penderita yang mengalami henti jantung diluar

rumah sakit tidak mendapatkan pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak

alasan untuk hal tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C,

16 | P a g e
yang dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan nafas dan memberikan

nafas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat mendorong lebih banyak

penolong untuk memulai RJP.

2.6.3. Rata-rata kompresi

Sebaiknya dilakukan kira – kira minimal 100 kali/ menit. Jumlah kompresi dada yang

dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan kembalinya sirkulasi spontan

(return of spontaneous circulation [ROSC]) dan fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat

untuk memberikan kompresi dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan

jumlah serta lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan

nafas, memberikan nafas buatan, dan melakukan analisis AED [Automated Electrical

Defibrilator]). 7,8,9

Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan dengan tingginya

rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit dihubungkan dengan rata-rata

kelangsungan hidup yang lebih rendah. Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat

membutuhkan penekanan tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada

meminimalkan gangguan pada komponen penting dari CPR tersebut. Kompresi yang inadekuat

atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total kompresi yang

diberikan per menit.

2.6.4. Kedalaman kompresi

Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1½ - 2 inch menjadi minimal

2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan cepat) menghasilkan aliran

darah dan oksigen dan memberikan energi pada jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran

darah terutama dengan meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan

17 | P a g e
jantung. Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan

ke jantung dan otak.

2.6.5. RJP Dengan Tangan Saja (Hands Only CPR)

Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA mengesahkan

tehnik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang belum terlatih diharapkan melakukan RJP pada

korban dewasa yang pingsan didepan mereka. Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih

mudah untuk dilakukan oleh penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh

penolong yang ahli melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan

hasil yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi. 7,8

18 | P a g e
2.6.6. Identifikasi pernafasan agonal oleh pengantar (Dispatcher Identification of Agonal

Gasps)

Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas atau sulit bernafas.

Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas

atau pernafasan yang tidak normal. Pengecekan kecepatan pernafasan seharusnya dilakukan

sebelum aktivasi emergency response system. 1,2

2.6.7. Penekanan krikoid

Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian tekanan pada

kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah posterior dan menekan esophagus ke

vertebra servikal. Penekanan krikoid dapat menghambat inflasi lambung dan mengurangi resiko

regurgitasi dan aspirasi selama ventilasi dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat

ventilasi. Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi direkomendasikan. Penelitian

menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan airway dan aspirasi dapat

terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat. 7

2.6.8. Aktivasi Emergency Response System.

Aktivasi emergency response system seharusnya dilakukan setelah penilaian respon

penderita dan pernafasan, namun seharusnya tidak ditunda. Menurut panduan tahun 2005,

aktivasi segera dari sistem kegawatdaruratan dilakukan setelah korban yang tidak merespon. Jika

penyedia pelayanan kesehatan tidak merasakan nadi selama 10 detik, RJP harus segera dimulai

dan menggunakan defibrilator elektrik jika tersedia. 7

19 | P a g e
2.6.9 Tim Resusitasi

Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif. Misalnya : satu

penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan sedangkan penolong kedua melakukan

kompresi dada, penolong ketiga membantu ventilasi atau memakaikan bag mask untuk

membantu pernafasan dan penolong ke-empat mempersiapkan dan defibrilator. 8,9

Tabel perbandingan dasar BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk RJP pada neonatus).

20 | P a g e
BAB III

KESIMPULAN

Resusitasi jantung paru adalah usaha yang dilakukan untuk apa-apa yang

mengindikasikan terjadinya henti nafas atau henti jantung. Kompresi dilakukan terlebih dahulu

dalam kasus yang terdapat henti pernafasan atau henti jantung karena setiap detik yang tidak

dilakukan kompresi merugikan sirkulasi darah dan mengurangkan survival rate korban. Prosedur

RJP terbaru adalah kompresi dada 30 kali dengan 2 kali napas buatan. Fase-fase pada RJP adalah

Bantuan Hidup Dasar, Bantuan Hidup Lanjut dan Bantuan terus-menerus. Sistem RJP yang

dilakukan sekarang adalah adaptasi dan pembahauan dari pedoman yang telah diperkenalkan

oleh Peter Safar dan kemudiannya diadaptasi oleh American Heart Association.

21 | P a g e
Daftar Pustaka

1. American Heart Association. 2010. Part 4 Adult Basic Life Support in Circulation

Journal.

2. American Heart Association. 2005. Part 4 Adult Basic Life Supprt in Circulation Journal

3. Latief S.A. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta.

4. Bantuan Hidup Dasar. Diakses dari http://www.scribd.com/doc/4535323/bantuan-hidup-

dasar.

5. Siahaan, Olan SM. Resusitasi Jantung Paru dan Otak. Cermin Dunia Kedokteran. 1992.

6. Resusitasi Jantung dan Paru. Diaskes dari

http://itja.wordpress.com/2010/10/07/resusitasi-jantung-paru/.

7. Bantuan Hidup Dasar. Diaskes dari http://www.scribd.com/doc/4535323/bantuan-hidup-

dasar.

8. Peter Safar and the ABC of Resuscitation. Diaskes dari

http://en.wikipedia.org/wiki/ABC_(medicine)

9. Peter J. Safar. Diaskes dari http://www.laerdalfoundation.org/dok/Peter_Safar.pdf

22 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai