Anda di halaman 1dari 12

PEMBAHASAN

SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM

Jumhur fuqaha sudah sepakat pendapatnya bahwa sumber-sumber hukum islam pada
umumnya ada empat, yaitu qur’an, sunah (hadis), ijma’ dan qiyas. Hukum-hukum yang diambil
dari sumber-sumber tersebut wajib diikuti. Urutan-urutan penyebutan menunjukkan urutan-
urutan kedudukan dan kepentingannya. Yakni apabila tidak terdapat hukum suatu peristiwa
dalam qur’an baru dicari dalam sunah, kalau tidak terdapat dalam sunah dicari dalam ijmak’,
dan kalau tidak terdapat dalam ijma’, baru dicari dalam qiyas.1

Masih ada sumber-sumber hukum yang lain, tetapi masih banyak diperselisihkan
tentang mengikat atau tidaknya, sumber-sumber tersebut ialah istihsan, istishab, malahan
mursalah, Urf, mazhab sahabat dan syariat sebelum islam.

Bagi hukum-hukum pidana islam formil (ijaarat jinaiyah=acara pidana) maka semua
yang disebutkan diatas bisa dipakai. Akan tetapi akan hukum-hukum pidana islam materil,
yaitu yang berisi ketentuan macam-macam jarimah dan hukumannya, hanya ada empat sumber.
Tiga diantaranya sudah disepakati, yaitu al-qur’an, sunah, ijma’, sedang satu sumber lainnya,
yaitu qiyas, masih diperselisihkan.2

Perlu kita catat adanya perbedaan antara al-quran dan sunah di satu pihak dengan kedua
sumber lainnya dilain pihak. Quran dan sunah merupakan dasar syariat islam dan berisi aturan-
aturan syariat yang bersifat umum (kulli). Sumber-sumber lain sebenarnya tidak membawa
aturan-aturan dasar baru, atau aturan yang bersifat umum, melainkan lebih tepat untuk
dikatakan sebagai cara pengambilan hukum-hukum dari nas-nas al-qur’an dan sunah. Sumber-
sumber lain tersebut tidak boleh berisi aturan-aturan yang berlawanan dengan qur’an dan
sunah, karena sumber-sumber lain itu sendiri bersumber kepada qur’an dan sunah.

A. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum ajaran islam yang pertama yang memuat kumpulan
beberapa wahyu yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Diantara isi
kandungannya adalah peraturan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah.

1
Ahmad Hanafi, “Asas-asas Hukum Pidana Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 25.
2
Ibid.

2
Menurut Moenawar Cholil, Al-Qur’an adalah landasan amaliah manusia yang paling sempurna
dengan penjelasan yang sempurna dari Rasulullah SAW,yang tidak pernah menjelaskannya
dengan hawa nafsu, kecuali atas dasar wahyu dari allah SAW.3
Dalam kaitannya dengan hukum pidana islam, ketentuan hukum dalam al-Qur’an,
terutama yang menyangkut kemasyarakatan, seperti kepidanaan memiliki akibat ganda,yaitu
di dunia dalam bentuk hukuman pidana dan di akhirat dalam bentuk siksa, hal tersebut dapat
dilihat dalam firman Allah SWT.An-Nisa’ ayat 93:
َ َ ََ ََََُ َۡ َ َُ َ َ َ َ ٗ َ َ َ ُٓ َ َ ٗ َ َ ُ ٗ ۡ ُ ُۡ ۡ َ
ِ ‫َومن َيقتل مؤمِنا متع ِمدا فج َزاؤهُۥ ج َهن ُم خَٰلِدا فِيها وغ‬
‫ضب ٱلل عليهِ ولعنهۥ وأعد‬

ٗ ‫لَ ُهۥ َع َذابًا َع ِظ‬


٣٩ ‫يما‬

Dan barang siapa membunuh seseorang yang beriman dengan sengaja,maka balasannya ialah
neraka jahannam, dia kekal didalamnya. Allah murka kepadanya,dan melaknatnya serta
menyediakan azab yang besar baginya.(Q.S.An-Nisa’93).

Barangsiapa dengan sengaja membunuh seorang muslim dengan maksud permusuhan,


dan ia membenarkan tindakannya itu, maka balasannya adalah neraka jahannam. Ia akan kekal
di dalamnya. Allah pun akan murka kepadanya dan menjauhkannya dari kasih sayangnya.
Allah akan menyiapkan baginya siksa yang sangat pedih di akhirat nanti. Sebab, pembunuhan
merupakan kejahatan terbesar yang ada di dunia.4
Adapun sumber-sumber Hukum pidana dalam al-Qur’an:
1. Q.S. Al-Isra’: 32
ٗ َ َ ٓ َ َ ٗ َ َٰ َ َ َ ُ َ ٓ َ ْ ُ َ ۡ َ َ َ
٩٣ ‫حشة وساء سبِيلا‬ َٰ ‫لز‬
ِ ‫ن ى إِنهۥ كان ف‬ ِ ‫ولا تقربوا ٱ‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. dan suatu jalan yang buruk.”

Karena faktor lain yang mendorong mereka membunuh anak-anak perempuan adalah
kekhawatiran diperkosa atau berzina, maka lebih jauh ayat ini memerintahkan semua anggota

3
Moenawar Chalil, “Kembali Kepada Al-Quran dan As-Sunnah”, (Bulan Bintang: Jakarta, 1974) h.
180
4
Quraisy Shihab, “Tafsir al-Mishbah”, Jilid 2, (Tangerang: Lentera Hati, 2008), h.407.

3
masyarakat agar menghindari sebab-sebab yang dapat mengantar ke arah itu.5 Ayat ini
menegaskan bahwa: Dan janganlah kamu mendekati zina dengan melakukan hal-hal walau
dalam bentuk mengkhayalkannya sehingga dapat mengantarkanmu terjerumus dalam
keburukan itu; sesungguhnya ia, zina itu adalah suatu perbuatan yang amat keji yang
melampaui batas dalam ukuran apa pun dan suatu jalan yang buruk dalam menyalurkan
kebutuhan biologis.

2. Q.S. An-Nur: 4
َ َ ٗ َ ۡ َ َ َٰ َ َ ۡ ُ ُ ۡ َ َ ٓ َ َ ُ َ َ ۡ َ ْ ُ ۡ َ ۡ َ َ ُ َ َ ۡ ُ ۡ َ ُ َۡ َ َ َ
‫ت ثم لم يأتوا بِأربعةِ شهداء فٱجلِدوهم ثمنِين جلدة ولا‬ َٰ
ِ ‫وٱل ِذين يرمون ٱلمحصن‬

َ ُ َٰ َ ۡ ُ ُ َ َٓ ْ ُ َ ٗ َ َ ً َ َٰ َ َ ۡ ُ َ ْ ُ َ ۡ َ
٤ ‫سقون‬
ِ ‫لئِك هم ٱلف‬ َٰ ‫تقبلوا لهم شهدة أبداۚ وأو‬

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan
mereka Itulah orang-orang yang fasik.”

Ayat di atas menjelaskan tentang larangan Qazaf (menuduh berzina). Kata yarmuun pada
mulanya berarti melempar, tetapi yang dimaksud disini adalah makna majazi, yakni menuduh.
Ayat ini tidak menjelaskan tuduhan apa yang dimaksud, tetapi dari konteksnya dipahami bahwa
ia adalah tuduhan berzina. Memang tuduhan seperti ini seringkali dilontarkan orang-orang arab
jahiliyah bila melihat hubungan akrab antara pria dan wanita. Ulama-ulama berbeda pendapat
tentang cakupan pengecualian pada ayat diatas. Seperti terbaca ada tiga sanksi yang dijatuhkan
pada pencemar nama baik, yaitu 1) dicambuk delapan kali, b) ditolak kesaksiannya sepanjang
masa, 3) dinilai sebagai orang yang fasik. Mayoritas ulama memahami pengecualian itu
menyangkut ketiganya, hanya saja karena ayat ini menyatakan sesudah itu dan dimaksud
sesudah pencambukan, maka pengecualian itu hanya mencabut sanksi 2) dan 3).6

5
Quraisy Shihab, Op. Cit., Jilid VII, h. 465.
6
Shihab, Op. Cit., jilid 9, h. 289.

4
3. Q.S. Al-Baqarah: 219
ۡ ََُُٓۡ َ ٞ ‫م َكب‬ٞ ۡ‫سر قُ ۡل فِيه َما ٓ إث‬ ۡ ‫ك َعن ٱلۡ َخ ۡمر َوٱل ۡ َم‬
َ َ ُ َۡ
ُ َ ِ ‫ير َو َم َنَٰفِ ُع ل ِلن‬
‫اس ِإَوثمهما أكبر مِن‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ي‬ ِ ِ ‫۞يسلون‬

ُ َ َ َ َٰ َ ُ ُ َ ُ َ ُ َ ُ َ َٰ َ َ َ ۡ َ ۡ ُ َ ُ ُ َ َ َ َ ُ ۡ َ َ َ ۡ َ
ۡ‫كم‬ ‫ت لعل‬ِ ‫نفعِ ِهماۗ ويسلونك مااا ينفِقونى ق ِل ٱلعفو ۗ كذل ِك يبيِن ٱلل لكم ٱٓأۡلي‬

َ َُ َََ
٣١٣ ‫تتفكرون‬

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat
dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang
lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu
berfikir.”

Yang disebut khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, apapun bahan mentahnya.
Minuman yang berpotensi memabukkan bila diminum dengan kadar normal oleh seorang
normal, maka minuman itu adalah khamr sehingga haram meminumnya. Adapun maysir adalah
judi. Ia terambil dari akar kata yang berarti gampang. Dikatakan demikian karena harta hasil
perjudian diperoleh dengan cara yang gampang, tanpa usaha, kecuali menggunakan undian
dibarengi oleh faktor untung-untungan. Jawaban yang mengatakan dosanya lebih besar dari
manfaatnya menunjukkan bahwa ia seharusnya dihindari, karena sesuatu yang keburukannya
lebih banyak daripada kebaikannya, adalah sesuatu yang tercela, bahkan haram.7

4. Q.S. al-Maidah: 45
ُُۡ َ ُُۡ َ َۡ َ َۡ َ َۡۡ َ َۡۡ َ َۡ َ َۡ َ َ ٓ َ ۡ َۡ َ ََۡ ََ
‫نف وٱلأان ب ِٱلأا ِن‬
ِ ‫وكتبنا علي ِهم فِيها أن ٱلنفس ب ِٱلنف ِس وٱلعين ب ِٱلعي ِن وٱلأنف ب ِٱلأ‬
َٓ ُ ۡ َ َۡ ََ َُ َٞ ََ ََُ َ َ َ َ ٞ َ َ ُ ُ ۡ َ َ َ
‫اص ف َمن ت َصدق بِهِۦ فهو كفارة له ۚۥ ومن لم يحكم بِما‬
ۚ ‫ِص‬ ‫ق‬ ‫وح‬ ‫ر‬ ‫ج‬ ‫ل‬ ‫ٱ‬‫و‬ ‫ن‬
ِ ‫لس‬
ِ ‫ٱ‬ِ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫لس‬
ِ ‫وٱ‬

َ ُ َٰ َ ُ ُ َ َٓ ْ ُ َ ُ َ َ َ َ
٤٤ ‫لئِك هم ٱلظلِمون‬
َٰ ‫أنزل ٱلل فأو‬

7
Shihab, Op. Cit., jilid 1, h. 469.

5
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi
dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak
qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim”
Pembunuhan salah satu tindak pidana menghilangkan nyawa seseorang dan termasuk
dosa besar. Dalam fiqh, tindak pidana pembunuhan disebut juga dengan al-jinayah ‘ala an-
Nafs al-Insaniyyah.8 Qisas dalam hukum berarti “sebanding”. Maka apakah dapat diqisaskan
“mata yang kanan” karena merusak” mata yang kiri”? demikian juga anggota-anggota yang
lain? Dalam masalah ini juga telah terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan, bahwa
hukum qisas itu hanya dengan sebanding, maka oleh sebab itu tidak dapat diqisaskan mata
yang baik dengan mata yang kabur. Demikian juga apakah mesti “sebanding” dalam hal
melakukan hukum qisas dalam kejahatan, seperi haruskah seseorang dibakar karena ia
membunuh orang lain dengan cara membakarnya? Menurut keterangna ibnu munzir,
kebanyakan ulama memerhatikan kepada umum ayat. Umar ibn Khattab berkata, “hendaklah
qisas itu dengan hukuman yang setimpal.” Syafii berkata, “seseorang dipenggal lehernya,
karena dia memenggal leher orang lain, dicekik karena mencekik”.9

5. Q.S. Al-Maidah: 38
ٌ ‫لل َعز‬
ٞ‫يز َحكِيم‬ َ َ َ َ َ َ َۢ َ ٓ َ َ َ ُ َ ۡ َ ْ ٓ ُ َ ۡ َ ُ َ َ َ ُ َ َ
ُ َ ‫ك َٰ ٗلا م َِن ٱ َللِ َوٱ‬
ِ ۗ ‫وٱلسارِق وٱلسارِقة فٱقطعوا أي ِديهما جزاء بِما كسبا ن‬

٩٣

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

“pencuri laki-laki” dan “pencuri perempuan” yang diterangkan Allah dalam ayat ini
adalah berbeda dengan pernyataan pada hukum-hukum yang lalu.

8
Abdul Aziz Dahlan, “Ensiklopedi Hukum Islam”, (Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 1378
9
Abdul Halim Hasan, “Tafsir al-Ahkam”, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 382.

6
Penafsiran umum mengenai ayat ini adalah Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan,
potonglah pergelangan tangan keduanya sebagai pembalasan duniawi bagi pencurian yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan yang menjadikan ia jera dan orang lain takut melakukan
hal serupa dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana dalam menetapkan
ketentuan-Nya.
Tetapi jika ia menyadari kesalahannya dan menyesalinya lalu bertaubat, maka
barangsiapa bertaubat di antara pencuri-pencuri itu walaupun telah berlalu waktu yang lama
dan memperbaiki diri, antara lain mengembalikan apa yang telah dicurinya atau nilainya
kepada pemiliknya yang sah, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya sehingga dia tidak
akan disiksa di akhirat nanti. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.10
Dengan demikian, pelaku perbuatan jarimah akan mendapat hukuman di dunia sesuai
dengan jenis jarimah dan akan mendapat siksa Allah SWT, diakhirat. Begitu pula dengan
perbuatan yang dilakukan di dunia, (berbuat jarimah) yang telah dibalas dengan hukuman di
dunia, tidak menghilangkan hukuman di akhirat, Hal itu tergantung pada diterima tidaknya
tobat yang bersangkutan oleh Allah SWT.

B. As-Sunnah
Al-sunnah / Hadits merupakan sumber hukum ajaran islam yang ke2, karena hal-hal
yang di ungkapkan dalam Al-qur’an bersifat umum atau memerlukan penjelasan, maka nabi
Muhammad Saw menjelaskan melalui Hadist. Adapun yang dimaksud dengan sunnah adalah
segala sesuatu yang datang dari nabi. Selain al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan atau
taqrir yang bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syarak. Fungsi dari As- sunnah
sendiri adalah untuk menafsirkan menjelaskan ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an yang
hanya menjelaskan dasar-dasar permasalahan sesuatu, maka hadist berfungsi untuk
menjelaskan.

a. Hadits tentang larangan berzina. Hadits nabi saw :

ً ‫هالل بْ ُن أمة‬
ُ ُ‫بن سحماءَ ق َذفَه‬
َ ‫يك‬ َّ ‫لعان كا َن فِي ا ِإلسالَِم‬
َ ‫أن شر‬ ٍ ‫ َّأو ُل‬:‫ملك ر ِضي الله عْنه قال‬
َُ َ َ َ
ِ ‫وعن أنس بن‬

)‫فحد فِي ظَه ِرَك (أخرجه أبو يعلى ورجال ثقات‬


َّ َّ‫ اْلبَ ةَّ نَ ًَ وإال‬:‫الله َعلَ ِةه َو َسلَّ َم‬ ِ
َ ‫فقاَ َل النَّبِ ِي‬, ‫بأمرته‬
َ ‫صلَّي‬
“Dari anas ibn Malik r.a ia berkata : Li’an pertama yang terjadi dalam Islam ialah bahwa
syarik ibn Sahman dituduh oleh Hilal bin Umayyah berzina dengan istrinya. Maka nabi

10
Quraisy Shihab, Op. Cit., Jilid 3, h. 311.

7
berkata kepada Hilal: Ajukanlah saksi apabila tidak ada maka engkau akan kena hukuman
had”. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan perawi yang dipercaya).”

b. Hadits tentang khamar:

(‫الله َعلَ ِةه َو َسلَّ َم قَ َل ُك ُّل ُم ْس ِك ِر َخ ْم ُر َوُك ُل َخ ْم ٍر َحَر ُام( روا مسلم‬ َ ‫َن النَّبِ َّي‬
َ ‫صلَّى‬ َ ‫َو َع ْن ابْ ِن‬
َّ ‫عمر رضةَى الله عنهماَ أ‬

“Dari ibnu umar r.a bahwa nabi saw bersabda: setiap yang memabukkan adalah khamar dan
setiap yang memabukkan adalah haram”. (H.R. Muslim).”

c. Hadits Tentang pencurian:

ُ ‫حبل فتقطَ ُع يد‬ ِ ْ ُ ‫ةض ًَ فتقطَ ُع يد‬


َ َ‫رق يس ِر ُق الْب‬
َ ْ‫ويسر َق ال‬ َ ‫الس‬
َّ ُ‫لعنَالله‬
“Allah mengutuk pencuri telur tetap harus dipotong tangannya dan yang mencuri tali juga
dipotong tangannya”.

d. Hadist tentang memecah belah umat

‫صا ُك ْم أ َْويُ َف ِر َق‬ ٍ ِ ‫ةع علَى رج ٍل و‬ ِ ُ ‫الله َعلَْة ِه َو َسلَّ َم يَ ُق‬


ِ ‫ول‬ ِ
ُ ‫احد يُِر‬
َ ‫يد أَ ْن يَ ُش َّق َع‬ َ ُ َ َ َّ ‫ول َم ْن أتاَ ُكم َوأ َْم ُرُكم َجم‬ َ ‫ت َر ُس‬
ُ ‫َسم ْع‬

ُ‫َجماَ َعتَ ُك ْم فَاقُتُلُو‬


“Saya mendengar Rasulullah saw, bersabda: Barang siapa yang datang kepada kamu
sekalian, sedangkan kamu telah sepakat kepada seorang pemimpin, untuk memecah belah
kelompok kalian maka bunuhlah dia.”11

C. Ijma’
Ijma’ diartikan kesepakatan, (al-itifaq) terhadap sesuatu. Secara terminologi ijma’ adalah
kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW. Terhadap hukum syara’ dalam
suatu masa setelah beliau wafat.12 Kata ‘’dari umat Muhammad SAW”,adalah ijma’ para
mujtahid umat Muhammad, sekaligus mengecualikan kesepakatan para mujtahid yang buka
dari umat Muhammad SAW, misalnya umat Nabi Isa Nabi Musa, dan lainnya. dapat
didefinisikan bahwa ijma’ merupakan :

11
Mustofa Hasan, “Hukum Pidana Islam”, (Pustaka Setia: Bandung, 2013). h. 138
12
Ibid.

8
a. Kesepakatan seluruh mujtahid dari ijma’ Muhammad SAW.
b. Ijma’ dilakukan dalam suatu masa setelah Rasulullah SAW.
c. Ijma’ berkaitan dengan hukum syara’.

ada beberapa macam ijma’,yaitu:


a. Ijma’ qauli atau sharih, yaitu yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan ataupun
tulisan yang mengeluarkan persetujuan atas pendapat mujtahid lain pada zamannya.
b. Ijma’ sukuti yaitu yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara diam,yang diartikan
setuju dengan pendapat para mujtahid lain.
c. Ijma’ sahabat yang dikeluarkan oleh para sahabat.
d. Ijma’ khalifah 4.
e. Ijma’ Abu bakar dan Umar.
f. Ijma’ ulama madinah.
g. Ijma’ kufah dan basrah.
h. Ijma’ itrah (kaum syi’ah).13

Kehujjahan Ijma’ sebagai sumber hukum yang mengikat ditentukan oleh qur’an surah
an-Nisa ayat 59:14
ۡ ُ ۡ َ َٰ َ َ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ ْ ُ َ َ ُ َ ْ ُ َ َ َ َ ْ ُ َ ْ ُ َ َ َ َ ُ َ َٓ
‫يأيها ٱل ِذين َءامن ٓوا أ ِطيعوا ٱلل وأ ِطيعوا ٱلرسول وأو ِِل ٱلأم ِر مِنكمى فإِن تنزعتم ف ِي‬
َٰ
َ ۡ َ َ ُۡ ُ ُ َ َ ُ َ
ُ‫ر َوأ ۡح َسن‬ٞ ‫خر َذَٰل َِك َخ ۡي‬
ِِ ‫نت ۡم تؤم ُِنون ب ِٱللِ َوٱل َي ۡو ِم ٱٓأۡل‬
َ َ
‫ش ۡيءٖ ف ُردوهُ إِلي ٱللِ َوٱلر ُسو ِل إِن ك‬
ً َۡ
٤٣ ‫تأوِيلا‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

13
Ibid.
14
Hanafi, Op. Cit., h. 32.

9
sementara orang yang berpendapat bahwa ijma’ sebagai sumber hukum hanya terdapat
dalam syariat islam. Pendapat ini tidak benar, sebab hukum-hukum positif di negeri-negeri di
dunia ini dasarnya adalah pendapat golongan terbanyak, baik dalam menentukan atau
melaksanakan sesuatu undang-undang. Suatu aturan baru menjadi undang-undang apabila
disetujui oleh kebanyakan anggota badan pembuat undang-undang. Teori-teori hukum yang
disepakati oleh sebagian besar sarjana-sarjana hukum atau sebagian besar hakim-hakim dan
yang mempunyai kekuatan yang mengikat sesudah undang-undang, juga sumbernya adalah
ijma’ yang tidak lengkap, sebagai kebalikan dari ijma’ yang lengkap, yaitu yang disetujui oleh
seluruh anggota dengan aklamasi.
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara beberapa orang hakim, maka hukum positif
memilih pendapat golongan terbanyak. Jadi kalau pemeriksaan suatu perkara dilakukan
olehtiga orang hakim, maka pendirian dua orang hakimlah yang menjadi keputusan. Kalau
pendapat anggota-anggota pengadilan tinggi atau mahkamah tinggi dalam menetapkan suatu
dasar hukum atau dalam penafsiran sesuatu aturan-aturan hukuman, maka pendapat anggota
terbanyak itulah yang dipakai.15
Jadi hukum positif mengakui adanya ijma’, dan memakai ijma’ yang tidak lengkap
sebagai sumber hukum, tafsiran terhadap suatu aturan (ketentuan) dan pelaksanaan suatu
undang-undang, karena ijma’ tersebut mencerminkan pendapat golongan terbanyak.
Adapun contoh lain dari Ijma’ misalnya: Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur’an
sejak pemerintahan abu bakar tetapi ide Umar Bin Khattab, penetapan awal ramadhan dan
syawal berdasarkan ru’yatul hilal, nenek mendapat harta 1/6 dari cucunya.
Ijma’ yang dilakukan umat Muhammad SAW. harus dijadikan sumber hukum dan
hujjah syar’iyah karena umat Muhammad adalah umat yang paling benar, sebagai umatan
wasathan, yaitu umat yang memiliki sikap keseimbangan dalam segala hal. Tujuannya agar
menjadi saksi terhadap seluruh manusia. Salah satu syarat adalah bersikap adil.

D. Qiyas
Qiyas berasal dari kata qasa, yaqisu, qaisan, artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas
diartikan ukuran, timbangan, dan lain-lain searti dengan itu atau pengukuran sesuatu dengan
yang lain, atau penyamaan sesuatu dengan sejenis, misalnya kalimat (ia telah mengukur
sesuatu dengan lainnya atas lainnya).16

15
Hanafi, Op. Cit.
16
Hasan, Op. Cit., h. 147

10
Qiyas diartikan pula dengan at-taqdir wa al-taswiyah, artinya menduga dan
mempersamakan
Adapun arti-arti qiyas lain yaitu :
- Mengeluarkan hukum yang disebutkan pada tidak disebutkan dengan menghimpun
keduanya.
- Qiyas adalah membandingkan yang didiamkan (tidak ada ketentuan hukumnya) pada
yang diterangkan (sudah ada ketentuan hukumnya) pada illat hukum.
- Menetapkan hukum yang diketahui pada yang hukum lain yang diketahui,karena
persekutuan (persamaan) illat hukum.
- Menghasilkan hukum pokok pada cabang karena bersamaan padanya illat hukum disis
mujtahid.
- Menghubungkan perkara yang didiamkan oleh syara’ (tidak ada ketetapan hukumnya)
dengan yang diterangkan (ditetapkan hukumnya) karena illat yang sama pada
keduanya.
- Membawa yang diketahui pada sesuatu lain yang diketahui pula untuk menetapkan
hukum atau melarang keduanya karena ada sesuatu yang sama diantara keduanya,baik
hukum maupun sifatnya.17
Dari beberapa definisi tersebut dapat dikemukakan secara tegas bahwa yang dimaksud
dengan qiyas adalah menetapkan hukum perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan
sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. Akan tetapi Kehujjahan melalui metode analogis
menurut jumhurul ulama’ adalah tidak sah, oleh karena itu dapat diterima sebagai hujjah
syar’iyyah. Artinya perbuatan-perbuatan yang diqiyaskan itu dapat mempunyai kekuatan-
kekuatan hukum asalkan persyaratan kumulatif dari masalah tersebut dipenuhi. Syarat utama
pendekatan analogis atau qiyas adalah adanya persamaan illat hukum. Dengan demikian,
pendekatan analogis akan lebih mengutamakan logika induktif, karena dari kasus khusus
ditarik pada kasus yang sifatnya umum. Dalam qiyas ada proses generalisasi sehingga
memerlukan penalaran yang serius dan proses analisis ke berbagai sudut pandang, mulai
pemaknaan bahasa, pemahaman peristiwa asal, dan sifat-sifat hukum yang dikategorikan
memiliki indikasi yang serupa. Dengan pemikiran tersebut, ulama usulul fiqh mengatakan
bahwa rukun qiyas terdiri atas:
1. Ashl atau pokok, yaitu peristiwa yang sudah ada nashnya dijadikan tempat
menganalogikan.

17
Hasan, Op. Cit., h. 148

11
2. Far’u (cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, yang akan dipersamakan
hukumnya dengan ashl yang disebut maqis dan musyabah (yang dianalogikan dan
diserupakan).
3. Hukum ashl, yaitu hukum syara’ yang telah ditentukan oleh nash.

Qiyas dibagi 2 macam, yaitu al-qiyas al-aqliy dan al-qiyas asy-syari’. Kedua qiyas itu
dapat digunakan untuk beragumentasi. Qiyas ‘aqli banyak digunakan oleh mutakalimin dalam
menyelesaikan berbagai persoalan akidah pada zamannya. Dalam qiyas ‘aqli, illat yang
diperoleh hanya ada satu dan pasti, tidak mungkin diperoleh dari dua illat yang berbeda atau
lebih.18
Qiyas dalam menentukan jarimah dan hukuman19
Mereka yang memperbolehkan pemakaian qiyas untuk semua hukuman syara’,
berselisih pendapatnya tentang pemakaian qiyas dalam soal jarimah dan hukuman.
Bagi mereka yang memperbolehkan, maka alasannya ialah:
1. Nabi saw membenarkan pemakaian qiyas, ketika ia bertanya kepada sahabat mu’az.
“dengan apa engkau memutuskan suatu perkara?” jawabnya, “dengan kitab tuhan”;
kalau tidak saya dapati, maka saya berijtihad dengan fikiran saya. Rasulullah
membenarkan kata-kata mu’az yang mengenai ijtihad, sedang kata-kata ijtihad adalah
mutlak yangtidak ditentukan macamnya, sedang qiyas merupakan salah satu lapangan
hukum tertentu. Oleh karena itu pemakaian qiyas dalam soal-soal jarimah dan hukuman
dapat dibenarkan.
2. Ketika sahabat-sahabat bermusyawarah tentang hukuman had bagi peminum minuman
keras, maka sahabat ali r.a. berkata: jika ia minum, maka mabuklah ia. Jika mabuk,
maka ia mengigau. Jika mengiau, maka ia akan membuat-buat kebohongan (yakni
orang yang menuduh orang lain berbuat zina sedang sebenarnya tuduhan itu tak benar).
Disini sahabat Ali. r.a. mengqiyaskan (mempersamakan) hukuman minum-minuman
keras dengan memperbuat kebohongan (iftira). Terhadap pendapat sahabat Ali r.a. tidak
ada sanggahan dari sahabat-sahabat lain, dan oleh karena itu bisa disebut ijma’.
Bagi mereka yang tidak memperbolehkan pemakaian qiyas dalam soal-soal kepidanaan,
maka alasannya adalah:

18
Hasan, Op. Cit., h. 149
19
Hanafi, Op. Cit., h. 34.

12
1. Hukuman hudud dan kifarat-kifarat sudah ditentukan batas-batasnya, tetapi tidak dapat
diketahui alasan penentuan batas-batas tersebut sedang dasar qiyas adalah pengetahuan
tentang illat (sebab alasan) hukum peristiwa asal. Apa yang tidak dapat diketahui
alasannya, maka qiyas tidak dapat dilakukan terhadapnya.
2. Hukuman hudud adalah suatu tindakan penghukuman, dan pada kifarat-kifarat juga
terdapat sifat hukuman. Qiyas itu sendiri bisa kemasukan salah (keliru), dan
kemungkinan salah artinya syubhat (ketidak tegasan) sedang hukuman-hukuman
(hudud) menjadi hapus disebabkan adanya syubhat, karena kata-kata nabi: “hindarkan
hukuman hudud karena adanya syubhat-syubhat”
3. Syara’ menjatuhkan hukuman potong tangan atas pencuri, tapi tidak menjatuhkannya
atas pengirim surat kepada orang-orang kafir musuh, sedang sebenarnya hukuman
terhadap perbuatan yang kedua tersebut lebih utama.kalau hukumn terhadap perbuatan
lebih berbahaya tidak ada maka hal ini menunjukkan tidak bolehnya pemakaian qiyas.
Alasan-alasan tersebut boleh jadi lebih kuat daripada alasan golongan pertama yang
memperbolehkan pemakaian qiyas, apalagi kalau diingat bahwa penentuan hukuman minum
minuman keras tidak merupakan hasil qiyas, melainkan hasil ijma’ (ijma’ sahabat).
Akan tetapi haruslah kita ketahui bahwa qiyas dalam hukuman mengharuskan adanya
qisas dalam jarimah terlebih dahulu, dan kebolehan memakai qiyas dalam jarimah tidak berarti
membuat aturan-aturan baru atau jarimah jarimah baru melainkan hanya berarti memeprluas
lingkungan berlakunya aturan yang telah ada.

Qiyas dalam acara pidana20


Berbeda dengan persoalan jarimah dan hukuman-hukumannya, maka para fuqaha
memperbolehkan pemakaian qiyas dalam ketentuannya cara-cara pidana, bahkan pemakaian
sumber-sumber hukum yang lain, seperti ‘urf dan mazhab sahabat.
Misalnya sebagian fuqaha memperbolehkan persaksian orang wanita dalam soal-soal
jarimah, karena di-qiyaskan pada persaksian mereka dalam urusan keperdataan.
Tentang penjatuhan hukuman rajam, para fuqaha mengharuskan badan si terhukum
tertanam separuh dalam tanah, dan ini adalah pendapat Ali r.a.
Juga Imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengharuskan adanya bau minuman keras
disamping keterangan saksi-saksi unutk menetapkan adanya jarimah minuman keras. Ini
adalah pendapat Abdullah bin Mas’ud r.a.

20
Hanafi, Op. Cit., h. 36.

13

Anda mungkin juga menyukai