Anda di halaman 1dari 25

15

ketergantungan sosial ekonomi yang penuh dengan keadaan yang relatif lebih mandiri ( Sarlito,

2007: 9 )

Remaja merupakan periode yang panjang dan beberapa remaja awal memiliki sedikit

motivasi untuk menempuh tuntutan dari tugas perkembangan untuk usia remaja awal. Berbeda

dengan remaja akhir, dimana remaja akhir telah mempersiapkan diri menuju ke arah kedewasaan

dan berperilaku seperti individu dewasa.

Kenakalan remaja biasa disebut dengan Juvenile; berasal dari bahasa latin yang artinya

anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja,

sedangkan delinquent berasal dari bahasa latin yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang

kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat

ribut, dan sebagainya. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau

kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan

remaja disebaban oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk

perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari

tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. (

Kartini Kartono, 2008 ) .

Kusumanto mendefinisikan juvenile delinquency atau kenakalan anak dan remaja ialah

tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang

dianggap sebagai acceptable dan baik oleh suatu lingkungan atau hukum yang berlaku di suatu

masyarakat yang berkebudayaan ( dalam Kartini Kartono, 2008 ).

Sarlito (2007) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku yang menyimpang

dari norma-norma hukum pidana, sedangkan Kartini Kartono (1985) menyebutkan bahwa
16

kenakalan remaja adalah tingkah laku melawan norma yang diperbuat oleh anak yang belum

dewasa.

Menurut John W. Santrock ( 2007 : 255 ) menyatakan bahwa kenakalan remaja adalah

perilaku yang merujuk pada tindakan yang tidak dapat diterima secara sosial arau status

pelanggaran hingga tindakan kriminal.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan kenakalan

remaja adalah perilaku remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang dapat

mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang

dilakukan remaja dibawah umur 18 tahun.

2. Karakteristik Remaja Nakal

Menurut Kartini Kartono (2008:17), remaja nakal itu mempunyai karakteristik umum

yang sangat berbeda dengan remaja yang tidak nakal. Perbedaan itu mencakup, perbedaan

sturktur intelektual, perbedaan fisik dan psikis, dan ciri karakteristik individual.

Perbedaan sturktur intelektual pada umumnya intelegensi mereka tidak berbeda dengan

intelegensi remaja yang normal, namun jelas terdapat fungsi-fungsi kognitif khusus yang

berbeda. Biasanya remaja nakal ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi dari

pada nilai untuk keterampilan verbal ( tes Wechsler ). Mereka kurang toleran terhadap hal-hal

yang ambisius biasanya mereka kurang mampu memperhitungkan tingkah laku orang lainbahkan

tidak menghargai pribadi lain dan menganggap orang lain sebagai cermin dari diri sendiri.

Sedangkan perbedaan fisik dan psikis pada anak remaja yang nakal ini lebih “idiot secara

moral” dan memiliki perbedaan cirri karakteristik yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan
17

dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya

bersikap lebih agresif. Hasil penelitian juga menunjukkan ditemukannya fungsi fisiologis dan

neurologis yang khas pada remaja nakal ini, yaitu: mereka kurang bereaksi terhadap stimulus

kesakitan dan menunjukkan ketidakmatangan atau anomaly perkembangan tertentu.

Ciri karakteristik individual remaja nakal mempunyai sifat kepribadian kusus yang

menyimpang, seperti (a) rata-rata remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang,

bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan, (b) kebanyakan dari

mereka tergantung secara emosional, (c) mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat

normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab

secara sosial, (d) mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang

merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya resiko dan bahaya yang

terkandung di dalamnya, (e) pada umumnya mereka sangat impulsive dan suka tantangan dan

bahaya, (f) hati nurani tidak atau kurang lancer fungsinya, (g) kurang memiliki disiplin diri dan

kontrol diri sehingga mereka menjadi liar dan jahat.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja nakal biasanya berbeda dengan

remaja yang tidak nakal. Remaja nakal biasanya lebih ambivalen terhadap otoritas, percaya diri,

pemberontak, mempunyai kontrol diri yang kurang, tidak mempunyai orientasi pada masa depan

dan kurangnya kemasakan sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungan sosial.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Kenakalan Remaja

Faktor-faktor kenakalan remaja menurut santrock (1996) lebih rinci dijelaskan sebagai

berikut :
18

a. Identitas

Menurut teori yang dikemukakan oleh Erickson (dalam Santrock, 1996 ) masa remaja ada

pada tahap dimana krisis indenitas versus difusi identitas harus diatas. Perubahan biologis dan

sosial memungkingkan terjadinya dua bentuk integrasi pada kepribadian remja :

1. Terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya, dan

2. Tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggambungkan motivasi,

nila-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang

dituntut dari remaja.

Erickson percaya bahwa delinkuensi pada remaja ditandai dengan kegagalan remaja

untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspek-aspek peran identitas. Ia

mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang

membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka

merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada mereka, mungkin akan memiliki

perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari remaja mungkin akan mengambil bagian

dalam tindak kenakalan, oleh karena itu bagi Erickson, kenakalan adalah suatu upaya untuk

membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.

b. Kontrol diri

Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan

kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal dalam mengembangkan

kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan.

Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan
19

tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak

mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan

tingkah laku yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui

perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam

menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka. Hasil penelitian yang

dilakukan Santrock (1996) menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai peranan

penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orangtua yang efektif di masa kanak-kanak

(penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan

dicapainya pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya, dengan memiliki ketrampilan ini sebagai

atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingka kenakalan remaja.

c. Usia

Munculnya tingkah laku anti-sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan

serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku seperti

ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, seperti hasil penelitian da McCord (dalam Kartini

Kartono, 2008) yang menunjukkan bahwa pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal tipe terisolir

meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Paling sedikit 60% dari mereka menghentikan

perbuatannya pada usia 21 sampai 23 tahun.

d. Jenis kelamin

Remaja laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti-sosial daripada perempuan.

Menurut catatan kepolisian pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang melakukan kejahatan

dalam kelompok diperkirakan 50 kali lipat daripada reng remaja perempuan (Kartini Kartono,

2008).
20

e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah

Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah

terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat untuk

kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka

tidak mempunyai motivasi untuk sekolah. Riset yang dilakukan oleh Janet Chang dan Thao N.

Lee (2005) mengenai pengaruh orangtua, kenakalan teman sebaya, dan sikap sekolah terhadap

prestasi akademik siswa di Cina, Kamboja, Laos dan remaja Vietnam menunjukkan bahwa faktor

yang berkenaan dengan orangtua secara umum tidak mendukung banyak, sedangkan sikap

sekolah ternyata dapat menjembatani hubungan antara kenakalan teman sebaya dan prestasi

akademik.

f. Proses keluarga

Faktor keluarga sangatlah berpengaruh terhadap timbulnya kenkalan remaja.

Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak,

kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua dapat menjadi

pemicu timbulnya kenakalan remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-

rekannya ( dalam Santrock, 1996 ) menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak

memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai

merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya kenakalan remaja.

Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga berhubungan dengan

kenakalan. Faktor genetik juga termasuk pemicu timbulnya kenakalan remaja, meskipun

persentasenya tidak begitu besar.


21

g. Pengaruh teman sebaya

Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko

remaja untuk nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (1996) terhadap 500 pelaku kenakalan dan

500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang

lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan regular dengan teman sebaya yang melakukan

kenakalan.

h. Kelas sosial ekonomi

Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial

ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara daerah

perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki banyak privilege diperkirakan

50 : 1 ( Kartini Kartono, 2008 ). Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas

sosial rendah untuk mengembangkan keterampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka

mungkin saja merasa bahwa mereka akan mendapatkan perhatian dan status dengan cara

melakukan tindakan anti-sosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah contoh status yang

tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan

oleh keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah

melakukan kenakalan.

i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal

Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja.

Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai

model yang melakukan aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini sering ditandai dengan

kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelas menengah. Kualitas sekolah,
22

pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah faktor-faktor lain dalam

masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan remaja.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling berperan

menyebabkan timbulnya kecenderungan kenakalan remaja adalah faktor keluarga yang kurang

harmonis dan faktor lingkungan lingkungan terutama teman sebaya yang kurang baik, karena

pada masa ini remaja mulai bergerak meninggalkan rumah dan menuju teman sebaya, sehingga

minat, nilai, dan norma yang ditanamkan oleh kelompok lebih menentukan perilaku remaja

dibandingkan dengan norma, nilai yang ada dalam keluarga dan masyarakat.

4. Bentuk dan Aspek-Aspek Kenakalan Remaja

Menurut Kartini Kartono (2008), bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagi

menjadi empat, yaitu :

a. Kenakalan terisolir ( Delinkuensi terisolir )

Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada umumnya mereka tidak

menderita kerusakan psikologis. Perubahan nakal mereka didorong oleh faktor-faktor berikut :

1) Keinginan meniru dan ingin menyatu dengan gengnya, jadi tidak ada motivasi,

kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan.


2) Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota transisional sifatnya yang memiliki

subkultur kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja merasa diterima,

mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestise tertentu.


3) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami

banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memusakan semua kebutuhan dasarnya
23

di tengah lingkungan kriminal. Geng remaja nakal memberikan alternative hidup yang

menyenangkan.
4) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervise dan

latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak sanggup

menginternalisasikan norma hidup normal. Ringkasnya, delinkuen terisolasi itu mereaksi

terhadap tekanan dari lingkungan sosial, mereka mencari panutan dan rasa aman dari

kelompok gengnya, namun pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal ini meninggalkan

perilaku kriminalnya, paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perilakunya pada

usia 21 – 23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan dirinya sehingga remaja

menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang dewasa yang mulai memasuki peran

sosial yang baru.

b. Kenakalan neurotic ( Delinkuensi neurotik )

Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius,

antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa bersalah dan berdosa, dan lain

sebagainya. Ciri-ciri perilakunya adalah :

1) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat dalam, dan bukan

hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur geng yang kriminal itu

saja.
2) Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum

terselesaikan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat pelepas ketakutan,

kecemasan, dan kebingungan batinnya.


3) Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekkan jenis

kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa kemudian membunuh korbannya, kriminal

dan sekaligus neurotik.


24

4) Remaja nakal ini yang berasal dari kelangan menengah, namun pada umumnya keluarga

mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan orangtuanya biasanya

juga neurotik atau psikotik.


5) Remaja memiliki ego yang lemah, dan cenderung mengisolir diri dari lingkungan.
6) Motif kejahatannya berbeda-beda
7) Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan)

c. Kenakalan psikotik

Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan umum

dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku

mereka adalah :

1) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan

keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras

namun tidak konsisten, dan orangtuanya selalu menyia-nyiakan mereka, sehingga mereka

tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan tidak mampu menjalin

hubungan emosional yang akrab dan baik dengan orang lain.


2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan pelanggaran
3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau dan tidak

dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya mereka

residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.
4) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma sosial

yang umum berlaku, juga tidak perduli terhadap norma subkultur gengnya sendiri.
5) Kebanyakan dari mereka juga menderita gangguan neurologis, sehingga mengurangi

kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. Psikopat merupakan bentuk kekalutan

mental dengan karakteristik sebagai berikut : tidak memiliki pengorganisasian dan

integrasi diri, ornagnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral, selalu mempunyai

konflik dengan norma sosial dan hokum. Mereka sangat egoistis, anti-sosial dan selalu
25

menentang apa dan siapapun. Sikapnya kasar, kurang ajar, dan sadis terhadap siapapun

tanpa sebab.

d. Kenakalan defek moral (Delinkuensi defek moral)

Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, atau kurang.

Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri : selalu melakukan tindakan anti-sosial, walaupun

pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada intelegensinya. Kelemahan

para remaja delinkuensi tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah

lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin

melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan, dan kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat

terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi, jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas

emosional. Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga pembentukan

super egonya sangat lemah. Impulsnya tetap pada tarif primitif sehingga sukar dikontrol dan

dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan prestasinya, namun perbuatan mereka sering

disertai agresivitas yang meledak. Remaja yang defek moralnya biasanya menjadi penjahat yang

sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena di dorong oleh

naluri rendah, implus, dan kebiasaan primitive, di antara para penjahat residivis remaja, kurang

lebih 80% mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan mentalnya yang

salah, jadi mereka menderita defek mental. Hanya kurang dari 20% yang menjadi penjahat

disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar.

Jensen (dalam Sarlito, 2007:207) membagi kenakalan remaja menjadi empat bentuk

yaitu:
26

a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain : perkelahian, perkosaan,

perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.


b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi : perusakan, pencurian, pencopetan,

pemerasan, dan lain-lain.


c. Kenakalan yang menimbulkan korban di pihak lain : pelacuran, penyalahgunaan obat,

hubungan seks bebas.


d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar

dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah.

Hurlock (1973) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja terbagi dalam

empat bentuk, yaitu :

a. Perilku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.


b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti merampas, mencuri, dan

mencopet.
c. Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi orangtua dan guru

seperti membolos, mengendarai kendaraan tanpa surat izin, dan kabur dari rumah.
d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti mengendarai motor

dengan kecepatan tinggi, memperkoa dan menggunakan senjata tajam.

Dari beberapa bentuk kenakalan pada remaja dapat disimpulkan bahwa semuanya

menimbulkan dampak negatif yang tidak baik bagi dirinya sendiri dan orang lain, serta

lingkungan sekitarnya. Adapun aspek-aspeknya diambil dari pendapat Jensen (dalam Sarlito,

2007). Terdiri dari aspek perilaku yang melanggar aturan dan status, perilaku membahayakan diri

sendiri dan orang lain, perilaku yang mengakibatkan korban materi, dan perilaku yang

mengakibatkan korban fisik.

B. Keharmonisan Keluarga

1. Pengertian Keluarga
27

Keluarga adalah lembaga pertama dan utama dalam melaksankan proses sosialisasi dan

sivilisasi pribadi anak. Di tengah keluarga anak belajar mengenal makna cinta-kasih, simpati,

loyalitas, ideologi, bimbingan dan pendidikan (Kartini Kartono, 2008 : 120). Simanjuntak

membedakan dua kelompok keluarga, sebagai berikut :

a. Keluarga (besar) di lingkungan persekutuan hidup sederhana (primitif)

Keluarga (besar) di lingkungan persekutuan hidup sederhana (primitif) ialah semua

keluarga dari pihak ayah dan ibu yang masih hidup, adik dan kakak dari ayah dan ibu, istri dan

anak, orang tua ayah dan ibu, orang tua istri atau suami adik atau kakak ayah dan ibu, paman dan

bibi dari ayah dan ibu, sampai pada nenek-kakek dari ayah dan ibu, sepanjang mereka masih

hidup (Simanjuntak, 1998 : 1).

b. Keluarga modern

Keluarga di dunia modern terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Keinginan untuk berdiri

sendiri dilapangan ekonomi menyebabkan jumlah anggota keluarga semakin kecil, ikatan

ekonomi yang dirasakan hanya ada diantara orang tua dan anak-anak yang belum dewasa,

mereka yang sudah dewasa dan mempunyai pencaharian sendiri, sudah menikah tidak lagi

serumah dengan orang tua mereka (Simanjuntak, 1998 : 1).


28

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian keluarga adalah suatu kelompok

orang yang terkait dan hidup bersama yang dilakukan oleh ikatan perkawinan dan mempunyai

keturunan dari hubungan tersebut.

2. Pengertian Keharmonisan Keluarga

Keharmoisan keluarga adalah keluarga yang mempunyai hubungan selaras antara anggota

keluarga. Seperti yang diungkapkan Sarlito (1992 : 42) bahwa keluarga yang harmonis adalah

keluarga yang bahagia, dimana setiap anggota keluarganya mempunyai kepuasan batin dan

bahagia.

Setiap individu dalam keluarga yang harmonis mempunyai kepribadian yang utuh, tidak

mudah kecewa, putus asa, dan tidak banyak terlibat konflik-konflik yang dapat menebabkan

gangguan kejiwaan.

Keluarga harmonis adalah keluarga yang tenang dan tentram serta rukun dan damai

(Hasan Basri, 1996 : 16). Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kata harmonis apabila dilihat

dari etimologinya dapat berarti serasi, selaras (WJS Poerwadarminto, 1996 : 374). Suatu keadaan

yang sifatnya memiliki hubungan yang baik. Apabila dikaitkan dengan kata keluarga yang di

depannya maka merupakan suatu gambaran dari keadaan keluarga tersebut. Dengan kata lain

keluarga yang memiliki hubungan serasi.

Menurut Singgih D. Gunarsa (2001 : 210) keluarga harmonis adalah keadaan bahagia

yang dirasakan oleh sebuah keluarga yang dipengaruhi oleh interaksi antar keluarga, selain hal

tersebut keharmonisan keluarga juga melibatkan emosional dan perasaan yang dirasakan oleh
29

para anggota keluarga untuk dapat lebih merasakan penderitaan ataupun kebahagiaan yang

dirasakan.

Keharmonisan keluarga dapat tercipta bila orang tua dapat menciptakan kehangatan dan

memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial, bagi semua anggota keluarga. Keharmonisan

keluarga timbul dalam proses interaksi sosial, dimana peran ayah, ibu, dan anak serta peran

orang tua lain seperti kakek, nenek, paman, dan bibi sangat mendukung tercapainya

keharmonisan keluarga. Jadi pengertian keharmonisan itu sendiri tidak terlepas dari cinta, karena

dalam keluarga yang harmonis sudah pasti memiliki hubungan keluarga yang harmonis, seperti

saling pengertian, memperhatikan dan menghargai antara anggota keluarga.

Menurut Sarlito Sarwono (1992 : 57), secara psikologis keharmonisan keluarga

mencangkup dua hal, yaitu :

1. Tercapainya keinginan, cita-cita, harapan dari semua anggota keluarga


2. Sedikit mungkin terjadi konflik-konflik dalam pribadi masing-masing maupun konflik

antar pribadi,

Pendapat lain dikemukakan oleh CH. Hartini (1993 : 4) yang mendefinisikann bahwa

keharmonisan keluarga adalah suatu kondisi keseharian keluarga di dalam rumah tangga; suami,

istri, dan anak-anak saling pengertian, saling menghormati, dan menyayangi tanpa ada rasa

curiga-mencurigai.

Maka dapat dikatakan keluarga sebagai kelompok yang tinggal bersama dan memiliki

suatu hubungan dimana adanya pengertian, saling menghormati dan menyayangi akan timbul

keharmonisan keluarga yang serasi dan akrab.


30

Keluarga memberikan pengaruh menentukan pada pembentukan watak dan kepribadian

anak, dan menjadi unit sosial terkecil memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak.

Baik-buruknya struktur keluarga memberikan dampak baik atau buruknya perkembangan jiwa

dan jasmani anak (Kartini Kartono, 2008 : 120).

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu keluarga

dikatakan harmonis apabila dalam rumah tangga tersebut anggota keluarga mempunyai kepuasan

batin, tidak banyak terlibat konflik, adanya rasa pengertian, menghormati, dan saling

menyayangi antar anggota keluarga tanpa ada rasa curiga.

3. Kriteria keharmonisan Keluarga

Keharmonisan keluarga tidak dapat dirasakan begitu saja setelah berdirinya bangunan

keluarga, karena bagaimanapun dalam sebuah keluarga ditemukan persoalan-persoalan baik itu

antara suami-istri atau orang tua dan anak-anaknya. Seperti yang banyak terjadi di kota-kota

besar, tidak jarang ditemukan orang tua yang bekerja sampai larut malam meninggalkan anak-

anaknya dirumah, hal ini dapat menyebabkan hubungan antara anggota keluarga tersebut

semakin sempit. Tapi bagaimanapun juga yang terpenting disini adalah mutu hubungan itu

sendiri, dan bukan diatur dengan lamanya hubungan.

Menurut Chamin Zarkasyi (1998 : 50) kondisi harmonis mempunyai criteria sebagai

berikut :

a. Hubungan antara anggota (ayah-ibu-anak) terjalin baik


b. Ungkapan kasih sayang orang tua kepada anak tidak hanya dalam bentuk materi saja,

melainkan psikologis
31

c. Sikap kontrol orang tua kepada anak yang konsisten


d. Adanya kebersamaan orang tua dan anak di rumah.

Nick Stimmet dan John DeFrain (1987) dalam studinya yang berjudul “ The National

Study on Family Strength “ (dalam Dadang Hawari, 1996 : 22 ) keluarga yang harmonis dapat

terlihat adanya :

a. Kehidupan beragama dalam keluarga


b. Waktu bersama dalam keluarga
c. Komunikasi yang baik antara sesama anggota keluarga
d. Saling menghargai anggot sesama anggota keluarga
e. Masing-masing anggota keluarga terikat satu dengan yang lainnya dengan ikatan

keluarga sebagai ikatan kelompok yang kuat, tidak longgar, dan tidak rapuh
f. Dalam mengatasi krisis yang mungkin timbul, para anggota keluarga sepakat untuk

menyelesaikan secara positif.

Berkaitan dengan pengukuran keharmonisan keluarga maka skala yang akan digunakan

disusun berdasarkan criteria dapat disimpulkan ciri-ciri yang memiliki keharmonisan keluarga

adalah kehidupan beragama, waktu bersama, komunikasi yang baik, saling menghargai, masing-

masing anggota keluarga memiliki keterkaitan dalam mengatasi krisis yang mungkin timbul/

Dalam bab ini yang diajukan sebagai Blue Print untuk alat ukur mengacu pada teori Nick

Stimmet (Dadang Hawari, 1996 : 209).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Kleuarga

Keharmonisan keluarga tidak begitu banyak saja terbentuk setelah berdirinya bangunan

keluarga, karena bagaimanapun dalam sebuah keluarga ditemukan persoalan-persoalan baik

antara suami-istri atau orang tua dan anak-anaknya. Seperti di zaman sekarang terutama di kota

besar tidak jarang ditemukan orang tua yang bekerja sampai larut malam meninggalkan anak-
32

anaknya dirumah, hal ini menyebabkan hubungan antara anggota keluarga semakin sempit. Tapi

bagaimanapun juga yang terpenting disini adalah mutu hubungan itu sendiri dan bukan diatur

dengan lamanya hubungan.

Menurut Price (dalam Perlmuter & Hall, 1992 : 195) hubungan orang tua dengan anak

juga dapat mempengaruhi keharmonisan keluarga. Artinya apabila hubungan orang tua dengan

anak dapat terjalin dengan baik maka dapat meningkatkan keharmonisan keluarga.

Gunarsa (1990 : 42) mengatakan “suatu keluarga harmonis sejahtera haruslah dipupuk

hubungan yang baik antara anggota keluarga“. Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan, yaitu :

a. Perhatian

Perhatian dapat diartikan sebagai menaruh hati pada seluruh anggota keluarga. Orang tua

dan keluarga harus mengarah perhatian untuk mencari lebih mendalam seab-sebab

sumber permasalahan serta perubahan yang terjadi pada anggota keluarga.

b. Pengertian

Usaha mencari tahu mengenai anggota keluarga yang “dekat” yakni seluruh anggota

keluarga mengetahui sikap perubahan di dalam anggota keluarga dan perubahan anggota-

anggota keluarga berarti mengikuti perkembangan sikap anggota, berkembang menjadi


33

pengenalan diri yang baik antara anggota keluarga. Jika ini tercapai maka masalah yang

timbul akan cepat terungkap dan teratasi. Dengan demikian dapat mengurangi masalah di

dalam keluarga.

c. Sikap Menerima

Sikap menerima berarti menerima kelebihan dan kekurangan. Ini perlu agar tidak

menimbulkan kekesalan karena kekecewaan yang disebabkan kegagalankarena tidak

tercpainya harapan, yang dapat merusak suasana keluarga dan mempengaruhi

perkembangan lainnya.

d. Peningkatan Usaha

Setelah setiap anggota keluarga diterima dengan segala kekurangannya, yang lemah

menduduki tempatnya masing-masing dalam keluarga perlu peningkatan usaha. Ini dapat

dilakukan dengan mengembangkan setiap aspek dari anggota secara optimal yang

disesuaikan dengan kemampuan setiap individu dengan dukungan dari sleuruh anggota

keluarga.

e. Penyesuaian

Meliputi perubahan terhadap diri sendiri, anggota keluarga lainnya dan perubahan di luar

keluarga, seorang anak atau remaja yang dibesarkan dalam kondisi keluarga harmonis,

maka resiko untuk berperilaku anti-sosial maupun menyimpang lebih kecil dibandingkan

dengan keluarga yang tidak harmonis.

Sedangkan menurut Pasurdi Suparlan (1996 : 32) untuk dapat tercapainya kehidupan

keluarga yang harmonis jalan terbaik adalah menghindari konflik diantara sesama anggota
34

keluarga. Adapun cara-cara yang dapat dilakukan antara lain misalnya : menhindari sumber-

sumber yang dapat memungkinkan terjadinya konflik, menhindarkan kawin campur dengan lain

suku bangsa bila masing-masing pelaku tidak mempunyai kesiapan pengetahuan untuk hidup

serba berbeda dengan cara hidup yang biasa dijalani, membagi hak-hak dan kewajiban di antara

amggota keluarga secara consensus dan terakhir adalah pemberian fasilitas oleh suami-istri

terhadap anak-anak secara adil dan merata sesuai kedudukan dan peranan mereka masing-masing

dalam keluarga.

Sebuah keluarga dikatakan harmonis apabila struktur keluarga itu utuh dan interaksi

diantara anggota keluarga berjalan dengan baik, artinya hubungan psikologis diantara mereka

cukup memuaskan cukup memuaskan dirasakan oleh setiap anggota keluarga (Sofyan. S, 2007 :

105)

Untuk menciptakan suasana rumah tangga yang harmonis harus disertai dengan adanya

komunikasi efektif, dapat mengatasi permasalahan dalam keluarga, dan adanya sikap saling

percaya dan tidak ada saling curiga di antara suami-istri dan anak-anak, sehingga dengan

sendirinya akan tercipta keharmonisan dalam keluarga.

Berdasarkan uraian diatas maka akan dapat disimpulkan ada beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi keharmonisan keluarga menjadi empat faktor. Keempat faktor dapat diuraikan di

bawah ini :

a. Perhatian

Meliputi menaruh hati pada seluruh anggota keluarga terhadap suatu kejadian atau

permasalahan, mencari tahu tentang perubahan sikap di dalam keluarga juga menerima

kekurangan dan kelebihan angota keluarga, adanya peningkatan usaha dengan


35

memperkembangkan setiap aspek dari anggota keluarga secara optimal, dan adanya

ungkapan kasih sayang orang tua dan anak.

b. Komunikasi dua arah

Meliputi penyesuaian terhadap diri sendiri juga anggota keluarga lainnya, adanya sikap

kontrol orang tua yang konsisten, komunikasi yang baik antar anggota yang terjalin baik,

adanya komunikasi sesama anggota kleuarga, dan saling menghargai sesama anggota

keluarga.

c. Tanggung jawab

Meliputi kehidupan beragama yang terdapat dalam keluarga, adanya keterikatan antara

masing-masing anggota keluarga sebagai ikatan keluarga yang kuat serta mampu

menyelesaikan masalah secara positif bila terjadi krisis di dalam keluarga.

d. Waktu bersama

Meliputi adanya kebersamaan orang tua dan anak di rumah, dan adanya waktu yang

disediakan oleh orang tua untuk bisa berkumpul dengan keluarga.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakharmonisan Dalam Keluarga

Dadang Hawari (1996 : 238) mengemukakan kondisi keluarga yang tidak sehat yang

dapat menyebabkan keluarga menjadi tidak harmonis, antara lain :


36

a. Keluarga yang tidak utuh


b. Kesibukan orang tua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dan anak di

rumah
c. Hubungan interpersonal antar anggota keluarga (ayah-inu-anak) yang tidak baik (buruk)
d. Ungkapan kasih sayang orang tua kepada anak, dalam bentuk materi dari pada kejiwaan

(psikologis)

Dengan adanya ketidakharmonisan keluarga diperlukan adanya pemecah masalah

ketidakharmonisan atas keluarga tersebut, dapat dilakukan dengan menekankan hal-hal yang

sebaiknya dari sumber-sumber keretakan tersebut.

C. Keterkaitan Keharmonisan Keluarga dengan Kecerdasan Kecenderungan Kenakalan

Remaja

Suatu perubahan merupakan siklus kehidupan yang harus dilewati setiap individu.

Perubahan ini meliputi berbagai aspek kehidupan dan member dampak pada perilaku individu

tersebut. Usia remaja merupakan usia yang rentan terhadap berbagai perubahan sebagai akibat

dari pertumbuhan fisik dan kelenjar. Kemampuan remaja untuk menanggapi setiap perubahan

yang terjadi dalam dirinya akan menentukan bagaimana seharusnya berperilaku.

Ketidaksiapan dan ketidakmampuan remaja untuk menghadapi tekanan sosial dan situasi

yang baru akan mendatangkan konflik dalam dirinya. Kemudian mengarahkan remaja

berperilaku negatif yang menyimpang.


37

Keluarga merupakan kesatuan yang terkecil di dalam masyarakat tetapi menempati

kedudukan yang primer dan fundamental, oleh sebab itu keluarga mempunyai peranan yang

besar dan vital dalam mempengaruhi kehidupan seorang anak, terutama pada tahap awal maupun

tahap-tahap kritisnya. Keluarga yang gagal member cinta kasih dan perhatian akan memupuk

kebencian, rasa tidak aman dan tindak kekerasan kepada anak-anaknya. Demikian pula jika

keluarga tidak dapat menciptakan suasana pendidikan, maka hal ini akan menyebabkan anak-

anak terperosok atau tersesat jalannya.

Dalam proses tumbuh kembang anak, pengaruh lingkungan keluarga ikut member warna

dan bentuk pada kepribadian anak. Keterasingan para remaja dari kasih sayang dan perhatian

orang tua sebagai akibat kesibukan orang tua bekerja untuk mengejar materi, menimbulkan

perasaan benci dan frustasi pada diri remaja sehingga menjadi bingung dan risau.

Menurut Singgih D Gunarsa (2004 : 29) bahwa keluarga yang harmonis ialah bilamana

anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan

adanya kepuasan terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi atau aktualisasi

diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial.

Salah satu faktor kenakalan remaja menurut Santrock (1996) adalah faktor keluarga yang

sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya dukungan keluarga seperti

kurangnya perhatian orang tua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang

efektif, kurangnya kasih sayang orang tua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja.

Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 1996)

menunjukkan bahwa pengawasan orang tua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan

penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang penting
38

dalam menentukan munculnya kenakalan remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stress yang

dialami keluarga juga berhubungan dengan kenakalan.

Keadaan keluarga yang tidak normal bukan hanya terjadi pada broken home. Akan tetapi

dalam masyarakat modern sering pula terjadi suatu gejala adanya “broken homesemu”, (quasi

broken home) ialah kedua orang tuanya masih utuh, tetapi karena masing-masing anggota

keluarga (Ayah dan Ibu) mempunyai kehidupan masing-masing sehingga orang tua tidak sempat

memberikan perhatiannya terhadap pendidikan anak-anaknya. Dalam kaitan Bimo walgito

(dalam sudarsono, 2004 : 126) menjabarkan lebih jelas lagi bahwa, tidak jarang orang tua tidak

dapat bertemu dengan anak-anaknya. Coba bayangkan orang tua kembali dari kerja, anak-anak

sudah bermain diluar, anak pulang orang tua sudah pergi lagi, orang tua datang anak-anak sudah

tidur dan seterusnya. Keadaan yang semacam ini jelas tidak menguntungkan perkembangan

anak. Dalam situasi keluarga yang demikian anak muda mengalami frustasi, mengalami konflik-

konflik psikologis, sehingga keadaan ini juga dapat mudah mendorong anak menjadi delinkuen.

Berdasarkan uraian diatas dapat di simpulkan bahwa terciptanya keharmonisan keluarga

sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya anak remaja. Secara ideal perkembangan anak

akan optimal apabila mereka bersama keluarganya yang harmonis, dan adanya kerjasama yang

baik antar anggota keluarga akan member rasa aman, keadaan ini akan membentuk

perkembangan kepribadian yang tumbuh secara optimal, dan akan menjadi pedoman bagi

pergaulan ke dunia luar sehingga dapat mengurangi perilaku negatif atau kenakalan remaja.

Keharmonisan keluarga dalam hal ini menjadi penentu dalam kecenderungan berperilaku

pada remaja di masyarakat. Dalam keluarga yang harmonis anak akan dapat merasakan limpahan
39

kasih sayang, merasa bahagia serta adanya ketergantungan emosi dan menciptakan kemampuan

untuk bergaul dengan lingkungan sekitar.

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah kesimpulan sementara yang masih harus diuji kebenarannya,

berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan dalam tinjauan pustaka, maka dapat dirumuskan

sebagai berikut :

Ha : adanya hubungan antara keharmonisan keluarga dengan kecenderungan kenakalan

remaja pada siswa-siswi kelas IX di SMP Negeri 222 Jakarta Timur.

Anda mungkin juga menyukai