Anda di halaman 1dari 17

BAB I

Latar belakang

Arteri koroner adalah pembuluh darah yang menyuplai oksigen dan nurtisi ke otot
jantung yang mempunyai kebutuhan metabolisme yang tinggi terhadap kedua hal
tersebut. Jantung mempunyai 70–80 % oksigen yang diangkut melalui arteri
koroner dan suplai tersebut akan berkurang ketika aliran darah terhambat. Ada
beberapa keadaan yang menghambat suplai darah koroner diantaranya
aterosklerosis, spasme arteri koroner dan abnormalitas sirkulasi (Udjianti, 2010).

Menurut WHO, jumlah total kematian akibat penyakit jantung di seluruh dunia
meningkat dari 14.4 juta kematian pada tahun 1990 menjadi 17.5 juta kematian
pada tahun 2005. Berdasarkan jumlah tersebut, sebanyak 7.6 juta kematian
disebabkan oleh CAD (WHO, 2009, dalam Fuster dan Kelly, 2010). Angka
prevalensi penderita penyakit jantung di Indonesia juga semakin meningkat dari
tahun ke tahun.

Aliran darah di sistem koroner yang normal biasanya diatur hampir sebanding
dengan kebutuhan oksigen otot jantung. Sekitar 70 persen oksigen di dalam darah
arteri koroner dipindahkan selagi darah mengalir melalui otot jantung. Suplai
oksigen yang seharusnya seimbang dengan kebutuhan oksigen yang ada, pada
penyakit jantung koroner, terganggu karena adanya sumbatan akut yang dapat
disebabkan oleh berbagai hal. Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan
mencakup pemberian terapi farmakologi dan revaskularisasi arteri (Guyton & Hall,
2006).

Ada dua cara revaskularisasi yang telah terbukti baik pada penyakit jantung
koroner stabil yang disebabkan aterosklerotik koroner yaitu tindakan
revaskularisasi dengan bedah pintas koroner (Coronary artery bypass surgery) dan
tindakan intervensi perkutan (Percutaneous coronary intervention).
Penatalaksanaan secara medis dari penyakit jantung koroner ditujukan untuk
stabilisasi plak dan mencegah perkembangannya, serta mengembalikan aliran
darah koroner yang efektif sehingga mengatasi iskemik miokardial serta gejala-
gejala yang terjadi (Majid, 2008).

Percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA) diperkenalkan pertama


kali oleh Andreas Gruntzig pada tahun 1977 sehingga membuat terapi berbasiskan
kateter ini menjadi sebuah alternatif terhadap operasi bedah pintas koroner dalam
usaha untuk revaskularisasi koroner pada pasien tertentu. Keterbatasan peralatan
pada era-era awal membuat PTCA hanya dapat diaplikasikan pada <10% dari
seluruh kandidat revaskularisasi koroner (Baim, 2008).
Perkembangan progresif dalam peralatan PTCA baru terjadi pada tahun 1990, yang
membuat perbaikan hasil, perluasan indikasi, dan peningkatan prosedur PTCA
setiap tahunnya. Peralatan intervesional terbaru termasuk atherectomy (pemotong
plak), stent, dan drug-eluting stent saat ini telah diperkenalkan, dengan tingkat
kesuksesan, keamanan dan ketahanan jangka panjang yang lebih baik. Setelah
kemajuan tersebut, istilah PTCA berubah menjadi percutaneous coronary
intervention (Baim, 2008).

Revaskularisasi lebih dipilih untuk pasien yang berisiko tinggi mengalami penyakit
jantung iskemik yang memburuk dan/atau sindrom koroner akut, atau pada pasien
yang dengan penanganan farmakologis gejala iskemiknya tidak dapat terkontrol
atau menyebabkan efek samping yang tidak dapat ditoleransi. Tindakan
Percutaneous coronary intervention memberikan perbaikan yang lebih besar
terhadap gejala angina dan toleransi latihan fisik, dan juga menurunkan kebutuhan
obat-obatan jika dibandingkan terapi farmakologi (Aaronson & Ward, 2010).

Bratama, Gienger, McDonald et al (2007) melakukan penelitian dengan judul


“Systematic review: the comparative effectiveness of percutaneous coronary
interventions and coronary artery bypass graft surgery” untuk melihat efektivitas
dari PCI dan CABG terhadap pasien yang diindikasikan untuk dilakukan
revaskularisasi. Dari 5019 orang pasien PCI dan 4944 orang pasien CABG yang
dipilih secara acak, didapatkan kurang dari 1% perbedaan usia harapan hidup
setelah 10 tahun dilakukan tindakan.

Sejak pertama kali prosedur Percutanus Coronary Intervention (PCI) dilakukan


tahun 1977, PCI berkembang menjadi intervensi yang paling sering digunakan
pada kasus Coronry Artery Desease (CAD). Teknik ini awalnya dikembangkan
oleh Andreas Gruentzig di Swiss untuk penatalaksanaan pasien dengan Angina
pectoris yang stabil sehingga sekarang menjadi intervensi revaskularisasi pada
stenosis arteri coroner. www.emedicine.medscape.com/article/161446-overview)

PCI (Percutaneous Coronary Intervention), atau yang dikenal juga dengan


coronary angioplasty, merupakan prosedur terapi untuk membuka penyempitan
(stenotic) pembuluh darah arteri jantung pada kasus penyakit jantung koroner yang
disebabkan oleh terjadinya penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah.
Akibat dari penumpukan kolesterol ini, aliran darah menjadi tidak lancar dan
fungsi jantung menjadi terganggu sehingga berpotensi menyebabkan serangan
jantung. PCI dilakukan dengan memasukkan catheter yang telah dilengkapi dengan
balloon khusus dan stent yang akan diarahkan ke titik terjadinya penyumbatan di
dalam pembuluh darah arteri untuk membuka penyumbatan tersebut dan
mengembalikan aliran pembuluh darah arteri ke jantung.

Penyakit Jantung Koroner pada mulanya disebabkan oleh penumpukan lemak pada
dinding dalam pembuluh darah jantung (pembuluh koroner) dan hal ini lama
kelamaan diikuti oleh berbagai proses seperti penimbunan jaringan ikat,
perkapuran, pembekuan darah yang kesemuanya akan mempersempit atau
menyumbat pembuluh darah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan otot jantung di
daerah tersebut mengalami kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan
berbagai akibat yang cukup serius.

Tujuan Umum

Mampu melakukan Asuhan Keperawatan secara langsung dan komprehensif pada


klien dengan Pre dan post Percutanus Coronary Intervention (PCI) melalui standar
pendekatan proses keperawatan

BAB II

PEMBAHASAN

Definis Coronary Artery Disease (CAD)

Menurut Majid (2007), coronary artery disease (CAD) ialah penyakit jantung yang
terutama disebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses
aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. Penyakit ini merupakan
sosok penyakit yang sangat menakutkan dan masih menjadi masalah baik di negara
maju maupun negara berkembang.

Arteri koroner adalah pembuluh darah yang menyuplai otot jantung yang
mempunyai kebutuhan metabolisme tinggi terhadap oksigen dan nutrisi. Jantung
mempunyai 70 – 80 % oksigen yang diantarkan melalui arteri koroner, sebagai
pembanding bahwa organ lain hanya menggunakan rata-rata ¼ oksigen yang di
antarkan. Arteri koroner muncul dari aorta dekat pembuluh ventrikel (sering
disebut muara sinus valsava). Dari muara sinus valsava terbagi menjadi Left Mean
Coronary Artery (LMCA), yang kemudian terbagi menjadi dua cabang besar
kedepan (Left Anterior Descenden), dan ke arah belakang sisi kiri jantung (Left
Circumflex).

Arteri ini melingkari jantung dalam dua lekuk anatomis eksterna yaitu sulkus
atrioventrikuler yang melingkari jantung diantara atrium dan ventrikel dan sulkus
interventrikuler yang memisahkan kedua ventrikel. Pertemuan kedua lekuk ini
disebut kruks jantung. Dan merupakan salah satu hal terpenting dari jantung.
Nodus AV berlokasi pada titik pertemuan ini dan pembuluh darah yang melewati
kruks ini merupakan pembuluh darah yang memasok nutrisi untuk AV Node.
Arteri koroner kanan memberi nutrisi untuk jantung bagian kanan (atrium kanan,
ventrikel kanan, dan dinding sebelah dalam ventrikel kiri), yang berjalan disisi
kanan pada sulkus atrioventrikuler. Coronary Arteri Disease dibagi menjadi tiga
bagian yaitu:
1. ST Elevasi Myocardial Infarction (STEMI)
2. Nyeri dada yang khas

nyeri dada khas yang dirasakan seperti terbakar, tertidis benda berat sesak dan
berkeringat dingin.

1. Gambaran ST Elevasi pada EKG sebagai berikut :

1). Hiperakut T 30 o pasca sumbatan total

2). ST Elevasi beberapa menit kemudian

3). ST evolusi beberapa jam kemudian

4). Q patologi dengan T inverted (tanda nekrosis miokard) terjadi beberapa hari
kemudian

5). Q patologi dengan T normal kurang lebih 7 hari kemudian

1. Enzim jantung meningkat

1). CKMB

a). Meningkat dalam 3-4 jam setelah serangan

b). Mencapai puncak dalam 18-24 jam

c). Normal Kembali pada hari ke 3-4

2). LDH

a). Meningkat dalam 24 jam

b). Mencapai puncak dalam hari ke 3-6

c). Normal Kembali pada hari ke 8-12

3). Troponin

a). Meningkat Dalam 3-12 jam setelah serangan

b). Mencapai puncak dalam 24-48 jam setelah seranagan.

c). Normal Kembali hari ke 5-14.


 Terjadi peningkatan pada pemeriksaan Enzim Jantung
 Tidak ada gambaran ST elevasi pada EKG
 Nyeri dada khas
 Non ST Elevasi Myocardial Infarction (NSTMI)
 Unstable Angina Pectoris (UAP)
 Nyeri dada khas
 Tidak ada gambaran ST elevasi pada EKG
 Tidak terjadi peningkatan pada pemeriksaan Enzim Jantung

Etiologi

Penyebab paling umum CAD adalah aterosklerosis. Aterosklerosis digolongkan


sebagai akumulasi sel-sel otot halus, lemak, dan jarigan konektif di sekitar lapisan
intima arteri. Suatu plak fibrous adalah lesi khas dari aterosklerosis. Lesi ini dapat
bervariasi ukurannya dalam dinding pembuluh darah, yang dapat mengakibatkan
obstruksi aliran darah parsial maupun komplet. Komplikasi lebih lanjut dari lesi
tersebut terdiri atas plak fibrous dengan deposit kalsium, disertai oleh
pembentukan thrombus. Obstruksi pada lumen mengurangi atau menghentikan
aliran darah kepada jaringan di sekitarnya (Udjianti, 2010).

Penyebab lain adalah spasme arteri koroner. Penyempitan dari lumen pembuluh
darah terjadi bila serat otot halus dalam dinding pembuluh darah berkontraksi
(vasokontriksi). Spasme arteri koroner dapat menggiring terjadinya iskemik aktual
atau perluasan dari infark miokard. Penyebab lain di luar ateroskelorik yang dapat
memengaruhi diameter lumen pembuluh darah koroner dapat berhubungan dengan
abnormalitas sirkulasi. Hal ini meliputi hipoperfusi, hipovolemik, polisitemia, dan
masalah-masalah atau gangguan katup jantung (Udjianti, 2010).

Faktor Risiko

Menurut Gray, Dawkins, Morgan & Simpson (2005), ada beberapa faktor risiko
tertentu pada untuk CAD:

Peningkatan kolesterol

Terdapat hubungan langsung antara risiko CAD dan kadar kolesterol darah.
Kolesterol ditraspor dalam darah dalam bentuk lipoprotein, 75% merupakan
lipoprotein densitas rendah (low density lipoprotein/LDL) dan 20% merupakan
lipoprotein densitas tingi (high density lipoprotein/HDL). Kadar kolesterol LDL
yang rendah memiliki peran yang baik pada CAD dan terdapat hubungan terbalik
antara kadar HDL dan insidensi CAD.
Rokok

Sekitar 24% kematian akibat CAD pada laki-laki dan 11% pada perempuan
disebabkan kebiasaan merokok. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama
perokok memiliki peningkatan risiko sebesar 20-30% dibandingkan dengan orang
yang tinggal degan bukan perokok.

Obesitas

Terdapat saling keterkaitan antara berat badan, peningkatan tekanan darah,


peningkatan kolesterol darah, diabetes mellitus tidak tergantung insulin dan tingkat
aktivitas fisik rendah.

Diabetes Melitus

Risiko terjadi CAD pada pasien dengan DM tipe 2 adalah dua hingga empat kali
lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya tidak terkait dengan derajat
keparahan atau durasi diabetes. Diabetes, meskipun merupakan faktor risiko
indepeden untuk CAD, juga berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme
lipid, obesitas, hipertensi sistemik, dan peningkatan trombogenesis.

Hipertensi sistemik

Risiko CAD secara langsung berhubungan dengan tekanan darah. untuk setiap
penuruan tekanan darah diastolik sebesar 5 mmHg risiko CAD berkurang sekitar
16%.

Jenis kelamin laki-laki

Morbiditas akibat CAD pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada
perempuan dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada laki-laki dari
pada perempuan. Estrogen endogen bersifat protektif pada perempuan, namun
setelah menopause insidensi CAD meningkat dengan cepat dan sebanding dengan
insidensi pada laki-laki.

Riwayat keluarga
Riwayat keluarga CAD pada keluarga yang langsung berhubungan darah yang
berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya
CAD, dengan rasio odd dua hingga empat kali lebih besar daripada yang tidak
berhubungan darah.

Kepribadian

Stres, baik fisik maupun mental, merupakan faktor risiko untuk CAD. Perilaku lain
yang rentan terhadap terjadinya CAD antara lain sifat agresif, kompetitif, kasar,
sinis, keinginan untuk dipandang, keinginan untuk mencapai sesuatu, gangguan
tdiur, kemarahan, dan lain-lain.

Aktivitas fisik

Aktivitas aerobik teratur menurunkan risiko CAD dan olahraga yang teratur
berkaitan dengan penurunan insidensi CAD sebesar 20-40%.

Gangguan pembekuan

1. Beberapa faktor pembekuan darah dapat mempengaruhi insidensi CAD,


termasuk kadar fibrinogen, aktivitas fibrinolitik, endogen, viskositas darah.
Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Definisi

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) terdiri dari tiga kata


yakni Percutaneous yang artinya melalui kulit, Coronary adalah pada arteri
koroner, dan Intervention adalah tindakan yang dilakukan dalam rangka
pengobatan pada kelainan/penyakit jantung koroner. Percutaneous coronary
intervention (PCI) adalah intervensi atau tindakan non bedah untuk
membuka/dilatasi/melebarkan arteri koroner yang mengalami penyempitan agar
aliran darah dapat kembali menuju ke otot jantung (Davis, 2011).

2. Indikasi dan kontraindikasi PCI


1. Indikasi PCI

Indikasi dilakukan PCI yaitu:

 Elevasi ST segmen lebih dari dari dua lead yang berdekatan dengan onset
gejala > 12 jam
 Non ST Elevasi Myocardial Infarction
 Unstable Angina Pectoris
 Gagal trombolitik
1. Kontraindikasi PCI

Kontraindikasi PCI yaitu:

 CHF yang tidak terkontrol, BP tinggi, aritmia


 Gangguan elekrolit
 Infeksi ( demam )
 Gagal ginjal
 Perdarahan saluran cerna akut/anemia
 Stroke baru (< 1 bulan)
 Intoksikasi obat-obatan (seperti : Kontras )
 Pasien yang tidak kooperatif
 Usia kehamilan kurang dari 3 bulan
3. Puncture area PCI
Menurut Merriweather & Hoke (2012), area penusukan pada tindakan PCI terdiri
atas:

 Arteri femoralis
 Arteri brachialis
 Arteri radialis

4. Tim PCI
 Operator (dokter)
 Perawat (Scrubing, Monitoring, Sirculete)
 Radiografer
5. Persiapan Alat Diagnostik

1. Instrument Steril

 Kom betadine
 Kom cairan Besar dan Kecil
 Scalpel No.3 pisau No. 11
 Doek klem
 Tupper tang

1. Set Linen Steril

 Jas operasi
 Doek lubang kecil
 Doek kecil tanpa lubang
 Doek panjang
 Pembungkus tabung
 Perlak

1. Alat Habis Pakai

 Handscoen
 Lidocain 2%
 Dispo 1 cc, Dispo 3 cc, Dispo 5 cc , Dispo 20
 Gaas steril
 Betadine 30 %
 Aquades 1 liter
 NaCl 500 cc yang berisi heparin 2500 unit
 Sheath 5 FR, 6 FR, FER
 Guide wire diagnostik
 Kateter JR, JL, TIG
 Zat kontras
 Three way
 Manometer line

1. Alat PCI dan PTCA

 Guiding catheter
 Wire PTCA
 Ballon dengan berbagai ukuran
 Stent dengan berbagai ukuran
 Indeftalor
 Three way 3 cabang atau 2 cabang
 Tourqer
 Conector
 High pressore
 Manometer line

6. Peran perawat dalam tindakan PCI

 Peran perawat sebelum tindakan PCI

1. Peran mengkaji riwayat kesehatan pasien, indikasi prosedur PCI, riwayat


pembedahan sebelumnya, pengobatan sebelumnya, riwayat alergi dan factor
resiko vaskuler.
2. Melakukan pemeriksaan fisik terutama pada ekstremitas bawah jika
pemasangan akan dilakukan melalui pembuluh darah ekstremitas bawah.
3. Pencatatan hasil pemeriksaan angiografi
4. Puasa makan 4 – 6 jam
5. Memberikan inform consent yang terlebih dahulu diberikan penjelasan
mengenai prosedur dan perawataanya sebelum , selama dan setelah tindakan
bersama team yang akan terlibat dalam tindakan PCI oleh Dokter.
6. Observasi dan ukur tanda-tanda vital (perubahan EKG, tekanan darah, HR,
RR, dan saturasi O2)
7. Pemeriksaan penunjang seperti hasil EKG, hasil Uji latih beban jantung
(Treadmill), hasil Rontgen thorax, dan hasil Laboratorium, Cek darah
lengkap, GDS, ureum, creatinin,, elektrolit, PT, APTT, BT, dan ACT.
8. Melakukan Allen test (jika penusukan melalui arteri radialis)
9. Obat-obat dilanjutkan sesuai instruksi dokter
10. Pada klien dengan nilai creatinin diatas 1,25 mg/dl (nilai normal 0,72-1,25
mg/dl), lakukan loading cairan (1cc/kgBB/jam) diberikan pre dan post
tindakan PCI
11. Mencari akses intravena yang adekuat untuk memberikan cairan dan obat-
obatan yang dibutuhkan.
12. Administrasi seperti Surat izin tindakan / inform consent dan Surat
pernyataan pembayaran (keuangan).
13. Mental: Penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang tujuan, manfaat,
resiko, komplikasi prosedur katerisasi.

 Peran perawat dalam tindakan PCI antara lain:

1. Mencegah dan mendeteksi dini potensial komplikasi, memberikan


pendidikan pada pasien dan keluarga dan rehabilitasi.
2. Kaji keluhan selama prosedur tindakan berlangsung
3. Melakukan observasi tanda-tanda vital setiap 15 menit
4. Memantau hemodinamik
5. Mengukur tekanan intraarteri jika diperlukan
6. Pemeriksaan arteriografi harus dilakukan selama prosedur untuk
mengidentifikasi komplikasi
7. Mempersiapkan peralatan dan pengobatan resusitasi darurat

 Peran perawat Setelah tindakan PCI :

1. Kaji keluhan setelah tindakan


2. Mengobservasi tanda-tanda adanya perdarahan dan hematoma pada area
penusukan
3. Mengobservasi dan mengukur tanda -tanda vital (tekanan darah, nadi,
respirasi, suhu tubuh, dan saturasi O2)
4. Pemantauan perubahan EKG 12 lead
5. Mengobservasi hasil laboratorium (peningkatan kreatinin mengindikasikan
gangguan ginjal karena zat kontras, sedangkan peningkatan CKMB
menandakan cedera otot jantung)
6. Mengobservasi efek alergi zat kontras (seperti menggigil, kemerahan, gatal,
pusing, mual, muntah, urine tidak keluar, dsb)
7. Mengobservasi gangguan sirkulasi perifer (cek pulsasi arteri dorsalis pedis,
tibialis, radialis).
8. Mengobservasi adanya tanda-tanda hipovolemi.
9. Memberikan hidrasi sesuai kebutuhan.
10. Memonitor adanya tanda-tanda infeksi.
7. Prosedur Tindakan
1. Prosedur (California Pacific Medical Center, 2008)
1. Perawat/teknisi membawa klien ke ruang kateterisasi (cath lab.)
2. Perawat memberikan obat melalui IV line untuk membantu klien
rileks dan nyaman selama prosedur tindakan
3. Perawat membersihkan dan mensterilkan daerah kecil di
pergelangan lengan atau lipat paha klien (tergantung daerah yang
akan digunakan). Daerah tersebut kemudian ditutup dengan kain
steril.
4. Dokter akan menginjeksi obat anestesi lokal dilipat paha atau
tangan klien. Digunakan anestesi lokal karena klien harus tetap
sadar selama pemeriksaan untuk mengikuti instruksi dokter.
5. Jarum akan ditusukkan ke dalam arteri yang digunakan kemudian
guide wire akan dimasukkan melalui jarum lalu jarum dilepas.
6. Sheath kateter akan dimasukkan melalui guide wire, kemudian
kateter dimasukkan melalui pembuluh darah utama tubuh (Aorta),
ke muara arteri koroner di jantung. Kebanyakan orang tidak
merasakan sakit selama pemeriksaan, karena tidak ada serabut saraf
dalam pembuluh darah, maka klien tidak dapat merasakan gerakan
kateter dalam tubuh.
7. Dokter akan menginjeksikan kontras dengan melihat melalui
gambaran x-ray. Klien mungkin akan merasakan sensasi panas saat
kontras diinjeksikan.
8. Pantau keluhan/laporan klien tentang adanya nyeri dada atau
perasaan tidak nyaman selama posedur.
2. Prosedur pencabutan SHEATH Area penusukan di arteri femoralis:
8. 4 jam post tindakan PCI, sheath boleh dicabut/aff jika nilai ACT
(Activating Clohting Time, nilai normal < 100 detik)
9. Dengan menggunakan sarung tangan steril dan prosedur steril, sheath di
aff dan dilakukan penekanan selama kurang lebih 10-15 menit sampai
dengan perdarahan berhenti
10. Beritahu kepada klien bahwa prosedur pencabutan sheath akan dilakukan
dan ajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk mencegah terjadinya
reflek vagal
11. Observasi tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, pernapasan,
saturasi oksigen), pulsasi arteri perifer, dan keluhan klien selama aff
sheath
12. Bila darah sudah tidak keluar, luka pungsi ditutup dengan kasa steril dan
verban elastic lalu diberi bantal steril
13. 6 jam post aff sheath klien baru diperbolehkan mobilisasi
14. Observasi daerah distal ekstremitas dan keadaan umum klien post aff
sheath (tekanan darah, nadi, irama ekg/perubahan gelombang EKG,
saturasi O2, pernapasan, nilai ureum dan kreatinin) dari adanya
komplikasi berupa perdarahan/hematoma, thrombosis, fistula
arteriovenosus, dan CIN (Contras Induce Nefropathy).

1. Prosedur pelepasan NICHIBAND Area puncture di arteri

radialis :

1. Pelepasan dilakukan 4-6 jam setelah tindakan PCI


2. Gunakan sarung tangan bersih, letakkan tangan kiri diatas nichiband, dan
beri sedikit penekanan dengan kuat
3. Buka plester nichiband dengan tangan kanan perlahan-lahan sambil
memperhatikan aliran darah yang keluar dari luka insisi/penusukan
4. Bila masih terdapat perdarahan pasang kembali nichiband dan plester untuk
mencegah plester nichiband terlepas
5. Bila tidak terjadi perdarahan lanjutkan membuka nichiband dan tutup dengan
kassa steril diatas luka insisi dan tekan dengan kuat

8. Komplikasi

 Resiko pendarahan
 Vasospasme arteri koroner
 Resiko infeksi
 Tamponade jantung
 ALI
 Hematoma
 Contrast induce nefropathi (CIN)
 Reaksi kontras menyebabkan alergi
 Diseksi Aorta
 Akut Myocar Infark (AMI)
 Stroke

1. Konsep asuhan keperawatan pada PCI

Menurut NANDA (2012) konsep asuhan keperawatan pada PCI adalah:

1. Pengkajian

Pengkajian dilakukan untuk mendapatkan informasi-informasi medis maupun non


medis dari klien, yaitu:

1. Riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit sekarang


2. Hasil resume dari angiografi
3. Tanda-tanda vital klien selama pre, intra, dan post prosedur PCI (tekanan
darah, nadi, pulsasi perifer, tingkat kesadaran, saturasi O2, perubahan
gambaran EKG), serta keluhan nyeri klien.
4. Pemeriksaan laboratorium, meliputi: Darah lengkap, GDS, ureum, kreatinin,
PT, APTT, dan elektrolit.
5. Pemeriksaan radiologi berupa rontgen thorax.

2. Diagnosa keperawatan
1. Ansietas b.d rasa takut, kurang pengetahuan tentang prosedur tindakan
PCI.

Hasil yang diharapkan :

 Tingkat kecemasan klien menurun.


 Klien dapat mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi

penyebab, atau faktor yang mempengaruhinya.


 Kooperatif terhadap tindakan.
 Ekspresi wajah terlihat rileks.

Intervensi :

 Kaji tingkat kecemasan dan mekanisme koping klien


 Bantu klien untuk mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan takut.
 Berikan penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan.
 Jelaskan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan klien sebelum,
selama, dan setelah prosedur PCI.
 Ajarkan teknik-teknik untuk mengurangi kecemasan (relaksasi, nafas dalam,
dan berpikiran positif).
 Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi penenang sesuai indikasi.
1. Resiko penurunan curah jantung b.d akibat penurunan alirah darah ke
arteri koroner

Hasil yang diharapkan:

 Tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dan pernapasan)


dalam batas normal
 Akral hangat, pulsasi perifer teraba kuat
 Volume urine 0,5-1 cc/jam/kgBB
 Tidak menunjukan tanda-tanda disritmia

Intervensi:

 Kaji keluhan klien


 Monitor tanda-tanda vital (1 jam pertama setiap 15 menit, satu jam kedua
setiap 30 menit, dan satu jam selanjutnya setiap jam)
 Monitor rekaman EKG dan pantau frekuensi jantung
 Monitor intake dan output klien
 Bantu aktivitas klien
 Kolaborasi pemberian O2, pertahankan cara masuk heparin sesuai indikasi,
pantau data laboratorium enzim jantung, AGD, dan elektrolit
1. Resiko penurunan perfusi jaringan ginjal b.d efek samping penggunaan zat
kontras

Hasil yang diharapkan:

 Urine output 0,5-1 cc/jam/kgBB


 Fungsi renal baik ditandai dengan hasil kreatinin kurang dari 1,2 mg/dl

Intervensi :

 Kaji keluhan klien


 Jelaskan tujuan pengukuran urine
 Motivasi klien untuk banyak minum (kurang lebih 2 liter/12 jam setelah
tindakan)
 Berikan rehidrasi sebelum dan sesudah prosedur PCI, terutama bila terjadi
peningkatan nilai ureum dan kreatinin (rehidrasi 1cc/kgBB/jam selama 12
jam)
 Monitor dan ukur intake dan output klien
 Monitor dan catat hasil laboratorium fungsi renal (ureum dan kreatinin)
 Monitor dan catat adanya tanda-tanda perdarahan pada area insersi
 Monitor indikator koagulasi (ACT).
 Berikan penjelasan kepada klien untuk mengistirahatkan area ekstremitas
yang dilakukan insersi

1. Risiko perdarahan b.d efek sekunder pemakaian heparin

Hasil yang diharapkan:


 Akral hangat
 Pulsasi kuat
 Tekanan darah tidak turun
 ACT dan APPT tidak memanjang

Intervensi:

 Kaji keluhan klien


 Observasi dan catat TTV
 Observasi dan catat adanya perdarahan dan hematoma pada luka penusukan
 Observasi dan catat adanya perubahan warna kulit
 Cek akral klien
 Observasi dan catat adanya perdarahan, co: hematuri, epitaksis, gusi
berdarah, dll
 Monitor dan catat hasil lab (ACT).

Anda mungkin juga menyukai