Anda di halaman 1dari 3

malaikat Katiban.

Malaikat katiban adalah pralambang dari sukma sejati yang selalu menjaga
budi agar tidak mengikuti nafsu.

Tengahing arah; titik tengahnya arah. Ibarat mijan atau traju. Yakni ujung dari sebuah
senjata tajam. Menggambarkan hakekat dari neraca (alat penimbang) Zat. Traju terletak pada
instrumen pancaindra yakni; netra (penglihatan), telinga (pendengaran), hidung (pembauan),
lidah dan kulit (perasa). Dalam pewayangan dilambangkan sebagai Pendawa Lima;
Yudhistira, Bima/Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Makna untuk
menggambarkan panimbang (alat penimbang) hidup kita yang berada pada pancaindra.

Katingal pisah ; terkesan pisah. Menggambarkan keadaan antara Zat (Pencipta) dengan
sifatnya (makhluk) seolah-olah terpisah. Sejatinya antara Zat dengan sifat tak dapat
dipisahkan. Sebab biji dapat tumbuh tanpa cangkok. Sebaliknya cangkok tidak tumbuh bila
tanpa biji. Biji menggambarkan eksistensi Tuhan, sedangkan cangkok menggambarkan
eksistensi manusia. Kiasan ini menggambarkan hubungan antara kawula dengan Gusti.
Walaupun seolah eksis sendiri-sendiri, namun sesungguhnya manunggal tak terpisahkan
dalam pengertian “dwi tunggal” (loroning atunggil).

Katingal boten pisah; tampak tidak terpisah. Menggambarkan solahdan bawa. Solah adalah
gerak-gerik badan. Bawa atau krenteg adalah gerak-gerik batin. Solah dan bawa tampak
seolah tidak terpisah, namun keduanya tergantung rasa. Solah merupakan rahsaning
karep(nafsu/jasad), sedangkan bawa merupakan kareping rahsa (pancaran Zat sebagai rasa
sejati). Keduanya dapat berjalan sendiri-sendiri. Namun demikian idealnya
adalah Solah harus mengikuti Bawa.

Katingal tunggal ; tampak satu. Menggambarkan zat pramana (mata batin), dengan sifatnya
yakni netra (mata wadag) tidaklah berbeda. Artinya, penglihatan mata wadag dipengaruhi
oleh mata batin.

Medhal katingal ; Menggambarkan keluarnya sifat hakekat (Tuhan) ke dalam zat sifat
(makhluk), yakni ditandai dengan ucapan lisan menimbulkan suara.

Katingal amedhalaken ; menggambarkan keluarnya nafas. Sedangkan kenyataannya


menghirup atau memasukkan udara, yang seolah-olah mengeluarkan.

Menawi pejah mboten kenging risak ; bila mati tidak boleh rusak. Ibarat sukma dengan raga.
Bila raga rusak, sukmanya tetap abadi. Dalam terminologi Islam disebut alif muttakallimun
wakhid. Sifat yang berbicara sepatah tanpa lisan. Berupa kesejatian yang berada dalam
sukma, yakni roh kita sendiri.

Menawi karisak mboten saget pejah ; bila dirusak tidak bisa mati. Perumpamaan untuk
hubungan nafsu dan rasa. Walaupun nafsu dapat kita dikendalikan, namun rasa secara
alamiah tidak dapat disirnakan. Karena rasa dalam cipta masih terasa, terletak dalam
rahsa/sirr kita pribadi. Berhasil menahan nafsu dapat diukur dari perbuatannya; raganya tidak
melakukan pemenuhan nafsu, tetapi rasa ingin memenuhi kenikmatan jasad tetap masih ada
di dalam hati. Saloka ini untuk memberi warning agar kita waspadha dalam “berjihad”
melawan nafsu diri pribadi. Karena kesucian sejati baru dapat diraih apabila keingingan
jasad (rahsaning karep) sudah sirna berganti keinginan rahsa sejati (kareping rahsa).

Sukalila tega ing pejah ; sukarela dan tega untuk mati. Menggambarkan orang mau mati,
dengan menjalani tiga perkara;pertama, sikap senang seperti merasa akan mendapat
kegembiraan di alam kasampurnan. Kedua, rela untuk meninggalkan semua harta bendanya
dan barang berharga. Ketiga, setelah tega meninggalkan semua yang dicinta, disayang dan
segala yang memuaskan nafsu dan keinginan, semuanya ditinggal. Mati di sini berarti secara
lugas maupun arti kiasan. Orang yang berhasil meredam hawa nafsu dan meraih kesucian
sejati hakekatnya orang hidup dalam kematian. Sebaliknya orang yang selalu diperbudak
nafsu hakekatnya orang yang sudah mati dalam hidupnya. Yakni kematian nur atau cahaya
sejati.

Semua yang disebut; besar, luas, tinggi, panjang, lebih, ialah bahasa yang digunakan untuk
mengumpamakan keadaan Tuhan. Sebaliknya, semua yang disebut kecil, sempit, rendah,
pendek, kurang, dan seterusnya ialah bahasa yang dugunakan untuk menggambarkan “sifat”
yakni wujudnya kawula (manusia).

Gambaran menyeluruh namun ringkas mengenai keadaan Zat-sifat (kawula-Gusti)


sebagaimana “cangkriman” berikut ini;

“bothok banteng winungkus ing godhong asem kabiting alu bengkong”

Bothok : sejenis pepesan untuk lauk, terdiri dari parutan kelapa, bumbu-bumbu, lalu
dibungkus daun pisang dan dikukus. Bothok berbeda denganpepes atau pelas, cirikhasnya ada
rasa pedas. Campurannya menentukan nama bothok, misalnya campur ikan teri, menjadi
bothok teri. Lamtoro, menjadi bothok lamtoro. Udang, menjadi bothok udang. Adonan
bothok lalu dibungkus dengan daun pisang. Dan digunakan potongan lidi sebagai pengunci
lipatan daun pembungkus.

Nah, dalam pribahasa ini bahan untuk membuat bothok adalah hewan banteng. Sehingga
namanya menjadi bothok banteng. Dibungkus dengan daun asem jawa, yang sangat
kecil/sempit. Sedangkan tusuk penguncinya menggunakan alu semacam lingga terbuat dari
kayu sebagai alat tumbuk padi. Alu itu panjang dan lurus, namun alu di sini bengkok. Jadi
mana mungkin digunakan sebagai bothok.
Cangkriman di atas adalah pribahasa yang menggambarkan keadaan yang tampak mustahil
jika dipahami hanya menggunakan akal budi saja. Bothok banteng maknanya adalah
menggambarkan adanya Zat, yang tidak lain adalah kehidupan kita pribadi. Godhong asem ;
menggambarkan keadaan “sifat” yakni sebagai bingkai kehidupan kita, kenyataan dari
beragamnya manusia. Alu bengkong, menggambarkan afngal semua, yakni pekerti hidup
kita. Singkatnya, berdirinya hidup kita ini asisinglon warna kita, tampak darisolah dan bawa.
Selain makna di atas, bothok banteng diartikan pula sebagai air mani. Godhong asem, adalah
kiasan untuk per-empu-an. Alu bengkong adalah kiasan untuk purusa, yakni kemaluan laki-
laki.

Diposting oleh naga sasra di 23.04

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke


Pinterest

Label: jati, ngelmu, saloka, serat, wirid, wirid saloka jati

http://kaweruhsejati.blogspot.com/2012/12/wirid-saloka-jatimemahami-sejatining.html

Anda mungkin juga menyukai