Anda di halaman 1dari 6

 Home

 About Us
 Daftar Isi
 Pengurus
 Tanya Tajwid

Bagaimana Al-Qur’an Sampai kepada Kita (2)


Apr 14th, 2012 | By ibnuthohir | Category: Qur'an

Telah dibahas sebelumnya bahwa penjagaan Al-Qur’an dimulai sejak pertama kalinya
diturunkan. Ketika diturunkan dari langit ke dalam hati Rasulullah saw, beliau menerimanya
secara lafaz, makna, serta segala yang dikehendaki Allah dalam penurunannya, baik tersurat
maupun tersirat. Beliau saw pun mengajarkan kepada kita apa-apa yang Allah perintahkan
untuk diajarkan. Allah berfirman, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu
dari Rabb-mu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu
tidak menyampaikan amanat-Nya.” (Al-Maidah: 67). Maka serta merta Nabi saw
menyampaikannya kepada para sahabat dengan cara tertentu, yaitu dengan melafalkannya
melalui mulut Beliau saw dan para sahabat mendengarkan dengan telinga manusiawinya.
Kemudian para sahabat melafalkannya kembali di hadapan Rasulullah saw yang menyimak
dengan telinganya. Dalam pada itu, Nabi saw akan membenarkan dan/atau memperbaiki. Jika
proses talaqqi sudah terkonfirmasi, bangkitlah para sahabat untuk menyampaikan Al-Qur’an
kepada yang lain.

Rasulullah saw menyampaikan Al-Qur’an kepada umatnya dengan dua macam cara: lisan
dan tulisan. Ketika bagian Al-Qur’an diturunkan, Rasulullah saw akan memanggil para
penulis wahyu yang hadir di sekitarnya. Ada beberapa sahabat yang pandai menulis, karena
pada zaman itu yang biasa menulis hanya sedikit (mungkin tiga, empat, atau lima) dibanding
dengan masa kini. Dan begitulah, ketika diturunkan, wahyu ditulis di hadapan Rasulullah
saw. Adapun cara yang lain adalah dengan lisan, sebagaimana yang telah dipaparkan. Itulah
mulanya proses penjagaan nash Al-Qur’an (secara cermat dan hati-hati) setelah diturunkan,
sehingga teksnya kini kita dapatkan dengan rentang lebih dari 1400 tahun. Semua itu melalui
beberapa tahap penulisan.

Awal penulisan Al-Qur’an adalah ketika ia diturunkan, di hadapan Rasulullah saw, dan
wahyu hadir. Pada saat itu kodifikasi berwujud tulisan-tulisan yang berserak. Perlu
ditekankan bahwa awal penulisan adalah ketika wahyu hadir. Yakni ketika bagian Al-Qur’an
diturunkan, Rasulullah memanggil penulis yang hadir di sekitarnya untuk menulis di
depannya selagi Jibril as hadir untuk membenarkan jika ada kesalahan. Allah berfirman,
“Seandainya dia mengadakan sebagian perkataan atas Kami, niscaya benar-benar Kami
pegang dia pada tangan kanannya, Kemudian benar-benar Kami potong urat tali
jantungnya.” (Al-Haqqah: 44-46). Perhatikan kalimat “niscaya benar-benar Kami pegang dia
pada tangan kanannya.” Jika si penulis menulis, kemudian berniat mengubah kata yang ia
tulis, serta-merta Allah akan segera mencegahnya melanjutkan penulisan. Itulah maksud
“Kami pegang dia pada tangan kanannya”, karena asosiasi tangan kanan digunakan untuk
menulis. Seperti halnya nash Al-Qur’an dijaga saat penurunannya ke langit dunia, maka
penjagaan itu juga tetap ada ketika sampai di bumi.
Jika dikatakan bahwa Muhammad saw adalah seorang yang tidak bisa membaca dan menulis,
akan tetapi disana ada Jibril as. Rasulullah saw adalah penyampai dari Rabb-nya. Apakah jika
penulis mengganti kata dari yang seharusnya ditulis, maka Allah akan membiarkannya? Lalu
Jibril as juga mendiamkan? Walaupun Rasulullah saw buta huruf, namun itu untuk ukuran
manusia dan bukan untuk ukuran Allah. Dia berfirman, “dan telah mengajarkan kepadamu
apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (An-Nisa:
113). Selanjutnya Allah juga berfirman, “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada
orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari
golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan
mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali `Imran: 164).
Adalah Nabi saw dalam posisi pengajar karena Jibril as juga hadir ketika itu.

Hingga akhirnya majelis itu bubar dan Rasulullah saw ridha atas tulisan-tulisan yang ditulis
di hadapannya. Seminimalnya status tulisan tersebut adalah sunnah taqririyah yang berarti
Rasulullah saw telah mengkonfirmasinya. Demikianlah dimulainya penulisan Al-Qur’an pada
tahap yang pertama.

(bersambung insya

TAFSIR SURAT AT-TIIN (Keutamaan Buah Tiin)


192

TAFSIR AYAT

(1) Allah SWT bersumpah dengan dua pohon yang terkenal ini, yaitu Tin dan Zaitun, karena
buah dan pohonnya mempunyai banyak manfaat. Dan juga karena keduanya berada di tanah
Syam, tempat kenabian Isa ibn Maryam AS

(2) Dan Allah SWT bersumpah dengan bukit Sinai (tempatnya di Mesir), tempat kenabian
Musa AS

(3) Kemudian Allah bersumpah dengan Makkah Al-Mukarramah tempat kenabian


Muhammad SAW yang telah dijadikannya sebagai tempat yang aman dan dijamin aman pula
orang yang berada di dalamnya. Allah SWT telah bersumpah dengan tiga tempat suci itu
yang telah Dia pilih dan Dia munculkan darinya sebaik-baik dan semulia-mulia kenabian

(4) Sedangkan obyek yang disumpahkan adalah firman-Nya berikut ini, sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna, anggota badannya serasi dan tegak,
tidak kehilangan sesuatu yang dibutuhkannya baik lahir maupun batin

(5) Meskipun terdapat nikmat-nikmat yang besar itu, yang seharusnya wajib disyukuri, tapi
kebanyakan manusia tidak mensyukurinya. Mereka justru sibuk dengan permainan, mereka
lebih memilih hal-hal yang tidak berguna dan akhlak yang rendah. Maka kelak di akhirat,
Allah SWT akan mengembalikan mereka ke dasar neraka, tempat orang-orang bermaksiat
yang membangkang kepada Rabb mereka

(6) Kecuali orang yang telah Allah berikan kepadanya anugerah iman, amal shalih dan akhlak
yang mulia. Maka dengan itu mereka akan mendapat tempat yang tinggi di surga dan pahala
yang tiada putus-putusnya. Yang ada adalah kelezatan yang melimpah, kesenangan yang tak
henti-henti dan kenikmatan terus bertambah, untuk selama-lamanya. Buahnya tak ada henti-
hentinya, demikian pula dengan naungannya

(7) Lalu Allah SWT menutup surat ini dengan melontarkan sebuah pertanyaan kepada
hamba-Nya: Wahai manusia, apa gerangan yang menyebabkan kamu mendustakan hari
pembalasan atas semua amal perbuatan? Sedangkan kamu telah melihat banyak tanda-tanda
kebesaran Allah SWT yang dapat memberimu keyakinan dan nikmat-nikmat Allah yang
menuntut kamu untuk tidak ingkar terhad
Minggu, 11 April 2010
TAFSIR IBNU KATSIR SURAT AT-TIIN

Surat 95 : AT-TIIN
Diturunkan di MAKKAH

‫الز ْيتُون‬
َّ ‫ين َو‬
ِّ ِّ‫َوالت‬
1) Demi buah tiin, demi buah zaitun.
By the Fig and the Olive,

َ‫ور ِّسينِّين‬ ُ ‫َو‬


ِّ ‫ط‬
2) Demi gunung Sinai.
And the Mount of Sinai,

ِّ ‫َو َهذَا ْال َبلَ ِّد األ َ ِّم‬


‫ين‬
3) Demi negeri yang aman ini.
And this City of security

Dalam ayat yang pertama; "Demi buah tiin, demi buah zaitun." (ayat 1).

Terdapat berbagai tafsiran. Menurut Mujahid dan Hasan, kedua buah-buahan itu diambil jadi
sumpah oleh Tuhan untuk diperhatikan. Buah TIIN diambil sumpah karena dia buah yang
terkenal untuk dimakan, buah ZAITUN karena dia dapat ditempa dan diambil minyaknya.
Kata Qatadah: Tiin adalah nama sebuah bukit di Damaskus dan Zaitun nama pula dari sebuah
bukit di Baitul-Maqdis." Tandanya kedua negeri itu penting untuk diperhatikan. Dan menurut
sebuah riwayat pula, yang diterima dari Ibnu Abbas, "Tiin adalah mesjid yang mula didirikan
oleh Nuh di atas gunung al-Judi, dan Zaitun adalah Baitul-Maqdis."

Banyak ahli tafsir cenderung menyatakan bahwa kepentingan kedua buah-buahan itu
sendirilah yang menyebabkan keduanya diambil jadi sumpah. Buah Tiin adalah buah yang
lunak lembut, kemat, hampir berdekatan rasanya dengan buah serikaya yang tumbuh di
negeri kita dan banyak sekali tumbuh di Pulau Sumbawa. Zaitun masyhur karena minyaknya.

Tetapi terdapat lagi tafsir yang lain menyatakan bahwa buah Tiin dan Zaitun itu banyak
sekali tumbuh di Palestina. Di dekat Jerusalem pun ada sebuah bukit yang bemama Bukit
Zaitun, karena di sana memang banyak tumbuh pohon zaitun itu. Menurut kepercayaan dari
bukit itulah Nabi Isa Almasih mi'raj ke langit.

'Demi gunung Sinai.' (ayat 2).

Di ayat ini disebut namanya Thurisinina, disebut juga Thursina, disebut juga Sinai dan
disebut juga Thur saja. Kita kenal sekarang dengan sebutan Semenanjung Sinai.

"Demi negeri yang aman (ayat 3).

Negeri yang aman ini ialah Makkah, tempat ayat ini diturunkan. Sebab itu dikatakan "INI".
Berkata Ibnu Katsir : Berkata setengah imam-imam : Inilah tiga tempat, yang di masing-
masing tempat itu Allah swt telah membangkitkan Nabi-nabi utusanNya, Rasul-rasul yang
terkemuka, mempunyai syariat yang besar-besar. Pertama tempat yang di sana banyak
tumbuh Tiin dan Zaitun. Itulah Baitul-Maqdis. Di sanalah Tuhan mengutus Isa bin Maryam
'alaihis-salam.

Kedua : Thurisinina, yaitu Thurisina, tempat Allah swt bercakap-cakap dengan Musa bin
'Imran, 'alaihis-salam.
Ketiga : Negeri yang aman, yaitu Makkah. Barangsiapa yang masuk ke sana, terjaminlah
keamanannya. Di sanalah diutus Tuhan RasulNya Muhammad s.a.w.

Kata Ibnu Katsir selanjutnya: "Dan di dalam Taurat pun telah disebut tempat yang tiga ini;
'Telah datang Allah swt dan Thursina,' yaitu Allah swt telah bercakap-cakap dengan Musa.
"Dan memancar Dia dari Seir," yaitu sebuah di antara bukit-bukit di Baitul-Maqdis, yang di
sana Isa Almasih dibangkitkan. "Dan menyatakan dirinya di Faran." Yaitu nama bukit-bukit
Makkah, tempat Muhammad s.a.w. diutus.

Maka disebutkan itu semuanya guna memberitakan adanya Rasul-rasul itu sebab itu
diambilNya sumpah berurutan yang mulia, yang lebih mulia dan yang paling mulia."
Maka bersumpahlah Tuhan; Demi buah tiin, demi buah zaitun. Demi Bukit Thurisinina, demi
Negeri yang aman Tuhan bersumpah dengan tiin dan zaitun, itulah lambang dari
pergunungan Jerusalem, Tanah Suci, yang di sana kedua buah-buahan itu banyak tumbuh,
dan di sana Almasih diutus Allah dengan Injilnya.

Dan bersumpah pula Tuhan dengan Thursina, yaitu gunung tempat Tuhan bercakap dengan
Musa dan tempat Tuhan memanggil dia, di lembahnya yang sebelah kanan, di tumpak tanah
yang diberi berkat yang ber¬nama Thuwa, di pohon kayu itu. Dan bersumpah pula Tuhan
dengan Negeri yang aman sentosa ini, yaitu negeri Makkah, di sanalah Ibrahim menempatkan
puteranya tertua Ismail bersama ibunya Hajar. Dan negeri itu pulalah yang dijadikan Allah
tanah haram yang aman sentosa. Sedang di luar batasnya orang rampas-merampas, rampok-
merampok, culik-menculik. Dan dijadikanNya negeri itu aman dalam kejadian, aman dalam
perintah Tuhan, aman dalam takdir dan aman menurut syara'."

Seterusnya Ibnu Taimiyah berkata: "Maka firman Tuhan "Demi buah tiin, demi buah zaitun.
Demi Bukit Thurisinina. Demi negeri yang aman ini," adalah sumpah kemuliaan yang
dianugerahkan Tuhan kepada ketiga tempat yang mulia lagi agung, yang di sana sinar Allah
dan petunjukNya dan di ketiga tempat itu diturunkan ketiga kitabNya; Taurat, Injil dan al-
Quran, sebagai¬mana yang telah disebutkannya ketiganya itu dalam Taurat: "Datang Allah
dari Torsina, telah terbit di Seir dan gemerlapan cahayanya dari gunung Paran." Sekedar itu
kita salinkan dari lbnu Taimiyah.

Selanjutnya ada pula penafsir-penafsir zaman sekarang sebagai disebutkan oleh al-Qasimi di
dalam tafsirnya berpendapat bahwa sumpah Allah dengan buah tiin yang dimaksud ialah
pohon Bodhi tempat bersemadinya Buddha Gaotama ketika beliau mencari Hikmat Tertinggi.
Buddha adalah pendiri dari agama Buddha yang di kemudian harinya telah banyak berobah
dari ajarannya yang asli. Sebab ajarannya itu tidak ditulis pada zamannya melainkan lama se-
sudah matinya. Dia hanya diriwayatkan sebagai riwayat-riwayat Hadis-hadis dalam kalangan
kita Muslimin, dari mulut ke mulut Lama kemudian baru ditulis, setelah pemeluk-
pemeluknya bertambah maju.

Menurut penafsir ini pendiri buddha itu nama kecilnya ialah Sakiamuni atau Gaotama. Mula
kebangkitannya ialah seketika dia berteduh bersemadi di bawah pohon kayu Bodhi yang
besar. Di waktu itulah turun wahyu kepadanya, lalu dia diutus menjadi Rasul Allah. Syaitan
berkali-kali mencoba memperdayakannya, tetapi tidaklah telap. Pohon Bodhi itu menjadi
pohon yang suci pada kepercayaan penganut Buddha, yang mereka namai juga Acapala.

Besar sekali kemungkinan bahwa penafsir yang menafsirkan buah Tiin di dalam al-Quran itu
dengan pohon bodhi tempat Buddha bersemadi, belum mendalami benar-benar filsafat ajaran
Buddha. Menurut penyelidikan ahli-ahli, Buddha itu lebih banyak mengajarkan filsafat
menghadapi hidup ini, dan tidak membicarakan Ketuhanan. Lalu pengikut Buddha yang
datang di belakang memuaskan hati mereka dengan menuhankan Buddha itu sendiri.

Tetapi seorang ulama Besar dari Arabia dan Sudan, Syaikh Ahmad Soorkati yang telah
mustautin di Indonesia ini pernah pula menyatakan per¬kiraan beliau, kemungkinan besar
sekali bahwa yang dimaksud dengan se¬orang Rasul Allah yang tersebut namanya dalam al-
Quran Dzul-Kiflii: Itulah Buddha, Asal makna dari Dzul-Kifli ialah yang empunya
pengasuhan, atau yang ahli dalam mengasuh. Mungkin mengasuh jiwa manusia. Maka
Syaikh Ahmad Soorkati menyatakan pendapat bahwa kalimat Kifli berdekatan dengan nama
negeri tempat Buddha dilahirkan, yaitu Kapilawastu

Anda mungkin juga menyukai