PENDAHULUAN
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi, seperti
bakteri, virus, jamur dan benda asing (Ngastiyah, 2000). Bronkopneumonia adalah radang
paru yang berasal dari cabang-cabang tenggorok yang mengalami infeksi dan tersumbat oleh
getah radang, menimbulkan pemadatan-pemadatan bergerombol dalam lobulus paru yang
berdekatan, biasanya terjadi akibat batuk rejan, campak, influenza, tifus, dan sebagainya
(Ramali Ahmad, 2000: 41).
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan,
baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Insiden penyakit ini pada
negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko
kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari
seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun.Dari data SEAMIC Health
Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia,
nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan
nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi
akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk bronkopneumonia
dan influenza (Administered by the Albert Medical Association, 2002).
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi
pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda
dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E. Colli, Pseudomonas sp, atau
Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih beeasr dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh
infeksi Streptococus pneumoniae, Haemophillus inflienzae tipe B, dan Staphylococcusaureus,
sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. (Murray, 2005).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BRONKOPNEUMIA
Bronkopneumonia adalah radang paru yang berasal dari cabang-cabang tenggorok yang
mengalami infeksi dan tersumbat oleh getah radang, menimbulkan pemadatan-pemadatan
bergerombol dalam lobulus paru yang berdekatan, biasanya terjadi akibat batuk rejan,
campak, influenza, tifus, dan sebagainya (Ramali Ahmad, 2000: 41).
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada parenkim paru
yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy
distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar bronkus yang mengalami peradangan
multifokal dan biasanya bilateral (Putri, 2010).
2.1.2 ETIOLOGI
Menurut Bradley et.al. (2011), penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah:
1. Faktor Infeksi
a. Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
b. Pada bayi :
1) Virus: Virus parainfluensa, virus influenza,Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.
2) Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis,Pneumocytis.
3) Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa,
Bordetellapertusis.
c. Pada anak-anak :
1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus,Adenovirus, RSV
2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
3) Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis
d. Pada anak besar – dewasa muda :
1) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
2) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis
b. Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli
petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti
palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian
makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit
tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung
asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.
Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data di
negara maju : 5,6
Usia Etiologi tersering Etiologi terjarang
Lahir – 20 hari Bakteri : E.colli, Bakteri : Bkateri anaerob,
Streptococcus grup B, Listeria Streptococcus grup D,
monocytogenes Haemophilus influenza,
Streptococcus pneumoniae
2.1.3 Epidemiologi
Insiden penyakit pneumonia ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun.
Dari data SEAMIC Health Statistic 2001, influenza dan pneumonia merupakan penyebab
kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di
Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan
bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran
napas akut termasuk bronkopneumonia dan influenza (Fadhila, 2013).
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang tinggi
di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan
infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau di dalam rumah sakit/pusat
perawatan (pneumonia nosokomial/PN). (Suparman, 2011)
2.1.4 Klasifikasi Bronkopneumia
1. Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada
umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan
bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan
terapi yang lebih relevan. (Pedoman Diganosis dan Terapi Kesehatan Anak, 2005)
Berdasarkan lokasi lesi di paru
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis
Pneumonia intersitialis
a. Berdasarkan asal infeksi
Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired pneumonia)
Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit (hospital based pneumonia)
b. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
c. Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
d. Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten
2.1.5 Patogenesis
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa atau
seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia yang umum adalah
pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini
dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-
lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah
masuk kedalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi
terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus
ke alveolus. (Guyton, 1997)
Dalam keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring sampai
parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh mekanisme
pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme pertahanan
imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat
di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobunlin lain.
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi
dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami
konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya
kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin
semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis
yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Berikutnya, jumlah makrofag
meningkat di alveoli, dimana sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan
debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan
paru yang tidak terkena akan tetap normal.
Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang jalan napas
atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan obstruksi jalan napas
akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler. Diameter jalan napas yang kecil pada
bayi menyebabkan bayi rentan terhadap infeksi berat. Atelektasis, edema intersitial, dan
ventilation-perfusition mismatch menyebabkan hipoksemia yang sering disertai obstruksi
jalan napas. Infeksi viral pada traktus respiratorius juga dapat meningkatkan risiko terhadap
infeksi bekteri sekunder dengan mengganggu mekanisme pertahanan normal pejamu,
mengubah sekresi normal, dan memodifikasi flora bakterial.
Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik bervariasi
tergantung organisme yang menginvasi. M. penumoniae menempel pada epitel respiratorius,
menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi seluler dan memicu respons inflamasi
di submukosa. Ketika infeksi berlanjut, debris seluler yang terlepas, sel-sel inflamasi, dan
mukus menyebabkan onstruksi jalan napas, dengan penyebaran infeksi terjadi di sepanjang
cabang-cabang bronkial, seperti pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan edema
lokal yang membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian paru lain,
biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh
lapangan paru. (Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, 2005)
Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan infeksi yang lebih difus
dengan pneumonia intersitial. Pneumonia lobar tidak lazim. Lesi terdiri atas nekrosis mukosa
trakeobronkial dengan pembentukan ulkus yang compang-camping dan sejumlah besar
eksudat, edema, dan perdarahan terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke sekat interalveolar
dan melibatkan fasa limfatika. Pneumonia yang disebabkan S.aureus adalah berat dan infeksi
dengan cepat menjadi jelek yang disertai dengan morbiditas yang lama dan mortalitas yang
tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan penggabungan
bronkopneumoni yang sering unilateral atau lebih mencolok pada sati sisi ditandai adanya
daerah nekrosis perdarahan yang luas dan kaverna tidak teratur.
2.2 MANIFESTASI KLINIK
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis biasanya berat
yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus.
Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (nonspesifik),
gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi demam,
menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan
gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit perut.3
Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah
gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala napas cuping hidung, takipnu, dispnu, dan
timbul apnu. Otot bantu napas interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk
umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. 2
Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya
penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tata laksana
pneumonia. Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur.
Tim WHO telah merekomendasikan untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak
dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi napas yang lebih dari normal serta adanya
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkan sebagai
pneumonia (di lapangan), dan harus memerlukan perawatan dengan pemberian antibiotik.
Perkusi toraks pada anak tidak mempunyai nilai diagnostik karena umumnya kelainan
patologinya menyebar; suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. 2
Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi basah halus
yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi. Pada bayi dan
balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya suara napas saling berbaur, dan sulit
untuk diidentifikasi. 2
Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan pneumonia
viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya
cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada
pemeriksaan radiologis. 2
Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.
2.2.1. Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang berhubungan dengan
proses persalinan, misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan amnion, dari serviks ibu, atau
berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS. infeksi juga dapat terjadi karena
kontaminasi dari komunitasnya. Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
tidak khas, mencakup serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea,
letargi, muntah, tidak, mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta dan demam.
Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi. Keadaan ini sering sulit dibedakan dengan keadaan
sepsis dan meningitis. 6
Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada satu paru hingga konsolidasi
luas pada kedua paru. Pada satu penelitian, ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak
terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan di pru kiri dan
terbanyak di olbus bawah, hal itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat
dengan resiko terjadinya pleuritis lebih besar. 6
2.4. DIAGNOSIS
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan / atau serologis
merupakan dasar terpi yang optimal. Akan tetapi penemuan bakteri penyebab tidak selalu
mudah karena memerlukan laboratorim yang memadai. Prediktor paling kuat adanya
pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut :
takipnea, batuk, nafas cuping hidung, rtraksi, ronki dan suara nafas melemah serta didukung
oleh gambaran radiologis. 6
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, maka dalam
upaya peanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana
pneumonia yang sederhana. 6
Kejang
Letargis
Malnutrisi
o Pneumonia berat
o Pneumonia
o Bukan pneumonia
Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan
simptomatis seperti penurun panas.
Kejang
Letargis
Retraksi
o Bukan pneumonia
2.5. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi empiema torasis (komplikasi tersering oleh
pneumonia bakteri), perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti
meningitis purulenta. Miokarditis (tekanan sistolik ventrikel kanan meningkat, kreatinin
kinase juga meningkat, dan gagal jantung) juga dilaporkan cukup tinggi pada seri pneumonia
anak berusia 2-24 bulan. 6
2.6. PENATALAKSANAAN
Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan trutama
berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis,disters pernafasan, tidak mau makan
atau minum, atau ada penyakit dasaryang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan
usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat
inap. 6
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik
yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemeberin cairan intravena,
oksigen, koreksi terhadap gangguan asa basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan
demam dapat diberikan analgetik /antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. 6
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utma keberhasilan pengobatan. Terapi
antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh
bakteri. 6
a. Pneumonia Rawat Jalan
Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya
amoksis]ilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/kgBB,
sedangkan kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol. 6
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan sebagai terapi
alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya
aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan bakteri atipik. Dosis eritromisin 30-50
mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6 jam selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2 kali sehari
dengan dosis 15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB 3-5 hari (hari pertama)
dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari berikutnya. 6
b. Pneumonia Rawat Inap
Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta laktam, ampisilin
atau amoksisislin dikombinasikan degan kloramfenikol. Antibiotik yang diberikan berupa :
Penisilin G intrvena ( 25.000 U/kgBB setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB setiap
6 jam ), dan seftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ). Keduanya diberikan selama
10 hari. 6
2.6. REVENTIF
2.6.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko terhadap kejadian
pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain: 9
a. Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT (Dipteri, Pertusis,
Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan 4 bulan.
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi neonatal sampai
berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita. Di samping itu, zat-zat gizi yang
dikonsumsi bayi dan anak-anak juga perlu mendapat perhatian.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di luar
ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang
telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan
mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan
yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan ternjadinya komplikasi. Upaya
yang dapat dilakukan antara lain: 9
a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral dan
penambahan oksigen.
b. Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin, atau amoksisilin.
c. Bukan pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi antibiotik. Bila
demam tinggi diberikan paracetamol. Bersihkan hidung pada anak yang mengalami
pilek dengan menggunakan lintingan kapas yang diolesi air garam. Jika anak
mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama 10 hari ke depan.
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak munculnya
penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi balita, mengurangi kematian
serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan tingkat ini dilakukan upaya untuk mencegah
proses penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan. Upaya yang dilakukan dapat
berupa : 9
a. Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri antibiotik selama 5 hari,
anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak memburuk.
b. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan terdekat agar
penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan kematian.
2.7. PROGNOSIS
Dengan pemberian antiboitik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan sampai
kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat
menunjukan mortalitas yang lebih tinggi. 1
2.8. Farmakoterapi
Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada
umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris dengan antibiotika
spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri pathogen diketahui, antibiotika
diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit sesuai patogen.
Tabel 6.1. Antibiotika pada terapi Pneumonia 3,28,34,43
ILUSTRASI KASUS
Nama : Aleesa
Umur : 10 bulan
No. MR : 184564
3.2. Anamnesa
4. Mual (-)
5. Muntah (-)
b. Frekuensi nafas : 64
g. Rongki (+)
3.5. Terapi :
1. IVFD 2A 8 tetes/makro.
2. Ampicillin 250 mg/ 4 dosis terbagi.
3. Gentamisin 2 x 18 mg.
4. Oralit.
5. Zinc 1x 10 mg.
1. IVFD 2A
Pemberian : IV
2. Ampicilin
Perhatian : Monitor fungsi ginjal, hati & darah pada penggunaan jangka
panjang. Bayi yang baru lahir dari ibu yang hipersensitif terhadap penicillin.
Pelarut :
Compatible
Isolyte M or P with dextrose 5%
Incompatible
Amino acids 4.25%, dextrose 25%
Dextran 40 10% in sodium chloride 0.9%
Dextran 40 10% in dextrose 5% in water
Dextran 70 6% in sodium chloride 0.9%
Dextran 70 6% in dextrose 5% in water
Dextrose 5% in sodium chloride 0.9%
Dextrose 5 or 10% in water
Fat emulsion 10%, IV
Fructose 5.25%
Hetastarch 6%
Invert sugar 7.5% with electrolytes
Invert sugar 10% in water
Ringer's injection, lactated
Sodium bicarbonate 1.4%
Sodium lactate (1/6) M
Variable
Ringer's injection
Sodium chloride 0.9%