PEMBAHASAN
1
Abdullah al Mushlih dan Shalah Ash Shawi, Ma La Yasa’ut Tajiru Jahluhu, terjemahan
Abu Umar Basyir, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam Darul Haq, Jakarta, 2004, hal. 58.
Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian damai dapat diklasifikasi kepada
beberapa hal sebagai berikut : 2
a Hal yang menyangkut subyek
Tentang subyek atau orang yang melakukan perdamaian harus orang cakap
bertindak menurut hukum. Selain dari itu orang yang melaksanakan perdamaian
harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk
melepaskan haknya atau hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.
b Hal yang menyangkut obyek
Tentang obyek dari perdamaian harus memenuhi ketentuan yakni: pertama,
berbentuk harta, baik berwujud maupun yang tidak berwujud seperti hak milik
intelektual, yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserahterimakan dan
bermanfaat, kedua, dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan
kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhimya dapat pula melahirkan
pertikaian baru terhadap obyek yang sama
c Persoalan yang boleh didamaikan (disulh-kan)
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa hal-hal yang dapat dan boleh didamaikan
hanya dalam bentuk pertikaian harta benda yang dapat dinilai dan sebatas hanya
kepada hak-hak manusia yang dapat diganti. Dengan kata lain, persoalan
perdamaian itu hanya diperbolehkan dalam bidang muamalah saja, sedangkan
hal-hal yang menyangkal hak-hak Allah tidak dapat didamaikan.
d Pelaksana perdamaian
Pelaksana perjanjian damai bisa dilaksanakan dengan dua cara, yakni di luar
sidang pengadilan atau melalui sidang pengadilan. Diluar sidang pengadilan,
penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan baik oleh mereka sendiri (yang
melakukan perdamaian) tanpa melibatkan pihak lain, atau meminta bantuan
orang lain untuk menjadi penengah (wasit), itulah kemudian yang disebut dengan
arbitrase, atau dalam syari’at Islam disebut dengan hakam.
2
Taufiq, Sumber Hukum Ekonomi Syari’ah, Makalah yang disampaikan pada acara
Semiloka Syari’ah, otel Gren Alia, Jakarta, tanggal 20 November 2009, hal. 6-7
2. Tahkim (Arbitrase)
Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan istilah
“tahkim“. Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama“. Secara umum, tahkim
memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini, yakni
pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau
lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang
menyelesaikan disebut dengan “Hakam“.
Menurut Abu al Ainain Fatah Muhammad pengertian tahkim menurut istilah
fiqih adalah sebagai bersandarnya dua (2) orang yang bertikai kepada seseorang yang
mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian para pihak yang
bersengketa. Sedangkan menurut Said Agil Husein al Munawar pengertian “tahkim”
menurut ahli hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan atau
menetapkan hukum diantara manusia dengan ucapan yang mengikat kedua belah
pihak yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan secara umum.
Ruang lingkup arbitrase hanya terkait dengan persoalan yang menyangkut
“huququl ibad” (hak-hak perorangan) secara penuh, yaitu aturan-aturan hukum yang
mengatur hak-hak perorangan yang berkaitan dengan harta bendanya. Umpamanya
kewajiban mengganti rugi atas diri seseorang yang telah merusak harta orang lain,
hak seorang pemegang gadai dalam pemeliharannya, hak-hak yang menyangkut jual
beli, sewa menyewa dan hutang piutang. OIeh karena tujuan dari Arbitrase itu hanya
menyelesaikan sengketa dengan jalan damai, maka sengketa yang bisa diselesaikan
dengan jalan damai itu hanya menurut sifatnya menerima untuk didamaikan yaitu
sengketa yang menyangkut dengan harta benda dan yang sama sifatnya dengan itu
sebagaimana yang telah diuraikan di atas.3
3
Ibid, hal. 10
Tahun 2008 tentang perbankan syariah pada tanggal 16 juli 2008 mendapat perhatian
dari masyarakat pencari keadilan berkaitan dari persoalan ekonomi syariah yang di
cantumkan dalam undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah
adalah berkenaan dengan penyelesaian sengketa Perbankan syariah.Pasal 55 UU
No.21 tahun 2008 menyatakan :4
a. Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama.
b. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ),penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan akad.
c. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah.
Ketentuan pasal 55 ayat ( 1 ) tersebut di atas adalah sejalan dengan pasal 49
huruf I Undang-undang No.3 tahun 2006 yang menyebutkan kewenangan
Pengadilan agama adalah menyelesaikan sengketa ekonomi termasuk
perbankan syariah.Penjelasan pasal 55 ayat ( 2 ) menyatakan : yang di
maksud dengan ‚Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad ‘adanya
upaya sebagai berikut :
1) Musyawarah
2) Mediasi
3) Melalui Badan Arbitrase syariah Nasional ( Basyarnas ) atau Lembaga
arbitrase lain; dan /atau
4) Melalui Pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum. Tahap-tahap
pemeriksaan dalam persidangan
a) Tingkat Pertama
Gugatan/Permohonan
Jawaban/Rekonpensi
Replik/jawaban Rekonpensi
4
Di unduh melaluli web http://ekonomiislam.blogspot.com/2010/01/tinjauan-fatwa-dewan-
syariahnasional. html
Duplik/Replik Rekonpensi
Duplik Rekonpensi
Pembuktian
Kesimpulan
Putusan
Eksekusi (jika tidak ada upaya hokum banding dari yang dikalahkan).
b) Tingkat kedua (Banding)
Memori Banding yang dibuat Pembanding/kuasanya
Kontra Memori Banding yang dibuat Terbanding/kuasanya
Eksekusi (jika tidak ada upaya
hokum Kasasi dari yang
dikalahkan)
c) Tingkat Kasasi
1. Memori Kasasi yang dibuat Pemohon Kasasi/kuasanya
2. Kontra MemoriKasasi yangdibuat Termohon Kasasi/kuasanya.
d. Eksekusi dan PK tidak menunda pelaksanaan eksekusi.
5
Di unduh melalui web http://www.docstoc.com/docs/28833966/Penyelesaian-Sengketa
Ekonomi Syariah Sebuah Kewenangan Baru.
pidana yang terdakwanya anggota TNI dengan pangkat tertentu.
6
Margono Suyud, ADR dan Arbitrase,Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, , Ghalia
Indonesia, Jakarta. 2000
tentang Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993. Juga
diberlakukan Wetbook Van Koophandel (Wv.K) yang diberlakukan berdasarkan Stb
1847 Nomor 23, khususnya dalam Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274
dan 275. Dalam kaitan dengan peraturan ini terdapat juga Hukum Acara yang diatur
dalam Failissements Verordering (Aturan Kepailitan)sebagaimana yang diatur dalam
Stb 1906 Nomor 348, dan juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia dan dijadikan pedoman dalam praktek Peradilan
Indonesia.
2. Sumber Hukum Materiil
Seperti dikemukakan di atas, setelah seluruh tahap pemeriksan selesai lalu
hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili
perkara tersebut. Untuk itu hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah
dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkret
yang ditemukan dalam perkara tersebut. Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui
secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang,
yudisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan. Adapun
bagi lingkungan pengadilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk
dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al
Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah :
a. Peraturan Perundang-Undangan
Banyak sekali aturan hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari
dan memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi
syari’ah.
b. Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
Dewan syari’ah Nasional (DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada tahun
1999. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk
dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syari’ah
c. Aqad Perjanjian (Kontrak)
Menurut Taufiq (2006 : 6-7) dalam mengadili perkara sengketa ekonomi
syari’ah, sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang lain merupakan
pelengkap saja. Oleh karena itu, hakim harus memahami jika suatu aqad perjanjian
itu sudah memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian. Syarat suatu aqad
perjanjian itu sudah memenuhi azas kebebasan berkontrak, azas persamaan dan
kesetaraan, azas keadilan, azas kejujuran jika aqad perjanjian itu mengandung hal-hal
yang dilarang oleh Syariat Islam, seperti mengandung unsur riba dengan segala
bentuknya, ada unsur gharar atau tipu daya, unsur maisir atau spekulatif dan unsur
dhulm atau ketidakadilan.
d. Fiqih dan Ushul Fiqih
Fiqih merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah.
7
Ahmad Dimiyati, Sejarah Lahirnya BAMUI dalam Arbitrase Islam di Indonesia, hal.191