Anda di halaman 1dari 31

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karenanya shalat
merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur agama tetapi
sebalikya ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai penegak
agama.

Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Maksudnya, Islam adalah agama
yang sesuai dengan kondisi dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Pada keadaan normal,
berlaku hukum „azimah (ketat). Dan pada keadaan tidak normal, maka Islam mengakomodirnya
dengan rukhsah (keringanan/ kemudahan) sehingga syariat tetap dapat ditunaikan.

Menjama‟ dan mengqasar shalat adalah rukhshah atau keringanan yang diberikan Allah
kepada hambanya karena adanya kondisi yang menyulitkan. “Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. al-Baqarah:185)

Rukhshah ini merupakan shodakoh dari Allah SWT yang dianjurkan untuk diterima dengan
penuh ketawadlu‟an. Melalui makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan tentang shalat jama‟
dan qashar.

A. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Tata cara Shalat Rasulullah?


2. Bagaimana Tata cara Cara Shalat Jama‟?

3. Bagaimana Tata cara Cara Shalat Qashar?


BAB II

PEMBAHASAN

Tatacara Shalat Rasulullah


Pengertian shalat
Shalat menurut lughat (secara bahasa) berarti do‟a, sedangkan menurut istilah syara‟
shalat ialah seperangkat perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan beberapa syarat tertentu,
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.1 Sebagaimana sabda Nabi SAW :
HADIST
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu hendak melaksanakan
shalat maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat lalu bertakbirlah,
kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur'an, kemudian ruku’lah dengan tuma’ninah,
kemudian bangunlah hingga tegak berdiri, kemudian sujudlah dengan tuma’ninah kemudian
bangunlah lalu duduklah dengan tuma’ninah, kemudian sujudlah dengan tuma’ninah, kemudian
lakukan semua itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Imam Tujuh. Lafazh ini lafazh Al Bukhari,
sedangkan lafazh Ibnu Majah dengan sanad Muslim, “Bangunlah dengan tuma’ninah)

Penjelasan Kalimat
"Jika kamu hendak melaksanakan shalat maka sempurnakanlah wudhumu (Yakni
mengerjakannya dengan lengkap) kemudian menghadaplah ke kiblat lalu bertakbirlah (yakni
takbiratul ihram) kemudian bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an (ungkapan ini
menjelaskan bahwa doa istiftah tidak wajib dibaca, jika wajib tentulah beliau perintahkan,
kemudian zhahir ungkapan ini mengisyaratkan bahwa yang dibaca tidak harus surat Al-Fatihah,
namun hal ini akan kami jelaskan pada saatnya nanti) kemudian ruku'lah dengan tuma’ninah (hal
ini menjelaskan bahwa ruku' dengan tuma‟ninah padanya adalah wajib) kemudian bangunlah

1
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum hukum fiqih islam cet.. ke 6, (Jakarta : Bulan Bintang), 1986
hal.98
(dari ruku') hingga tegak berdiri kemudian sujudlah dengan tuma’ninah (hal ini menjelaskan bahwa
sujud dengan tuma‟ninah adalah wajib) kemudian bangunlah (dari sujud) lalu duduklah dengan
tuma’ninah (setelah sujud yang pertama) kemudian sujud dengan tuma’ninah (ini adalah sujud
kedua. Ini adalah sifat satu rakaat sempurna, yakni berdiri, membaca sebagian dari Al- Quran,
ruku', i'tidal atau bangun dari ruku', sujud dengan tuma'ninah, duduk antara dua sujud, kemudian
sujud dengan tuma‟ninah pula dengan demikian sempurnalah satu raka'at) kemudian lakukanlah
semua itu dalam setiap shalatmu (baik ucapan maupun perbuatan kecuali takbiratul ihram, karena ia
khusus untuk raka'at pertama saja sebagaimana yang telah dijelaskan oleh syariat)."

Tafsir Hadits

Di dalam hadits Ibnu Majah dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dengan sanad yang biasa dipakai
Muslim disebutkan, "Bangunlah hingga berdiri dengan tuma’ninah." Sebagai ganti apa yang
disebutkan dalam hadits Al-Bukhari, "Kemudian bangunlah hingga tegak berdiri." Hadits Ibnu
Majah di atas menjelaskan bahwa tuma'ninah saat i'tidal setelah ruku' adalah wajib.2

Shalat menurut istilah adalah beribadah hanya untuk allah ta‟ala, baik dengan perkataan
maupun perbuatan yang telah ditentukan, diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam, disertai
niat, dan syarat – syarat tertentu3.

Shalat hukumnya wajib „ain, yakni wajib bagi setiap individu muslim yang sudah baligh dan
berakal, sehari semalam lima kali.

Firman Allah SWT :

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'(QS. Al
Baqarah : 43)

Ibnu Amin Yasin, Abu Yasin, Fiqih Shalat Lengkap Menurut 17 Imam Besar terjemahan Cet I, Pustaka
Azam, Jakarta, 2010 hal. 1 - 2

2
Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam Terjemahan jilid 1, hal. 42
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji
dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Ankabut : 45)

Shalat adalah ibadah yang pertama kali di wajibkan oleh Allah SWT, disampaikan langsung
olehnya kepada Rasulullah SAW. Di samping itu, shalat juga berupa amalan hamba yang mula
mula dihisab, berdasarkan hadits riwayat dari Abdullah bin Qurth ra. :

Amal yang pertama kali akan dihisab bagi seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat.
Jika shalatnya baik maka dinilai baiklah seluruh amalnya yang lain dan jika shalatnya rusak maka
rusak pulalah seluruh amalnya yang lain (HR. Tabrani)3

Selain itu ketentuan shalat juga diatur dalam firman Allah SWT sebagai berikut :

Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itumenghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang
yang ingat.(QS. Al Huud 114)

3
Hasanuddin AF, Fiqih II cet I, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama, 1996, hal. 80
(36) Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan
dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,

(37) Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut
kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di
waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah
shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa 103)5

5 Moch Anwar, Fiqih Islam, bandung PT. Alma’rif, 1991, hal. 40


A. Pengertian Shalat Qashar "‫"اختصا ر اصالة الر با عيته الى ر كعتين‬
(Meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat)6 Dalam hadits shahih Nabi SAW bersabda :

ِ‫ص‬
ِ ِ‫سِِ لاِةل‬ ‫ِي عت ك ر‬،‫تِضِر ِِف ماِرِ ِِقِأِف ن‬
ِ ‫ِ رِف‬ ‫ِ ولِ ِلاي ضِر ل و‬
ِ ِ‫ِِةل‬:‫ِِ ِِأت‬
‫صِِ لا‬ ‫ شة ِئعا ن ع‬-
ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ‫ هاِن ع‬- ‫ِ ِ ِ ِ ِ ِلاِق‬

ِ‫ت‬

‫يِِرِخاِِلب ِِولت‬
‫عا ِِرب ِِأ‬، ِ‫ِِرِ ِِقِأو‬ ِ‫قِف ِِمت ر‬ ِ
ِ‫ص‬ ِ ‫رِف‬
ِ ِ‫سِِ لاِةل‬ ِ‫ت‬ : ‫ ِجِ اىِمِِِث‬،‫ِِف ِِف ر‬‫ضِحِ ِلاِةلِ ص‬
‫ِر‬ ِ ِ‫تِ مِ ِ تِوأ‬

ِ‫ض‬ ِ
ِ‫و ي ِِعل‬-

ِِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِِ ِِ ِ ِ
ِ،‫ هاِ نلِِ ا ر ِِوت ِةءِرا ِق ِلا اهِي فل ِوِطِت اهِ إن ِفح‬،‫دِمِحِِأدِزاِ هاِ نإ ِفبِ لا لِ إوِ ر‬: ‫ل وِ ِِلِ ِا ىِعلِ ر غِمِِلالِ إ‬-
ِِ‫ص‬
ِ‫ب‬

Dari Aisyah Radhiyallahu Anha ia berkata,- "Shalat yang pertama kali yang difardhukan
adalah dua rakaat, maka ditetapkan hal itu untuk shalat dalam perjalanan dan disempurnakan
untuk shalat hadir (tidak dalam perjalanan)." (Muttafaq Alaih)

[Shahih: Al Bukhari 350 dan Muslim 685]

Dan lafazh bagi Al-Bukhari, "Kemudian Rasulullah hijrah, maka difardhukan empat rakaat
dan ditetapkan untuk shalat dalam perjalanan dengan yang pertama."

[Shahih: Al Bukhari 3935]

Ahmad menambahkan, "Kecuali Magrib, karena ia adalah witir siang hari. Dan kecuali
Subuh, karena di shalat ini dipanjangkan bacaan"

[Sanadnya Shahih: Ahmad 25920; Al-Albani mengisyarakan dalam Ash Shahihah Jilid 6 hal
760. Ebook editor]

Penjelasan Kalimat

"Pertama kali yang difardhukan dari shalat (selain shalat Magrib) dua rakaat (yaitu dalam
8
keadaan hadir dan perjalanan) maka ditetapkan (yaitu Allah menetapkan) shalat dalam perjalanan
(dengan menetapkannya dengan dua rakaat) disempurnakan untuk shalat hadir -tidak dalam
perjalanan- (selain shalat Maghrib dan ditambahkan dengan tiga rakaat dari dua, yang dimaksud
dengan atammat yaitu ditambahkan sampai menjadi sempurna kalau dibandingkan dengan shalat
dalam perjalanan) dan bagi Al-Bukhari (sendiri dari Aisyah) kemudian hijrah (yaitu Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam) maka difardhukanlah empat rakaat (yaitu dengan

6 A. Qusyairi Isma‟il. Fikih Safar untuk Sang Pengelana. Pustaka Sidogiri. Pasuruan. 2005 hal. 44

9
ditambahkan dua rakaat) dan ditetapkan untuk shalat dalam perjalanan dengan yang pertama (yaitu
difardhukan sebagaimana awalnya), Ahmad menambahkan, "Kecuali Magrib (yaitu ia
menambahkan dari riwayat Aisyah setelah ucapannya 'awwaluma furidhat ash-shalat ilal maghrib‟
- awal yang difardhukan dari shalat adalah dua rakaat kecuali Maghrib - karena shalat Maghrib
difardhukan tiga rakaat) Sesungguhnya ia (yaitu shalat Maghrib) witir di siang hari (ia difardhukan
secara ganjil tiga rakaat sejak awal perintah) dan kecuali Subuh, karena di shalat ini dipanjangkan
bacaan."

Tafsif Hadits

Hadits ini merupakan dalil atas wajibnya mengqasar di dalam perjalanan karena kata
furidhat semakna dengan ujibat. Kewajiban mengqasar ini adalah mazhab Al-Hadawiyah, Al-
Hanafiah dan selain mereka. Asy-Syafii dan sekelompok ulama berpendapat sesungguhya
mengqasar itu adalah rukhsah (keringanan) dan menyempurnakan lebih utama. Mereka berkata,
"Furidhat dimaknai dengan quddirat yaitu difardhukan bagi yang menginginkan qasar." Mereka
berdalilkan pada firman Allah Ta'ala,

ِِِ‫صِ لانِمِ }ِةلص‬


ِ ‫ي ِِلِف{ مِكِي ِِعلِسِق ِِتنِِأحِ اِجنِارو‬

"Maka tidaklah mengapa kamu menqasar shalat(mu)." (QS. An-Nisaa‟: 101)

Dan sesungguhnya shahabat-shahabat Rasulullah melakukan perjalanan bersama beliau. Di


antara mereka ada yang mengqasar dan ada juga yang menyempurnakannya. Dan mereka tidak
mencaci sebagian atas sebagian yang lain. Sesungguhnya Utsman Radhiyallahu Anhu adalah orang
yang menyempurnakan shalat begitu pula Aisyah Radhiyallahu Anha. Riwayat ini dikeluarkan oleh
Muslim.

Pendapat ini ditolak, karena hal itu merupakan perbuatan shahabat yang tidak bisa dijadikan
hujjah. Telah dikeluarkan oleh Ath-Thabrani di dalam Ash-Shaghir dari hadits Ibnu Umar secara
mauquf,

10
ِ‫ِ إِِف ء ِما س ما ى دوِ رِ ِفم ئت ش‬
‫رِف س ن مِ ا تِزل ننِ ا عت ك ر‬ ‫لاِةلِ ص‬
ِ ِِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِِِِ ِِ
ِ‫ن‬ ‫لا‬

"Shalat dalam perjalanan itu dua rakaat yang diturunkan dari atas langit, jika kalian mau
maka tolaklah keduanya."

Al-Haitsami berkata, "Rijal hadits ini semuanya tsiqah dan hadits ini hadits mauquf,
karenanya tidak ada tempat untuk berijtihad di dalamnya." Dikeluarkan juga oleh Ath-Thabrani
dalam Al-Kabir dengan rijal yang shahih,

11
‫س اِعت ِك ر‬
‫ِِ مِنِ ِلخاِ لا‬
ِ‫فِ ِةِسنِِر ِف ِك‬ ِِِ ‫رِف‬ ‫لاِةلِ ص‬
ِِ
ِ‫ن‬

"Shalat dalam perjalanan itu dua rakaat, barangsiapa yang menentang sunnah, maka ia
kafir." Di dalam sabda beliau "As-Sunnah" menunjukkan bahwa hadits ini marfu' sebagaimana yang
diketahui.

Ibnul Qayyim juga berkata dalam Al-Hadyu An-Nabawi, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam mengqasar shalat yang empat rakaat, beliau melakukannya dengan dua rakaat ketika akan
keluar dalam perjalanan sampai beliau kembali ke Madinah dan tidak pernah ada riwayat yang tetap
bahwa beliau menyempurnakan shalat empat rakaat dalam perjalanan sama sekali."

Dan di dalam ucapan Aisyah 'illal maghrib' (kecuali Magrib), menunjukkan disyariatkannya
Maghrib pada asalnya tiga rakaat dan tidak berubah. Dan ucapannya, "Sesungguhnya ia adalah witir
siang hari." Menunjukkan bahwa shalat siang itu dilakukan dengan genap, dan Maghrib adalah
shalat yang paling akhir karena ia terletak di penghujung siang. Maka ia menjadi shalat witir di
shalat siang. Sebagaimana disyariatkan shalat witir untuk shalat malam dan witir itu dicintai oleh
Allah sebagaimana yang telah lalu di dalam hadits, "Sesungguhnya Allah itu witir, menyukai yang
witir."

Ucapannya, "Kecuali Subuh" karena sesungguhnya shalat Subuh dipanjangkan bacaannya.


Ia menginginkan bahwa pada asalnya shalat Subuh itu dua rakaat. Ia tidak berubah, baik dalam
waktu hadir maupun dalam perjalanan, karena disyariatkan di dalamnya memanjangkan bacaan
karenanya Al-Qur'an mengungkapkannya dalam ayat, "Dan (dirikanlah pula shalat) Subuh." (QS.
Al-Israa: 78)

Jadilah bacaan menjadi rukunnya yang terbesar karena panjangnya bacaan tersebut dalam
shalat Subuh, maka jadikanlah itu ciri khasnya untuk mengungkapkan bagian yang paling besar dari
keseluruhan7

Nabi SAW juga bersabda :


12
ِ ِ ِ‫ي ِِعل‬ ِ ِ ِِ ِ - ‫ِوِللاي ضِر‬
ِ‫مِسلِوِ جِر ِخِةِر ِسي م‬- ‫اذِ إ‬ ِ‫ِو للا ىصل‬ ِ‫ِنو ِع‬- ِ‫ِقا‬:‫و للال ِسوِرِنِكاِ «ل‬- ِ‫س ِنِأنِعِو‬ ِ ِ
ِ‫و‬

ِ ‫ِم‬‫لِيا ِم ِِأة ِِثلِ ِِث ىِصلِ »نِ ي ِِعت ِك ر‬، ‫خِسِرا ِِفو ِِأ‬
ِ‫ِِ سلِمِِهاوِر‬ ،

Dari Anas Radhiyallahu Anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallalllahu Alaihi wa Sallam jika
keluar dalam jarak tiga mil atau farsakh, beliau shalat dua rakaat." (HR. Muslim)

7 Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam Terjemahan jilid 2, hal. 37

13
[Shahih: Muslim 691]

Tafsir Hadits

Yang dimaksud dengan ucapan beliau 'jika keluar' adalah keluar dengan jarak yang telah
ditentukan. Tidak berarti jika beliau ingin melakukan safar yang panjang tidak mengqasar, kecuali
setelah jarak ini.

Ucapan beliau 'mil atau farsakh' adalah keraguan dari rawi dan tidak terjadi kebingungan ini
pada asal hadits. Al-Khatabi mengatakan, "Bahwa rawi yang ragu dalam hadits ini adalah Syu'bah."

Dikatakan batasan mil yaitu sejauh pandangan mata seseorang di alam terbuka, ia tidak
mengetahui apakah yang dilihatnya perempuan atau laki-laki atau selainnya. An-Nawawi berkata,
"Satu mil itu sama dengan enam ribu hasta dan satu hasta itu sama dengan dua puluh empat jari
yang besar dan seimbang dan satu jari itu sama dengan enam biji gandum biasa yang dihamparkan."
Dikatakan, "Satu mil itu sama dengan dua belas ribu kaki dengan kaki manusia." Dikatakan, "Satu
mil sama dengan empat puluh ribu hasta." Dikatakan juga, "Sama dengan seribu langkah onta."
Dikatakan juga, "tiga ribu hasta Bani Hasyim yaitu tiga puluh dua jari dan hasta yang dimaksud
adalah hastanya Nabi S'hallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah yang dimaksud dengan hasta al-'umari
yang diberlakukan di negeri Shan'a dan kota-kotanya.

Adapun 'farsakh' ' sama dengan tiga mil. Ini merupakan bahasa Arab serapan dari bahasa
Persia.

Ketahuilah, sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat tentang jarak yang


diperbolehkan untuk mengqasar shalat mencapai dua puluh pendapat. Ibnul Mundzir
menceritakannya, Azh-Zhahiriyah berpendapat untuk mengamalkan hadits ini, mereka berkata,
"Tiga mil jarak untuk mengqasar.*' Pendapat ini dijawab bahwa hadits ini ada keraguan tidak dapat
dijadikan hujjah untuk pembatasan tiga mil. Benar, hadits ini dapat dijadikan dalil untuk tiga
14
farsakh dan mil masuk dalam farsakh, maka untuk kehati-hatian diambillah yang terbanyak. Tetapi
dikatakan, sesungguhnya tidak ada seseorang pun yang berpendapat dengan pembatasan tiga
farsakh. Benarnya hujjah Zhahiriyah ini dengan riwayat yang dikeluarkan oleh Said bin Manshur,
dari hadits Abi Said, sesungguhnya ia berkata,

ِِ‫»ةل‬
‫ص‬ ‫لا ر‬
‫ص‬ ‫ِفسار رِف قِي اس‬
‫خ‬ ِ‫ ن‬- ‫عل يهِ لهسو اذإ‬
ِ ِِ‫الل‬ ‫ىهل‬
‫ص‬ ِِ‫الل‬- ‫لوسر‬ «‫ناك‬

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam apabila melakukan perjalanan satu farsakh, maka
beliau mengqasar shalatnya."

15
Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa satu farsakh sama dengan tiga mil. Paling sedikit
jarak yang dikatakan untuk mengqasar adalah sebagaimana riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari Ibnu Umar secara mauquf, "Sesungguhnya ia berkata jika aku keluar satu mil, aku
mengqasar shalat." Isnad hadits ini shahih. Telah diriwayatkan hadits nii di dalam Al-Bahru dari
Dawud. Dua pendapat ini sama dengan ucapan Al-Bakir, Ash-Shadiq, Ahmad bin Isa, Al- Hadi dan
selain mereka, "Sesungguhnya mengqasar shalat dalam jarak satu barid dan di atasnya." Mereka
berdalilkan betdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari hadits Abu Hurairah
secara marfu,

ِ‫ق ِ تلِ « لا ارو ص ِقِأ يِف ة لِ صِِ»د ِر بة ِع رب ِأن م‬


ِ ِ ِِ ِِ ِِ ِِ ِ ِ
ِِ‫ل‬

"Tidak halal bagi seorang perempuan untuk melakukan perjalanan satu barid, kecuali
bersama seorang muhrim." (HR. Abu Dawud) [Dhaif: Abu Daud 1725]

Mereka berkata, "Hadits ini menamakan jarak satu barid sebagai sebuah perjalanan." Aku
berkata, "Tidak dapat diragukan bahwa sesungguhnya tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa
tidak disebutkannya jarak paling sedikit sebagai batas perjalanan tetapi yang dimaksud adalah batas
perjalanan yang wajib bagi seorang perempuan itu adanya seorang muhrim dan tidak ada kelaziman
antara jarak mengqasar dengan jarak bersama muhrim karena dibolehkannya memperluas
kewajiban bersama muhrim sebagai keringanan atas seorang hamba.

Zaid bin Ali, Muayyid Billah dan selain keduanya begitu juga Hanafiyah mengatakan,
"Bahkan jarak perjalanan itu adalah dua puluh empat farsakh." Karena berdasarkan riwayat Al-
Bukhari dari hadits Ibnu Umar secara marfu,

‫عه »مِ رحه‬ ‫ِأخر ن ِت ِفسار وِف ق ِثلِِ ِةلثِه إمِاهيِأ‬ ‫بللِِ او ِليِلِ ا مو‬، ِ‫هلِ ِرأة هؤ ِت ن ِا‬ « ِِ‫لحِيل‬

"Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
melakukan perjalanan di atas tiga hari, kecuali bersama seorang mahram." [Shahih: Al Bukhari
1088]
16
Mereka berkata, "Perjalanan unta pada satu hari sama dengan delapan farsakh." Asy- Syafii
berkata, "Justru jaraknya adalah empat puluh barid berdasarkan hadits Ibnu Abbas secara marfu,

‫عِرب ة ِب »در‬ ‫ص لِق ِأ ي ِف نه أ‬


ِِ‫ةل‬ ‫لا اور‬
‫ص‬ « ِِ‫قِتل‬

"Jangan kalian mengqasar shalat kurang dari empat barid." Hadits ini akan dibahas
mendatang, dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dari perbuatan Ibnu Abbas juga
Ibnu Umar. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Abbas secara muallaq

17
dengan shighat Al-Jazm. Sesungguhnya beliau ditanya, "Apakah shalat diqasar dari Makkah ke
Arafah?" Beliau menjawab, "Tidak, tetapi dari Usfan ke Jeddah dan ke Thaif."

Tempat-tempat ini antara satu dengan yang lainnya dan antara Makkah sama dengan empat barid
atau lebih. Pendapat-pendapat saling bertentangan sebagaimana yang Anda baca dengan bermacam-
macam dalil.

Ibnul Qayyim dalam Zad Al-Maad berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak
pernah membatasi jarak tertentu untuk mengqasar dan berbuka, tetapi beliau memutlakkan kepada
mereka yang demikian itu dengan kemutlakan perjalanan di bumi sebagaimana beliau memutlakkan
bagi mereka bertayammum pada setiap perjalanan. Adapun riwayat-riwayat yang disandarkan
kepada beliau tentang pembatasan dengan sehari, dua hari atau tiga hari maka tidak ada yang sah
sedikitpun hal itu dari beliau. Wallahu'allam. Dan kebolehan mengqasar dan menjamak baik dalam
perjalanan yang panjang maupun yang pendek, ini adalah mazhab mayoritas ulama salaf.8

Apabila melihat difinisi diatas, kita bias mengambil kesimpulan bahwa musafir yang sudah
memenuhi persyaratan untuk meng-qashar shalat hanya bisa meng-qashar shalat ruba‟iyah (shalat
yang rakaatnya berjumlah empat) yaitu: shalat dzuhur, ashar, dan isya‟. Sedangkan shlat maghrib dan
shubuh tidak bisa di qashar.9

B. Shalat Jama Pengertian Shalat jama‟


Jama‟ ialah mengumpulkan dua shalat dan dikerjakan dalam satu waktu.10 Sebagaimana dalam
hadits disebutkan :

ِ ِ ِ ِِ
- ‫ِلسِوِ و ي ِِعلِيِفل حِِرتِا اذِ إ‬ ‫ِنو ع‬- ‫لِاِق‬: ‫سِ ِنِأنِعِو ي ضِر ِوِللا‬-
ِ‫و للا ِو للا ىصل‬- « ِ‫ِِل ِسوِرِنِكا‬ ِ ِ ِ
ِ
ِ‫م‬

ِ،‫ما هِِني ِ بع م جِِفل ِز ِِنمِِِث ر‬، ‫م شِِ لاغِزي ِِتنِِأل ب ِِق ِهرِف ِس ر ه ِِظلا ر خِِِأستِ ِقو ىِلإ ع ِِلاِغزاِنِإِِف‬
ِ‫ص‬ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ِ‫ت‬

ِ‫ عي ِ رب ِلِ ِا يِفمِِكحا ل ِِلة ِ ياو ر‬:‫يِوف دِاِنسِإِِب ن‬ ِ


ِ‫ ي ِِعل‬.‫و‬ ‫لِ ب ِِقسِِكر مِِِثر ِه ِِظلا ىِل‬
ِِ ِ ِِ ِ ِ ِ»‫صِ قِف ِِمتِب‬ ِ
18
‫م شِِ لال حِِرت ِِينِِأ‬
ِ ِ

8 Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam Terjemahan jilid 2, hal. 38

9 A. Qusyairi Isma‟il. Fikih Safar untuk Sang Pengelana. Pustaka Sidogiri. Pasuruan. 2005

10 Bahrullah Shadiq. Shalat itu Indah dan Mudah. Pustaka Sidogiri. Pasuruan. 2005 hal. 27

19
ِ ِ ِِ .‫ِ ِلِِو ب‬
‫ ه ِِظلا ىِصل كر مِ ي ِع ِ ِن يب‬،‫مِِِثر صِ ع ِلوا ر‬ ِ :
ِ‫ ف ِس‬،‫ سلِمِ ي فنِكاِ ر‬:‫خِ ِستِ مِذاِ إنِكاِ « م‬
ِ ِ‫ِ ر‬ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ‫حِحي ص‬
ِ‫ج‬ ‫يِف‬
ِ ِِ ِ ِِ
ِ‫عا ِمي ج‬، ‫صِ ل»ِحِِرتِامِِِث‬
ِ ‫ ِه ِ ظلا لىصِر‬،‫لاتِ ِلزا ِِف سِمِش ع ِِلواِ ر‬

Dan Anas Radhiyallahu Anhu, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jika hendak
berangkat sebelum miringnya matahari beliau mengakhirkan Zhuhurnya sampai ke waktu Ashar,
kemudian beliau turun dan menjama' kedua shalat tersebut. Jika matahari telah miring sebelum
beliau berangkat, beliau shalat Zhuhur kemudian menaiki tunggangannya." (Muttafaq Alaih)

[Shahih: Al Bukhari 1111 dan Muslim 704]

Menurut Riwayat Al-Hakim di dalam Al Arbain dengan sanad yang shahih, "Beliau shalat
Zhuhur dan Ashar kemudian menaiki tunggangannya." Sedangkan menurut riwayat Abi Nu'aim di
dalam Mustakhraj Muslim, "Jika beliau dalam perjalanan dan matahari miring, beliau shalat Zhuhur
dan Ashar bersamaan kemudian berangkat."

Penjelasan Kalimat

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jika hendak berangkat sebelum miringnya


matahari (yaitu sebelum lengsernya matahari) beliau mengakhirkan Zhuhurnya sampai ke waktu
Ashar kemudian beliau turun dan menjama kedua shalat tersebut, jika matahari telah miring
sebelum beliau berangkat, beliau shalat Zhuhur (yakni shalat Zhuhur saja tanpa menggabungkannya
dengan Ashar)."

Tafsir Hadits

Hadits ini merupakan dalil bolehnya menjamak ta'khir bagi orang yang musafir dan dalil
sesungguhnya tidak boleh menjamak taqdim antara keduanya karena sabda beliau, "Shalat Zhuhur"
jika boleh jamak taqdim, tentu beliau menggabungkan kepadanya shalat Ashar. Inilah perbuatan
dari beliau yang mengkhususkan hadits-hadits tentang waktu shalat sebagaimana yang telah lalu.

20
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:

Al-Hadawiyah berpendapat, yang ini juga merupakan ucapan Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan
sekelompok dari shahabat, diriwayatkan juga dari Malik, Ahmad dan Asy-Syafii, "Bolehnya
menjamak bagi seseorang yang musafir, baik secara taqdim maupun secara ta'khir, berdasarkan
hadits menjelaskan tentang ta'khir dan berdasarkan riwayat yang akan dijelaskan kemudian dalam
masalah taqdim.

21
Dari Al-Auzai, "Sesungguhnya boleh bagi orang yang musafir untuk jamak ta'khir saja
berdasarkan hadits ini." Ini juga diriwayatkan dari Malik, Ahmad bin Hambal dan dipilih oleh
Muhammad Ibnu Hazm.

An-Nakhai, Al-Hasan, Abu Hanifah berpendapat bolehnya menjamak taqdim, tetapi tidak
takhir bagi seorang musafir. Mereka mentakwilkan hadits yang menjelaskan jamaknya Rasulullah
Shallallahu A-laihi wa Sallam bahwa yang dimaksud adalah jamak shuri (jamak dalam bentuknya
saja) yaitu beliau mengakhirkan shalat Zhuhur sampai akhir waktunya dan mengawalkan Ashar
pada waktunya. Demikian juga shalat Isya." Pendapat ini ditolak, "Sesungguhnya jika mereka
berjalan berdasarkan pendapat ini, maka tidak sempurna bagi mereka dalam jamak taqdim
sebagaimana diberikan faedah oleh ucapan, "Menurut Riwayat Al- Hakim di dalam Al-Arbain
dengan sanad yang shahih, "Beliau shalat Zhuhur dan Ashar." Yaitu jika telah miring sebelum
berangkat beliau shalat dua fardhu ini bersamaan kemudian berangkat." Riwayat ini memberikan
faedah tetapnya jama taqdim dari perbuatan Rasulullah. Maka tidaklah mungkin tergambar bahwa
yang dimaksud adalah jamak shuri.

Sama dengan riwayat ini yaitu yang diriwayatkan oleh Abi Nu'aim dalam Mustakhraj
Muslim yaitu takhrij beliau terhadap Shahih Muslim, "Jika beliau dalam perjalanan dan matahari
miring beliau shalat Zhuhur dan Ashar bersamaan kemudian berangkat." Riwayat Al-Hakim dan
Abi Nu'aim ini juga telah memberikan faedah adanya jamak taqdim dan kedua riwayat ini adalah
shahih sebagaimana yang dikatakan oleh pengarang, kecuali Ibnul Qayyim berkata, "Sesungguhnya
telah terjadi perbedaan pendapat dalam riwayat Al-Hakim, di antara mereka ada yang
menshahihkan dan di antara mereka ada yang menghasankan ada juga yang mencela hadits ini dan
menjadikannya hadits maudhu' dari Al-Hakim. Sesungguhnya ia menghukumi hadits ini sebagai
maudhu." Kemudian dijelaskan ucapan Al-Hakim tentang kemaudhuan hadits ini yang kemudian
ditolak oleh Ibnul Qayyim dan ia memilih bahwa hadits ini tidak maudhu'. Dan diamnya pengarang
tentang hadits ini dan ia menetapkan bahwa sesungguhnya sanad hadits ini shahih menunjukkan
penolakan kemaudhuan hadits Al-Hakim. Keshahihan hadits ini dikuatkan oleh riwayat berikut:

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ِ‫ مِ لسِوِ و ي ِِعل‬- ‫ِت وةِز ِِغ ي ف‬ ِ‫ِنو ِعِِلوِ ِلايِض رِ ِو للا ىصل‬- ِ‫لِقا‬: « ِ‫يِِ بِنلاعِمِ نا ِجِر ِخ‬- ِ‫ذاعمنعو‬-
‫ ِوِب‬.‫ك‬

22
ِ ِ ِ ‫عا ِميِجِغِمِ ِلوا ء‬، ِ‫ِ ص‬ ‫ ِه ِِظلا يِل‬،‫ر‬
ِ‫ِمِِهاوِرِ »عا ِمي جِمِ سل‬،‫ِِشاِع ِلواِب‬ ‫ع ِلوا‬
ِ‫ِ ر‬ ‫صِ ِينِكاِِف‬

ِ‫ر‬

Dan dari Muadz Radhiyallahu Anhu ia berkata, "Kami keluar bersama Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam pada perang Tabuk. Beliau shalat Zhuhur dan Ashar secara
bersamaan, juga Maghrib dan Isya bersamaan." (HR. Muslim)

[Shahih: Muslim 706]

23
Tafsir Hadits

At-Tirmidzi telah meriwayatkan dengan lafazh,

ِ ِ‫ب ِقأنِ مِشِِ لاغِزي ِِت ر ه ِظلار خِِِأس ع ِلا ىِلإ هاِع م جِ ينِِأ ىِلإما هِيِصل يِفر‬
ِ‫عا ِمي ج‬، ِ‫ص‬ ِِ ِ ِ ِِ ِِ ِ ِِ ِ « ِ‫ل حِِرتِا ذاِ إنِكا‬
ِ
‫ل‬
ِ
ِ ِ ِ ِ ِ‫دِع بل ح ِرت ا اذِِوإ لاغِ زيِسِم شِِ ل جِِ ع ر‬
ِ‫ ِه ِ ظلا ىصلِوِ »عا ِمي ج‬،‫صِ ع ِِلواِ ر‬
ِ ‫صِ ر‬
ِ ‫ِ ه ِ ظلا ىِلإر‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ
‫ع ِِلا‬

"Jika beliau berangkat sebelum miringnya matahari (belum masuk waktu Zhuhur-peny.),
beliau mengakhirkan Zhuhur sampai pada waktu Ashar, kemudian melaksanakannya dengan jamak
ta'khir. Dan jika berangkat setelah miringnya matahari (sudah masuk waktu Zhuhur- peny.) beliau
mempercepat shalat Ashar ke shalat Zhuhur dan melaksanakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan
jamak taqdim." [Shahih: At Tirmidzi 553]

Hadits ini seperti rincian global hadits riwayat Muslim, kecuali At-Tirmidzi berkata setelah
mengeluarkan hadits ini, "Hadits ini hadits hasan gharib, Qutaibah telah menyendiri dengan
periwayatannya dan kami tidak mengetahui seseorang pun yang meriwayatkannya dari Al-Laits
selain Qutaibah." Kemudian ia berkata, "Yang terkenal di kalangan Ahlul Ilmi, hadits Muadz dari
hadits Ibnu Az-Zubair dari Abi Ath-Thufail dari Muadz, "Sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam dalam perang menjamak antara Zhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya."

Jika Anda telah mengetahui ini, maka jamak taqdim dalam ketetapan riwayatnya ada
pembicaraan, kecuali riwayat dalam Al-Mustakhraj Ala Shahih Muslim haditsnya tidak ada
pembicaraan. Ibnu Hazm berpendapat bolehnya jamak ta'khir karena kokoh riwayatnya dan tidak
untuk jamak taqdim. Ini juga merupakan pendapat An-Nakha'i dan riwayat dari Malik dan Ahmad.

Kemudian sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat dalam keutamaan bagi orang
yang musafir apakah menjamak atau mengerjakan sesuai waktu? Asy-Syafiiyah berpendapat,
"Meninggalkan jamak lebih utama, sedangkan Malik mengatakan hal itu makruh." Dikatakan jamak
24
dikhususkan bagi orang yang berhalangan.

Ketahuilah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim di dalam Al-Hadyu An-
Nabawi, "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengumpulkan shalat
rawatib di dalam perjalanannya sebagaimana yang telah dilakukan oleh kebanyakan orang. Dan
tidak pula menjamak ketika beliau turun dari perjalanan. Tetapi beliau menjamak ketika perjalanan
sangat melelahkan atau jika beliau berpergian setelah shalat seperti dalam hadits Tabuk. Adapun
beliau menjamak ketika tidak dalam perjalanan, tidak ada riwayat yang dinukil tentang itu kecuali
ketika beliau di Arafah dan di Muzdalifah. Karena menyambung wukuf

25
sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syafii dan guru kami (Ibnu Taimiyah), dan Abu Hanifah
menjadikannya bagian dari kesempurnaan ibadah haji dan itulah yang menjadi sebabnya. Malik,
Ahmad, dan Asy-Syafii, mereka berkata, "Sesungguhnya sebab menjamak di Arafah dan
Muzdalifah adalah karena perjalanan.

Semua ini adalah pembahasan tentang menjamak di perjalanan. Adapun menjamak dalam
waktu hadir (tidak dalam keadaan perjalanan) telah berkata pensyarah- setelah menyebutkan dalil-
dalil yang membolehkan hal tersebut- "Sesungguhnya mayoritas para imam madzhab berpendapat
tidak bolehnya menjamak pada waktu hadir berdasarkan riwayat dari hadits-hadits yang telah
menjelaskan tentang waktu-waktu shalat dan juga berdasarkan riwayat mutawatir yang
menerangkan bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjaga waktu-waktu tersebut,
sampai-sampai Ibnu Mas'ud berkata,

ِ‫مِسلِِوِعلِِي ِو‬- ِ
ِ‫صلى‬
ِ ِ ِ
‫ي ِِغ ل لِِ ِإ ها ِ تقا ِمي ي ِ ِتلِ ص‬
‫ِِعِمِجِنِي ِِب‬ ِ
ِ‫ىصل‬ ‫ِوِللا‬ ‫يِِِبِنلا‬- «ِ‫ام‬
ِ‫ص ِِل ِة‬
ِ‫ن‬ ِ‫ر‬
ِ‫تِي ِأر‬

ِ‫ج‬ ‫ِرِغِمِِلا ِلاوِ ف ِِلا ىِصلِوِعِمِجِِبء ِشاِ »ها ِِتقا ِميِل ب ِِقذِِمئ و ير‬،‫ب‬
ِ ِِ ِ ِ
ِ‫ع‬

"Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat satu shalat pun tidak
pada waktunya kecuali dua shalat yaitu menjamak antara Maghrib dan Isya dengan sekali jamak
dan shalat Subuh pada hari ini sebelum waktunya." [Shahih: Al Bukhari 1682 dan Muslim 1289]

Adapun hadits Ibnu Abbas bagi Muslim,

ِ ِِ ِ‫ِرِغِم ِلوا ِلواِ م ِلاِب ء ِشا ر‬،‫صِب‬


ِ،‫ِه ِِظلان ي ِ بع م ج ع ِِلوا ر‬،‫ر‬ «‫ِوِنِأ‬
ِ‫ و ِخِ لِوِ »ر طم‬،‫ِ ي ِِغنِم ف‬ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ
ِ‫ع ِ ة ِ ندي‬
ِ

"Sesungguhnya beliau menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dengan Isya di
Madinah tanpa ada sebab ketakutan dan turunnya hujan." [Shahih: Muslim 705]
26
Dikatakan kepada Ibnu Abbas, "Apa yang diinginkan beliau dengan hal itu?" Ia berkata,
"Beliau menginginkan untuk tidak memberatkan umatnya."

Tidak sah berhujjah dengan hadits ini, karena tidak ditentukan apakah jama' ta'khir atau
taqdim sebagaimana zhahirnya riwayat Muslim. Dan penentuan dari kedua jamak ini adalah
memaksakan hukum maka wajib mengembalikan pada sesuatu yang wajib yaitu tetap pada
keumuman hadits tentang waktu-waktu shalat, baik bagi yang berhalangan ataupun tidak, dan
pengkhususan para musafir karena memang ada dalil yang mengkhususkan, dan ini adalah jawaban
yang bagus.

27
Adapun yang diriwayatkan dari Atsar shahabat dan tabiin, maka tidak bisa dijadikan hujjah,
karena tidak ada ijtihad dalam masalah ini, sebagian mereka menta'wili hadits Ibnu Abbas sebagai
jama' shuri. Dan ini dianggap baik oleh Al-Qurthubi, dan dikuatkan serta ditetapkan oleh Ibnu Al-
Majisyun dan Ath-Thahawi. Dikuatkan juga oleh Ibnu Sayyidin-Nas, berdasarkan riwayat yang
dikeluarkan oleh Asy-Syaikhani dari Amr bin Dinar meriwayatkan hadits dari Abu Asy-Sya'tsa ia
berkata, "Aku berkata, "Wahai Abu Asy-Sya'tsa aku menyangka beliau mengakhirkan shalat
Zhuhur dan mengawalkan waktu Ashar, mengakhirkan waktu Magrib dan mengawalkan waktu
Isya'. Ia pun berkata, "Aku pun menyangka demikian." Ibnu Sayyidin-Nas, "Perawi hadits lebih
mengetahui dengan apa yang dimaksud daripada yang lainnya walaupun Abu Asy-Sya'tsa tidak
memastikan hal tersebut.

Aku berkata, "Sesungguhnya itu hanya persangkaan dari rawi dan apa yang dikatakan "lebih
tahu dengan apa yang diriwayatkan", sesungguhnya itu berjalan bersama penafsirannya terhadap
lafadz semisalnya, dan pengakuan ini perlu diperhatikan, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,

ِ ِ ِ ِ
ِ‫ر ِِف« بِِ و ق ِ ف لِ م حاِمِنِ »ِنو ِم ِقو ِِفِأو ِى‬
‫ىِلإ‬

"Berapa banyak pembawa pemahaman kepada orang yang lebih paham darinya." [Shahih:
Shahih Al Jami' 6765]

Pada umumnya benar, dan telah ditentukan takwil ini. Sesungguhnya An-Nasa'i telah
menjelaskan dalam asal hadits Ibnu Abbas dengan lafazhnya,

‫اِيِنما ِِث عا ِمِجِب ِسِ وِِأ عا ِمِ ج ر‬- ‫ِ ِِنديِمِِلاِب‬


‫ِ ِه ِِظلا‬ ‫ِ ِِعل ة‬
‫ِلسِوِ و ي‬ ِ ِ ِ ِِ
ِ‫و للال سوِرِ ِو للا ىصل‬- ‫ت ِِل‬
« ِ‫ص‬ ‫عِمِ ي‬

ِِ‫ر خ‬ ِ ‫عا‬
ِ ِ‫م‬
ِ
ِ‫صِ ع ِِلالِجِِعِوِلِجِِعِوِبِر غِمِِلار ِخِِِوأِء»ِشا‬
ِ ،‫ر‬
‫ع ِِلا‬

28
"Aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di Madinah delapan
sekaligus dan tujuh sekaligus, beliau mengakhirkan shalat dzuhur dan mengawalkan shalat Ashar,
mengakhirkan shalat Maghrib dan mengawalkan shalat Isya."

Mengherankan dari An-Nawawi bagaimana ia bisa mendhaifkan takwil ini, dan melupakan
dari matan hadits yang diriwayatkan? Lafazh yang muthlaq (tidak dibatasi) dari suatu riwayat
dipahamkan dengan riwayat yang muqayyad (yang dibatasi) jika kisah dalam riwayat satu seperti
pada riwayat ini.

Ucapannya, "Beliau menginginkan untuk tidak memberatkan umatnya", ini melemahkan


pemahaman jamak shuri karena adanya keberatan dalam hal tersebut. Hal ini tertolak karena

29
yang demikian itu lebih ringan daripada shalat pada waktunya. Dan mungkin mengerjakan dua
shalat dengan satu pelaksanaan, sekali menuju masjid, dengan satu kali wudhu berdasarkan
kebiasaanya. Ini berbeda dengan dua waktu, kesulitan dalam menjamak ini tidak diragukan lebih
ringan.

Adapun menqiyas orang hadir dengan musafir sebagaimana yang dikatakan adalah
kekeliruan. Karena Illah (sebab) hukum adalah perjalanan, dan ini tidak terdapat dalam waktu
longgar, jika tidak maka akan wajib juga mengqashar dan berbuka.

Aku berkata, "Ini adalah ucapan dengan pemahaman yang baik, kami telah menjelaskan apa
yang seharusnya dalam risalah kami Al-Yawaqit fi Al-Mawaqit, sebelum meneliti ucapan pensyarah,
semoga Allah merahmati dan mengganjarnya dengan ganjaran yang baik."

Kemudian ia berkata, "Ketahuilah bahwa jama' taqdim terdapat kekhawatiran yang besar, ia
seperti orang yang shalat sebelum waktunya. Maka jadilah keadaan orang yang melakukannya
sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala,

ِ‫ح يم ى و { ن و ن‬
ِ ‫س حِِيمِهِِنِأنِوِسبِ }عا ِن‬
ِ‫ص‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ

"Sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. Al-Kahfi: 104) ayat ini
dari permulaanya, dan ini shalat yang didahulukan tidak ada dalil yang menunjukkannya secara
mantuq (diucapkan secara jelas), tidak juga secara mafhum (pemahaman akan dalil), tidak juga
secara umum maupun secara khusus."11

30
11 Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam Terjemahan jilid 2, hal. 41

31
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Tatacara Shalat Rasulullah
Pengertian shalat
Shalat menurut lughat (secara bahasa) berarti do‟a, sedangkan menurut istilah syara‟ shalat ialah
seperangkat perkataan dan perbuatan yang dilakukan dengan beberapa syarat tertentu, dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam.

2. Pengertian Shalat Qashar "‫"اختصا ر اصالة الر با عيته الى ر كعتين‬


(Meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat) Pengertian Shalat jama‟
3. Jama‟ ialah mengumpulkan dua shalat dan dikerjakan dalam satu waktu

32
DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi 1986, Hukum hukum fiqih islam cet.. ke 6, Jakarta : Bulan
Bintang

Ash Shan‟ani, Imam, Subulus Salam Terjemahan

Abu Yasin, Amin Yasin, Ibnu, 2010, Fiqih Shalat Lengkap Menurut 17 Imam Besar terjemahan Cet
I, Pustaka Azam, Jakarta,

AF, Hasanuddin, 1996, Fiqih II cet I, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama,

Anwar, Moch 1991, Fiqih Islam, bandung PT. Alma‟rif

Isma‟il, A. Qusyairi, 2005, Fikih Safar untuk Sang Pengelana Pustaka Sidogiri. Pasuruan. Shadiq,
Bahrullah, 2005, Shalat itu Indah dan Mudah, Pustaka Sidogiri. Pasuruan.

33

Anda mungkin juga menyukai