Anda di halaman 1dari 11

PEMBAHASAN

A. Pengertian pokok hukum acara

Menurut ajaran Montesquieu, kekuasaan untuk mempertahankan peraturan


perundangan atau kekuasaan peradilan (kekuasaan yudikatif) berada di tangan Badan Peradilan
yang terlepas dan bebas dari campur tangan kekuasaan legislatif dan eksekutif.1

Untuk dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, Badan-badan peradilan


memerlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara-cara bagaimana dan apakah yang
akan terjadi jika norma-norma hukum yang telah diadakan itu tidak ditaati oleh masyarakat.

Hukum material di negara kita, baik yang teruat dalam suatu bentuk perundang-
undangan maupun yang tidak tertulis, merupakan pedoman atau pegangan ataupun penuntun
bagi seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya di dalam pergaulan hidup, baik
itu perseorangan, masyarakat maupun bernegara, apakah yang dapat ia lakukan dan apa yang
tidak boleh dilakukan. Ketentuan-ketentuan tersebut misalnya antara lain, “tidak boleh mencuri
barang orang lain, tidak boleh mengganggu hak orang lain, ataupun tidak boleh kita berbuat
dalam melaksanakan hak kita secara sewenang-wenang tanpa memperhatikan hak orang lain,
dan sebagainya.2

Adapun bidang hukum yang demikian itu dinamakan Hukum Acara atau hukum
Formal. Yakni serangkaian kaidah hukum yang mengatur cara-cara bagaimana mengajukan
suatu perkara ke muka suatu badan peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan; dapat
juga dikatakan, suatu rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara
dan mempertahankan hukum material.3

Hukum Acara yang mengatur dan melaksanakan soal-soal peradilan disebut hukum
acara pengadilan, adapun hukum yang dibahas kali ini adalah hukum acara perdata (Hukum
perdata formal)

1
C.S.T. Kansil, “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983),
h. 316.
2
M. Nur Rasaid, “Hukum Acara Perdata”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 1.
3
Kansil, Op. Cit.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., hukum acar perdata adalah peraturan
hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material
dengan perantara hakim.4

Menurut Retno Wulan Sutantio,5 Hukum Acara Perdata disebut juga hukum perdata
formil yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana
melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam
hukum perdata materiil. Hukum formil atau hukum acara adalah kumpulan ketentuan-
ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan
keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berarti
memberikan kepada hukum dalam hukum acara suatu hubungan yang
mengabdi kepada hukum materiil. Hukum Acara adalah serangkaian langkah yang harus
diambil seperti yang dijelaskan oleh undang-undang pada saat suatu kasus akan dimasukkan
ke dalam pengadilan dan kemudian diputuskan oleh pengadilan. Hukum Acara Perdata
merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau
menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan negara
dalam mempertahankan dan menegakkan hukum perdata materiil itu terjadi melalui peradilan.
Cara inilah yang disebut dengan Litigasi.
Hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana
cara-cara mengajukan ke depan pengadilan perkara-perkara perdata dalam arti luas (meliputi
juga hukum Dagang) dan cara-cara melaksanakan putusan-putusan (vonis) hakim juga diambil
berdasarkan peraturan-peraturan tersebut; dapat juga disebut rangkaian peraturan-peraturan
hukum tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata material.

Dengan demikian dapat disimpulkan di sini, bahwa hukum acara perdata ialah
rangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain
untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.6

Adapun lapangan keperdataan itu memuat peraturan-peraturan tentang keadaan hukum


dan perhubungan hukum yang mengenai kepentingan-kepentingan perseorangan, misalnya:
soal perkawinan, jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, hak milik, warisan dan lain-lain

4
Rasaid, Op. Cit.
5
Moh. Taufik Makaro, “Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h. 2
6
Op. Cit., h. 3
sebagainya. Perkara perdata ialah suatu perkara mengenai perselisihan antara kepentingan
perseorangan atau antara kepentingan suatu badan pemerintah dengan kepentingan
perseorangan, misalnya: perselisihan tentang perjanjian jual beli atau sewa menyewa,
pembagian warisan dan sebagainya.7

Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan keperdataan ialah misalnya:


pengadilan perdata, kantor catatan sipil (untuk pendaftaran kelahiran, perkawinan, perceraian,
kematian), balai harga peninggalan (weeskanmer), kantor pendaftaran tanah (Kadaster),
Notaris, Juru Sita, Juru lelang, Kantor lembaga bantuan hukum dan pengacara.

Dalam bidang hukum acara pengadilan berlaku asas-asas pengadilan yang antara lain:8

1. Dilarang bertindak sebagai hakim sendiri;


2. Hukum acara harus tertulis dan dikodifikasikan;
3. Kekuasaan pengadilan harus bebas dari pengaruh kekuasaan badan negara lainnya;
4. Semua putusan pengadilan harus berisi dasar-dasar hukum;
5. Kecuali yang ditetapkan oleh undang-undang, sidang pengadilan terbuka untuk umum
dan keputusan hakim senantiasa dinyatakan dengan pintu terbuka.

B. Isi dan sifat hukum perdata

Dalam hukum acara perdata, inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak deserahkan
sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi ada atau tidaknya suatu perkara atau apakah
akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak,
sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Pemerintah (dalam hal ini
pengadilan/hakim) tidak dapat melakukan tindakan permulaan (berinisiatif) atau memaksakan
supaya orang perseorangan yang merasa haknya dilangga, bertindak untuk menarik orang yang
dirasa melanggar haknya itu ke muka pengadilan.9

Hukum acara perdata meliputi ketentuan-ketentuan yang selain memberi jalan


bagaimana orang-orang yang merasa hak pribadinya dalam pergaulan hidup dilanggar orang
lain, harus bertindak untuk dapatnya memulihkan kembali haknya itu tanpa melanggar hukum
ialah dengan cara meminta bantuan pengadilan agar persoalannya diselesaikan dan mendapat

7
Kansil, Op. Cit., h. 317.
8
Op. Cit..
9
putusan yang dapat dijalankan, juga memberi petunjuk kepada orang yang digugat cara
bagaimana ia dapat mengakui atau membantah kebenaran gugatan itu dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan dan selanjutnya cara bagaimana ia dapat bertindak agar ia dapat
menghindarkan diri dari suatu putusan pengadilan yang dikehendaki oleh penggugat.10 Untuk
menjaga ketertiban jalannya pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, hukum acara perdata
memuat juga peraturan- peraturan yang sedikit banyak mengikat para pihak berperkara, tetapi
yang dalam pelakanaanya tidak boleh mengurangi kesempatan kedua pihak dalam tindakan
membela kepentingan masing-masing.

Kemudian dengan adanya hakim pengadilan sebagai pihak ketiga dalam perkara itu,
yang akan memeriksa dan memberi putusan mengenai sengketa kedua belah pihak berperkara,
maka untuk menjamin agar supaya hakim dalam hal tersebut bertindak adil dan tidak berat
sebelah, hukum acara perdata memuat pula peraturan-peraturan, yang mengikat alim dalam
menunaikan fungsi pengadilannya. Meskipun peraturan-peraturan tersebut mempunyai
kekuatan mengikat hakim, tetapi dalam praktek pelaksanaannya harus sedemikian rupa
sehingga tidak ada mengakibatkan seseorang hakim harus terpaksa menjatuhkan putusan yang
bertentangan dengan rasa keadilan yang cukup dalam hati sanubari rakyat pada umumnya.
Selanjutnya hukum acara perdata mengatur juga mengenai bilamana dan cara bagaimana suatu
putusan pengadilan harus dieksekusi, mengenai upaya-upaya hukum yang dapat ditempuh oleh
pihak berperkara, yang tidak dapat menerima baik putusan pengadilan, mengenai acara
banding, acara kasasi, dan acara peninjauan kembali.11

Singkatnya pemerintah membentuk hukum acara perdata tidak dengan maksud untuk
memaksa mereka yang mempunyai sengketa perdata harus menyelesaikan menurut ketentuan-
ketentuan hukum acara perdata tersebut. Kepada mereka dipersilahkan memilih sendiri cara
menyelesaikan sengketanya.

Pemerintah dalam hal ini pengadilan, tidak akan ikut campur selama tidak diminta
perantaraannya oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dari keterangan tersebut di ataslah,
bahwa hukum acar perdata tidak mempunyai sifat memaksa.

10
AT Hamid, “Praktek Peradilan Perkara Perdata”, (Surabaya: al-Ihsan, 1991), h. 1
11
Ibid., h. 2
C. Sumber-Sumber Hukum Acara Perdata

Sumber-sumber hukum acara perdata tersebar dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-
undangan dan yurisprudensi yang dapat dikemukakan sebagai berikut:12

1. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) atau Reglement Indonesia, S. 1848 No. 16

jo. S. 1941 No. 44. Peraturan ini khusus untuk daerah Jawa dan Madura.

2. RBg. (Rechtsreglement Buitengewesten) atau Reglement Daerah Seberang, S. 1927 No.

227. Peraturan ini untuk daerah luar Jawa dan Madura.

3. Rv. (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) S. 1847 No 52 jo. S. 1849 No. 63.

Peraturan ini sebenarnya berlaku untuk peradilan Raad van Justite yang dikhususkan

bagi golongan Eropa, sehingga saat ini sebenarnya sudah tidak berlaku lagi, namun

dalam beberapa hal tetap dijadikan pedoman dalam praktik apabila ketentuan dalam

HIR/RBg. tidak memberikan pengaturan.

4. B.W. (Burgerlijk Wetboek) buku IV tentang pembuktian dan daluarsa.

5. UU No. 20 Tahun 1947 tentang banding untuk Daerah Jawa dan Madura.

6. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

7. UU No. 3 Tahun 2009 jo. UU No. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung.

8. UU No. 8 Tahun 2004 jo. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

9. Yurisprudensi-yurisprudensi tentang Hukum Acara Perdata.

10. Doktrin-doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana

12
Sugeng, Bambang dan Sujayadi, “Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen Litigasi”,
(Jakarta: Kencana, 2012), h. 5.
D. Asas hukum acara perdata
1. Sumber hukum dari hukum acara perdata

Hukum acara perdata di Indonesia bersumber pada tiga kodifikasi hukum, yakni:13

a. Reglemen hukum acara perdata, yang berlaku bagi golongan Eropa di Jawa dan
Madura (reglemen op Ed burgerlijke rechtsvordering);
b. Reglemen Indonesia yang dibaharui (RIB), yang berlaku bagi golongan Indonesia
di Jawa dan Madura (Herziene Inlandsch Reglement=HIR).
c. Reglemen hukum untuk daerah Seberang, yang berlaku bagi peradilan Eropa dan
Indonesia di daerah luar Jawa dan Madura (Recht-reglement Buitengewesten).

Namun demikian, dalam kenyataan pelaksanaan hukum oleh pengadilan dewasa ini,
sebagian besar digunakan RIB bagi seluruh Indonesia. Apabila ada hal-hal yang tidak diatur
dalam RIB, maka pengadilan mempergunakan aturan-aturan dari reglemen Hukum Acara
Perdata.

2. Pelaksanaan acara perdata

Adapun pelaksanaan acara perdata secara garis besar dapat digambarkan sebagai
berikut ini: pihak penggugat (yang dirugikan mengajukan surat gugatan kepada kantor panitera
pengadilan negeri setempat. Berdasarkan surat gugatan tersebut, juru sita menyampaikan
sebuah surat pemberitahuan kepada pihak tergugat (yang menimbulkan kerugian) yang isi
pokoknya menyatakan, bahwa pihak tergugat harus datang menghadap ke kantor pengadilan
untuk diperiksa oleh hakim dalam suatu perkara keperdataan seperti yang disebutkan dalam
surat pemberitahuan tersebut.14

Untuk menguruskan suatu perkara perdata di pengadilan, pihak penggugat dapat juga
memintakan bantuan jasa (perantaraan) seorang pengacara atau pembela (Advokat). Tata cara
mengajukan gugatan haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, karena jika tidak
gugatan yang diajukan itu akan menjadi tidak sah.

13
Kansil, Op. Cit., h. 318.
14
Kansil, Op. Cit., h. 318.
Pada masa sekarang, berdasarkan surat gugatan dari pihak penggugat, hakim
memanggil kedua pihak (penggugat dan tergugat) untuk datang menghadap ke sidang
pengadilan yang akan melakukan pemeriksaan dalam perkara perdata seperti yang dijelaskan
dalam surat gugatan tersebut.

Pengajuan permohonan gugatan oleh penggugat dilakukan baik secara tertulis di atas
kertas yang bermaterai, maupun disampaikan secara lisan kepada ketua pengadilan negeri
setempat. Pada waktu mengajukan surat gugatan, pihak penggugat diharuskan membayar
sejumlah uang yang telah ditentukan kepada panitera pengadilan negeri untuk ongkos perkara
yang bersangkutan, namun dapat juga dibebaskan jika penggugat tersebut tidak mampu
membayar.

Apabila kedua pihak telah hadir pada hari yang telah ditentukan, hakim membuka
sidang pengadilan. Mula-mula pada sidang pengadilan itu, ketua pengadilan berusaha untuk
mendamaikan kedua pihak yang bersengketa. Jika tercapai perdamaian, maka dibuatlah akta
perdamaian yang isinya harus dilaksanakan Oen kedua pihak tersebut.

Namun jika pihak-pihak yang berperkara itu tidak dapat didamaikan lagi, maka hakim
lalu membacakan surat gugatan yang telah diajukan oleh penggugat; dan kemudian setelah itu
hakim memeriksa baik penggugat maupun tergugat. Selama pemeriksaan masih berlangsung,
asing-masing pihak diperkenankan mengajukan saksi-saksi untuk menguatkan kebenarannya.
Sebelum meberikan kesaksiannya, para saksi itu terlebih dahulu harus mengangkat sumpah.

Ketua pengadilan setelah selesai mendengarkan dan mempertimbangkan segala sesuatu


berkenaan dengan perkara tersebut (keterangan-keterangan kedua pihak yang berperkara,
saksi-saksi dan bukti-bukti yang dikemukakan dalam sidang pengadilan), maka ketua
pengadilan akan memutuskan: siapa yang benar, yang sifatnya menerima gugatan dan berarti
penggugat yang memang, ataupun menolah gugatan yang berarti pihak penggugat dikalahkan.
Pihak yang dikalahkan wajib membayar ongkos-ongkos perkara.

Putusan hakim pengadilan negeri itu masih dapat dimintakan bandingan (apel) kepada
pengadilan tinggi.

Dalam hal pihak tergugat atau pembelanya menganggap pengadilan negeri itu tidak
berwenang untuk memeriksa perkaranya, ia dapat mengajukan perlawanan (eksepsi).
Hakim pengadilan dapat mengadili dan memutuskan suatu perkara tanpa hadirnya
pihak tergugat, dalam hal pihak tergugat tidak hadir pada hari pemeriksaan walaupun ia telah
dipanggil dengan sepatutnya.

Pihak tergugat terhukum dapat pula mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan
hakim pengadilan tanpa hadirnya tergugat. Putusan yang dijatuhkan hakim tanpa hadirnya
pihak tergugat, disebut “verstek vonis”.

Adapun putusan hakim pengadilan dalam pihak keperdataan dapat merupakan:15

a. Keputusan dekorator, yakni keputusan yang menguatkan terhadap hak seseorang.


Contoh: hakim menetapkan, bahwa pihak yang berhak atas barang yang
disengketakan itu adalah tergugat atau penggugat.
b. Keputusan konstitusi yakni keputusan yang menimbulkan hukum baru. Contoh:
hakim yang membatalkan suatu perjanjian, maka antara pihak-pihak yang
bersangkutan timbul keadaan hukum baru, misalnya harus saling mengembalikann
barang-barang dan uang yang telah diterima masing-masing.
c. Keputusan kondemnator, yakni keputusan penetapan hukuman terhadap salah satu
pihak. Contoh: pihak terhukum harus menyerahkan barang-barangnya kembali,
atau pihak terhukum tidak dibolehkan mendirikan bangunan dan sebagainya.

Tiap proses perkara perdata sepanjang tidak dikecualikan secara khusus, dimulai
dengan suatu pemberitahuan gugatan yang dilakukan oleh seorang juru sita yang mempunyai
wewenang di tempat pemberitahuan itu, wajib menyampaikan turunan surat pembeeritahuan
itu kepada orang yang digugat atau menyampaikannya di tempat tinggal orang yang digugat
itu.16

Turunan itu berlaku bagi orang yang menerimanya sebagai surat gugatan asli.

Kecuali yang secara khusus ditentukan dalam peraturan ini mengenai penyampaian
pemberitahuan kepada para pihak, bersamaan dengan pemberitahuan gugatannya atau selama
perkara berjalan dan tentang pelaksanaan tempat tinggal pilihan, maka pemberitahuan gugatan
dan pemberitahuan-pemberitahuan lain, sesuai dengan pasal 24 Kitab undang-undang hukum

15
Kansil, Op. Cit., h. 317
16
M. Abdurrachman, “Hukum Acara Perdata”, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2003), h. 1
perdata (KUH Perdata) dengan mengingat pembedaan-pembedaan yang diadakan di dalamnya,
dapat dilakukan juga di tempat tinggal pilihan yang dimaksudkan dalam pasal itu.17

Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan ada beberapa hal yang menjadi dasar dalam
mengajukan gugatan. Adapun asas-asas dalam hukum acara perdata adalah sebagai berikut:18

a. Asas Hakim Aktif


Hakim sebagai tempat pelarian bagi para pencari keadilan, dianggap bijaksana dan tahu
akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam soal bagi rakyat. Seorang hakim
diharapkan dapat memberi pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan
martabatnya serta berwibawa, dan juga memiliki sifat yang bijaksana.
Dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata
(burgelijke rechtsorde), menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.
Berhubung dengan tugas tersebut oleh ahli hukum sering kali dipersoalkan mengenai seberapa
jauh hakim harus mengejar kebenaran (waarheid) di dalam memutus perkara.
b. Asas Hakim Pasif
Selain hakim memiliki sifat aktif, juga memilik sifat pasif, akan tetapi hanya dalam arti
kata bahwa dalam ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk
diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim.
Pengertian pasif diatas adalah yang dianut oleh sistem hukum acara perdata dalam
HIR/RBg, akan tetapi pengertian pasif menurut regelement rechtsvordering agak berbeda,
yaitu bahwa proses beracara adalah soal kedua belah pihak yang berperkara, yang memakai
proses itu sebagai alat untuk menetapkan saling hubungan hukumnya dikemudian hari, baik
posistif maupun negatif, sedangkan hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan acara
yang ditetapkan dengan undang-undang dituruti oleh kedua belah pihak.
c. Asas Terbukanya Pengadilan
Peraturan hukum acara perdata seperti yang termuat dalam HIR mempunyai sifat yang
fleksibel dan terbuka, sebab HIR itu diciptakan untuk golongan bumiputera yang hukum
perdata materiilnya adalah hukum adat. Hukum adat selalu berdasarkan kenyataan yang hidup
dalam masyarakat.
Menurut K. Wantjik Saleh, dalam mencontoh lembaga hukum itu, pengadilan
menerapkan suatu “ciptaan sendiri” sehingga merupakan suatu “hukum yurisprudensi”, jadi
tanpa menyebutkan pasal-pasal dari regelement tersebut. Asas terbukanya sidang pengadilan
telah diatur dalam undang-undang kekuasaan kehakiman, yang menentukan: sidang

17
Ibid.
18
Makaro, Op. Cit., h. 2
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali Undang-Undang menentukan
lain.

d. Asas Mendengarkan Kedua Belah Pihak


Di dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak
memihak dan didengarkan bersama-sama. Asas kedua belah pihak harus didengar dikenal
dengan asas “audi et alteram partem atau Eines Mannes Rede ist keines Mannes Rede, man
soll sie horen alle beide”. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari
salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau diberi kesempatan untuk
mengeluarkan pendapatnya. Hal ini berarti juga pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka
sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 121, 132 HIR/145, 157 RBg).
e. Asas Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR/RBg tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga
pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung
berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau
dikehendakinya (Pasal 123 HIR/147 RBg). Dengan demikian hakim tetap memeriksa sengketa
yang diajukan, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasanya.

3. Alat-alat pembuktian

Menurut KHUS pasal 1865 dan RIB pasal 163, bahwa barang siapa yang menyatakan
mempunyai hak, atau menyebutkan sesuatu orang lain yang dikemukakan orang itu, maka ia
harus membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut.

Berhubung dengan itu dalam hukum acara perdata dikenal lima macam alat pembktian
(cara pembuktian) yaitu:19

a. Bukti tulisan;
b. Bukti saksi;
c. Persangkaan (dugaan);
d. Pengajuan;
e. Sumpah;

19
Kansil, Op. Cit., h. 318
Bukti tulisan itu merupakan akta-akta dan surat-surat lainnya. Adapun yang
dimaksudkan dengan akta ialah sebuah surat yang ditandatangani dan sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti. Kita mengenal dua macam akta, yaitu:

1) Akta autentik (resmi) ialah surat yang dibuat dengan bentuk-bentuk tertentu oleh
atau dihadapkan pejabat-pejabat yang berkuasa membuatnya, seperti notaris,
jurusita, pegawai catatan sipil, gubernur, bupati dan sebagainya. Contoh akta
autentik: akta kelahiran, akta perkawinan, akta perceraian, akta kematian, akta
notaris, akta/sertifikat tanah dan lain-lain.
2) Akta dibawah tangan (onderhands acte) yaitu akta yang dibuat pihak-pihak yang
berkepentingan tanpa perantaraan pejabat-pejabat resmi.

Adapun surat-surat lainnya ialah surat-surat yang bukan merupakan akta, misalnya
Stuart-surat biasa, faktur, kwitansi, karcis kereta api dan lain-lain.

Bukti sanksi ialah pernyataan seseorang mengenai suatu peristiwa atau keadaan. Orang
yang menjadi saksi itu harus disumpah terlebih dahulu dan tidak ada hubungan keluarga, telah
dewasa, tidak sakit ingatan dan sebagainya.

Persangkaan yaitu kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan peristiwa –peristiwa


yang telah diketahui.

Pengakuan ialah pernyataan sesuatu pihak mengenai peristiwa tertentu atau suatu hak.

Adapun yang dimaksudkan dengan sumpah, ialah pernyataan dengan segala keluruhan
untuk memberikan janji atau keterangan dengan disaksikan tuhan dan sanggup menerima
segala hukumannya.

Sumpah penentuan (decisoire) ialah sumpah atas permintaan salah satu pihak untuk
memnetukan suatu perkara apabila kekurangan bukti-bukti lain; pihak yang bersumpah
lazimnya ialah pihak yang dimenangkan. Sumpah tambahan (suppletoire) ialah sumpah yang
diperintahkan hakim pengadilan karena jabatannya untuk melengkapi bukti-bukti yang ada
namun kurang lengkap.

Sumpah penentuan diatur dalam pasal 156 RIB sedangkan sumpah tambahan diatur
dalam pasal 155 RIB.

Anda mungkin juga menyukai