Anda di halaman 1dari 11

A.

Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Agama : Islam
Umur : 72 tahun
Alamat : Jeneponto
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Bugis
Status : Menikah
No. RM : 234035
Tgl. Masuk : 25 Januari 2017

B. Riwayat
Keluhan Utama: Nyeri kepala berdenyut sebelah kanan muali dari mata ke
belakang
Riwayat Penyakit: Nyeri kepala sudah dialami sejak 1 bulan yang lalu, sering
terjadi dan bersifat hilang timbul. Ketika serangan, kepala terasa berdenyut
dan dimulai dari mata kemudian menjalar ke belakang pada sisi yang sama
(kanan), pandangan pasien menjadi gelap beberapa saat, namun dengan cepat
kembali.Tidak lama sejak serangan myeri kepala tersebut, tiba-tiba kelopak
mata kanan jatuh dan tidak dapat membuka spontan. Hal ini telah dialam 7
hari yang lalu. Pernah menjalani operasi katarak 2 tahun yang lalu. Memiliki
riwayat hipertensi namun tidak mengonsumsi obat secara rutin.

C. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
TD : 160/100 mmHg
Nadi : 82x/menit, kuat angkat, reguler
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36.8˚C
BB : 55 kg
TB : 157 cm

1
GCS : E4M6V5
Fungsi kortikal luhur : Normal
Menings sign : Negatif
N. Cranialis : Pupil bulat, anisokor ɸ > 2,5mm / 2,5 mm
Refleks cahaya langsung - / +
Refleks cahaya tidak langsung - / +
Refleks kornea tdn / +

Motoric : Tidak ada kelainan


Fungsi sensoris : Tidak ada kelainan
Fungsi otonom : Tidak ada kelainan

Status Interna
 Kepala :konjuctiva pucat -/-, sklera kuning -/-
 Leher : dalam batas normal
 Thoraks : Jantung: suara jantung normal, tidak ada murmur dan
gallop
Paru : Vesikuler, Ronki -/-, Wheezing -/-
 Abdomen: Hati dan lien tidak teraba

D. Diagnosis Kerja
Diagnosa Klinis :Migraine Cerebri Dextra dan Ptosis Dextra
Diagnosa Topis : Vascular Cerebri Dextra
Diagnosa Etiologi : Ophthalmoplegic Migraine

E. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

Terapi
- Ranitidine 1 amp/ 12 jam/ IV
- Dexametasone 1 amp/12 jam/ IV

2
- Mecobalamin 1 amp/ 24jam/ IM
- Pulvis (Asam mefenamat 500 mg, Diazepam 1gr, Ericaff ¾ tab) 2 x 1

F. Follow Up
Date/ 25 April 2017 26 April 2017 27 April 2017
Month/ (UGD) (Rinra) (Rinra)
Year
Day of 1 2 3
Care
Subjektif Nyeri kepala kanan Nyeri kepala masih Nyeri kepala masih
berdenyut dari ada tetapi beratnya tetapi beratnya
mata tembus sudah menurun, sudah menurun,
belakang, kelopak kelopak mata kelopak mata
mata masih masih tertutup masih tertutup,
tertutup tampak sedikit
pergerakan pada
kelopak mata
TD 160/100 120/70 120/80
Nadi 82 80 84
Pernapasa 20 22 20
n
Suhu 36,80C 36,80C 36,80C
Skala nyeri 4 3 2
GCS E4M6V5 E4M6V5 E4M6V5
Fungsi Normal Normal Normal
Kortikal
Luhur
Tanda Negatif Negatif Negatif
Meningeal
N. Pupil bulat, Pupil bulat, Pupil bulat,

3
Cranialis anisokor ɸ >2,5mm anisokor ɸ >2,5mm anisokor ɸ >2,5mm
/ 2,5 mm / 2,5 mm / 2,5 mm
Refleks cahaya Refleks cahaya Refleks cahaya
langsung - / + langsung - / + langsung - / +
Refleks cahaya Refleks cahaya Refleks cahaya
tidak langsung - /+ tidak langsung - /+ tidak langsung - /+
N. Cranial Refleks kornea Refleks kornea Refleks kornea
lainnya tdn/+ tdn/+ tdn/+
Pergeraka N N N N N N
n N N N N N N
Kekuatan 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5
Tonus N N N N N N
N N N N N N
Refleks + + + + + +
Fisiologi + + + + + +
Refleks - - - - - -
Patologi - - - - - -
Sensoris Normal Normal Normal
Otonom Normal Normal Normal
Terapi - Ranitidine 1 - Ranitidine 1 - Ranitidine 1
amp/ 12 jam/ amp/ 12 jam/ amp/ 12 jam/
IV IV IV
- Dexametasone - Dexametasone - Dexametasone
1 amp/12 jam/ 1 amp/12 jam/ 1 amp/12 jam/
IV IV IV
- Mecobalamin - Mecobalamin - Mecobalamin
1 amp/ 24jam/ 1 amp/ 24jam/ 1 amp/ 24jam/
IM IM IM
- Pulvis (Asam Pulvis (Asam Pulvis (Asam

4
mefenamat mefenamat 500 mefenamat 500
500 mg, mg, Diazepam 1gr, mg, Diazepam 1gr,
Diazepam 1gr, Ericaff ¾ tab) 2 x 1 Ericaff ¾ tab) 2 x 1
Ericaff ¾ tab)
2x1
Diagnosa Ptosis ec Parese N. Ptosis ec Parese N. Ptosis ec Parese N.
bagian lain III III III
Terapi - RL 20x/i - RL 20x/i - RL 20x/i
bagian lain - Cenfool ED 4x1 - Cenfool ED 4x1 - Cenfool ED 4x1
- Neurodex 1x1 - Neurodex 1x1 - Neurodex 1x1
- Asam
mefenamat
3x500 mg
- Amlodipin 10
mg
- Dizepam 5 mg

G. Diagnosis AKhir
Diagnosa Klinis :Migraine Cerebri Dextra dan Ptosis Dextra
Diagnosa Topis : Vascular Cerebri Dextra
Diagnosa Etiologi : Ophthalmoplegic Migraine

H. Diskusi
Seorang pasien perempuan berusia 72 tahun datang ke UGD RS Haji
mengeluh nyeri kepala berdenyut sebelah kanan dari mata tembus ke belakang
sejak ± 1 bulan yang lalu. Nyeri kepala ini sering dirasakan pasien dan
sifatnya hilang timbul. Selain itu, kelopak mata kanan pasien tidak dapat
membuka sejak 7 hari yang lalu. Pasien pernah melakukan operasi katarak 2
tahun yang lalu , dan memiliki riwayat hipertensi. Pada pemeriksaan fisik,
Tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 82x/ menit, kuat angkat dan regular,

5
pernapasannya 20x/menit dengan suhu 36,8oC. GCS: E4M6V5. Pada
pemeriksaan refleks cahaya, pupil mata kanan pasien tidak berespon dengan
baik sedangkan mata kiri berespon dengan baik. Pada pemeriksaan gerakan
bola mata, sisi kanan mengalami keterbatasan di mana bola matanya hanya
dapat bergerak di daerah lateral saja.
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan, disimpulkan
diagnosis penyakit pasien adalah neuropati ophthalmoplegik dengan nyeri
berulang. Istilah neuropati ophthalmoplegik dengan nyeri berulang ini baru-
baru saja digunakan oleh International Classification of Headache Society
edisi 3. Sebelumnya, penyakit ini bernama migraine ophthalmoplegik. Hal ini
dilakukan karena dengan menggunakan MRI, hasilnya lebih mengarah ke
neuropati dan hubungan antara migraine masih belum dapat dijelaskan.
Namun, gejala migrain hampir didapatkan pada semua kasus dan tipe nyeri
kepala yang terjadi pun sangat mirip dengan migrain. Dimana migrain adalah
nyeri kepala yang umumnya unilateral yang berlangsung selama 4-72 jam,
sekitar 2/3 penderita migraine predileksinya unilateral, dengan sifat nyeri
berdenyut, dan lokasi nyeri umumnya di daerah frontotemporal dan diperberat
dengan aktivitas fisik. Kebanyakan kasus migraine lebih sering dialami oleh
perempuan dibanding laki-laki (2-3 : 1). Untuk dapat mendiagnosis nyeri
kepala tersebut merupakan migraine, dapat menggunakan kriteria diagnostik
HIS. Kriteria diagnostic HIS untuk migraine mensyaratkan bahwa harus
terdapat paling tidak 3 dari 4 karakteristik berikut: (1) migren dengan satu atau
lebih aura reversible yang mengindikasikan disfungsi serbral korteks dan/atau
tanpa disfungsi batang otak, (2) paling tidak ada satu aura yang terbentuk
berangsur-berangsur lebih dari 4 menit, (3) aura tidak bertahan lebih dari 60
menit, (4) sakit kepala mengikuti aura dalam interval bebas waktu tidak
mencapai 60 menit. Sedangkan untuk kriteria diagnostic HIS untuk migren
tanpa aura mensyaratkan bahwa harus terdapat paling sedikit 10 kali serangan
nyeri kepala seumur hidup yang memiliki kriteria berikut: (a) berlangsung 4-
72 jam, (b) paling sedikit memnuhi dua dari: (1) unilateral, (2) sensasi
berdenyut, (3) intensitas sedang berat, (4) diperburuk oleh aktivitas, (3) bisa

6
terjadi mual muntah, fotofobia dan fonofobia. Dengan gejala seperti itu, maka
tujuan pemberian terapi pada pasien migraine untuk membantu penyesuaian
psikologis dan fisiologis, mencegah berlanjutnya dilatasi ekstrakranial,
menghambat aksi media humoral (misalnya serotonin dan histamine), dan
mencegah vasokonstriksi arteri intracranial untuk memperbaiki aliran darah
otak. Dimana terapi tahap akut berupa ergotamine tatrat, secara subkutan atau
IM diberikan sebanyak 0,25-0,5 mg. Dosis tidak boleh melewati 1mg/ 24 jam.
Secara oral atau sublingual dapat diberikan 2mg segera setelah nyeri timbul.
Dosis tidak boleh melewati 10mg/minggu. Dosis untuk pemberian nasal
adalah 0,5 mg (sekali semprot). Dosis tidak boleh melewati 2 mg (4
semprotan). Untuk terapi profilaksisnya dapat menggunakan metilgliserid
malead, siproheptidin hidroklorida, pizotifen dan propranolol. Daripada
menggunakan obat-obatan, migren lebih baik diatasi dengan menghindari
faktor penyebab, manajemen lingkungan, memperkirakan siklus menstruasi,
yoga, meditasi dan hipnotis. Beberapa faktor penyebab yang sebaiknya
dihindari, secara garis besar digolongkan ke dalam 3 jenis, yaitu (1)
lingkungan (menghindari cahaya terang, keributan, bau menyengat), (2)
makanan yang terdiri atas: (a) makanan yang diawetkan (seperti keju, ragi
pada roti yang segar dan yogurt) dan (b) makanan yang mengandung zat yang
hamper sama dengan neurotransmitter yang dihasilkan tubuh kita (seperti
kopi, coklat, MSG), dan (3) stress psikologis.
Hal ini diakibatkan faktor penyebab tersebut berpengaruh langsung
mensensitasi neurotransmitter. Dimana saat serangan migraine, terdapat nyeri
intracranial yang disertasi peninggian senstivitas julit. Sehingga patofisiologi
migren diduga bukan hanya adanya iritasi pain fiber perifer yang terdapat di
pembuluh darah intracranial, akan tetapi juga terjadi kenaikan sensitisasi set
safar sentral terutama pada system trigeminal, yang memproses informasi
yang berasal dari struktur intracranial dan kulit. Pada beberapa penelitian
terhadap penderita migren dengan aura, pada saat paling awal serang migren
ditemukan adanya penurunan cerebral blood flow (CBF) yang dimulai pada
daerah oksipital dan meluas pelan-pelan ke depan sebagai seperti suatu

7
gelombang (‘spreading oligemia’) dan dapat menyeberang korteks dengan
kecepatan 2-3 mm per menit. Hal ini berlangsung beberapa jam dan kemudian
barulah diikuti proses hyperemia. Pembuluh darah vasodilatasi, blood flow
berkurang, kemudian terjadi reaktif hiperglikemia dan oligemia pada daerah
oksipital, kejadian depolarisasi sel saraf menghasilkan gejala scintillating aura,
kemudian aktivitas sel saraf menurun menimnulkan gejala scotoma. Peristiwa
kejadian tersebut disebut suatu cortical spreading depression (CSD). CSD
menyebabkan hyperemia yang berlama di dalam duramater, edema beurogenik
di dalam meningens dan aktivitas neuronal di dalam TNC (Trigeminal
Nucleus Caudalis) ipsilateral. TImbulnya CSD dan aura migren tersebut
mempunyai kontribusi pada aktivasi trigeminal, yang akan mencetuskan
timbulnya nyeri. Pada serangan migren akan terjadi fenomena pain pathway
pada pain system trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA,
yang kemudian diikuti peninggi Ca sebagai penghantar yang menaikkan
aktivasi proteinkinase seperti misalnya 5-HT, bradykinine, prostaglandin, dan
juga mengaktivasi enzim NOS. Proses tersebutlah sebagai penyebab adanya
penyebaran nyeri, allodynia dan hyperalgesia pada penderita migren. Fase
sentral sesnitasi pada migren dimulai dari penginduksian nyeri oleh komponen
inflamasi yang dilepas dari dura seperti ion potassium, protons, histamine,
5HT (serotonin), bradikin, prostaglandin E di pembuluh darah serebral, dan
serabut saraf yang dapat menimbulkan nyeri kepala. Fase berikutnya dari
sensitasi sentral dimediasi olehh aktivasi reseptor presinap NMDA purinergic
yang mengikat adenosine triphospat (reseptor P2X3) dan reseptor 5HT IB/ID
pada terminal sentral dari nosiseptor C-fiber. Nosiseptor C-fiber
memperbanyak pelepasan transmitter.
Sedangkan pada neuropati ophthalmoplegi dengan nyeri berulang
merupakan sindrom neurologic langka dengan karakteristik nyeri kepala dan
ophtalmoplegia berulang. N. III merupakan saraf yang paling sering terjangkit
dengan gejala midriaasis dan ptosis. Kebanyakan pasien dapat pulih kembali
dalam beberapa hari –minggu, namun beberapa tetap memiliki deficit
neurologi persisten. Penyakit ini biasanya muncul pada masa kanak-kanak,

8
namun tidak menutup kemungkinan dapat pula terjadi pada orang dewasa.
Untuk mendiagnosis penyakit ini, ICHS mensyaratkan pasien memiliki
sekurang-kurangnya 2 serangan yang menyerupai migraine kemudian dalam
waktu 4 hari terjadi paresis N. III. IV dan/atau N. VI, termasuk
opthalmoparesis, ptosis, atau midriasis. Penyebab nyeri opthalmoparesis
lainnya seperti tumor, infeksi dan thrombosis harus dihilangkan dengan
pemeriksaan penunjang. Sementara Walsh dan O’Doherty pun memberikan
spesifik kriteria yang diperlukan untuk mendiagnosis Migrain
Opthalmoplegik: nyeri kepala yang hebat dan berdenyut; nyeri kepala
biasanya unilateral, dapat juga bilateral atau berganti-gantian; nyeri kepala
sering bersifat kresendo dan dapat bertahan dalam beberapa jam hingga hari;
Opthalmoplegia – termasuk satu atau lebih nervus dan dapat pindah ke sisi
lainnya dalam serangan; Paralisis otot extra ocular dapat terjadi pada serangan
pertama atau terjadi sebelum serangan (sangat jarang). Patogenesis penyakit
ini masih belum jelas. Dengan gejala nyeri kepala unilateral dan paresis
nervus okulomotorik, menandakan sebuah lesi yang terletak di daerah perifer
N. III. Adapun 2 teori yang sering digunakan: (a) Beberapa peneliti
menjelaskan kompresi satu atau beberapa nervus oculomotor akibat dilatasi
atau edema intracavernosus pada arteri carotis interna. Dengan menggunakan
angiografi, ditemukan penyempitan intracavernosus dari A. Carotis Interna
dapat menyebabkan migraine opthalmoplegic. (b) Adapun penjelasan yang
lebih masuk akal lainnya dimana selama serangan migraine opthalmoplegik,
terjadi penurunan aliran darah A. Carotis Interna dan mungkin saja juga
melalui A. Cerebri posterior ataus A. Basilaris, yang dapat mengurangi
alirannya ke satu atau beberapa nervus okulomotorik sehingga menimbulkan
paresis sikemik okulomotorik. Dikarenakan 2/3 pasien dengan migraine
opthalmoplegic memiliki gejala berupa paresis okulomorik dengan pupil yang
tidak memiliki kelainan atau hanya sedikit saja berkelainan. Oleh karena itu,
teori ini lebih memungkinkan dibandingkan teori lesi kompresi. Sampai saat
ini, pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis hanya MRI.
Dengan memasukkan gadolinium selama serangan akut, ditemukan 75%

9
mengalami penambahan kontras N. III dan 76% mengalami penebalan nervus
dari subyek penelitian. Beberapa foto vaskular pun didapatkan dalam beberapa
kasus. Abnormalitas ditemukan hanya pada 3 pasien. DAN mereka memiliki
etiologi yang tidak jelas: (1) Angioma venous memasuki sinus cavernosus. (2)
Dilatasi infundibular melubangi cabang A. Cerebri posterior yang berada di
atas A. Cerebellar yang berkesinambungan nervus oculomotor terkait. Dan (3)
terdapat kontak antara N. VI dan A. Basilaris dan A. Cerebrum inferior
anterior ipsilateral. Sedangkan pada analisis Cairan Serebrospinal, dari semua
sampel, hanya 2 pasien yang mendapat hasil abnormal 1. Peningkatan Ig G
tanpat ikatan oligoclonal dan yang lainnya memiliki ikatan single oligoclonal.
Oleh karena itu, penelitian yang membahas penatalaksaan penyakit ini sangat
sedikit jumlahnya. Karena itu sifat penyembuhan penyakit ini bergantung pada
individu. Dirasakan adanya keuntungan dalam penggunaan kortikosteroid,
berupa peningkatan dalam 1-2 hari pada 14 pasien, namun tidak terlalu jelas
atau perburukan gejala. Namun , beberapa pasien efeknya tidak jelas. Dosis
efektif minimum 2mg prednisone/kg/hari diberikan selama beberapa minggu
dengan tapering off lama.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Gelfand et al. 2012. Opthalmoplegic Migraine or Recurrent Opthalmoplegic


Cranial Neuropathy: New Cases and a Systematic Review dalam “ J Child
Neurol” 27 (6): 759-766
2. Dudani, Ajay et al. 2001. Opthalmoplegic Migraine dalam “Journal of the
Bombay Ophthalmologists’ Association” Vol 11 No. 3l
3. Carlow, Thomas J. 2012. Occulomotor Ophthalmoplegic Migraine: Is it
Really Migraine? Dalam J Neurol-Ophthalmol” Vol 22: 216-221
4. O’Day et al. 1980. Opthalmoplegic Migraine and Aberrant Regeneration of
the Occulomotor Nerve dalam “British Journal of Opthalmology. Vol. 64;
534-536
5. Ravinshakar, K. 2008. Ophthalmologic Migraine: Still a Diagnostic
Dilemma? Dalam Current Pain and Headache Reports. 12: 285-291
6. Teixido, Michael dan John Carey. 2014. “Migraine-More than A Headache.”
Dalam John Hopkins Otolaryngology – Head & Neck Surgery
7. Widjaja, Jimmy Hadi. 2013. Mekanisme Terjadinya Nyeri Kepala Primer.
Surabaya

11

Anda mungkin juga menyukai