Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sepsis menempati urutan kesepuluh sebagai penyebab utama kematian di Amerika
Serikat dan penyebab utama kematian pasien kritis. Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit
perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa setelah pasien masuk atau penyebab yang
tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali dari tahun 1979-2000, menjadi
sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) di Amerika serikat. Sepsis dapat
mengenai berbagai kelomok umur, pada orang dewasa sepsis disebabkna karena adanya
penyakit kronik maupun infeksi lainya.
Ulkus kaki diabetik sampai saat ini menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia,
karena kasus yang semakin meningkat, ulkus bersifat kronis dan sulit sembuh, mengalami
infeksi dan iskemia tungkai dengan risiko amputasi bahkan mengancam jiwa, membutuhkan
sumber daya kesehatan yang besar, sehingga memberi beban sosio-ekonomi bagi pasien,
masyarakat, dan negara. Berbagai metode pengobatan telah dikembangkan namun sampai
saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Peningkatan populasi penderita diabetes
mellitus (DM), berdampak pada peningkatan kejadian ulkus kaki diabetik sebagai komplikasi
kronis DM, dimana sebanyak 15-25% penderita DM akan mengalami ulkus kaki diabetik di
dalam hidup mereka (Singh dkk., 2005). Di Amerika Serikat, Huang dkk.
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset
atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga
morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain
menyetakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10
kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko
yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya usia, lebih banyak dan
lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan
hiperinsulinemia.
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putihberkisar antara 3%-6% dari jumlah
pendudukdewasanya. Di Singapura, frekuensidiabetes meningkat cepat dalam 10
tahunterakhir. Di Amerika Serikat, penderitadiabetes meningkat dari 6.536.163 jiwa ditahun

1
1990 menjadi 20.676.427 jiwa di tahun2010. Di Indonesia, kekerapan diabetesberkisar antara
1,4%-1,6%, kecuali dibeberapa tempat yaitu di Pekajangan 2,3%dan di Manado 6%.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah yang ditemukan pada
masyarakat baik di negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia. Hipertensi
merupakan suatu keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih dari sama dengan 140
mmHg dan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg. Hipertensi dapat diklasifikasikan
menjadi dua jenis yaitu hipertensi primer atau esensial yang penyebabnya tidak diketahui dan
hipertensi sekunder yang dapat disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit endokrin, penyakit
jantung, dan gangguan anak ginjal. Hipertensi seringkali tidak menimbulkan gejala,
sementara tekanan darah yang terus-menerus tinggi dalam jangka waktu lama dapat
menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, hipertensi perlu dideteksi dini yaitu dengan
pemeriksaan tekanan darah secara berkala (Sidabutar, 2009).
Tuberkulosis paru (TB) adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia
ini1.Tuberkuosis paru merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di paru. Mikobakterium ini
ditransmisikan melalui droplet di udara, sehingga seorang penderita tuberculosis paru
merupakan sumber penyebab penularan tuberculosis paru pada populasi di sekitarnya.

Menurut WHO (2006) dilaporkan angka prevalensi kasus penyakit tuberculosis paru
di Indonesia 130/100.000, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan jumlah kematian sekitar
101.000 pertahun, angka insidensi kasus Tuberkulosis paru BT (+) sekitar 110/100.000
penduduk. Penyakit ini mrupakn penyebab kematian urutan ketiga, setelah penyakit jantung
dan penyakit saluran pernafasan. WHO dalam Annual Report on Global TB Control (2003)
menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countries terhadap
tuberculosis paru, termasuk Indonesia dan Indonesia menempati urutan ketiga di dunia dalam
hal penderita tuberculosis paru setelah India dan China.2 Di Indonesia tahun 2004 tercatat ±
627.000 insiden tuberculosis paru dengan ± 282.000 diantaranya positif pemeriksaan dahak.

Konsekuensi yang dapat terjadi pada penderita TB paru yang tidak melakukan
pengobatan, setelah lima tahun menderita diprediksikan 50% dari penderita TB paru akan
meninggal. Sedangkan sekitar 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan
25% lainnya sebagai “kasus kronis” yang tetap menular (WHO, 1996).

2
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami tentang Sepsis e.c ulcus pedis digiti 1 dextra,
Diabetes Melitus tipe 2 tidak terkontrol normoweight, Hipertensi stage 1
essensial, dan Tuberkulosis Paru.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi, patogenesa,
diagnosa, dan penatalaksanaan Sepsis.
2. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, diagnosa, dan
penatalaksanaan Ulcus pedis.
3. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi, diagnosa,
dan penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2.
4. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi, diagnosa,
dan penatalaksanaan Hipertensi.
5. Mengethaui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi, diagnosa,
dan penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
1.3 Manfaat Penulisan
1. Sebagai sumber media informasi mengenai Sepsis, Ulcus pedis, Diabetes Melitus
Hipertensi, dan Suspect TB paru
2. Sebagai laporan kasus yang menyajikan analisis kasus tentang Sepsis, Ulcus pedis,
Diabetes Melitus dan Hipertensi.
3. Untuk memenuhi tugas case report session kepaniteraan klinik senior di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Solok 2016.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.SEPSIS

2.1.1 DEFINISI SEPSIS

Adalah sindroma klinik oleh karena reaksi yang berlebihan dari respon imun tubuh yang
distimulasi mikroba/bakteri baik dari dalam dan luar tubuh. Dipandang dari imunologi sepsis
adalah reaksi hiperaktivitas.

Systemic Inflammatory Response Syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih
kriteria sebagai berikut :

1. Suhu > 38℃ atau < 36℃


2. Denyut jantung >90 denyut/menit
3. Respirasi >20/menit atau Pa CO2 < 32 mmHg
4. Hitung leukosit > 12.000/𝑚𝑚3 atau > 10 % sel imatur (band).
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan
biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut).

2.1.2. ANGKA KEJADIAN SEPSIS

Sepsis adalah salah satu alasan paling umum untuk masuk ke unit perawatan intensif
(ICU) di seluruh dunia. Di Amerika serikat sekitar 750.000 kasus sepsis terjadi setiap tahun,
setidaknya 225.000 dari yang fatal. Pasien sepsis umumnya dirawat di rumah sakit untuk
waktu yang lama, jarang meninggalkan ICU sebelum 2-3 minggu. Meskipun penggunaaan
agen antimikroba dan maju pendukung kehidupan, angka kematian untuk pasien dengan
sepsis tetap antara 20% dan 30% selama 2 dekade terakhir.

2.1.3. DERAJAT SEPSIS

1. SIRS, ditandai dengan ≥ 2 gejala sbb:


- Hipertermia/ hipotermia ( > 38,3 ℃/ < 35,6 ℃ )
- Takipnue (resp > 20/ menit)
- Takikardia (pulse >100/ menit)
- Leukositosis >12000/mm atau leukopenia <4000/mm
- Sel imatur > 10%

4
2. SEPSIS

Infeksi disertai SIRS

3. SEPSIS BERAT

Sepsis yang disertai MODS/MOF ( Multi Organ Dysfunction Syndrome/ Multi Organ
Failure), hipotensi, oligouri, bahkan anuri.

4. Sepsis dengan hipotensi

Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan sistolik >40
mmHg.

5. Syok septik

Syok septik adalah subset dari sepsis berat yang didefinisikan sebagai hipotensi yang
diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai
hipoperfusi jaringan. Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ,
kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas)
pada:

1. Asidosis laktat
2. Oligouria
3. Atau perubahan akut pada status mental

2.1.4. ETIOLOGI SEPSIS

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan persentase 60% sampai
70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun. Produk yang
berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin
glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri Gram
negatif.

LPS merangsang peradangan jaringan, demam, dan syok pada penderita yang terinfeksi.
Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita.
Staphylococci, pneumococci, streptococci, dan bakteri gram positif lainnya jarang
menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20% sampai 40% dari keseluruhan kasus. Selain

5
itu jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa (Falciparum malariae)
dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang.

Faktor yang paling penting adalah LPS endotoksin Gram negatif dan dinyatakan sebagai
penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan sistem imun selular dan
humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septikemia. Makrofag
mengeluarkan polipeptida, yang disebut faktor nekrosis tumor (Tumor necrosis factor/ TNF)
dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan meditaor kunci dan sering meningkat
sangat tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.

Gambar 1. Etiologi Sepsis

6
Tabel 1. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis

Gambar 2. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis

7
2.1.5. PATOFISIOLOGI SEPSIS

Sepsis gram negatif merupakan komensal normal dalam saluran gastrointestinal, yang
kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti pada peritonitis setelah perforasi
appendikal, atau bisa berpindah dari perineum ke uretra atau kandung kemih. Selain itu sepsis
gram negatif fokus primernya dapat berasal dari saluran genitourinarium, saluran empedu dan
saluran gastrointestinum. Sepsis gram positif biasanya timbul dari infeksi kulit, saluran
respirasi dan juga bisa berasal dari luka terbuka, misalnya pada luka terbakar.

Inflamasi sebagai tanggapan imunitas tubuh terhadap berbagai macam stimulogi dari
luar. Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh untuk menghilangkan eradikasi
organisme penyebab. Berbagai jenis sel akan teraktivasi dan memproduksi berbagai jenis
mediator inlamasi termasuk berbagai sitokin. Respon tubuh terhadap suatu patogen
melibatkan bermacam-macam komponen sistem imun dan berbagai macam sitokin baik itu
yang bersifat proinflamasi dan antiinflamasi. Apabila keseimbangan kerja antara proinflamasi
dan antiinflamasi mediator ini tidak tercapai dengan sempurna maka dapat memberikan
kerugian bagi tubuh. Penyebab sepsis dan syok septik yang paling banyak berasal dari
stimulasi toksin, baik dari endotoksin Gram (-) maupun eksotoksin Gram (+).

Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan antibodi dalam
serum darah penderita membentuk LPSab (Lipo Polisakarida Antibodi). LPSab yang berada
dalam darah penderita akan bereaksi dengan makrofag melalui TLRs4 (Toll Like Receptors
4) sebagai reseptor transmembran dengan perantaraan reseptor CD 14+ dan makrofag
mengekspresikan imuno modulator, hal ini hanya dapat terjadi pada bakteri Gram negatif
yang mempunyai LPS dalam dindingnya.

Pada bakteri Gram positif eksotoksin dapat merangsang langsung terhadap makrofag
dengan melalui TLRs2 (Toll Like Receptors 2) tetapi juga ada eksotoksin sebagai
superantigen. Interaksi endotel dengan neutrofil terdiri dari tiga langkah, yaitu:

1. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-selektin
neutrofil dalam mengikat ligan respektif.
2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi, dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel
dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel.
3. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.

8
Gambar 3. Patofisiologi sepsis

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang akan
menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Akibat dari proses tersebut
akan terjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel
pembuluh darah tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan vascular (vascular leak)
sehingga menyebabkan kerusakan organ multiple.

Syok septik merupakan diagnosis klinik sesuai dengan sindroma sepsis disertai dengan
hipotensi (tekanan darah turun <90 mmHg) atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik >40
mmHg dari tekanan darah sebelumnya. Organ yang paling penting adalah adalah hati, paru,
dan ginjal. Menurut Dale DC, bahwa pada penderita diabetes mellitus, sirosis hati, gagal
ginjal kronik, dan usia lanjut yang merupakan kelompok IC lebih mudah menderita sepsis.

9
2.1.6. GEJALA KLINIK

Gejala sepsis biasanya ditandai dengan gejala-gejala non-spesifik, meliputi demam,


menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat
infeksi yang paling sering: paru, traktus digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak dan
saraf pusat. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut,
penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia. Yang
sering diikuti gejala MODS sampai dengan terjadinya syok sepsis.

Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:

1. Sindroma distress pernapasan pada dewasa


2. Koagulasi intravaskular
3. Gagal ginjal akut
4. Perdarahan usus
5. Gagal hati
6. Disfungsi sistem saraf pusat
7. Gagal jantung
8. Kematian.

2.1.7. DIAGNOSIS

Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis yang
cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status
hemodinamik, seperti rincian dibawah ini:

a. RIWAYAT

Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau nosokomial


dan apakah pasien imunokompromis. Rincian yang harus diketahui meliputi paparan pada
hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya di tempat kerja, penggunaan alkohol, seizure,
hilang kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang mengarahkan pasien kepada agen
infeksius tertentu.

Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:


1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
2. Hipotensi, oligouria, atau anuria.
3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas

10
4. Perdarahan.
b. PEMERIKSAAN FISIK

Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien neutropenia
dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan
rektum, pelvis dan genital. Pemeriksaan tersebut akan mengungkap abses rektal, perirektal,
dan/ atau perineal, penyakit dan/ atau abses inflamasi pelvis, atau prostatitis.

c. DATA LABORATORIUM

Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung diferensial,
urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah , nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi
hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah,
sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan. Tergantung pada status klinis
pasien dan resiko terkait, penelitian dapat juga menggunakan foto rontgen abdomen, CT
scanning, MRI, echokardiografi, dan atau lumbal puncture.

11
Tabel 2. Laboratorium sepsis

12
2.1.8. PENATALAKSANAAN SEPSIS
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencangkup stabilisasi pasien langsung
(perbaikan hemodinamik), pemberian antibiotik, pengobatan fokus infeksi dan resusitasi serta
terapi suportif apabila telah terjadi disfungsi organ.

 Perbaikan hemodinamik harus segera dilakukan seperti airway, breathing


circulation

3 kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis, yaitu :

o Terapi cairan

 Karena sepsis dapat menyebabkan syok disertai demam, venadilatasi dan


diffuse capillary leackage  inadequate preload sehingga terapi cairan
merupakan tindakan utama

o Terapi vasopresor

 Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial pressure dan
perfusi organ tidak adekuat) dapat diberikan vasopresor potensial seperti
norepinefrin, dopamine, epinefrin dan phenylephrine

o Terapi inotropik

 Bila resusitasi cairan adekuat tetapi kontraktilitas miokard masih


mengalami gangguan dimana kebanyakan pasien akan mengalami cardiac
output yang turun sehingga diperlukan inotropik seperti dobutamin,
dopamine dan epinefrin.

 Antibiotik

Sesuai jenis kuman atau tergantung suspek tempak infeksinya

 Fokus infeksi awal harus diobati

Hilangkan benda asing yang menjadi sumber infeksi. Angkat organ yang
terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang menjadi gangrene, bila perlu
dokonsultasikan ke bidang terkait seperti spesialis bedah, THT dll.

13
 Terapi suportif, mencakup :

o Pemberian elektrolit dan nutrisi

o Terapi suportif untuk koreksi fungsi ginjal

o Koreksi albumin apabila terjadi hipoalbumin

o Regulasi ketat gula darah

o Heparin sesuai indikasi

o Proteksi mukosa lambung dengan AH-2 atau PPI

o Transfuse komponen darah bila diperlukan

o Kortikosteroid dosis rendah (masih kontroversial)

o Recombinant Human Activated Protein C :

Merupakan antikoagulan yang menurut hasil uji klinis Phase III menunjukkan
drotrecogin alfa yang dapat menurunkan resiko relative kematian akibat sepsis
dengan disfungsi organ akut yang terkait sebesar 19,4% yang dikenal dengan
nama zovant.

2.1.9. KOMPLIKASI SEPSIS

Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada keadaan sepsis antara lain:

2.1.9.1. Gagal ginjal akut

Oliguria, azotemia, proteinuria, dan kristal urin nonspesifik biasanya ditemukan. Sebagian
besar gagal ginjal disebabkan karena nekrosis tubular akut yang diinduksi oleh hipotensi atau
kerusakan kapiler, walaupun beberapa pasien juga mempunyai glomerulonefritis, nekrosis
korteks ginjal, atau nefritis intersisial.Sepsis diketahui sebagai faktor resiko berkembangnya
gagal ginjal akut, dan 35-50% dari kasus gagal ginjal akut di ICU bisa disertai sepsis.

2.1.9.2. Sindrom Distres Pernafasan Akut (ARDS)

Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada sepsis berat,
kejadiannya hampir 85% kasus. Mekanisme terjadinya gagal paru akut kompleks dan tidak
diketahui secara lengkap. Tanda dari sepsis adalah peningkatan permeabilitas kapiler, yang

14
bermanifestasi pada paru dengan gangguan fungsi pembatas alveolar-kapiler dan
karakteristiknya berupa akumulasi dari cairan ekstravaskuler paru (extravascular lung water
(EVLW).Peningkatan kerusakan epitel alveolar dan permeabilitas kapiler menghasilkan isi
cairan paru, yang menurunkan kemampuan pengisian paru dan gangguan pertukaran oksigen.
Kegagalan fungsi paru yang paling berat yang paling sering terjadi adalah ARDS, terjadi
pada 40% pasien dengan sepsis. Kelelahan otot-otot pernafasan bisa memperhebat
hipoksemia dan hiperkapnia.

2.1.9.3. Gagal Hati

Disfungsi hati menggambarkan sebuah manifestasi umum selama proses sepsis, dari kisaran
peningkatan ringan dari bilirubin serum dan atau enzim-enzim hati sampai gagal hati berat.
Hati diduga banyak sekali mempengaruhi metabolisme dan mekanisme pertahanan tubuh
selama sepsis. Hati dengan aktif memodulasi proses inflamasi melalui penyaringan, inaktifasi
dan pembersihan bakteri, produk bakteri (seperti endotoksin), substansi vasoaktif, dan
mediator inflamasi. Disfungsi hati awal terjadi pada jam pertama sepsis dan berhubungan
dengan hipoperfusi hepatosplanikus. Ini menyebabkan peningkatan akut penanda biologi dari
kerusakan hati (transaminase, laktat dehidrogenase, bilirubin). Meskipun ini kembali secara
cepat dengan penanganan pendukung yang adekuat. Sangat berbeda, disfungsi hati lanjut
prosesnya lebih berbahaya dan tidak menyenangkan. Ini ditandai dengan perlukaan struktural
dan fungsi yang menjelaskan kelebihan bakteri, endotoksin dan molekul inflamasi yang dapat
memicu kegagalan multi organ.

2.1.9.4. Disseminated Intravascular Coagulation

Walaupun trombositopenia terjadi pada 20%-30% pasien sepsis, mekanisme penyebabnya


tidak diketahui. Hitung jumlah platelet biasanya rendah (<50.000/µL) pada pasien dengan
DIC. Ini mungkin menggambarkan kerusakan endotelial difus atau trombosis mikrovaskular.
DIC merupakan sindroma yang didapat yang ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskular
yang memuncak di dalam pembentukan fibrin intravaskular dan endapan di dalam
mikrovaskular. Endapan fibrin memicu obstruksi difus dari bantalam mikrovaskular yang
menghasilkan disfung multi organ yang progresif, seperti insufisiensi ginjal dan ARDS,
hipotensi dan kegagalan sirkulasi.

15
2.2.DIABETES MELLITUS
2.2.1. DEFINISI

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah.

2.2.2. EPIDEMIOLOGI
Secara epidemieologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau
mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas
dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyetakan
bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat
karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah
secara epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih
lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia.
Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putihberkisar antara 3%-6% dari jumlah
pendudukdewasanya. Di Singapura, frekuensidiabetes meningkat cepat dalam 10
tahunterakhir. Di Amerika Serikat, penderitadiabetes meningkat dari 6.536.163 jiwa ditahun
1990 menjadi 20.676.427 jiwa di tahun2010. Di Indonesia, kekerapan diabetesberkisar antara
1,4%-1,6%, kecuali dibeberapa tempat yaitu di Pekajangan 2,3%dan di Manado 6%.

2.2.3. ETIOLOGI dan KLASIFIKASI


Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut American Diabetes Association 2010
(ADA 2010), dibagi dalam 4 jenisyaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun.
Pada DM tipeini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan
dengan level proteinc-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali.
Manifestasi klinik pertama daripenyakit ini adalah ketoasidosis.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa
glukosa masukke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan
turunnya kemampuan insulinuntuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan

16
perifer dan untuk menghambat produksiglukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya
resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karenadianggap kadarnya masih
tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Haltersebut dapat
mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama
bahansekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi
terhadap adanya glukosa.
Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya
resistensi yangterjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan
glukosa berkurang. DM tipeini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.
3. Diabetes Melitus Tipe LainDM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek
genetik fungsi sel beta, defek genetikkerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit
metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus,penyakit autoimun dan kelainan
genetik lain.
4. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati
pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM
gestasional berhubungan denganmeningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM
gestasional memiliki risiko lebih besar untukmenderita DM yang menetap dalam jangka
waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

17
Tabel 3. Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus

Sumber :Ndraha Suzanna, Leading Article Diabetes Melitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini,
Departemen Penyakit Dalam FK Univ.Krida Wacana Jakarta, Medicinus 2014

2.2.4. DIAGNOSIS
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi alur diagnosis DM
menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri
dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas,
sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh,
gatal, dan mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan
gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan
dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.
Tabel 3. Kriteria Diagnosis DM

18
No. Kriteria Diagnosis DM
1 Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
2 Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

3 Glukosa plasma 2 jam pada TTGO sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Sumber :Sudoyo, W.Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edsi V, hal.1881 tahun
2010

Cara pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) (WHO 1994) :


1. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
3. Diperiksa konsetrasi glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai.
6. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3, yaitu :
a. < 140 mg/dL  normal
b. 140 - < 200 mg/dL  toleransi glukosa terganggu
c. ≥ 200 mg/dL diabetes

19
Gambar 4. Langkah-langkah Diagnostik Diabetes Melitus &Toleransi Glukosa Terganggu
Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di
Indonesia 2011

2.3.5. PENATALAKSANAAN
Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa
pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan
berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah
pendekatan non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM,
maka dilanjutkan dengan penggunaan perlu panambahan terapi medikamentosa atau
intervensi farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktivitas fisik yang

20
sesuai.Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan suntikan.
A. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
1) Pemicu Sekresi Insulin
a. Sulfonilurea
Obat golongan ini memounyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
b. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.
2) Peningkat sensitivitas terhadap insulin
a. Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) beriatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak.Golongan ini memiliki efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga gangguan faal hati.
Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal
hati secara berkala.

21
3) Penghambat glukoneogenesis
a. Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraiindikasikan pada penyandang dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis,
renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual.
4) Penghambat Glukosidase Alfa (Aarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak meimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
5) DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa
usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1
merupakan perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai
penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah
oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-
amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasiona dalam
pengobatan DM tip 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan
pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-
4), atau memberian hormon asli atau analognya (analog incretin= GLP-1
agonis).
Cara pemberian OHO, terdiri dari :
a) OHO dimuli dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar
glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.
b) Sulfonilurea : 15-30 menit sebelum makan.
c) Repaglinid, Nateglinid : sesaat sebelum makan.
d) Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.

22
e) Penghambat glukosidase (acarbose) : bersama makan suapan pertama.
f) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.
g) DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
Tabel 4. Perbandingan Golongan OHO

23
Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di
Indonesia 2011

B. Obat Suntikan
Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
1) Penurunan berat badan yang cepat
2) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3) Ketoasidosis diabetik
4) Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
5) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
7) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
8) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan

24
9) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
10) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis,
yakni:
1) Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
2) Insulin kerja pendek (short acting insulin)
3) Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
4) Insulin kerja panjang (long acting insulin)
5) Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Agonis GLP-1/incretin mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang,
obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada
pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.

25
Tabel 5. Farmakokinetik Insulin

26
27
Gambar 5. Algoritma Pengelolaan Diabetes Melitus Tanpa Dekompensasi
Sumber : PERKENI, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di
Indonesia 2011

28
Tabel 7.Target Pengendalian Penderita Diabetes Melitus

2.3.6. KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS

2.3.6.1 Komplikasi Akut


wseKomplikasi akut mencakup :5
A. Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai denganpeningkatan kadar glukosa
darah yang tinggi (300-600 mg/dL),disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis
dan plasmaketon(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan
terjadi peningkatan anion gap.
B. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangattinggi (600-1200 mg/dL),
tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritasplasma sangat meningkat (330-380
mOs/mL), plasmaketon (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.

29
C. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya
1) Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosadarah < 60
mg/dL
2) Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandangdiabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinyahipoglikemia. Hipoglikemia paling
sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia
akibatsulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasisampai
seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obattelah habis. Terkadang
diperlukan waktu yang cukup lamauntuk pengawasannya (24-72 jam atau
lebih, terutama padapasien dengan gagal ginjal kronik atau yang
mendapatkanterapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada
usialanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari,
mengingatdampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran
mentalbermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usialanjut
sering lebih lambat dan memerlukan pengawasanyang lebih lama.
3) Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejalaneuro-glikopenik (pusing,
gelisah, kesadaran menurun sampaikoma).
4) Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yangmemadai. Bagi
pasien dengan kesadaran yang masih baik,diberikan makanan yang
mengandung karbohidrat atau minumanyang mengandung gula berkalori
atau glukosa 15-20gram melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan
ulangglukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa.
Glukagondiberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.
5) Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementaradapat diberikan
glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagaitindakan darurat, sebelum
dapat dipastikan penyebabmenurunnya kesadaran.
2.3.6.2 Komplikasi Menahun
Komplikasi menahunmencakup :
A. Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadipada penyandang
diabetes. Biasanya terjadi dengan gejalatipikal claudicatio intermittent, meskipun

30
sering tanpagejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainanyang
pertama muncul.
- Pembuluh darah otak
B. Mikroangiopati
- Retinopati diabetik
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirintidak mencegah timbulnya retinopati
- Nefropati diabetik
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangirisiko nefropati
- Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) jugaakan mengurangi risiko
terjadinya nefropati
C. Neuropati
- Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropatiperifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisikotinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
- Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar danbergetar sendiri, dan lebih
terasa sakit di malam hari.
- Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
- Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai
akan menurunkan risiko amputasi.
- Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine,antidepresan trisiklik, atau
gabapentin.
- Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati periferharus diberikan edukasi
perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk penatalaksanaan
penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain.

31
2.3.KAKI DIABETES
2.3.1. DEFINISI

Kaki diabetes adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes mellitus yang tidak
terkendali dengan baik yang disebabkan olah gangguan pembuluh darah, gangguan
persyarafan dan infeksi. Kaki diabetes merupakan gambaran secara umum dari kelainan
tungkai bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes mellitus yang diawali dengan
adanya lesi hingga terbentuknya ulkus yang sering disebut dengan ulkus kaki diabetika yang
pada tahap selanjutnya dapat dikategorikan dalam gangrene, yang pada penderita diabetes
mellitus disebut dengan gangrene diabetik (Misnadiarly, 2006).

Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes mellitus berupa
luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat.
Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi
makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut
terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi
infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob (Tambunan, 2006).

2.3.2. PATOGENESIS KAKI DIABETES

Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes mellitus adalah
ulkus kaki diabetes. Ulkus kaki diabetes disebabkan adanya tiga faktor yang sering disebut
trias yaitu : iskemik, neuropati, dan infeksi. Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar
glukosa darah tidak terkendali akan terjadi komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan
perubahan jaringan syaraf karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga
mengakibatkan akson menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya
reflek otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila penderita
diabetes mellitus tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan meneybabkan lesi dan
menjadi ulkus kaki diabetes (Waspadji, 2006).
Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan darah
dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan adanya proses
makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh
hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan
sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Aterosklerosis
merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit karena penumpukan lemak

32
pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-otot
kaki karena berkurangnya suplai darah, sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak
nyaman, dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan
berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada penderita diabetes mellitus
berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi pada tungkai
bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi berkurang
kemudian timbul ulkus kaki diabetes (Tambunan, 2006).

Pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali kadar gula darahnya akan
menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia membram basalis arteri) pada pembuluh
darah besar dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin keluar kapiler
sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis jaringan yang
mengakibatkan ulkus diabetika. Eritrosit pada penderita diabetes mellitus yang tidak
terkendali akan meningkatkan HbA1C yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan
pelepasan oksigen di jaringan oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang
menggangu sirkulasi jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan
yang selanjutnya timbul ulkus kaki diabetes. Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya
reaktivitas trombosit menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi
darah menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding pembuluh
darah yang akan mengganggu sirkulasi darah. Penderita diabetes mellitus biasanya kadar
kolesterol total, LDL, trigliserida plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar
jaringan akan menyebabkan hipoksia dan cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan
yang akan merangsang terjadinya aterosklerosis. Perubahan / inflamasi pada dinding
pembuluh darah, akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh darah, konsentrasi
HDL (highdensity- lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rendah. Adanya faktor
risiko lain yaitu hipertensi akan meningkatkan kerentanan terhadap aterosklerosis
(Tambunan, 2006).

Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan menurun sehingga kaki


menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan
sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Pada penderita
diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali menyebabkan abnormalitas
lekosit sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi
fagositosis dan bakterisid menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk
dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid intra selluler. Pada penderita ulkus kaki

33
diabetes, 50 % akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi karena
merupakan media pertumbuhan bakteri yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus
diabetika yaitu kuman aerobik Staphylococcus atau Streptococcus serta kuman anaerob yaitu
Clostridium Perfringens, Clostridium Novy, dan Clostridium Septikum (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).

2.3.3. KLASIFIKASI KAKI DIABETES

Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari klasifikasi oleh Edmonds
dari King’s College Hospital London, klasifikasi Liverpool, klasifikasi wagner, klasifikasi
texas, serta yang lebih banyak digunakan adalah yang dianjurkan oleh International Working
Group On Diabetic Foot karena dapat menentukan kelainan apa yang lebih dominan,
vascular, infeksi, neuropatik, sehingga arah pengelolaan dalam pengobatan dapat tertuju
dengan baik (Waspadji, 2006).
1. Klasifikasi Edmonds (2004 – 2005)
- Stage 1 : Normal foot

- Stage 2 : High Risk Foot

- Stage 3 : Ulcerated Foot

- Stage 4 : Infected Foot

- Stage 5 : Necrotic Foot

- Stage 6 : Unsalvable Foot


2 . Derajat keparahan ulkus kaki diabetes menurut Wagner
Grade 1 : Ulkus superfisial tanpa terlibat jaringan dibawah kulit
Grade 2 : Ulkus dalam tanpa terlibat tulang / pembentukan abses.
Grade 3 : Ulkus dalam dengan selulitis/abses atau osteomielitis
Grade 4 : Tukak dengan Gangren lokal
Grade 5 : Tukak dengan Gangren luas / melibatkan keseluruhan kaki

3.Klasifikasi Liverpool
Klasifikasi primer :
- Vascular
- Neuropati
- Neuroiskemik

34
Klasifikasi sekunder : - Tukak sederhana, tanpa komplikasi
- Tukak dengan komplikasi

2.3.4. TANDA dan GEJALA


Tanda dan gejala ulkus kaki diabetes seperti sering kesemutan, nyeri kaki saat istirahat.,
sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan denyut nadi arteri dorsalis
pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal dan kulit kering
(Misnadiarly, 2006 ; Subekti, 2006).

2.3.5. DIAGNOSIS KAKI DIABETES


Diagnosis kaki diabetes meliputi :
1. Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka / ulkus pada kulit atau jaringan tubuh pada kaki,
pemeriksaan sensasi vibrasi / rasa berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis
pedis menurun atau hilang.

2 Pemeriksaan Penunjang :
X-ray, EMG (Electromyographi) dan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah
ulkus kaki diabetes menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya (Waspadji, 2006).

2.3.6. FAKTOR RESIKO


Faktor risiko terjadi ulkus diabetika yang menjadi gambaran dari kaki diabetes pada
penderita diabetes mellitus terdiri atas faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor-
faktor risiko yang dapat diubah (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

Faktor - faktor risiko yang tidak dapat diubah :


1. Umur
Pada usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging terjadi
penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap
pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal . proses aging menyebabkan
penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga terjadi makroangiopati, yang akan
mempengaruhi penurunan sirkulasi darah salah satunya pembuluh darah besar atau sedang di
tungkai yang lebih mudah terjadi ulkus kaki diabetes (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

2. Lama menderita DM yang >10 tahun

35
Ulkus kaki diabetes terutama terjadi pada penderita diabetes mellitus yang telah
menderita 10 tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak terkendali, karena akan
muncul komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga mengalami makroangiopati
dan mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan neuropati yang mengakibatkan
menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan / luka pada kaki penderita diabetes mellitus
yang sering tidak dirasakan karena terjadinya gangguan neurophati perifer (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).

Faktor-faktor risiko yang dapat diubah :


1. Neurophati (sensorik, motorik, perifer).
Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi gangguan mikro sirkulasi,
berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf yang mengakibatkan
degenerasi pada serabut syaraf yang lebih lanjut akan terjadi neuropati. Syaraf yang rusak
tidak dapat mengirimkan sinyal ke otak dengan baik, sehingga penderita dapat kehilangan
indra perasa selain itu juga kelenjar keringat menjadi berkurang, kulit kering dan mudah
robek. Neuropati perifer berupa hilangnya sensasi rasa yang berisiko tinggi menjadi penyebab
terjadinya lesi yang kemudian berkembang menjadi ulkus kaki diabetes (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).
2. Obesitas.
Pada obesitas dengan index massa tubuh ≥ 23 kg/m2 (wanita) dan IMT (index massa
tubuh) ≥ 25 kg/m2 (pria) atau berat badan ideal yang berlebih akan sering terjadi resistensi
insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10 μU/ml, keadaan ini menunjukkan hiperinsulinmia
yang dapat menyebabkan aterosklerosis yang berdampak pada vaskulopati, sehingga terjadi
gangguan sirkulasi darah sedang / besar pada tungkai yang menyebabkan tungkai akan
mudah terjadi ulkus / ganggren sebagai bentuk dari kaki diabetes (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).

3. Hipertensi.
Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita diabetes mellitus karena adanya
viskositas darah yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah sehingga terjadi
defesiensi vaskuler, selain itu hipertensi yang tekanan darah lebih dari 130/80 mmHg dapat
merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel. Kerusakan pada endotel akan berpengaruh
terhadap makroangiopati melalui proses adhesi dan agregasi trombosit yang berakibat
vaskuler defisiensi sehingga dapat terjadi hipoksia pada jaringan yang akan mengakibatkan
terjadinya ulkus (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

36
4. Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) tidak terkontrol.
Glikosilasi Hemoglobin adalah terikatnya glukosa yang masuk dalam sirkulasi sistemik
dengan protein plasma termasuk hemoglobin dalam sel darah merah. Apabila Glikosilasi
Hemoglobin (HbA1c) ≥ 6,5 % akan menurunkan kemampuan pengikatan oksigen oleh sel
darah merah yang mengakibatkan hipoksia jaringan yang selanjutnya terjadi proliferasi pada
dinding sel otot polos sub endotel (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
5. Kadar Glukosa Darah Tidak Terkontrol.
Pada penderita diabetes mellitus sering dijumpai adanya peningkatan kadar trigliserida dan
kolesterol plasma, sedangkan konsentrasi HDL (highdensity - lipoprotein) sebagai pembersih
plak biasanya rendah (≤ 45 mg/dl). Kadar trigliserida ≥ 150 mg/dl, kolesterol total ≥ 200
mg/dl dan HDL ≤ 45 mg/dl akan mengakibatkan buruknya sirkulasi ke sebagian besar
jaringan dan menyebabkan hipoksia serta cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan dan
terjadinya aterosklerosis. Konsekuensi adanya aterosklerosis adalah penyempitan lumen
pembuluh darah yang akan menyebabkan gangguan sirkulasi jaringan sehingga suplai darah
ke pembuluh darah menurun ditandai dengan hilang atau berkurangnya denyut nadi pada
arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.
Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai
dari ujung kaki atau tungkai (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
6. Kebiasaan Merokok.
Pada penderita diabetes mellitus yang merokok ≥ 12 batang per hari mempunyai
risiko 3x untuk menjadi ulkus kaki diabetes dibandingkan dengan penderita diabetes mellitus
yang tidak merokok. Kebiasaan merokok akibat dari nikotin yang terkandung di dalam rokok
akan dapat menyebabkan kerusakan endotel kemudian terjadi penempelan dan agregasi
trombosit yang selanjutnya terjadi kebocoran sehingga lipoprotein lipase akan memperlambat
clearance lemak darah dan mempermudah timbulnya aterosklerosis. Aterosklerosis berakibat
insufisiensi vaskuler sehingga aliran darah ke arteri dorsalis pedis, poplitea, dan tibialis juga
akan menurun (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

7. Ketidakpatuhan Diet Diabetes Mellitus.


Kepatuhan diet diabetes mellitus merupakan upaya yang sangat penting dalam pengendalian
kadar glukosa darah, kolesterol, dan trigliserida mendekati normal sehingga dapat mencegah
komplikasi kronik, seperti ulkus kaki diabetes. Kepatuhan diet penderita diabetes mellitus
mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu mempertahankan berat badan normal,
menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan kadar glukosa darah,

37
memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin dan memperbaiki sistem
koagulasi darah (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).
8. Kurangnya Aktivitas Fisik.
Aktivitas fisik (olah raga) sangat bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi darah,
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, sehingga akan
memperbaiki kadar glukosa darah. Dengan kadar glukosa darah terkendali maka akan
mencegah komplikasi kronik diabetes mellitus. Olah raga rutin (lebih 3 kali dalam seminggu
selama 30 menit) akan memperbaiki metabolisme karbohidrat, berpengaruh positif terhadap
metabolisme lipid dan sumbangan terhadap penurunan berat badan. Aktivitas fisik yang
dilakukan termasuk senam kaki. Senam kaki dapat membantu memperbaiki sirkualsi darah
dan memperkuat otot - otot kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki
(deformitas), selain itu dapat meningkatkan kekuatan otot betis dan otot paha
(Gastrocnemeus, Hamsring, Quadriceps) dan juga mengatasi keterbatasan gerak sendi.

Latihan senam kaki dapat dilakukan dengan posisi berdiri, duduk dan tidur, dengan
cara menggerakkan kaki dan sendi-sendi kaki misalnya berdiri dengan kedua tumit diangkat,
mengangkat kaki dan menurunkan kaki. Gerakan dapat berupa gerakan menekuk,
meluruskan, mengangkat, memutar keluar atau kedalam dan mencengkram pada jari – jari
kaki. Latihan dilakukan sesering mungkin dan teratur terutama pada saat kaki terasa dingin.
(Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

9. Pengobatan Tidak Teratur.


Pengobatan rutin dan pengobatan intensif akan dapat mencegah dan menghambat
timbulnya komplikasi kronik, seperti ulkus diabetika. Sampai pada saat ini belum ada obat
yang dapat dianjurkan secara tepat untuk memperbaiki vaskularisasi perifer pada penderita
Diabetes Mellitus, namun bila dilihat dari penelitian tentang kelainan akibat arterosklerosis
ditemapt lain seperti jantung dan otak, obat seperti aspirin dan lainnya yang sejenis dapat
digunakan pada pasien Diabetes Mellitus meskipun belum ada bukti yang cukup kuat untuk
menganjurkan penggunaan secara rutin (Waspadji, 2006). Pengobatan tidak teratur termasuk
di dalamnya pemeriksaan terhadap kaki Penggolongan dari kaki diabetes berdasarkan risiko
terjadinya yang dapat dijadikan acuan dalam memeriksa kaki penderita diabetes mellitus dan
tindakan pencegahan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Sensasi normal tanpa deformitas

2. Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi

38
3. Insensitivitas tanpa deformitas

4. Iskemia tanpa deformitas

5. Kombinasi antara adanya insensitivitas, deformitas dan / atau iskemia (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).
10. Perawatan Kaki Tidak Teratur.
Perawatan kaki penderita diabetes mellitus yang teratur akan mencegah atau
mengurangi terjadinya komplikasi kronik pada kaki. Acuan dalam perawatan kaki pada
penderita diabetes mellitus yaitu meliputi seperti selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih,
membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air suam-suam kuku dengan memakai
sabun lembut dan mengeringkan dengan sempurna dan hati-hati terutama diantara jari-jari
kaki, memakai krem kaki yang baik pada kulit yang kering atau tumit yang retak-retak,
supaya kulit tetap mulus, dan jangan menggosok antara jari-jari kaki (contoh: krem
sorbolene), tidak memakai bedak, sebab ini akan menyebabkan kulit menjadi kering dan
retak-retak. menggunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki secara
lurus dan kemudian mengikir agar licin. Memotong kuku lebih mudah dilakukan sesudah
mandi, sewaktu kuku lembut, kuku kaki yang menusuk daging dan kalus, hendaknya diobati
oleh podiatrist. Jangan menggunakan pisau cukur atau pisau biasa, yang bias tergelincir; dan
ini dapat menyebabkan luka pada kaki, jangan menggunakan penutup kornus/corns. Kornus-
kornus ini seharusnya diobati hanya oleh podiatrist, memeriksa kaki dan celah kaki setiap
hari apakah terdapat kalus, bula, luka dan lecet dan menghindari penggunaan air panas atau
bantal panas (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

2.4. HIPERTENSI
2.4.1. DEFINISI

Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam walaupun luar negeri, menyatakan
bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg
dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. Tekanan
darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis
hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi pada seseorang merupakan salah
satu dasar penentuan tatalaksana hipertensi (disadur dari A Statement by the American
Society of Hypertension and the International Society of Hypertension 2013).

39
2.4.2. KLASIFIKASI HIPERTENSI

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui

penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus. Banyak

faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf


simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na, dan Ca
intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok,
serta polisitemia.

2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal.

Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen,


penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom
Cushing,feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan,
dan lain-lain.

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), klasifikasi hipertensi pada
orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal, pre hipertensi, hipertensi derajat I dan
derajat II.

Tabel 8. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC VII

Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik


(mmHg) (mmHg)
Normal <120 <80

Pre Hipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stage 1 140-160 90-99

Hipertensi stage 2 ≥ 160 ≥ 100

40
2.4.3. PATOFISIOLOGI HIPERTENSI

Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang
disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk mempertahankan kestabilan
tekanan darah dalam jangka panjang reflek kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk
sistem kontrol yang bereaksi segera. Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan
oleh sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama
ginjal.

1) Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah

Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan penebalan dan
hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan proses multifaktorial. Terjadi inflamasi
pada dinding pembuluh darah dan terbentuk deposit, substansi lemak, kolesterol, produk
sampah seluler, kalsium dan berbagai substansi lainnya dalam lapisan pembuluh darah.
Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan plak di bawah lapisan tunika intima akan
memperkecil lumen pembuluh darah, obstruksi luminal, kelainan aliran darah, pengurangan
suplai oksigen pada organ atau bagian tubuh tertentu.

2) Sistem renin-angiotensin

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin


I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). Angiotensin II inilah yang memiliki peranan
kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.

a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus. Dengan


meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis),
sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler.
Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.

b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali
dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.

41
3) Sistem saraf simpatis

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat
vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk
impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis.

Gambar 6. Faktor yang mempengaruhi Tekanan Darah

2.4.4. FAKTOR RESIKO HIPERTENSI

Faktor resiko terjadinya hipertensi antara lain:


1) Usia
Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki
meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita meningkat pada usia
lebih dari 55 tahun.
2) Ras/etnik

42
Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa sering muncul pada
etnik Afrika Amerika dewasa daripada Kaukasia atau Amerika Hispanik.
3) Jenis Kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada wanita.
4) Kebiasaan Gaya Hidup tidak Sehat
Gaya hidup tidak sehat yang dapat meningkatkan hipertensi, antara lain minum
minuman beralkohol, kurang berolahraga, dan merokok.
2.4.5. DIAGNOSIS HIPERTENSI
Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan
sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu kali pengukuran dalam
posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan posisi telapak tangan
menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran dilakukan
dalam keadaan tenang. Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan dilakukan pemeriksaan
dasar, seperti kardiologis, radiologis, tes laboratorium, EKG (electrocardiography) dan
rontgen.
Tes khusus
Tes yang dilakukan antara lain adalah :
a. X- ray khusus (angiografi) yang mencakup penyuntikan suatu zat warna yang digunakan
untuk memvisualisasi jaringan arteri aorta, renal dan adrenal.

b. Memeriksa saraf sensoris dan perifer dengan suatu alat electroencefalografi (EEG), alat ini
menyerupai electrocardiography (ECG atau EKG).

2.4.6. KOMPLIKASI HIPERTENSI


Komplikasi tersebut dapat menyerang berbagai target organ tubuh yaitu otak, mata,
jantung, pembuluh darah arteri, serta ginjal. Sebagai dampak terjadinya komplikasi
hipertensi, kualitas hidup penderita menjadi rendah dan kemungkinan terburuknya adalah
terjadinya kematian pada penderita akibat komplikasi hipertensi yang dimilikinya.
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang umum ditemui pada pasien hipertensi
adalah:
1) Jantung
- hipertrofi ventrikel kiri
- angina atau infark miokardium

43
- gagal jantung
2) Otak
- stroke atau transient ishemic attack

3) Penyakit ginjal kronis

4) Penyakit arteri perifer

5) Retinopati

2.5.TUBERKULOSIS PARU
2.5.1. Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit yang menyerang jaringan paru disebabkan
infeksi basil Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis).

2.5.2. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan dunia yang penting khususnya di
negara berkembang. Pada bulan Maret tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah
mendeklarasikan tuberkulosis sebagai “Global Health Emergency”. Berdasarkan laporan
Penanggulangan TB Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2007, angka insidensi
TB pada tahun 2007 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46%
diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru. Asia termasuk kawasan dengan penyebaran
tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia sebesar 33%. Setiap 30 detik, ada satu pasien di Asia
meninggal dunia akibat penyakit ini.

Indonesia adalah negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah Cina dan
India Perkiraan kejadian BTA positif di Indonesia adalah 266.000 kasus tahun 1998. TB
menempati peringkat nomor 3 sebagai penyebab kematian teringgi di Indonesia setelah
penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia.

2.5.3. Etiologi dan Klasifikasi


2.5.3.1.Etiologi
Mikobakterium tipe humanus dan tipe bovinus adalah mikobakterium yang paling
banyak menyebabkan penyakit tuberkulosis. Kuman ini berbentuk batang, bersifat aerob,
dinding sel mengandung; lipid, fosfatida polisakarida, tuberkulo protein, mudah mati pada air

44
mendidih (5 menit pada suhu 800C, dan 20 menit pada suhu 600C), dan apabila terkena sinar
ultraviolet (matahari). Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan
ruangan yang lembab. Ia mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan,
oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
2.5.3.2.Klasifikasi
TB paru diklasifkasikan atas:

a. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)


1. TB paru BTA(+)
2. TB paru BTA (-)
b. Berdasarkan lokasi
1. TB paru
2. TB extra paru
c. Berdasarkan tipe pasien
1. Kasus baru, bila pasien belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan obat kurang dari satu bulan.
2. Kasus relaps (kambuh), bila pasien sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi
berobat dengan hasil pemeriksaan sputum BTA (+).
3. Kasus defaulted atau drop out , bila pasien telah menjalani pengobatan ≥ 1 bulan
dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatan selesai.
4. Kasus gagal, bila pasien BTA positif yang masif tetap positif atau kembali positif
pada akhir bulan ke 5 atau akhir pengobatan.
5. Kasus kronik, bila pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang
baik.
6. Kasus bekas TB, bila hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi paru
menunjukkan lesi TB yang tidak aktif.
2.5.4. Cara penularan
Penularan penyakit ini melalui inhalasi droplet khususnya yang didapat dari pasien
TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA positif. Pada waktu
batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
Dahak). Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan.

45
Dalam 1 tahun, 1 penderita TB BTA positif menularkan 10-15 orang. Selama kuman TB
masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari
paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, salura
napas,atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya.

Risiko mendapat infeksi Mycobacterium tuberculosis ditentukan terutama oleh faktor-


faktor eksogen :

a. Kontak dengan penderita BTA positif (seberapa dekat dan seberapa lama)
b. Lingkungan tempat kontak (lingkungan yang padat dan ventilasi ruang
yang buruk
Sedangkan faktor-faktor endogen, yaitu:

a. Daya tahan tubuh


b. Usia
c. Penyakit penyerta (infeksi HIV, silikosis, limfoma, leukemia, malnutrisi, gagal ginjal
kronis, diabetes melitus, orang dengan terapi imunosupresif dan hemophilia)

2.5.5. Patofisiologi Tuberkulosis paru


2.5.5.1. Tuberkulosis primer
3.
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet
yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosillier bronkus, dan terus berjalan ke alveolus dan menetap di sana. Bila kuman
menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini kuman
dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru
akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut kompleks primer atau
fokus Ghon. Kompleks primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Waktu
antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 3-8 minggu.
4. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari
negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk
dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya
tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian,
ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur).
Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman,

46
akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita
Tuberkulosis.

Kompleks primer tersebut selanjutnya dapat menjadi:

1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang paling sering terjadi.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi
di hilus dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang
dormant.
3. Berkomplikasi dan menyebar secara :
a. Per kontinuitatum, yakni menyebar kesekitarnya
b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya.
Kuman ini juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke
usus.
c. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya
d. Secara limfogen.

47
Gambar 7. Alur Mendiagnosa TB

48
2.5.5.2 Tuberkulosis post primer (sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer = TB pasca
primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi
karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan
gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dari sarang dini yang berlokasi di regio
atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah
parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk
sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu
granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans yang dikelilingi oleh sel-
sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.

Sarang dini pada tuberkulosis sekunder ini akan mngikuti salah satu jalan sebagai
berikut:

1. Di reabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.


2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
serbukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh
dalam bentuk perkapuran. Sarang tersubut dapat menjadi aktif kembali dengan
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan
keluar.
3. Sarang tersebut meluas, membentuk jaringan keju. Kavitas akan muncul dengan
dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian
dindinganya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik).
Kavitas tersebut akan menjadi:

a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang baru.


b. Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan sembuh, dan mungkin aktif kembali,
mencair lagi dan terus menjadi kavitas lagi.
c. Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kavitas
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kavitas yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan
seperti bintang.

49
Gambar 8. Patofisiologi Tuberculosis Paru

2.4.4. GEJALA KLINIS


Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala lokal
(repiratorik) dan gejala sistemik.

a. Gejala Respiratorik

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi.

1. Batuk
Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus. Batuk
≥ 2 minggu dan mula-mula terjadi oleh karena iritasi bronkus, selanjutnya akibat
adanya peradangan pada bronkus batuk akan menjadi produktif. Batuk produktif
ini berguna untuk membuang produk-produk ekskresi peradangan. Dahak dapat
bersifat mukoid atau purulen.

50
2. Batuk darah
Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat dan ringannya
batuk darah yang timbul tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang
pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat pecahnya aneurisma pada dinding
kavitas, juga dapat terjadi karena ulserasi pada mukosa bronkus. Batuk darah
inilah yang paling sering membawa penderita berobat ke dokter.

3. Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya.

4. Wheezing
Terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh
sekret, peradangan, jaringan granulasi dan ulserasi.

5. Dispneu
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru yang
cukup luas. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah didapatkan.

b. Gejala sistemik

1. Demam

Demam merupakan gejala pertama dari TB paru, biasanya subfebril, mirip


demam influenza yang segera mereda. Tergantung dari daya tahan tubuh dan
virulensi kuman, serangan demam yang berikut dapat terjadi setelah 3 bulan, 6
bulan, 9 bulan (multiplikasi 3 bulan). Demam dapat mencapai suhu tinggi yaitu 40-
41°C.

2. Keringat malam

Keringat malam bukanlah gejala yang patognomonis untuk penyakit


tuberkulosis paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut,
kecuali pada orang-orang dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul
lebih dini.

51
3. Malaise dan nafsu makan berkurang

Tuberkulosis bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa tidak enak
badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan makin kurus, sakit kepala dan
mudah lelah.

4. Gangguan Menstruasi

Terjadi pada proses tuberkulosis paru sudah menjadi lanjut.

2.4.5. Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis paru dibuat atas dasar

a. Anamnesa
Dari anamnesa didapatkan keluhan pasien berupa keluhan respiratorik dan
keluhan sistemik.

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva dan kulit yang pucat karena anemia, suhu demam subfebris, badan kurus
atau berat badan menurun.

Dasar kelainan anatomis tuberkulosis paru terletak pada lobuli, jadi meliputi
alveoli dan beberapa bronkiolus terminalis. Tanda-tanda dini berupa konsolidasi serta
didapatkan sekret dibronkus kecil. Karena proses menjalar pelan-pelan dan menahun,
maka biasanya penderita datang dengan keadaan yang sudah lanjut sehingga kelainan
fisik mudah diketahui, berupa:

- Kelainan parenkim yaitu konsolidasi, fibrosis, atelektasis, dan/atau kerusakan


parenkim dengan sisa suatu kavitas.
- Kelainan saluran pernafasan : berupa radang dari mukosa disertai dengan
penyempitan maupun penimbunan sekret.
- Kelainan pleura : oleh karena proses terletak dekat pleura, maka hampir selalu
terjadi reaksi pleura berupa penabalan atau nyeri pleura.
Konsolidasi dan fibrosis pada parenkim paru dengan saluran pernafasan yang
masih terbuka akan meningkatkan penghantaran getaran suara sehingga fremitus
suara meningkat. Suara nafas menjadi bronko-vesikuler atau bronkial, didapatkan
bronkofoni atau suara bisik yang disebut whispered pectoraliloque.

52
Sekret yang berada didalam bronkus akan menyebabkan suara tambahan
berupa ronki basah. Suara ronki kasar atau halus tergantung dari tempat sekret
berada. Penyempitan saluran pernafasan menimbulkan ronki kering, dan
penyempitan ini disertai kavitas dapat terdengar suara yang disebut hallow sound
sampai amforik.

c. Pemeriksaan laboratorium
 Sputum
Sputum dijadikan tanda yang patognomonis, dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan. BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan bronkus,
jaringan paru, pleura, cairan pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan
serebrospinal, urin dan tinja. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Bila sputum sudah didapat, kuman BTA
pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus
yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar. Cara pengambilan sputum yaitu 3
kali (sewaktu-pagi-sewaktu). Pembacaan hasil pemeriksaan sediaaan sputum
dilakukan dengan menggunakan skala International Union Against Tuberkulosis
and Lung Disease (IUATLD), sebagai berikut:

a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif


b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + (1+)
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (2+), minimal
dibaca 50 lapang pandang.
e. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+), minimal
dibaca 20 lapang pandang.
Hasil pemeriksaan dikatakan positif bila apabila sedikitnya 2 dari 3
spesimen SPS hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu
diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu pemeriksaan rontgen dada atau
pemeriksaan sputum SPS diulang.

53
 Darah
Pemeriksaan darah tidak dapat digunakan sebagai pegangan untuk menyokong
diagnosis TB paru, karena hasil pemeriksaan darah tidak menunjukkan gambaran
yang khas. Tapi gambaran darah kadang-kadang dapat membantu menentukan
aktivitas penyakit.

- Laju endap darah


Laju endap darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap
darah yang normal tidak dapat mengesampingkan proses tuberkulosis aktif.

- Leukosit
Jumlah leukosit dapat normal atau sedikit meningkat pada proses yang
aktif.

- Hemoglobin
Pada penyakit tuberkulosis berat sering disertai dengan anemi derajat
sedang. Bersifat normositik dan sering disebabkan defisiensi besi.

 Tes tuberkulin
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau
pernah mengalami infeksi M. Tuberculosa, M. Bovis, vaksinasi BCG dan
Mycobacteria patogen lainnya.

d. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto thoraks PA. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif1 :

- Bayangan berawan / nodular disegmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah paru.

- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.

- Bayangan bercak milier

- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif :

54
- Fibrotik

- Kalsifikasi

- Schwarte atau penebalan pleura

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut:

- Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari sela iga 2 depan, serta tidak dijumpai kavitas

- Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

2.4.6. Diagnosa Banding

Pada proses paru minimal sebagai diagnosis banding adalah simple


bronchopneumonia, kanker paru stadium dini, dan pneumonia lobaris. Pada proses
tuberkulosis menahun perlu diingat bahwa ada penyakit paru non tuberkulosis yang
bersifat menahun, seperti bronkiektasis, bronkitis, emfisema dan kanker paru.

a. Simple bronkopneumonia
Terdapat pada bronkiolus dan bronkus. Disebabkan oleh streptococcus,
hemophilus influenza, koliform dan jamur. Sering ditandai dengan septikemia,
demam dan kurang kesadaran. Juga terdapat bercak-bercak konsolidasi.
b. Pneumonia lobaris
Disebabkan oleh streptococcus pneumonia. Disertai dengan keluhan batuk, nyeri
dada, demam,dan sputum purulen. Pneumonia lobaris mengenai seluruh lobus.
c. Kanker paru stadium dini
Tidak ada stadium batuk berdarah. Ditemukan gambaran patologis ditemukan
sel neoplasma.
d. Bronkitis
Ditandai dengan keluhan batuk, dyspneu dan takypneu. Biasanya disebabkan
oleh virus (hemophilus influenza) dan bakteri (streptococcus pneumonia).

55
2.4.7. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis ditujukan untuk menyembuhkan penderita, mencegah
kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Pengobatan dibagi menjadi 2 fase
yaitu fase intensif dan fase lanjutan:

a. Tahap intensif
Penderita mendapat obat setiap hari, awasi langsung. Bila pengobatan tahap intensif
diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam 2
minggu. Sebagian besar penderita BTA positif akan menjadi negatif pada akhir
pengobatan

b. Tahap lanjutan
Paduan obat yang digunakan terdiri dari panduan obat utama dan obat tambahan.

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:


a. Isoniazid (INH), bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam
beberapa hari pertama pengobatan.

b. Rifampisin, bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dorman yang tidak
dapat dibunuh INH.

c. Prazinamid, bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam.

d. Streptomisin, bersifat bakterisid.

e. Ethambutol, bersifat bakteriostatik.

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) :


- Kanamisin

- Amikasin

- Kuinolon

- Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam klavulanat

Obat-obatan tersebut tersedia dalam kemasan obat tunggal dan obat kombinasi
(Fixed Dose Combination/FDC). FDC direkomendasikan bila tidak dilakukan
pengawasan menelan obat.

56
Program Nasional Penanggulangan TB paru di Indonesia menggunakan paduan
OAT:

1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Diberikan untuk penderita baru TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif rontgen
positif yang sakit berat, dan penderita TB paru ekstra paru berat.

2. Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E)
Diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure) dan penderita
dengan pengobatan lalai (drop out).

3. Kategori III (2HRZ/4H3R3)


Diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan, pasien
ekstra paru ringan yaitu limfadenitis TB, TB kulit, TB tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

4. Obat sisipan (HRZE)


Bila pada akhir tahap intendif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori I
atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori II hasil pemeriksaan dahak
masih BTA positif.
Tabel 9. Dosis Kategori 1 Pemberian Obat TB
TAHAP INTENSIF TAHAP LANJUTAN*
BB SELAMA 2 BULAN SELAMA 4 BULAN
PENDERITA TIAP HARI TIAP HARI* 3 X SEMINGGU*
( Kg ) TABLET 4FDC TABLET 2FDC TABLET 2FDC
R150+H75+Z400+E275 R150+H75 R150+H150

30 -37 2 TABLET 2 TABLET 2 TABLET

38 - 54 3 TABLET 3 TABLET 3 TABLET

55 - 70 4 TABLET 4 TABLET 4 TABLET

> 71 5 TABLET 5 TABLET 5 TABLET

KETERANGAN: 1 BULAN = 28 HARI.


UTK TAHAP LANJUTAN, PILIH SALAH SATU CARA PEMBERIAAN,
APAKAH TIAP HARI ATAU 3 KALI SEMINGGU.

57
2.6.Infeksi Saluran Kemih

2.6.1. Definisi

Infeksi saluran kemih adalah suatu infeksi yang melibatkan ginjal, ureter, buli-buli,

ataupun uretra. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang menunjukkan

keberadaan mikroorganisme (MO) dalam urin (Sukandar, E., 2004). Bakteriuria bermakna

menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105 colony forming unit

(cfu/ml) pada biakan urin.

2.6.2. Klasifikasi

Infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi:

1. Infeksi saluran kemih tanpa gejala (Bakteriuria asimptomatik).

Dimana terdapat bakteri dalam urin lebih dari 100.000 /ml urin. Urin diambil porsi tengah

dengan cara vulva dan meatus uretra eksternus dibersihkan terlebih dahulu dengan bahan

antiseptik. Atau jumlah bakteri antara 10.000 sampai dengan 100.000 bila urin diambil

dengan cara kateter uretra. Pada urinalisis dapat ditemukan adanya leukosit.

2. Infeksi saluran kemih dengan gejala

a. Infeksi saluran kemih bagian bawah (cystitis)

Dengan gejala dapat berupa disuria, terkadang didapatkan hematuria, nyeri daerah

suprasimpisis, terdesak kencing (urgency), stranguria, tenesmus dan nokturia. Tetapi jarang

sampai menyebabkan demam dan menggigil. Pada urinalisis dapat dijumpai leukosit dan

eritrosit.

58
b. Infeksi saluran kemih bagian atas (pielonefritis).

Dengan gejala berupa nyeri dan tegang pada daerah sudut “costovertebral” atau daerah

pinggang, demam, mual dan muntah. Dapat juga disertai keluhan seperti pada infeksi saluran

kemih bagian bawah seperti disuria, urgensi dan polakisuria, stranguria, tenesmus, nokturia.

Pada pemeriksaan darah dapat dijumpai kadar ureum dan kreatinin yang meningkat dan pada

pemeriksaan urinalisis ditemukan leukosit. Atau pada pemeriksaan imunologi didapatkan

bakteriuria yang diselubungi antibodi (Susan&Midthun, 2004).

2.6.3. Etiologi

Escherichia coli (E.coli) merupakan kuman penyebab tersering (60-80%) ada ISK

serangan pertama. Penelitian di dalam negeri antara lain di RSCM Jakarta juga menunjukkan

hasil yang sama. Kuman lain penyebab ISK. sering adalah Proteus mirabilis, Klebsiella

pneumonia, Klebsiella oksitoka, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeroginosa, Enterobacter

aerogenes, dan Morganella morganii, Stafilokokus, dan Enterokokus Pada ISK kompleks,

sering ditemukan kuman yang virulensinya rendah seperti Pseudomonas, golongan

Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus atau epidermidis.

2.6.4. Patofisiologi

Urin biasanya berada dalam keadaan steril. Infeksi berlaku apabila bakteri masuk ke

dalam urin dan mula bertumbuh. Proses infeksi ini biasanya bermula pada pembukaan uretra

di mana urin keluar dari tubuh dan masuk naik ke dalam traktus urinari. Biasanya, dengan

miksi ia dapat mengeluarkan bakteri yang ada dari uretra tetapi jika bakteri yang ada terlalu

banyak, proses tersebut tidak membantu. Bakteri akan naik ke atas saluran kemih hingga

kandung kemih dan bertumbuh kembang di sini dan menjadi infeksi. Infeksi bisa berlanjut

59
melaluiureter hingga ke ginjal. Di ginjal, peradangan yang terjadi disebut pielonefritis yang

akan menjadi keadaan klinis yang serius jika tidak teratasi dengan tuntas (Balentine, 2009).

Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan urin selalu steril

dikarenakan pertahanan jumlah dan frekuensi kencing. Uretro distal merupakan tempat

kolonisasi mikroorganisme nonpathogenic fastidious gram positive dan gram negative.

Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme ascending dari uretra ke dalam

kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal.

Proses ini dipermudah refleks vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat

jarang ditemukan di klinik. Mungkin akibat lanjut dari bakterimia. Ginjal diduga merupakan

lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat Stafilokokus aureus.

Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis (Stafilokokus aureus) dikenal Nephritis

Lohlein. Beberapa peneliti melaporkan pionefritis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi

hematogen dan infeksi sistemik gram negatif (Sudoyo AW, et al, 2009).

2.6.5. Gejala klinis

Lower urinary tract infection (cystitis), sepanjang uretra dan kandung kemih:

1. Disuria yaitu nyeri ketika buang air kecil.

2. Kerap buang air kecil atau bangun pada malam hari untuk kencing dan jumlah urin

biasanya sedikit.

3. Urgency atau tidak bisa menahan urin dalam kandung kemih.

4. Urin yang keruh, busuk atau disertai darah.

5. Nyeri pada bagian abdomen bawah (supra pubik).

6. Demam dan rasa tidak enak tubuh atau malaise.

60
Upper urinary tract infection (pyelonephritis):

1. Demam tinggi dan menggigil.

2. Muntah dan mual.

3. Nyeri pada bagian pinggang

4. Hipotensi atau syok.

2.6.6. Diagnosis Infeksi saluran kemih

Penegakkan diagnosis infeksi saluran kemih berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan

penunjang, seperti pemeriksaan mikroskopis urin dan kultur urin. Pemeriksaan mikroskopik

dilakukan untuk menentukan jumlah leukosit dan bakteri dalam urin. Jumlah leukosit yang

dianggap bermakna adalah >10/lapang pandang besar (LPB). Apabila didapat leukosituri

yang bermakna, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur (Sudoyo AW, et al, 2009).

1. Pemeriksaan Leukosit Urin

Sepuluh ml sampel urin yang telah dikocok merata dan disentrifugasi dengan kecepatan

2500 – 3000 rpm selama 5 menit. Cairan yang terdapat diatas tabung pemusing dibuang,

ditinggal endapannya. Kemudian satu tetes sedimen ditempatkan ke slide mikroskop, tertutup

dan diperiksa menggunakan mikroskop cahaya di bawah 40x perbesaran. Pertama kali dilihat

dibawah mikroskopis dengan lapangan pandang kecil (LPK), kemudian beberapa kali dengan

lapangan pandang besar (LPB). Penilaian dilakukan dengan melihat beberapa kali dalam

beberapa kali dalam LPB. Laporan dihasilkan bila dijumpai lebih dari 5 leukosit/LPB

(Chenari M et al, 2012).

61
a). Leukosuria

Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap dugaan adalah

ISK. Dinyatakan positif bila terdapat > 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sedimen air

kemih. Adanya leukosit silinder pada sediment urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal.

Namun adanya leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat pula dijumpai

pada inflamasi tanpa infeksi. Apabila didapat leukosituria yang bermakna, perlu dilanjutkan

dengan pemeriksaan kultur.

b). Hematuria

Universitas Sumatera Utara Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK,

yaitu bila dijumpai 5-10 eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan oleh berbagai

keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun oleh sebab lain misalnya

urolitiasis, tumor ginjal, atau nekrosis papilaris.

2. Pemeriksaan Kultur Urin

Pemeriksaan kultur urin adalah pemeriksaan mikrobiologi atau biakan urin

berdasarkan kuantitatif bakteri untuk menentukan infeksi saluran kemih. Bahan urin untuk

pemeriksaaan harus segar dan sebaiknya diambil pada pagi hari. Bahan urin dapat diambil

dengan cara punksi suprapubik, dari kateter dan urin porsi tengah (midstream urine). Bahan

urin yang paling mudah diperoleh adalah urin porsi tengah yang ditampung dalam wadah

bermulut lebar dan steril (Chenari M et al, 2012).

2.6.7 Penatalaksanaan ISK

Berikut adalah beberapa agen antimikroba yang biasa digunakan untuk pengobatan

infeksi saluran kemih :

62
1) Kotrimoksazol (Trimetropim-Sulfametoksazol)

Trimetropim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap

yang berurutan pada mikroba sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergi.

Kombinasi ini lebih dikenal dengan nama kotrimoxazol yang sangat berguna untuk

pengobatan infeksi saluran kemih.

2) Ciprofloxacin

Ciprofloxacin aktif terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif. Ciprofloxacin

terutama aktif terhadap kuman Gram negatif termasuk Salmonella, Shigella, Campilobakter,

Neisseria, dan Pseudomonas. Penggunaan ciprofloxacin termasuk untuk infeksi saluran

napas, saluran kemih, sistem pencernaan, dan gonore serta septikemia oleh organisme yang

sensitif.

2.6.8. Komplikaasi

Komplikasi infeksi saluran kemih tergantung dari tipe yaitu infeksi saluran kemih tipe

sederhana (uncomplicated) dan tipe berkomplikasi (complicated).

1. Infeksi saluran kemih sederhana (uncomplicated)

Infeksi saluran kemih akut tipe sederhana (cystisis) yaitu non-obstruksi dan bukan perempuan

hamil merupakan penyakit ringan (self limited disiase) dan tidak menyebabkan akibat lanjut

jangka lama.

2. Infeksi saluran kemih berkomplikasi (complicated)

- Infeksi saluran kemih selama kehamilan

- Infeksi saluran kemih pada diabetes melitus (Mazzulli T, 2012).

63
64

Anda mungkin juga menyukai