PENDAHULUAN
Pembangunan industri pada sektor usaha bidang pertambangan batubara adalah suatu upaya
pemerintah dalam meningkatkan devisa negara dan bila ditinjau dari segi pola kehidupan
masyarakat sangat berhubungan langsung dengan peningkatan kebutuhan barang dan
jasa,pemakaian sumber-sumber energi,dan sumber daya alam.Penggunaan sumber daya alam
secara besarbesaran tanpa mengabaikan lingkungan dapat mengakibatkan berbagai dampak
negatif yang terasa dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.Pembangunan
berkelanjutan merupakan suatu upaya dan pendekatan dalam pemanfaatan sumber daya alam
yaitu suatu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka.Sebagaimana dikemukakan oleh Hadi (2001)menyatakan bahwa pembangunan
berkelanjutan secara implisit juga mengandung arti untuk memaksimalkan keuntungan
pembangunan dengan tetap menjaga kualitas sumber daya alam.
Pengelolaan lingkungan bagi industri di bidang usaha tambang batubara merupakan hal
terpenting dari suatu kegiatan usaha yang harus dilakukan agar industri tetap berjalan dan
berkelanjutan. Pembangunan industri yang berkelanjutan mencakup tiga aspek yaitu
lingkungan (environment), ekonomi (economy) dan sosial/ kesempatan yang sama bagi
semua orang (equity) yang dikenal sebagai 3E. Aspek lingkungan tidak berdiri sendiri namun
sangat terkait dengan dua aspek lainnya. Dalam kegiatan internal industri, peluang untuk
memadukan aspek lingkungan dan ekonomi sangat besar, tergantung cara mengelola
lingkungan dengan bijak dan menguntungkan. Faktor sosial yang sebagian besar menyangkut
masyarakat sekitar atau di luar industri juga sangat terkait dalam pengelolaan lingkungan.
Kaitan aspek lingkungan dengan ekonomi dan sosial dalam kegiatan industri tambang
batubara merupakan hal pokok dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan
keselamatan masyarakat sekitar. Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dan
meningkatkan kualitas kehidupan, dengan meminimalkan pemakaian sumber daya alam dan
bahan-bahan beracun, memperkecil timbulan limbah dan pencemar selama daur hidup produk
sehingga tidak mengorbankan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya
(Purwanto, 2005).
Menurut Syafrudin (2005) dampak pencemaran terhadap badan air yang dihasilkan dari
limbah industri, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
subtances)
Sistem Manajemen Lingkungan (SML) yang efektif menyediakan kerangka kerja dan proses
yang terorganisir yang mengintegrasikan perencanaan, pelaksanaan, tindakan perbaikan dan
tinjauan pengelolaan. Sistem Manajemen Lingkungan menyediakan detail-detail spesifik dan
instruksi-instruksi yang berhubungan dengan struktur organisasi, personalia, prosedur,
pelatihan dan penelitian yang kesemuanya memainkan peran dalam mengontrol dan
meminimalkan dampak negatif akibat operasional pabrik pada lingkungan (Soetrisnanto,
2005).
Dalam pada itu menurut Hadi (2005) sistem manajemen lingkungan (SML) telah secara luas
diimplementasikan di dunia industri. Meskipun sebagian motivasinya untuk memperoleh
sertifikat dan kemudian menjadi bagian dari promosi, tetapi SML bisa menjadi pendorong
penaatan lingkungan (environmental compliance) di dunia usaha. Pemerintah Daerah dapat
memulainya dengan memahami bagaimana fungsi SML, tantangan yang mereka hadapi dan
mengembangkan komitmen untuk meningkatkan kinerja lingkungan serta mencoba untuk
mengimplementasikan SML dalam bagian kecil dari organisasi mereka.
1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan
PEMBAHASAN
Selain menteri, penerbitan ijin pengusahaan batubara dapat dilakukan oleh gubernur,
bupati / walikota. (Menyesuaikan dengan otonomi daerah).
Kewajiban meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan di dalam negeri, dalam hal
ini adalah kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang
(Belum ada kewajiban untuk membangun fasilitas prepasi batubara/coal preparation
plant).
Kewajiban bagi pengusaha pertambangan untuk melakukan pembangunan daerah
(community development) dan penanganan lingkungan yang terkait dengan
pelaksanaan pertambangan.
Pemberian wewenang kepada pemerintah untuk mengatur jumlah produksi, volume
ekspor, serta harga batubara. Pemberlakukan kewajiban suplai untuk kebutuhan
domestic (Domestic Market Obligation / DMO) dan regulasi harga batubara
(Indonesia Coal Price Reference / ICPR).
Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memprioritaskan BUMN dan
perusahaan dalam negeri untuk melakukan penambangan di Wilayah Pencadangan
Negara (WPN) diterbitkan oleh pemerintah pusat.
Wewenang penyelidikan memasukkan unsur kepolisian dan pejabat publik. Aturan
hukum menjadi lebih keras, dari yang bersifat toleran menjadi lebih tegas, serta
memungkinkan hukuman pidana bagi badan hukum.
Pasal 76UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU
Minerba”) menyatakan bahwa IUPK terdiri atas dua tahap:
1. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi
kelayakan;
2. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Selanjutnya diatur bahwa pemegang IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan
pertambangan sebagaimana diatur di atas.
Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) mengatur bahwa IUP diberikan oleh
Menteri, gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Dibagian ini penulis ingin memaparkan secara singkat tentang pengaturan yang dilakukan
negara terhadap tambang-tambang rakyat. Pembahasan akan dibagi atas periode Kolonial
Belanda dengan Periode Republik Indonesia. Gambaran kedua periode tersebut, secara tidak
langsung memberikan gambaran kepada kita tentang perbandingan kedua masa tersebut.
Dalam perbandingan tersebut, terdapat perbedaan dan kesamaan-kesamaan dan jika
menganalisis sampai pada tataran paradigma pengaturan tambang rakyat pada kedua zaman
ini, maka pembahasan tentang hubungan masyarakat adat dengan Negara dalam pengelolaan
SDA yang dipaparkan diatas akan menjadi relevan.
a) Gambaran Singkat Politik Pertambangan Rakyat Masa Kolonial Belanda Seperti yang kita
ketahui, sejak tahun 1709, VOC telah mengadakan transaksi jual beli dengan Sultan
Palembang, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penggalian timah di pulau Bangka (1816),
Pulau Belitung (1851), dan Pulau Singkep (1818). Pertambangan Batubara di Indonesia
pertama kali dilakukan oleh NV Oost Borneo Maatschapij pada tahun 1849 di Pangaron,
Kalimantan Timur.Pada tahun 1818 sebuah perusahaan swasta Belanda melakukan
kegiatannya di Pelereng, yang terletak 10 Km di tenggara Samarinda.Pada tahun 1868-1873,
dilakukan penyelidikan geologi di daerah Sungai Durian, Sumatera Barat dan ditemukan
suatu lapangan Batubara Ombilin yang potensial.Pada tahun 1892, tambang batubara Ombilin
di Sawahlunto mulai beroperasi bersamaan dengan selesainya pembangunan kereta api pada
tahun 1892.Pada tahun 1899 pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan peraturan pokok
pertambangan diatur dalam Indonesische Mijwet tahun 1899 Staatsblad 241. Indonesische
Mijwet tahun 1899 Staatsblad 241 kemudian ditambah dan diubah pada tahun 1910, 1918 dan
1906. Pada masa itu pertambangan-pertambangan besar seperti pertambangan Batubara di
Omblin dan pertambangan timah di Bangka dilakukan oleh negara. Tetapi pihak swasta juga
diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan pertambangan seperti pertambangan nikel di
Sulawesi Tenggara Dalam beberapa kejadian, ditingkatan tertentu pemerintah Kolonial
Belanda mengikutsertakan masyarakat adat dalam proses pertambangan. Pada satu sisi,
pemerintah Kolonial Belanda merupakan penjajah yang ingin mendapatkan keuntungan dari
sumberdaya alam.Tapi disisi lain pemerintah Kolonial Belanda tidak mau mengambil resiko
dengan memasukkan secara paksa para penambang dalam areal masyarakat adat.Terdapat
kasus dimana pemerintah Kolonial Belanda mewajibkan pengusaha pertambangan untuk
mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian dengan masyarakat adat pemilik wilayah adat
tersebut setelah sipengusaha mendapat konsesi pertambangan dari pemerintah colonial
Belanda. Salah satu contoh menarik adalah di Sawahlunto-Sumatera Barat. Wilayah yang
diperjanjikan ini kemudian berkembang menjadi wilayah pertambangan PT. BA-UPO di
Sawahlunto, Sumatera Barat.
Pada tanggal 27 Juli 1896 Emile Leunardus van Rouveroy van Nicuwaal, Asisten Residen
Tanah Datar yang sekaligus sebagai pelaksana tugas notaris keresidenan tersebut dan daerah
Vord Vander Capellen kedatangan tamu. Tamu tersebut terdiri dari seorang pengusaha
warganegara Belanda bernama Pieter Jacobus Scuuring bersama-sama dan Djaar Gelar Sutan
Pamuncak, wakil dari pangulu-pangulu suku di Laras Silungkang dengan didampingi.
Kedua orang berlainan bangsa ini menginginkan perjanjian yang mereka buat didaftarkan di
notaris. Perjanjian tersebut berupa perjanjian antara Masyarakat Adat Kelarasan Silungkang
dengan Pieter Jacobus Scuuring tentang pengusahaan batubara yang terdapat diwilayah
masyarakat adat ini. Pokok perjanjiannya adalah:
1. Masyarakat adat Kelarasan Silungkang bersedia untuk menyerahkan pemanfaatan
batubara miliknya kepada Pieter Jacobus Scuuring dan akan menjaga keamanan usaha
penggalian batubara tersebut.
2. Pieter Jacobus Scuuring akan memberikan 1/10 (sepersepuluh) dari keuntungan yang
didapat dalam mengusahakan pertambangan batubara tersebut kepada penduduk
Kelarasan Silungkang dan akan memberikan sejumlah uang kepada orang-orang yang
terlibat dalam perjanjian ini, dengan anggaran tidak lebih dari F. 4000 (empat ribu
gulden) per tahunnya.
Gambaran singkat tentang Politik Pertambangan Rakyat Masa Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) akan dimulai dengan pembahasan yang legendaris tentang dasar justifikasi
Negara (NKRI) dalam penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan). Dasar
justifikasi tersebut popular dengan sebutan Hak Menguasai Negara (HMN).
Pembahasan tentang hak menguasai negara pada bagian ini sangatlah penting. Hak Mengusai
Negara merupakan dasar legitimasi konstitusional yang memberikan negara kekuatan untuk
mengatur, mengelola dan mengusahakan sumberdaya pertambangan. Perdebatan tentang Hak
Menguasai Negara (HMN) mendapat tempat yang lebar dalam membahas hubungan Negara
dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam (PSDA) di Indonesia termasuk
didalamnya pertambangan. Banyak penulis yang konsernt terhadap hak-hak masyarakat
dalam PSDA, menggugat dan mempertanyakan kembali dasar filosofis, sosiologis dan yuridis
HMN. Gugatan ini timbul karena bias penguasaan yang dilakukan oleh Negara (pemerintah)
terhadap SDA, telah menimbulkan konflik-konflik land tenure dan land use antara
pemerintah dengan masyarakat.
HMN diadopsi dari dua akar konsep yaitu konsep Negara kesejahteraan dan konsep ulayat
yang dikenal dalam hukum adat. Sebagai kritik terhadap konsep Negara hukum klasik yang
dipengaruhi oleh paham liberalisme dan Negara hukum sosialis yang dipengaruhi oleh paham
marxisme .
Dalam konsep Negara kesejahteraan (welfare state) Negara tidak dipandang hanya semata
sebagai alat kekuasaan saja, tetapi Negara juga mempunyai fungsi sebagai alat pelayanan (an
agency of service). Ciri-ciri Negara kesejahteraan ini adalah;
Aturan pertambangan pertama yang diundangkan pada masa adalah UU No. 37 Prp Tahun
1960. Pertambangan rakyat diatur dalam pasal 1 yang menentukan bahwa semua bahan
galian yang diusahakan oleh rakyat secara kecil-kecilan dengan alat-alat sederhana untuk
pencaharian sendiri menurut adat kebiasaan daerah atau diusahakan secara koperasi. Aturan
selanjutnya yaitu Keputusan Wakil Panglima Besar III Koti Operasi Ekonomi No.
Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965 Tentang Peneriban Usaha-Usaha Dibidang
Pertambangan Intan dan Bahan Galian lain Yang Bersamaan Penguasaannya yang diikuti
dengan Kepmen Pertambangan No. 206/M/Pertamb/65 Tentang Pelaksanaan Keputusan
Wakil Panglima Besar III Koti Operasi Ekonomi No. Kpts.20/WPB-KOTOE Tahun 1965
Peneriban Usaha-Usaha Dibidang Pertambangan Intan Dan Bahan Galian lain Yang
Bersamaan Penguasaannya.
Ketiga ketentuan tersebut sangat dipengaruhi oleh politik Berdiri di Kaki Sendiri (berdikari).
Secara tersirat diketahui bahwa keinginan pemerintah untuk menertibkan pertambangan
rakyat adalah untuk mendapatkan sejumlah uang iuran dari penambang-penambang rakyat.
Persandingan bahasa penertiban dan pembinaan tidak memberikan kesejukan terhadap
pertambangan rakyat. Tidak terdapat catatan yang pasti terhadap pembinaan yang dilakukan
oleh pemerintah pada masa itu.
Pada tahun 1967 UU No. 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan
diundangkan. HMN dinyatakan dengan tegas pada pasal 1 UU No. 11 tahun 1967 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Pasal 1 ini menyatakan bahwa semua bahan
galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan
endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional
bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-
besar kemakmuran Rakyat.
UU No. 11 Tahun 1967 dilaksanakan melalui PP No. 32 Tahun 1969. Dalam ketentuan ini
ditentuakn bahwa pertambangan rakyat dapat dilakukan setelah mendapat Surat Keputusan
Izin Pertambangan Rakyat yang dikeluarkan oleh menteri. Dimana Surat Keputusan Izin
Pertambangan Rakyat adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada
Rakyat setempat untuk melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan
luas wilayah yang sangat terbatas.
Dari semua ketentuan tersebut terdapat dapat ditarik catatan penting tentang kebijakan
pemerintah yaitu :
Khalid Muhammad menulis bahwa Stigmatisasi PETI (Pertambangan Tanpa Ijin) juga
diberikan bagi para penambang emas yang rata-rata dilakukan dengan skala kecil dan oleh
masyarakat setempat ataupun pendatang dari daerah sekitar lokasi bahan tambang, yang
tergiur untuk mengadu nasip pada bahan tambang itu. Akhir-akhir ini berbagai perhatian
tertuju pada para penambang emas skala kecil, karena jumlah mereka dari tahun ke tahun
meningkat. Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Pengembangan Teknologi Mineral
(PPTM), saat ini terdapat 77.000 operasi penambangan kecil yang menghasilkan hampir
semua mineral untuk kegiatan industri yang bernilai sekitar US $ 58 juta pertahun.
Rendahnya jumlah penambang skala kecil yang mendapat ijin dari pemerintah lebih
disebabkan oleh persoalan birokrasi yang rumit dan bertele-tele dalam memperoleh ijin
penambangan .
Menghadapi masalah-masalah PETI ini, pada tahun 2000 pemerintah mengeluarkan Inpres RI
No. 3 Tahun 2000 Tentang Koordinasi Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin.
Namun demikian pelaksanaan Inpres ini mendapat reaksi yang keras karena praktek
dilapangan yang tidak sepatutnya. Reaksi keras berdatangan salah satunya dari WALHI dan
JATAM dalam siaran persnya tanggal 8 Juni 2000 .
Dalam Nota Keuangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005
Republik Indonesia pemerintah menyebutkan ;
Dalam nota keuangan diatas, PETI mendapat tempat strategis dimata pemerintah sebagai
salah satu faktor yang menjadi penyebab meningkat atau menurunnya pendapatan negara dari
sektor pertambangan. Dengan kenyataan ini, dalam rencana kerja pemerintah tahun 2006,
PETI menjadi salah satu prioritas yang harus ditangani segera. Penetapan prioritas ini
didasarkan pada pemikiran sebagai berikut;
Persoalan yang masih belum dapat dituntaskan dan menjadi tantangan adalah kasus-kasus
pertambangan tanpa ijin (PETI). Luasnya dimensi ekonomi, hukum dan sosial dari kasus
PETI ini membuat penanganannya harus hati-hati.
Salah satu sasaran pembangunan tahun 2006 adalah berkurangnya PETI dengan kegiatan-
kegiatan Evaluasi, pengawasan, dan penertiban kegiatan rakyat yang berpotensi mencemari
lingkungan khususnya penggunaan bahan merkuri dan sianida dalam usaha pertambangan
emas rakat termasuk pertambangan tanpa ijin (PETI) dan bahan kimia tertentu sebagai bahan
pembantu pada industri kecil.
Sangat menarik melihat salah satu sasaran pembangunan pertambangan pada tahun 1996
tersebut. Dimata pemerintah, PETI yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat menjadi
sebuah masalah yang cukup besar yang menyebabkan menurunnya pendapatan negara. Tentu
pencantuman PETI sebagai salah satu sasaran pembangunan pertambangan akan
menimbulkan dampak yang serius terhadap pertambangan-pertambangan rakyat. Karena
sebagian besar pertambangan rakyat dalam operasinya tidak memiliki ijin resmi dari
pemerintah.
Jika kita melanjutkan penjelajahan, ada gelombang pertanyaan menyentak ketika membaca
naskah akademik RUU Minerba. Para penyusun naskah akademik ini mengkategorikan PETI
yaitu PETI versi baru dan PETI versi lama (tradisional). PETI versi baru dicirikan dengan
adanya penyandang dana (cukong) dan kadang-kadang oknum aparat sebagai backing, serta
operasi dengan modus operandi memperalat kalangan masyarakat bahwa menjadi “korban”
pembangunan, ini, yang didalamnya terlibat masyarakat pendatang, serta dibawah
perlindungan backing ternyata menjadi kekuatan yang dahsyat dalam menumbuhkan PETI
versi baru. PETI ini menimbulkan masyalah yaitu 1) merugikan negara, berupa kehilangan
pendapatan negara dari sektor perpajakan, merusak dan mencemari lingkungan, 3)
melecehkan hukum. Masalah-masalah ini diikuti dengan masalah lain yaitu, kecelakaan
tambang, iklim usaha yang tidak kondusif, praktek percukongan, premanisme dan prostitusi .
Terjadi generalisasi pandangan terhadap kedua jenis PETI (versi lama dan baru). Tidak ada
pembahasan lebih jauh terhadap PETI versi lama (tradisonal) yang sebagian besar adalah
penambang-penambang tradisi seperti yang diungkap pada bagian-bagian awal makalah ini.
Persoalan-persoalan yang timbul dan menghadapkan negara dengan penambang rakyat /
PETI versi lama (tradisonal) yang seringkali tergusur ketika wilayah penambangannya
ditimpa oleh kontrak-kontrak penambangan besar, seperti dilupakan. Sehingga dengan
paradigma seperti ini, maka perlakukan terhadap PETI versi baru dengan versi lama akan
sama.
Dalam tingkatan tertinggi, terdapat upaya untuk mendorong wacana tentang HMN dan
pengakuan negara atas hak ulayat masyarakat adat kearah yang lebih menguntungkan pihak
pertambangan. UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dianggap oleh para pembuat naskah akdemik
ini menjadi sebuah hambatan bagi perkembangan pertambangan khususnya pengaturan Hak
Mengusai Negara yang tidak berarti dimiliki (penjelasan umum angka I), pengakuan hak
ulayat (Pasal 3 UUPA) dan kedudukan sederajat hak atas tanah (Pasal 40) .
Jika dianalisa lebih mendalam, dari pokok-poko pemikiran yang tertuang dalam naskah
akademik RUU Minerba, terdapat upaya terselubung untuk semakin memperkuat kekuasaan
negara atas sumberdaya pertambangan. Terdapat keinginan untuk mendorong hak-hak
pertambangan memiliki posisi yang lebih tinggi dari hak-hak atas tanah, salah satunya hak
ulayat. Akan tetapi logika HMN yang ditawarkan oleh naskah akademi RUU minerba
menjadi inkonsisten dengan tawaran yang dimunculkan pada pasal pengusahaan sumberdaya
mineral dan batubara. Pembahasan ini akan relefan untuk menjawab pertanyaan mengapa
negara bisa melakukan kontrak-kontrak pertambangan yang menjadi ranahnya hukum
private. Tetapi wacana ini justru dijawab dengan mekanisme perinjinan .
Kampanye intensif tentang perusakan lingkungan yang dilakukan oleh tambang rakyat,
meskipun mengandung beberapa kebenaran, sebaliknya kesan yang kuat muncul
menunjukkan kurangnya perhatian dan orientasi pembinaan terhadap mereka. Jika keseriusan
pembinaan terhadap pertambangan rakyat ada dan orientasi pengembangan pertambangan
membuka kesempatan yang luas dan setara terhadap penambangan rakyat, maka kita dapat
belajar dari pengalaman negara-negara lain seperti Bolivia dalam memperlakukan tambang
emas rakyat. Untuk memperbaiki kualitas lingkungan pada pertambangan emas rakyat skala
kecil, pemerintah Bolivia mengadakan perjanjian dengan pemerintah Swiss untuk
menjalankan Program Manajemen Lingkungan Hidup Terpadu Pada Usaha Pertambangan
Skala Kecil (MEDMIN). Program ini dilaksanakan oleh Dirjen Lingkungan Hidup, Politik
dan Norma Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Berkesinambungan Bolivia.
Medmin mengambangkan beberapa metode dalam pengolahan emas dalam pengurangan
emisi mercury dan telah berhasil menurunkan emisi mercury tersebut sebanyak 5 ton per
tahun .
Setelah menjelajah jauh kedalam satu bilik sejarah pertambangan rakyat, terdapat beberapa
catatan penting yang semestinya dapat menjadi pelita yang akan menerangi jalan bagi
pencarian-pencarian upaya terbaik untuk mendudukkan sumberdaya pertambangan
khususnya mineral dan batubara.
Berangkat dari paparan-paparan diatas dan beberapa catatan penting yang muncul, dapat
ditawarkan beberapa alternatif solusi. Solusi ini akan dibagi atas dua yaitu solusi transisional
dan solusi utama. Solusi transisional adalah solusi untuk menciptakan kondisi yang kondusif
untuk lahirnya solusi utama bagaimana mengatur pertambangan di Indonesia.
v Solusi Transisional
Solusi Utama
Setelah solusi-solusi transisional tersebut dapat dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu,
pada tahap selanjutnya barulah dapat dibangun solusi masalah utama yang akan menyentuh
masalah sesungguhnya dalam pengelolaan SDA termasuk tambang. Alternatif solusi tersebut
diantaranya :
1. Mengubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan) yang semata
berparadigma ekonomi dan menurunkannya dalam rencana pengelolaan sumberda
alam yang komprehensif.
2. Pengakuan normatif terhadap pemilikan masyarakat adat atas sumberdaya alam yang
tersebar dalam berbagai peraturan perundangan, khususnya yang mengatur tentang
hak ulayat segera diturunkan pada ketentuan yang lebih operasional.
3. Membuat peraturan payung pengelolaan sumberdaya alam yang berisi prinsip-prinsip
pengelolaan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
4. Dalam pembuatan peraturan pertambangan perlu diadopsi prinsip Free, Prior,
Informed Consent (FPIC) . Prinsip-prinsip FPIC ini menjadi relevan untuk
mengurangi konflik-konflik yang akan terjadi. FPIC terkait empat unsur mendasar
yakni Free, Prior, Informed dan Consent yang berlaku secara kumulatif. Secara
definitif keempat hal dasar ini dapat diartikan sebagai berikut;
1. Free berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya kesepakatan
hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan bebas masyakarat,
2. Prior artinya sebelum proyek atau kegiatan tertentu diijinkan pemerintah
terlebih dahulu harus mendapat ijin masyarakat,
3. Informed artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek
yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya dan
4. Consent artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri .
Tabel 1 di bawah ini menampilkan data aktual konsumsi energi primer Indonesia tahun 2008
dan prediksi konsumsi energi primer tahun 2025, sedangkan tabel 2 menunjukkan komposisi
pembangkitan listrik dari tahun 2005 sampai 2007. Pada komposisi energi primer terlihat
peningkatan rasio untuk batubara setiap tahunnya, dimana persentase batubara yang hanya
sebesar 18.3% pada tahun 2008, direncanakan meningkat hingga 33% pada tahun 2025.
Rencana ini adalah berdasarkan Peraturan Presiden No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan
Energi Nasional yang menetapkan peranan batubara sebesar 33% pada bauran energi nasional
di tahun 2025. Peraturan ini menunjukkan dengan jelas mengenai kebijakan untuk
mendorong pengusahaan batubara, sebagai upaya untuk mendukung konversi energi minyak
ke batubara. Dalam pembangkitan listrik pun rasio pemakaian batubara juga terus meningkat
setiap tahunnya, dimana realisasi pada tahun 2007 mencatat angka sebesar 63%. Adapun
rasio gas alam pada pembangkitan listrik menurun karena adanya kebijakan peningkatan
ekspor gas.
Cadangan batubara Indonesia dihitung berdasarkan eksplorasi yang terus dilakukan, sehingga
angkanya pun terus membesar seiring dengan ditemukannya lapisan – lapisan baru batubara.
Tabel 3 menampilkan sumber daya batubara Indonesia, sedangkan tabel 4 menunjukkan
sumber daya batubara berdasarkan kualitasnya. Meskipun total sumber daya batubara
Indonesia mencapai 104,7 miliar ton, tapi cadangan yang bisa ditambang hanya sekitar
1/5nya saja, yaitu sebesar 21,1 miliar ton. Jumlah ini dipastikan akan bertambah seiring
dengan eksplorasi yang terus berlangsung. Dilihat dari wilayah, maka hampir seluruh
cadangan batubara Indonesia terdapat di Sumatera (50,06%) dan Kalimantan (49,56%),
sedangkan sebagian kecil terdapat di Jawa, Sulawesi, dan Papua. Batubaranya pun hampir
semuanya berjenis batubara uap, dengan karakteristik kadar abu dan sulfur yang rendah. Dari
cadangan yang ada, diketahui bahwa jumlah untuk tipe bituminus dan sub-bituminus sebesar
kurang lebih 40%, sedangkan sebagian besar sisanya adalah lignit (dalam tabel 4 merujuk ke
sebagian batubara berkualitas sedang dan rendah). Antrasit juga diproduksi meskipun dalam
jumlah yang sangat sedikit. Di Kalimantan bagian tengah juga diketahui terdapat batubara
kokas sehingga pembangunan tambang di sana berlangsung dengan pesat dalam beberapa
tahun belakangan ini.
Sistem operasi produksi batubara Indonesia secara garis besar terbagi menjadi 4 kelompok,
yaitu ① BUMN (PT Bukit Asam/PTBA), ② PKP2B atau Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (Coal Contract of Work/CCoW) yang terbagi menjadi 3 generasi, ③
KP (Kuasa Penambangan), dan ④ KUD. PKP2B adalah kelompok yang lahir dari hasil
kebijakan pemerintah Indonesia dalam mendorong pengusahaan batubara melalui upaya
mengundang investasi asing secara agresif. Tambang – tambang PKP2B memberikan
kontribusi yang besar dalam menggenjot jumlah produksi batubara Indonesia yang meningkat
secara drastis sekarang ini. PTBA memiliki tambang terbuka skala besar di Tanjung Enim,
Sumatera Selatan, serta tambang bawah tanah di Ombilin, Sumatera Barat. Adapun tambang
– tambang berstatus KP umumnya adalah tambang investasi dalam negeri, sedangkan
tambang – tambang KUD biasanya berskala kecil.
Dengan diundangkannya UU No 4 tahun 2009, maka hanya kontrak PKP2B yang masih terus
berlanjut, sedangkan sistem yang lainnya tidak berlaku lagi.
UU Minerba yang baru menetapkan adanya Wilayah Pertambangan (WP), yang didalamnya
terbagi menjadi 3 jenis wilayah pengusahaan mineral & batubara, yaitu Wilayah Usaha
Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), serta Wilayah Usaha
Pertambangan Khusus (WUPK). UU ini juga menetapkan aturan baru berupa Ijin Usaha
Pertambangan (IUP), yang dapat diberikan kepada BUMN, BUMD, perusahaan swasta,
KUD, maupun perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Sebagai upaya
mewujudkan transparansi perijinan, maka sistem tender diberlakukan pada proses pemberian
IUP ini. Ijin pengusahaan terbagi berdasarkan wilayah pertambangannya, yaitu Ijin Usaha
Pertambangan (IUP), Ijin Pertambangan Rakyat (IPR), serta Ijin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK). IUP sendiri terbagi menjadi IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi.
Sebagai peraturan pelaksana dari UU ini, maka pemerintah secara bertahap mengeluarkan
peraturan – peraturan tentang ① Usaha pertambangan mineral dan batubara, ② Wilayah
pertambangan (PP No 22 tahun 2010), ③ Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral
& batubara (PP No 23 tahun 2010), serta ④ Reklamasi lahan pasca tambang.
Statistik jumlah produksi batubara Indonesia ditampilkan pada tabel 5 di bawah. Pada tahun
2009, jumlah produksi mencapai 256 juta ton, yang sebagian besar dihasilkan oleh 10
perusahaan tambang PKP2B generasi 1. Berdasarkan realisasi produksi tahun 2008, tambang
– tambang dengan jumlah produksi melebihi 10 juta ton adalah Adaro (38 juta ton), KPC (36
juta ton), Kideco Jaya Agung (22 juta ton), Berau Coal (13 juta ton), Arutmin (16 juta ton),
serta Indominco Mandiri (11 juta ton). Keseluruhan jumlah produksi dari keenam tambang
tersebut mendekati 60% dari total produksi batubara nasional.
Prediksi dalam jangka panjang untuk jumlah produksi batubara, jumlah kebutuhan domestik
serta ekspor ditampilkan pada tabel 9. Mulai berproduksinya tambang – tambang PKP2B
yang tersisa serta KP akan meningkatkan produksi batubara setiap tahunnya sehingga jumlah
produksi pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 405 juta ton. Volume kebutuhan
domestik pun akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, sehingga
pada tahun 2025 diprediksi sebesar 220 juta ton. Hal ini berarti peningkatan tajam sekitar 4
kali lipat dibandingkan dengan realisasi tahun 2008 yang sebesar 49 juta ton. Meningkatnya
kebutuhan domestik mengakibatkan pertumbuhan untuk ekspor diperkirakan hanya akan
sampai tahun 2015, kemudian menurun hingga angka 185 juta ton pada tahun 2025.
Royalti dan pajak lainnya dari batubara merupakan sumber pendapatan yang penting
bagi negara maupun daerah.
Ekspor batubara menjadi sumber devisa yang penting.
Mendorong terciptanya lapangan kerja di daerah serta kemajuan bagi daerah.
Meskipun demikian, diperlukan kebijakan baru untuk menjamin pengusahaan batubara ini ke
depannya, misalnya penguatan pengawasan tambang terkait berpindahnya mekanisme
pengawasan ke daerah, penanganan masalah lingkungan, serta tindakan tegas terhadap
penambangan tanpa ijin (PETI) yang selalu saja menjadi masalah laten.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
UU Minerba yang baru mengatur kebijakan DMO, yang berarti memprioritaskan pemenuhan
kebutuhan dalam negeri dibandingkan ekspor. Sudah tentu hal ini menjadi perhatian bagi
negara – negara pengimpor batubara Indonesia, termasuk Jepang di dalamnya. Tetapi
pemerintah Indonesia menyatakan bahwa volume ekspor tidak akan mengalami kendala
dalam beberapa waktu ke depan, karena pertumbuhan konsumsi dalam negeri diperkirakan
masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan produksi batubara
nasional. Selain itu, pemerintah juga mencanangkan pengurangan emisi CO2 sebesar 26%
sampai dengan tahun 2030 melalui tindakan seperti pemakaian bio-fuel dan konversi ke
energi panas bumi, meskipun kebijakan konkretnya masih belum jelas. Dengan demikian,
maka topik yang harus diperhatikan bersama adalah jumlah kebutuhan energi dalam negeri
Indonesia dan sumber energi yang memasoknya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.walhi.or.id/id/ruang-media/walhi-di-media/berita-tambang-a-energi/2097-uu-
pertambangan-mineral-dan-batubara-uji-materiil-uu-minerba-molor-walhi-ancam-somasi-
mk.html
http://sanyata.blogspot.com/
MAKALAH
PENGEMBANGAN WILAYAH
OLEH
NO ABSEN : 50
KENDARI
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ kebijakan pemerintah indonesia terhadap
industri tambang dan batubara ” tepat pada waktunya. Dalam penyelesaian makalah ini
kami banyak mengalami kesulitan seperti dalam hal mengumpulkan literatur. ‘ apa yang kita
tanam hari ini akan kita tunai hari esok “, membuat kami termotivasi untuk tetap
bersemangat.
Makalah ini dibuat sebagai salah satu persyaratan untuk penambahan nilai dalam mata
kuliah PENGEMBANGAN WILAYAH. Dalam penyusunan makalah ini kami memperoleh
banyak bantuan moril dan materil dari berbagai pihak dan untuk itu kami mengucapkan
terimakasih,khususnya atas sumbang sarannya.
Sebagai manusia biasa kami menyadari bahwa kami tidak terlepas dari kekurangan,
oleh karena itu kami menantikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah selanjutnya
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….
KATA PENGANTAR………………………………………………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA