Anda di halaman 1dari 30

I.

JUDUL
”KAJIAN TEKNIS RANCANGAN TAHAPAN PENAMBANGAN
(PUSHBACK) DENGAN MENGGUNAKAN DATA MINE SURVEYING
PADA TAMBANG BATUBARA TERBUKA DI PT ADARO
INDONESIA, KALIMANTAN SELATAN.

II. LATAR BELAKANG MASALAH


Di sistem pertambangan, macam-macam penambangan biasa disebut
dengan sistem tambang. Sistem adalah suatu komponen dari kegiatan-kegiatan
kerja atau kumpulan dari komponen-komponen (atau sektor kegiatan) yang saling
berinteraksi dan mempunyai suatu fungsi yang tertutup. Didasarkan pada tempat
kegiatan penggalian, apakah di permukaan bumi atau kah di bawah permukaan
bumi, maka sistem tambang itu ada 3 yaitu tambang terbuka (surface mining),
tambang bawah tanah (underground mining), tambang bawah air (underwater
mining)
Tambang terbuka ialah semua cara atau kegiatan penambangan yang
dilakukan dekat atau pada permukaan bumi dan tempat kerja langsung
berhubungan engan udara luar (bisa melihat langit).
Tambang bawah tanah adalah suatu sistim penambangan mineral atau
batubara dimana seluruh aktivitas penambangan tidak berhubungan
langsung dengan udara terbuka.
Tambang bawah air adalah metode penambangan yang kegiatan
penggaliannya dilakukan di bawah permukaan air atau endapan mineral
berharganya terletak di bawah permukaan air.
Dalam pemilihan sistem tambang, apakah suatu bahan galian akan
ditambang secara tambang terbuka atau tambang bawah tanah jika letak bahan
galiannya berada diatas tanah. Maka harus diperhatikan faktor-faktor yang
menentukan pemilihan cara penambangan. Adapun faktor yang menentukan
antara lain adalah faktor ekonomi dan mining recovery.
Faktor ekonomi adalah cara mana yang memberikan keuntungan terbesar.
Bila dengan tambang terbuka akan memberikan keuntungan terbesar
dibandingkan dengan sistem tambang bawah tanah maka dipilih tambang terbuka,
begitu pula sebaliknya. Dalam faktor ekonomis ini, harus dipertimbangkan
tentang cut off grade dan Break Even Cost Differential between 2 mining method.

1
Cut off grade yaitu kadar terndah dari penyebaran cebakan endapan bahan
galian yang masih menguntungkan untuk di tambang ditinjau dari segi teknis dan
lingkungan saat itu. Sedangkan break even cost differential between 2 mining
method yaitu angka titik balik penentu pemilihan sistem (metode) tambang
terbuka atau bawah tanah
Faktor eknomi kedua yang mempengaruhi pemilihan sistem penambangan
yaitu Mining Recovery adalah Sistem tambang yang dipilih adalah sistem yang
bisa memberikan mining recovery (perolehan tambang) yang maksimal. Mining
recovery adalah perbandingan antara jumlah cadangan yang bisa digali atau
ditambang (cadangan ter-tambang dari desain) dengan jumlah cadangan yang
diperkirakan (angka ini diperoleh dari eksplorasi).

III. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu
cara untuk mendapatkan rancangan penambangan dengan memperhatikan kondisi
keadaan topografi didaerah PT Adaro Indonesia, Kalimantan Selatan.

IV. BATASAN MASALAH


1. Mengetahui areal pushback yang akan mengalami penambangan.
2. Pengamatan aspek-aspek yang tepat untunk mendapatkan rancangan
penambangan dengan berdasarkan data peta topografi yang ada di PT
Adaro Indonesia.
3. Penentuan rancangan awal penambangan.

V. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Untuk mendapatkan hasil rancangan tahap penambangan yang sesuai
dengan kondisi topografi.
2. Mendapatkan data perhitungan volume overburden dan batubara yang
akan diambil.
3. Menentukan titik awal penambangan dengan melihat data geologi yang
ada diperusahaan tersebut.

VI. METODE PENELITIAN

2
Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis menggabungkan antara teori
dengan data-data di lapangan sehingga didapat pendekatan penyelesaian masalah.
Adapun urutan pekerjaan penelitian ini adalah :
1. Pengumpulan data
a. Data primer
Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari perusahaan atau
dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Adapun data yang diperoleh
yaitu:
1. Lokasi dan kesampaian daerah
2. Data pengukuran batas kepemilikan lahan
3. Data pengkuran topografi original
4. Data desain tambang awal
5. Data pengukuran stockpile
b. Data sekunder
Data sekunder adalah jenis data langsung dari lapangan dan tidak langsung
dari sumber penelitian, akan tetapi dari buku literatur dan referensi di
perpustakaan.

2. Cara memperoleh data


a. Interview (wawancara)
Interview (wawancara) adalah tanya jawab dengan pihak yang terkait
secara sistematis dan berdasarkan pada tujuan penelitian.
b. Dokumentasi
Dalam penelitian ini, dilakukan dokumentasi dari kegiatan pengolahan
yang berhubungan dengan penelitian.

c. Observasi
Observasi adalah pengamatan langsung bagaimana kinerja total station
pada area penambangan PT Adaro Indonesia.
d. Studi pustaka
Dalam penelitian yang dilakukan, digunakan buku literatur yang
mendukung data yang dibutuhkan dalam penyusunan laporan penelitian ini.
3. Pengolahan data
Data yang telah terkumpul baik dari studi literature maupun dari pengambilan
data dilapangan dikelompok-kelompokkan berdasarkan jenis dan kegunaannya,
sehingga akan terlihat apakah terjadi penyimpangan atau tidak. Jika terjadi

3
penyimpangan data yang cukup tinggi maka pengambilan data harus semakin
banyak sehingga dapat diambil rata-rata yang mewakili keadaan.
Data-data tersebut kemudian diolah untuk mendapatkan suatu kesimpulan
pertama/sementara. Kemudian dilakukan pengecekan kembali atau diteliti ulang
apakah kesimpulan tersebut cukup baik
4. Kesimpulan
Dari kesimpulan pertama dan telah dicek kembali baru ditarik atau
didapatkan penyelesaian dari permasalahan yang timbul dari penelitian ini
5. Diagram alir penelitian
Tahapan-tahapan dalam penelitian ini ditunjukan pada (Gambar 6.1).

STUDY LITERATUR

METODE PENELITIAN

PENGUMPULAN DATA

DATA PRIMER DATA SEKUNDER


1. Peta Topografi 1. Peta Lokasi Pengamatan
2 Data Geoteknik
3 Data Geologi (Batuan,
Stratigrafi, dan Struktur
Geologi)

4
PENGOLAHAN DATA

ANALISIS DATA

PEMBAHASAN

KESIMPULAN

Gambar 6.1. Diagram alir penelitian

VII. MANFAAT PENELITIAN


Dari penelitian ini, diharapkan diperoleh beberapa manfaat, yaitu :
1. Mengetahui letak sequence pada penambangan.
2. Mengetahui pit limit areal tambang dengan melakukan survei
pemetaan.
3. Mendapatkan peta desain tambang dari hasil pengolahan data tersebut .

VIII. DASAR TEORI


8.1 Metode Penambangan
8.1.1 Contour Mine
Tipe penambangan ini pada umumnya dilakukan pada endapan Batubara
yang terdapat di pegunungan atau perbukitan. Penambangan Batubara dimulai
dari singkapan lapisan Batubara di permukaan atau crop line dan selanjutnya
mengikuti garis kontur sekeliling bukit atau pegunungan tersebut. Lapisan batuan
penutup Batubara dibuang ke arah lereng bukit dan selanjutnya batuan yang telah
tersingkap diambil dan diangkut. Kegiatan penambangan berikutnya dimulai lagi
seperti tersebut di atas pada lapisan Batubara yang lain sampai pada suatu
ketebalan lapisan penutup Batubara yang menentukan batas limit ekonominya

5
atau sampai batas maksimum kedalaman dimana peralatan tambang tersebut dapat
bekerja lihat pada (Gambar 8.1).

(Sumber: Chioronis,1987)
Gambar 8.1 Contour Mine

8.1.2 Area Mine


Metode area mine pada umumnya digunakan untuk menambang endapan
Batubara yang memiliki kemiringan endapan relatif datar dengan daerah topografi
yang datar. Kegiatan penambangan dimulai dengan mengupas lapisan tanah
penutup dengan cara membuat suatu paritan atau selokan besar yang disebut box
cut, kemudian menimbun lapisan tanah penutup pada lokasi yang tidak ditambang
(dumping area) lihat pada (Gambar 8.2).

6
(Sumber : Prodjosumarto,P., 1989)

Gambar 8.2 Metode Area Mine

Penggalian tanah penutup juga diikuti dengan penggalian endapan


Batubaranya (lihat Gambar 8.2). Setelah Batubara dari penggalian pertama dapat
diambil, maka diikuti dengan dengan pengupasan berikutnya tetapi lapisan tanah
penutup ditimbun pada lokasi yang sudah ditambang. Proses penambangan
dilakukan secara terus menerus dengan cara yang sama. Pada penggalian terakhir,
lubang yang ada dapat ditutup dengan memindahkan lapisan tanah penutup pada
penggalian pertama ke lubang tersebut.

8.1.3 Strip Mine


Metode ini dilakukan dengan cara mengupas terlebih dahulu lapisan
material penutup Batubara kemudian dilanjutkan dengan pengambilan
Batubaranya. Penambangan tipe strip mine ini biasanya dilakukan pada endapan
Batubara yang mempunyai lapisan tebal dan dilakukan dengan menggunakan
beberapa bench (jenjang). Tipe penambangan terbuka yang diterapkan pada
endapan Batubara yang lapisannya datar dekat permukaan tanah lihat pada
(Gambar 8.3).

7
Alat yang digunakan dapat berupa alat yang sifatnya mobil atau alat
penggalian yang dapat membuang sendiri. Untuk pemilihan metode ini perlu
diperhatikan bahwa:
a. Bahan galian relatif mendatar
b. Bahan galian cukup kompak
c. Bahan galian tabular, berlapis
d. Kemiringan relatif, lebih cocok untuk horizontal atau sedikit miring
e. Kedalaman kecil (nilai ekonomi tergantung stripping ratio, teknologi
peralatan)

( Sumber: Hartman, 1987)

Gambar 8.3 Metode Strip Mine


8.2 Tahapan Penambangan
Tahapan penambangan merupakan bentuk-bentuk penambangan (mineable
geometris) yang menunjukan bagaimana suatu pit akan ditambang dari titik awal
masuk hingga bentuk akhir pit. Pentahapan penambangan disebut juga dengan
nama sequence, push back, phase, slice dan stage.
Tujuan dari pembuatan tahapan penambangan adalah untuk
menyederhanakan seluruh volume yang ada dalam overall pit ke dalam unit-unit
penambangan yang lebih kecil, sehingga memudahkan penanganannya. Adanya

8
tahapan penambangan akan memudahkan perancangan tambang yang kompleks
menjadi lebih sederhana. Dalam merancang tahapan penambangan, parameter
waktu harus diperhitungkan, karena waktu merupakan parameter yang sangat
berpengaruh dalam suatu penjadwalan tambang (mine scheduling) untuk dapat
mengoptimalkan sasaran produksi.
Tahapan-tahapan penambangan yang dirancang dengan baik akan
memberikan akses ke semua daerah kerja dan menyediakan ruang kerja yang
cukup untuk operasi peralatan kerja tambang secara efisien. Salah satu hal
terpenting adalah untuk memperlihatkan minimal satu jalan angkut untuk setiap
pushback. Hal tersebut dilakukan untuk memperhitungkan jumlah material yang
terlibat dan kemungkinan akses jalan angkut ke seluruh permukaan kerja.
Penambahan jalan angkut pada suatu pushback akan mengurangi lebar
daerah kerja di bawah lokasi jalan tersebut. Jika beberapa jalan akan dimasukkan
pada suatu pushback, lebar awal di sebelah atas harus ditambah untuk
memberikan ruangan ekstra. Perlu diperhatikan bahwa bentuk tambang di
lapangan tidak akan pernah sama dengan rancangan tahap-tahap penambangan
(pushback design), hal tersebut disebabkan oleh permodelan bawah permukaan
tidak selalu 100% sesuai dengan kenyataan lihat pada (Gambar 8.4).

4 3 2 1

Keterangan:

1, 2, 3, dan 4 merupakan urutan penambangan

(Sumber: Sulistyana, W, 2010)


Gambar 8.4 Pentahapan Penambangan

9
8.3 Perencanaan Tambang
Perencanaan tambang merupakan suatu tahap penting dalam rencana
operasi penambangan. Perencanaan tambang yang modern memerlukan
pemodelan komputer dari sumberdaya yang akan ditambang. Aspek penting
dalam pekerjaan perencanaan tambang yaitu penentuan batas akhir penambangan,
dan penjadwalan produksi. Pada penelitian ini difokuskan pada penjadwalan
produksi untuk memenuhi target produksi proyek penambangan yang ekonomis.
Berdasarkan waktu, perencanaan dibagi menjadi:
a. Perencanaan jangka panjang, yaitu suatu perencanaan kegiatan yang
jangka waktunya lebih dari 5 tahun secara berkesinambungan.
b. Perencanaan jangka menengah, yaitu suatu perencanaan kerja untuk
jangka waktu antara 1 – 5 tahun.
Perencanaan jangka pendek, yaitu suatu perencanaan aktivitas untuk jangka waktu
kurang dari setahun demi kelancaran perencanaan jangka menengah dan panjang.

8.4 Penentuan Data-Data


1. Data-data yang berhubungan dengan daerah penelitian, yang
meliputi antara lain:
a. Data geologi, stratigrafi, topografi
b. Data peyebaran bahan galian
c. Data peta kesampaian lokasi
d. Data peta geologi

2. Data-data yang dibutuhkan untuk pengolahan data, yang meliputi :


a. Data peta topografi
b. Data hasil pemboran (lithologi pemboran, stratigrafi,depth from,
depth to)
c. Data survey pemboran ( koordinat lubang bor X, Y, Z )
d. Data kualitas batubara
e. Data geoteknik
f. Data ketebalan bahan galian dan lapisan penutup

3. Data pendukung

10
Data-data yang dapat mendukung data-data lapangan guna
menganalisa permasalahan yang ada untuk mencari alternatif penyelesaian
masalah. Data pendukung dapat diambil antara lain dari laporan
eksplorasi, brosur-brosur dari perusahaan, data dari instansi terkait dan dari
literatur-literatur.

8.5 Push back


Push back adalah bentuk – bentuk penambangan yang menunjukkan
bagaimana suatu pit akan ditambang, dari titik awal masuk hingga ke bentuk akhir
pit. Nama – nama lain adalah phases, slices, stages. Tujuan utama dari pentahapan
adalah untuk membagi seluruh volume yang ada dalam pit ke dalam unit – unit
perencanaan yang lebih kecil sehinggga lebih mudah ditangani.
Dengan demikian, problem perancangan tambang tiga dimensi yang amat
kompleks ini dapat disederhanakan. Selain itu, elemen waktu dapat mulai
diperhitungkan dalam rancangan ini karena urutan penambangan tiap – tiap push
back merupakan pertimbangan penting.
Unit perencanaan ini, di tahap awal berusaha untuk mengaitkan hubungan
antara geometri penambangan dengan penyebaran endapan bahan galian. Dengan
mempelajari penyebaran bahan galian dan topografi, dalam banyak kasus, maka
kita akan sampai pada suatu strategi pengembangan pit secara logis dalam jangka
waktu yang relatif singkat.
Tahapan penambangan yang dirancang secara baik akan memberikan
akses ke semua daerah kerja dan menyediakan ruang kerja yang cukup untuk
operasi peralatan yang efisien.

8.6 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penentuan Push Back


8.6.1 Penyebaran Bahan Galian
Bentuk dan penyebaran dari endapan bahan galian akan mempengaruhi
proses penentuan push back. Perencanaan untuk penanganan endapan bahan
galian yang memiliki kemiringan yang lebih tajam akan berbeda dengan
kemiringan yang relatif datar dalam hal ini mempengaruhi penentuan geometri
lerengnya

11
8.6.2 Stripping Ratio ( Nisbah Pengupasan )
Nisbah pengupasan adalah perbandingan antara tonase waste yang
harus dipindahkan terhadap satu ton endapan bahan galian yang ditambang. Hasil
suatu perancangan pit akan menentukan jumlah tonase endapan bahan galian dan
waste yang dikandung pit itu. Perbandingan antara waste dan endapan bahan
tersebut akan memberikan nisbah pengupasan rata – rata suatu open pit lihat pada
(Gambar 8.5).

(Sumber: Sulistyana, W, 2010)

Gambar 8.5. Perbandingan Lapisan Overburden dan Batubara (Stripping Ratio)


8.6.3 Penaksiran Cadangan
Dalam perhitungannya digunakan metode mean area yang merupakan rumus
paling sederhana untuk menghitung volume yang terletak diantara dua buah
penampang yang sejajar dengan luas S1 dan S2 serta jarak L. Pada metode
penampang standar ini, rumus mean areayang digunakan adalah sebagai berikut :

V  (S1  S2 ) L  (S2  S3 ) L  .....  (Sn −1  Sn ) L ..................2.1


1 N
2 2 2
2

Keterangan :
L1, L2, L3,……, Ln  = jarak antar penampang (m).
2
S1, S2, S3,……., Sn  = luas setiap penampang (m ).

8.6.4 Ultimate Pit Slope


Termasuk dalam faktor pertimbangan teknis yaitu kemiringan / batas luar

12
tambang   yang   tetap   stabil   dan   menguntungkan.   Dengan   demikian,   akan
berhubungan   dengan   geometri   lereng   yang   direncanakan.   Hal   ini   berarti
menentukan besar cadangan batubara yang akan ditambang (tonase dan kadarnya)
yang akan memaksimalkan nilai bersih total dari cebakan bijh tersebut.

Ultimate   pit   slope  ini   juga   berpengaruh   pada   eksplorasi   lanjut,   tahap
evaluasi dan tahap persiapan yang didasarkan pada :
a. BESR ( Break Even Stripping Ratio ) yang diperkenankan 
b. Sifat fisik dan mekanik batuan 
c. Struktur geologi ( sesar, kekar, bidang perlapian, bidang geser ) 
d. Air tanah, unsur kimia batuan dan waktu yang dibutuhkan 

Komponen dasar pada open pit adalah jenjang. Bagian jenjang adalah:

a. Crest dan toe


Crest adalah sebuah kepala dari slope ataujenjang dan toe adalah suatu kaki
dari slope atau jenjang lihat pada (Gambar 8.6).

BH
Keterangan:
C BW: lebar jenjang
BH: tinggi jenjang
BW T : toe
C : crest
 : face angle

T
(Sumber : Hustrulid,W & Kuchta,M. 1998)
Gambar 8.6 Bagian-bagian jenjang

13
b. Jenjang kerja (working bench)

SB

WB

Keterangan
SB : safety bench
WB : working bench
:cut (galian yang diambil)

(Sumber : Hustrulid,W & Kuchta,M. 1998)


Gambar 8.7 Working bench dan safety bench
c. Jenjang penangkap (catch bench)

C
Keterangan :

CB: catch bench


CB C : cut (material yang lepas)

(Sumber : Hustrulid,W & Kuchta,M. 1998)


Gambar 8.8 Jenjang penangkap

d. Pit slope geometry


Pit slope geometry disebut juga geometri kemiringan dari front
penambangan. Face angle adalah sudut lereng jenjang tunggal. (Gambar 8.9).
C


Keterangan : TT
sudut kemiringan jenjang tunggal
C: crest

T: toe
(Sumber : Hustrulid,W & Kuchta,M. 1998)
Gambar 8.9 Pit slope geometry

14

T
e. Overall slope angle

Upper most crest

(Sumber : Hustrulid,W & Kuchta,M. 1998) 


Gambar 8.10 Overall slope angle Lower most crest

f. Overall slope angle with ramp


g. Interramp slope angle
h. Overall slope angle with working bench

8.6.5 Teori Strip, Panel dan Blok


Endapan batubara dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, yaitu pit
(tambang), panel, strip dan blok.

a. Pit
Penambangan batubara dibagi menjadi beberapa pit untuk memudahkan
pelaksanaan kegiatan penambangan, pembagian pit terutama didasarkan pada
pencapaian target produksi akan nilai kalori dari batubara yang akan ditambang.
b. Panel
Masing-masing pit dibagi menjadi panel-panel yang melintng dan searah
dengan garis strike.
c. Strip
Setiap panel dibagi lagi menjadi strip-strip yang dibuat tegak lurus dari
garis strike.
d. Blok
Blok merupakan perpotongan antara panel dan strip.

15
8.7 Parameter-Parameter Rancangan Tambang (Design)

8.7.1 Data Topografi Permukaan (Surface) Secara Detail


Data ini dapat dalam bentuk kontur hasil pemetaan topografi, atau berupa
file survey titik-titik koordinat dan titik-titik ketinggian. Alternatif lain yaitu
memodelkan permukaan dari data titik-titik koordinat dan titik-titik ketinggian
menggunakan perangkat lunak seperti autocad dan quicksurf, global mapper,
google earth dan google scateup, garmin, maupun minescape. Pada perangkat
lunak minescape dapat dilanjutkan dengan metode triangulasi membentuk
tampilan 3 (tiga) dimensi.

8.7.2 Geometri Jenjang

Beberapa parameter penentuan dimensi jenjang, yaitu:


- Sasaran produksi dan stripping ratio
- Kondisi overburden
- Kondisi dan karakteristik cebakan batubara
- Peralatan yang digunakan
- Penimbunan material
Dimensi jenjang yang diperhitungkan meliputi lebar, panjang, tinggi
jenjang. Ukuran panjang dan lebar jenjang ditentukan oleh metode pembongkaran
material (menggunakan alat mekanis atau peledakan), kemampuan alat muat, pola
gerak alat muat dan alat angkut, maupun letak alat muat dan alat angkut yang
digunakan dalam waktu yang bersamaan pada saat penambangan serta sasaran
produksi dan rencana pemanfaatan lahan bekas tambang. Dimensi jenjang akan
mempengaruhi jumlah bahan galian yang dapat ditambang, dan berpengaruh pada
kesetabilan lereng dan keamanan penambangan.
Beberapa faktor pertimbangan dalam pembuatan geometri jenjang:
a. Tinggi jenjang disesuaikan dengan rencana geometri peledakan yang
diterapkan dan jangkauan alat muatnya. Tinggi jenjang adalah jarak yang
diukur tegak lurus dari lantai jenjang (toe) hingga ujung jenjang bagian atas
(crest). Tinggi jenjang yang dibuat sangat dipengaruhi oleh sifat fisik, dan

16
mekanik batuan, rencana dimensi bongkaran serta perlatan mekanis yang
dipergunakan.
b. Lebar jenjang disesuaikan dengan sasaran produksi dan keadaan topografi
lokasi penambangan. Lebar jenjang adalah jarak horizontal yang diukur dari
ujung lantai jenjang sampai batas belakang lantai jenjang. Lebar minimum
yang akan dibuat harus dapat menampung material hasil bongkaran/peledakan
dan peralatan yang digunakan.
Lebar jenjang minimum sangat dipengaruhi:
- Jenis dan kemampuan alat.
- Posisi kerja dari peralatan yang sedang beroperasi dilantai yang sama.
- Lebar dari tumpukan material hasil pembongkaran.
- Pemanfaatan lahan bekas tambang
- Kapasitas produksi yang akan dicapai
Geometri jenjang terdiri dari tinggi jenjang, sudut lereng jenjang tunggal,
dan lebar dari jenjang penangkap (catch bench). Rancangan geoteknik jenjang
biasanya dinyatakan dalam bentuk parameter-parameter untuk ketiga aspek ini.
Dalam pelaksanaan penambangan, pengontrolan sudut lereng biasanya
dilakukan dengan menandai lokasi pucuk jenjang (crest) sesuai dengan desain
yang telah dibuat menggunakan bendera kecil. Lokasi lubang-lubang tembak
dapat pula menjadi pedoman. Penggalian sebaiknya dilakukan dari bagian atas
material, agar berada pada posisi kerja yang aman (untuk menghindari longsoran
saat penggalian material). Komponen dasar pada tambang terbuka adalah jenjang.

c. Kemiringan Jenjang
Pada awalnya desain pit dibuat dengan overall slope sebesar ±450 dan
kemudian dimodifikasi berdasarkan informasi geoteknik dari material yang ada
dalam pit tersebut. Menurut buku Hustrulid & Kuchta (1998) sebaiknya
kemiringan lereng kurang dari 600 pada kedalaman 65m dan kurang dari 400 pada
kedalaman 300m. lihat (Gambar 8.11).

17
(Sumber : Hustrulid,W & Kuchta,M., 1998)
Gambar 8.11 Single Slope

(Sumber : Hustrulid,W & Kuchta,M., 1998)


Gambar 8.12 Overall Slope

8.7.3 Perancangan Jalan Angkut

Pada umumnya pola akses material tambang dibagi menjadi dua, yaitu
pengangkutan lapisan overburden ke lokasi penimbunanan (disposal) dan
pengangkutan Batubara ke lokasi penimbunan ( Stock ROM ) ataupun langsung ke
lokasi pengolahan (crushing plant). Akses material ini memerlukan rancangan
jalan angkut.
Rancangan jalan tambang secara umum meliputi :
1. Letak jalan keluar : Letak jalan keluar dari tambang penting diperhitungkan
untuk akses ke lokasi pembuangan overburden (disposal) atau peremuk material

18
(crushing plant). Topografi merupakan faktor penting yang akan menentukan
kemampuan truk untuk keluar dari pit ke medan yang curam/terjal.
2. Lebar jalan : Tergantung dari lebar alat angkut terbesar, biasanya 3,5 kali
lebar lebar truk. Lebar jalan harus memungkinkan lalu lintas untuk dua arah,
ruangan untuk truk yang akan menyusul, juga cukup untuk selokan penyaliran dan
tanggul pengaman.
3. Kemiringan jalan (grade) : Jalan angkut tambang umumnya dirancang
dengan kemiringan maksimum 10 % - 12 %. Hal ini akan memberikan
fleksibilitas yang lebih besar dalam pembuatannya, serta memudahkan dalam
pengaturan masuk ke jenjang tanpa menjadi terlalu terjal di beberapa tempat.
4. Jalan tambang yang panjang, kemiringan 10 % adalah kemiringan maksimum
yang ideal. Tambang-tambang kecil banyak juga yang dirancang dengan
kemiringan 10 %.
5. Rancangan spiral dan switchback : pada umumnya switchback dihindari
sebisa mungkin karena cenderung melambatkan lalu lintas, selain itu ban akan
cepat aus sehingga perawatan ban akan lebih besar. Pertimbangan lain ialah faktor
keamanan. Apabila ada ukuran tambang yang jauh lebih rendah dari elevasi
jenjang dengan lainnya di sekeliling pit, maka swicthback di daerah rendah ini
sering lebih murah di banding dengan membuat jalan angkut spiral mengelilingi
dinding pit.

Ada beberapa geometri yang harus diperhatikan dan dipenuhi untuk


menunjang kelancaran kegiatan pengangkutan, yaitu :

1. Lebar Jalan Angkut


Penentuan lebar jalan angkut minimum untuk jalan lurus (lihat Gambar
8.13) didasarkan pada Rule of Thumb yang dikemukakan Aasho Manual Rural
High-way Design adalah :

Lmin = n . Wt + ( n + 1 )(0,5 . Wt) ……………………………….. (3.10)


Keterangan:
Lmin = Lebar jalan angkut minimum (m).

19
n = Jumlah jalur.
Wt = Lebar alat angkut total (m).

Perumusan diatas hanya digunakan untuk lebar jalan dua jalur (n), nilai 0,5
artinya adalah lebar terbesar dari alat angkut yang digunakan dari ukuran aman
masing-masing kendaraan di tepi kiri-kanan jalan.

(Sumber: Kaufman & Ault, 1977 )

Gambar 8.13 Lebar Jalan Lurus


Nilai 0,5 pada rumus diatas menunjukan bahwa ukuran aman kedua
kendaraan berpapasan adalah sebesar 0,5 wt, yaitu setengah lebar terbesar dari alat
angkut yang bersimpangan. Ukuran 0,5 wt juga digunakan untuk jarak dari tepi
kanan atau kiri jalan kealat angkut yang melintasi secara berlawanan.
Apabila tidak sesuai dengan ketentuan menurut perhitungan, maka harus
dilakukan perubahan karena selain dapat menghambat dalam kegiatan
pengangkuatan juga berbahaya bagi keselamatan operator dan kendaraan yang
beroperasi.

2. Lebar Jalan pada Tikungan


Lebar jalan angkut pada tikungan selalu lebih besar daripada lebar jalan
pada jalan lurus. Untuk jalur ganda, lebar minimal pada tikungan dihitung
berdasarkan pada:
a. Lebar jejak ban alat angkut

20
b. Lebar juntai atau tonjolan (overhang) alat angkut bagian depan dan belakang
pada saat membelok.
c. Jarak antara alat angkut pada saat bersimpangan
d. Jarak (space) alat angkut dengan tepi jalan

Lebar jalan angkut pada tikungan dapat dihitung menggunakan rumus:

Lt = n(U + Fa + Fb + Z) + C …………………………………… (3.11)


Z = C= (U + Fa + Fb ) ………………..……………………..… (3.12)

Keterangan :
W = Lebar jalan belokan
U = Jarak jejak roda kendaraan
Ad = Jarak as roda depan dengan bagian depan alat angkut (m)
Ab = Jarak as roda belakang dengan bagian belakang alat angkut (m)
α = Sudut penyimpangan ( belok roda depan )
Fa = Lebar juntai depan

Dapat dihitung dengan rumus : Fa = Ad x Sin α


Fb = Lebar juntai belakang

Dapat dihitung dengan rumus : Fb = Ab x Sin α


C = jarak antara dua alat angkut
Z = jarak dari sisi luar alat angkut ketepi jalan,

Dapat dihitung dengan rumus : Z = C = 0,5 (U+Fa+Fb)

21
(Sumber: Kaufman & Ault, 1977 )

Gambar 8.14 Lebar Jalan Angkut pada Tikungan

3. Radius Putar Truck

Jari-jari tikungan (belokan) berhubungan langsung dengan bentuk dan


kontruksi alat angkut yang digunakan. Disini digunakan ukuran alat angkut
maksimum. Dalam penerapan jari-jari lingkaran yang dijalankan oleh roda
belakang dan roda depan berpotongan dipusat C dengan sudut yang sama terhadap
penyimpangan roda. Penentuan besarnya jari-jari tikungan, rumus yang digunakan
adalah : (Gambar 8.15).

(Sumber: Kaufman & Ault, 1977 )

Gambar 8.15 Radius Tikungan Jalan

R = Wb/sin α ………………………..…………………………….. (8.13)

Keterangan :
R : Jari-jari lintasan roda depan (meter)
Wb : Jarak antara poros roda depan dengan belakang
α : Sudut penyimpangan roda depan (◦ )

Tabel 8.1 Radius Tikungan Minimum


Klasifikasi Berat Kendaraan Radius Tikungan Minimum
Berat
Kendaraan (lbs) (ft)
1 < 100.000 19

2 100.000-200.000 24

22
3 200.000-400.000 31

4 >400.000 39
(Sumber: Sulistyana, W, 2010)

Penentuan jari-jari tikungan minimum pada jalan angkut besarnya


tergantung pada berat alat angkut yang akan melewati jalan angkut tersebut.
Semakin berat alat angkut yang digunakan maka jari-jari tikungan yang
dibutuhkan semakin besar
4. Superevelasi
Superelevasi merupakan kemiringan jalan pada tikungan yang terbentuk
oleh batas antara tepi jalan terluar dengan tepi jalan terdalam karena perbedaan
kemiringan. Bagian tikungan jalan diberi superelevasi dengan cara meninggikan
jalan pada sisi luar tikungan. Tujuan dibuat super elevasi pada daerah tikungan
jalan angkut yaitu untuk menghindari atau mencegah kendaraan kergelincir keluar
jalan atau terguling. Atau berguna untuk mengimbangi gaya sentrifugal (gaya
mendorong keluar) sewaktu kendaraan melintasi tikungan.
Apabila suatu kendaraan bergerak dengan kecepatan tetap pada suatu
lintasan datar atau miring yang berbentuk lengkung seperti lingkaran, maka pada
kendaraan tersebut bekerja gaya sentrifugal yang mendorong secara radial keluar
dari jalur jalannya (lihat Gambar 8.16). Untuk mengatasi gaya sentrifugal dapat
dilakukan dengan membuat kemiringan ke arah titik pusat jari-jari tikungan.
Berdasarkan teori ankintos D.I.C. pada kondisi jalan kering, nilai super
elevasi merupakan harga maksimum yaitu 60 mm/m sedangkan pada kondisi jalan
penuh lumpur atau licin, nilai super elevasi terbesar adalah 90 mm/m. kemiringan
tikungan tersebut tergantung tajamnya tikungan dan kecepatan maksimal
kendaraan yang diijinkan pada waktu melintasi tikungan. (Gambar 8.16).

23
(Sumber: Indonesianto,Y. 2015)

Gambar 8.16 Superelevasi Tikungan Jalan Angkut


Secara matematis kemiringan tikungan jalan angkut merupakan
perbandingan antara tinggi jalan dengan lebar jalan. Untuk menentukan besarnya
kemiringan tikungan jalan dihitung berdasarkan kecepatan rata-rata kendaraan
dengan koefisien friksinya. Persamaan yang digunakan yaitu:

…………………………………………………. (8.14)

Keterangan :

e = superelevasi
v = kecepatan kendaraan (km/jam)
R = radius/ jari-jari tikungan (m)
f = koefisien gesekan melintang
Besarnya angka superelevasi untuk beberapa jari-jari tikungan dengan
berbagai variasi kecepatan alat angkut dapat bermacam-macam, untuk itu
penentuan superelevasi selain dengan menggunakan rumus juga dapat dilakukan
dengan penggunaan tabel seperti ditunjukan dalam (Tabel 8.2). Pada (Tabel 8.2)
terdapat angka superelevasi yang sama untuk kecepatan dan jari-jari yang
berbeda. Hal ini disebabkan oleh nilai koefisien gesek yang berbeda untuk
kombinasi kecepatan dan jari-jari tikungan, atau dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa untuk melintasi tikungan dengan jari-jari tikungan dan kecepatan yang
berbeda, maka gaya sentrifugal yang dialami oleh alat angkut juga akan berbeda.
Untuk perencanaan, AASHTO menganjurkan pemakaian beberapa nilai
superelevasi yaitu 0,02, 0,04, 0,06, 0,08, 0,010 dan 0,012.

Tabel 8.2. Angka Superelevasi yang Direkomendasikan (feet/feet)

24
Jari-jari Kecepatan (mph)

Tikungan (feet) 10 15 20 25 30 >35

50 0,04 0,04

100 0,04 0,04 0,04

150 0,04 0,04 0,04 0,05

250 0,04 0,04 0,04 0,04 0,05

300 0,04 0,04 0,04 0,04 0,05 0,06

600 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,05

1000 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04

(Sumber : Open Pit Mine Planning & Design,3rd edition, 2013)

5. Kemiringan Jalan
Kemiringan jalan angkut (grade) merupakan suatu faktor penting yang
harus diamati secara detail dalam kegiatan kajian terhadap kondisi jalan tambang.
Hal ini dikarenakan kemiringan jalan angkut berhubungan langsung dengan
kemampuan alat angkut, baik dalam pengereman maupun dalam mengatasi
tanjakan.
Kemiringan jalan angkut (lihat Gambar 8.17) biasanya dinyatakan dalam
persen (%). Kemiringan 1% berarti jalan tersebut naik atau turun 1 m pada jarak
mendatar sejauh 100 m. Kemiringan (grade) dapat dihitung dengan mengunakan
rumus sebagai berikut:

(Sumber: Sulistyana, W, 2010)

Gambar 8.17 Kemiringan Jalan Angkut

25
Grade (α) = ………..…………………………………………………………….(8.17)

Keterangan:
∆h : Beda tinggi antara dua titik yang diukur
∆x : Jarak antara dua titik yang diukur
Secara umum kemiringan jalan maksimum yang dapat dilalui dengan baik
oleh alat angkut besarnya kurang dari 10%. Namun untuk jalan naik maupun
turun pada daerah perbukitan, lebih aman menggunakan kemiringan jalan
maksimum sebesar 8%.

6. Kemiringan Melintang (Cross Slope)


Maksud dari pembuatan cross slope adalah agar jika terdapat air pada jalan,
maka air tersebut akan mengalir pada tepi jalan (lihat Gambar 8.16). Nilai yang
umum dari kemiringan melintang (cross slope) yang direkomendasikan adalah
sebesar 20 sampai 40 mm/m jarak bagian tepi jalan ke bagian tengah / pusat jalan.
Jika jalan belum memenuhi cross slope diatas, maka perlu menimbun bagian
tengah jalan, sehingga memenuhi persyaratan cross slope.

(Sumber: Sulistyana, W, 2010)

Gambar 8.16 Penampang Cross Slope

8.7.4 Dasar Perancangan Sequence


Sequence adalah bentuk-bentuk penambangan yang menunjukkan

26
bagaimana suatu endapan bahan galian akan ditambang, dari titik masuk awal
hingga ke bentuk akhir penambangan.
Tujuan utama dari pentahapan ini adalah untuk membagi seluruh volume
yang ada dalam penambangan ke dalam unit-unit perancangan yang lebih kecil
sehingga lebih mudah ditangani. Pada akhirnya, problem perancangan tambang 3-
dimensi yang amat kompleks ini dapat disederhanakan. Selain itu, elemen waktu
dapat mulai diperhitungkan dalam rancangan ini karena urutan penambangan tiap-
tiap sequence merupakan pertimbangan penting.
Unit perencanaan ini, di tahap awal berusaha untuk mengaitkan hubungan
antara geometri penambangan dengan geometri bahan galian. Dengan
mempelajari tingkat distribusi bahan galian dan topografi, dalam banyak kasus,
maka kita akan sampai pada suatu strategi pengembangan pit secara logis dalam
jangka waktu yang relatif singkat.
Tahapan–tahapan penambangan yang dirancang secara baik akan
memberikan akses ke semua daerah kerja dan menyediakan ruang kerja untuk
operasi peralatan dan manusia. Lebar ruang kerja minimum yang digunakan pada
saat penambangan sangat penting ditentukan di awal perancangan agar alat–alat
dapat berfungsi optimum sesuai dengan rencana penambangan. Penentuan lebar
minimum ruang operasi dapat diperoleh dengan mengunakan rumus :

MWS = SWDT + RCR + DOR + TW/2 + SWDS


Keterangan :
MWS = ruang kerja minimum dengan backhoe sebagai radius operasi(m)
SWDT = jarak aman kerja backhoe ke dinding lereng (m ) 

RCR  = clearance radius dari backhoe (m)

DOR = radius operasi dari backhoe (m)

TW  = lebar truk (m)

Terdapat beberapa langkah yang diperhatikan dalam rancangan


tahapan penambangan adalah :
a. Tingkat produksi waste dan batubara maksimum yang tertambang pada
setiap tahapan penambangan.

27
b. Ukuran dan jenis alat yang digunakan sehingga lebar minimum jenjang
operasi dapat ditentukan.
c. Dimensi jalan masuk, ruang kerja dan sudut lereng akhir.
d. Penentuan batas penambangan.
e. Merancang tahapan penambangan secara detail dengan melibatkan jalan
angkut dan dimensi lereng tunggal dengan memperhatikan tonase cadangan
dan overburden pada selang kedalaman tertentu.

8.7.5 Penjadwalan Produksi


Penjadwalan produksi merupakan penjadwalan yang menyatakan besarnya
jumlah atau produksi material yang harus digali untuk dipindahkan ke tempat lain
dalam tiap satuan waktu. Penjadwalan produksi tambang meliputi periode waktu
(pertahun), tonase dan pemindahan material total yang akan dihasilkan oleh
tambang tersebut. Target produksi ini biasanya dinyatakan dalam ton/tahun atau
m3/tahun, ton/bulan atau m3/bulan, hingga ke satuan waktu terkecil ton/hari atau
ton/jam. Tujuan penjadwalan produksi adalah membuat suatu jadwal untuk
mencapai target produksi yang telah ditentukan.
Untuk dapat melakukan penjadwalan produksi, maka harus diketahui
terlebih dahulu berapa besar sasaran atau target produksi yang akan dicapai.
Setelah diketahui target produksi yang akan dicapai, kemudian dilakukan
penjadwalan produksi. Dalam hal melakukan penjadwalan produksi, faktor-faktor
yang harus diperhitungkan adalah:
a. Curah hujan dan hari hujan yang akan mengganggu jalannya produksi.
b. Tersedia atau tidaknya workshop untuk perbaikan (repair) alat.
Setelah melakukan penjadwalan produksi, dilanjutkan dengan penjadwalan
alat sesuai dengan alat yang tersedia. Kapasitas peralatan mekanis yang digunakan
juga harus sesuai dengan target produksi yang ditentukan.
Pada kondisi ideal (efisiensi 100%) diinginkan terhadap alat-alat mekanis
adalah bahwa:
a. Setiap alat bekerja pada kemampuan semaksimal mungkin.
b. Setiap alat bekerja sepanjang waktu selama masa kerjanya.

28
c. Setiap alat tidak pernah rusak.
Namun dalam kenyataannya hal-hal tersebut tidaklah mungkin diterapkan,
dikarenakan kondisi dari alat itu sendiri (mechanical condition), kondisi medan
kerja (operating condition) serta faktor manusianya sendiri. Meskipun demikian
efektifitas penggunaan alat dapat diusahakan semaksimal mungkin dengan cara:
a. Memperkerjakan alat dengan jumlah seminimal mungkin pada kapasitas
kerja semaksimal mungkin.
b. Memperkerjakan alat sepanjang waktu atau hari kerjanya selama alat
tersebut tidak rusak yaitu dengan menghilangkan waktu hambatan atau
menganggur (idle time).
Selama proses penjadwalan, evaluasi pada beberapa hal sering dilakukan
antara lain yaitu tingkat produksi Batubara dan jadwal pengupasan overburden.
Hal ini untuk mengetahui ketercapaian target produksi yang telah ditentukan.

8.7.6 Kedalaman Pit Bottom


Penentuan Pit Bottom (dasar pit) sangat tergantung pada banyak faktor
seperti naiknya biaya produksi dan pengangkutan, nilai mineral yang ditambang,
ukuran (jumlah) deposit, serta kapasitas mill dan produksi.

DAFTAR PUSTAKA

Indonesianto, Y, 2015, Perencanaan Tambang Terbuka, Jurusan Teknik


Pertambangan Sekolah Tinggi Teknologi Nasional, Yogyakarta.
Waterman, S, 2015, Perencanaan Tambang, Anugrah Print, Yogyakarta.

Hoek & Brown., 1977, Rock Slope Engineering.

Chioronis., 1987, Mountaintop Removal Method, East Kentucky, USA.

Hustrulid,W & Kuchta,M., 1998, Open Pit Mine Planning & Design.

Hartman.H,L., 1987, Introductory Mining Engineering, Willey, New York.

29
Prodjosumarto, P., 1989, Pemindahan Tanah Mekanis, Jurusan Teknik
Pertambangan Institut Teknologi Bandung.
………….., 2013, Open Pit Mine Planning & Design,3rd edition

30

Anda mungkin juga menyukai