Anda di halaman 1dari 3

KOMPAS.

com - Hasil revisi Kurikulum 2013 kemungkinan akan segera diumumkan oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayan Anies Baswedan. Jika revisi hanya mengacu persoalan
teknis-implementatif, revisi tak akan berguna, sebab pokok persoalan sesungguhnya lebih
pada substansi, bukan isi materi atau implementasi. Inilah yang harus direvisi. Revisi harus
menyentuh hal-hal yang fundamental yang selama ini jadi persoalan serius dalam Kurikulum
2013. Tiga langkah perlu dilakukan. Pertama, merevisi landasan yuridis pelaksanaan
Kurikulum 2013, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 32 Tahun 2014 tentang Standar
Nasional Pendidikan yang merevisi PP No 19 Tahun 2005. Revisi PP No 32 Tahun 2014
akan berdampak pada revisi peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (permendikbud)
yang jadi dasar pelaksanaan Kurikulum Pendidikan. Kedua, revisi atas PP No 32 Tahun 2014
akan berdampak pada revisi atas beberapa landasan konseptual filosofis pedagogis
Kurikulum 2013 yang selama ini dianggap bermasalah, seperti konsep Kompetensi Inti,
Kompetensi Dasar, Silabus, tematik integratif, desain buku ajar, dan sistem evaluasi dan
penilaian. Ketiga, revisi pendekatan praktis dalam metode pelatihan guru terkait substansi,
isi, dan keterampilan yang dibutuhkan. Fokus revisi Ada 10 fokus revisi yang harus
dilakukan tim revisi bentukan Anies. Tanpa menyentuh 10 hal fundamental ini, revisi tak
akan bermakna karena hanya akan melanjutkan sebuah implementasi kurikulum yang dasar
pijakannya sudah keliru sejak awal. Pertama, revisi konsep Kompetensi Inti. Kompetensi Inti
dipahami sebagai ”tingkat kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan yang
harus dimiliki seorang peserta didik”. Kompetensi Inti yang dipahami sekadar menjadi sikap
spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan sangatlah meredusir kekayaan, hakikat, dan
proses belajar itu sendiri. Apalagi jika kompetensi spiritual hanya dipahami sebagai
”menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya”, yang berlaku sama untuk seluruh
jenjang dari tingkat dasar sampai menengah, sedangkan sikap hanya mengacu pada perilaku
tertentu yang sifatnya sangat terbatas. Kurikulum 2013 telah memasukkan sebuah konsep
dasar yang meredusir kekayaan kompleksitas proses belajar yang sesungguhnya. Inilah yang
perlu direvisi. Revisi terutama justru mengembalikan hakikat proses belajar yang melampaui
sekadar pengembangan sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi
Inti harus didesain secara utuh dan komprehensif, tak parsial dengan membagi-baginya
menjadi komponen-komponen yang akan diselaraskan dalam proses belajar. Kedua,
pengarusutamaan pada spiritualisme. Kurikulum 2013, dengan memagari proses
pembelajaran pada kompetensi inti, terutama pada sikap spiritual, telah menghasilkan
spiritualisasi proses pembelajaran. Proses belajar diarahkan semuanya pada praksis
“penghayatan dan pengamalan agama yang dianut siswa”. Ini sebuah pendekatan kurikulum
yang sangat absurd, memiskinkan kekayaan pengalaman belajar, dan mendiskriminasi siswa
yang agamanya tidak resmi diakui oleh pemerintah. Akibatnya, muncul definisi Kompetensi
Dasar (KD) yang tak masuk akal, aneh-aneh, dan lucu. Pada pelajaran Matematika kelas X,
misalnya, definisi kompetensi inti dan dasar ternyata sama, yaitu menghayati dan
mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Ini pelajaran matematika atau pelajaran agama?
Pendekatan spiritualis seperti inilah yang harus direvisi menjadi pendekatan pembelajaran
yang lebih rasional, mengedepankan akal budi dan nilai-nilai universal yang bisa dipelajari
semua orang. Ketiga, pendidikan agama dan budi pekerti. Kurikulum 2013 telah
memperkenalkan sebuah konsep yang sangat keliru tentang kaitan antara pendidikan agama
dan budi pekerti. Ketatnya jumlah jam belajar telah memaksa pemerintah menggabungkan
pendidikan agama dengan budi pekerti. Pemerintah salah memahami seolah-olah agama-
agama mengajarkan pendidikan budi pekerti yang berbeda. Padahal, agama memiliki domain
ajaran yang berbeda dengan pendidikan budi pekerti. Pelajaran agama bersifat eksklusif,
dogmatis, ritual, sedangkan pendidikan budi pekerti bersifat inklusif, terbuka, dan mengacu
pada praksis kehidupan bersama secara bijak, adil, saling menghormati. Apabila pendidikan
agama masuk ranah kepercayaan yang sifatnya sangat subyektif, pendidikan budi pekerti
berada pada ranah moral yang memiliki kodifikasi nilai universal, berupa nilai-nilai moral
kemanusiaan. Mengintegrasikan pendidikan budi pekerti pada pendidikan agama jelas akan
kian menyegregasi anak-anak Indonesia berdasarkan kelompok agama dan ini akan
mereduksi pengalaman mereka akan keragaman dan kebersamaan. Keempat, revisi silabus.
Silabus bagian tak terpisahkan dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.
Silabus harus direvisi karena telah terjadi logika terbalik. Kurikulum 2013 ternyata membuat
silabus berdasarkan buku yang sudah dicetak, menyesuaikan dan menambahkan apa yang
kurang. Permendibud No 57 Tahun 2014 menjelaskan adanya tiga pola format silabus: (1)
KD diberi keterangan: KD buku, KD silabus, KD buku dan silabus, KD buku tetapi tidak
sesuai permendikbud. (2) KD diberi keterangan: ada di buku, tidak ada di buku. (3) KD Dasar
tanpa keterangan. Keterangan ini mengindikasikan bahwa silabus dibuat berdasarkan buku,
dan bukan buku berdasarkan silabus. Logika terbalik ini membuat kualitas buku kurikulum
dipertanyakan. Kelima, pendekatan tematik integratif berubah menjadi materi pelajaran.
Kurikulum 2013 untuk sekolah dasar mengubah seluruh proses pembelajaran dalam format
tematik integratif. Tematik integratif sesungguhnya sebuah metode belajar, bukan mata
pelajaran. Fokus pembelajaran semestinya tetap pada pengembangan dasar-dasar ilmu
pengetahuan. Fokus ini menjadi hilang dan siswa lebih gemar mempelajari tema. Akibatnya,
siswa hanya akan menghafalkan fragmen-fragmen tematis pembelajaran, tanpa mampu
mengintegrasikan kaitan antara ilmu yang satu dan yang lain. Situasi ini diperparah dengan
tidak adanya peta kompetensi dalam silabus. Keenam, peta kompetensi dasar. Silabus dalam
Kurikulum 2013 tidak menyertakan peta kompetensi dasar. Yang ada dalam buku kurikulum
hanyalah jaringan kompetensi dasar. Akibatnya, beberapa kompetensi diajarkan berulang-
ulang dalam tema-tema yang lain, sedangkan kompetensi yang lain sama sekali tidak dibahas.
Ini dapat dimaklumi karena pada saat pembuat buku ajar mendesain buku, mereka tidak
dilengkapi dengan silabus sehingga kompetensi yang dibuat hanya perkiraan penulis buku
saja. Tanpa adanya peta kompetensi, kita tak dapat mengetahui sejauh mana proses belajar
siswa, dan apakah seluruh kompetensi keilmuan yang dibutuhkan telah terliput dalam
keseluruhan tema pembelajaran. Akibat fatal dari absennya peta kompetensi ini adalah
rangka-bangun keilmuan siswa sekolah dasar sangat rapuh. Ketujuh, indikator pembelajaran.
Tim revisi kurikulum harus merevisi silabus dengan menyertakan indikator pembelajaran.
Tanpa adanya indikator pembelajaran yang lebih detail, proses pembelajaran tidak dapat
dinilai dan dievaluasi. Kompetensi dasar yang ada saat ini masih terlalu umum, bahkan
kompetensi dasar untuk Matematika kelas X untuk sikap spiritual sama dengan kompetensi
dasar. Tanpa adanya indikator pembelajaran, seluruh proses pembelajaran dalam Kurikulum
2013 tidak dapat dievaluasi. Evaluasi pembelajaran Kedelapan, model evaluasi dan penilaian.
Tim revisi kurikulum harus merevisi model evaluasi pembelajaran baik secara mikro maupun
makro. Penilaian yang bersifat mikro adalah evaluasi proses pembelajaran dalam kelas, dan
yang makro adalah keseluruhan sistem evaluasi pendidikan nasional. Penilaian kompetensi
sikap sangat bermasalah dan tidak realistis karena guru hanya akan disibukkan mengamati
siswa agar dapat mengisi kolom penilaian. Adapun secara makro, spirit pembelajaran dalam
Kurikulum 2013 mewajibkan pemerintah menghapus sistem ujian nasional karena
bertentangan dengan roh dalam Kurikulum 2013. Tetap mempertahankan ujian nasional
merupakan sikap inkonsisten dan keengganan dalam merevolusi mental. Kesembilan, model
pelatihan guru harus diubah. Guru perlu dilatih untuk memiliki kekayaan dalam berbagai
macam strategi dan pendekatan belajar, serta pendekatan dalam proses penilaian, melalui
rubrik, portofolio, proyek, dan lain-lain. Fokus pada micro teaching, bukan pada paparan
presentasi power point seperti terjadi selama ini. Kesepuluh, desain buku pelajaran. Buku-
buku pelajaran yang sudah dicetak harus dinyatakan sebagai salah satu referensi sumber
pembelajaran saja karena kualitas buku Kurikulum 2013 dipertanyakan dari segi isi dan
substansinya. Pemerintah perlu mendesain buku pelajaran dengan lebih baik dan
menyertakan akademisi lintas ilmu agar dapat mendesain buku pelajaran yang baik dan
bermanfaat, bukan menyerahkan kepada para penulis buku amatiran yang sekadar punya
pengalaman mengajar. Sepuluh hal fundamental di atas haruslah jadi fokus perhatian bagi tim
revisi Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 bermasalah bukan karena persoalan teknis, seperti
pembagian dan cetak buku, melainkan secara substansial dan fundamental bermasalah. Jika
sepuluh hal di atas tidak masuk dalam kajian dan hasil yang akan dilaporkan oleh tim revisi
Kurikulum 2013, saya tidak melihat kesungguhan pemerintah dalam merevisi Kurikulum
2013. Ini berarti membiarkan masa depan anak Indonesia dalam sebuah proses pendidikan
yang salah kaprah berkepanjangan. Doni Koesoema A Alumnus Curriculum and Instruction
Faculty, Boston College Lynch School of Education, Boston, AS

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Merevisi Kurikulum 2013",
https://nasional.kompas.com/read/2014/12/08/14000081/Merevisi.Kurikulum.2013.

Anda mungkin juga menyukai