Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan penyertaan Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya.
Dalam makalah ini akan membahas tentang penyakit tulang dan otot. Dalam
pembuatan makalah ini, saya menyadari adanya berbagai kekurangan, baik dalam isi materi
maupun penyusunan kalimat. Namun demikian, perbaikan merupakan hal yang berlanjut
sehingga kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini sangat saya harapkan.
Adapun ungkapan terima kasih saya sampaikan kepada para dosen yang telah
membantu saya dalam memahami materi PBL tersebut.

PENDAHULUAN

Latar belakang
Penyakit penyakit yang mengenai sistem muskuloskeletal seringkali menimbulkan banyak
gangguan dalam melakukan kegiatan sehari – hari dan mengenai orang- orang dengan usia
lanjut dengan gejala yang semakin memburuk. Salah satu nya adalah osteoarthritis yang
disebabkan oleh menipisnya tulang rawan pada persendian sehingga tulang yang satu dengan
tulang yang lain saling bertumbukan dan menimbulkan rasa nyeri.

Tujuan

1
Pembuatan makalah ini ditujukan agar mengetahui lebih banyak mengenai penyakit tersebut
maupun cara – cara penanganannya.

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........……………………………………...................................................1
Pendahuluan………………………………………………………………………………...2
Latar Belakang………………………………………………………………………...2
Tujuan………………………………………………………………..…………….....2
Daftar Isi………………………………………………………….…………………..…......3
Pemeriksaan ……………......………………………………..……....................................4
Anamnesis……………………………………………………………………...……4
Fisik………………………………………………….…………………...................6
Laboratorium………………………………………..………………………….......10
Radiologi…………………………………………….…………………………......16
WD (Working Diagnosis)………………………………………..…..…………………....18
DD (Differential Diagnosis)………………………………………….…….......................19
Etilogi………………………………......……………………………..……........................21
Patofisiologi………………………………......…………………………..…………......……
24
Penatalaksanaan…………………………………….……………….……………………...24
Prognosis…………………………………………………………….…………………….....27
Daftar pustaka ……………………………………………………………………………….28

2
I. Pemeriksaan
I.1 Anamnesis
Pada tahap anamesa ditanyakan beberapa pertanyaan berikut pada pasien :
 Rasa nyeri pada sendi atau sakit kepala pada bagian punggung
Nyeri punggung merupakan gangguan sistem muskuloskeletal yang paling sering
ditemukan dan tersebar luas
 Rasa nyeri terasa di garis tengah, di daerah tulang vetebra, atau di luar garis tengah. Jika
rasa nyeri menjalar ke tungkai, tanyakan pula apakah terdapat keluhan patirasa,
kesemutan, atau kelemahan yang menyertainya.
 Nyeri leher juga merupakan keluhan yang sering ditemukan, khususnya sesudah trauma.
 Baik untuk nyeri leher maupun nyeri punggung, waspadai gejala seperti kelemahan,
kehilangan sensasi atau gangguan dalam buang air besar ataupun berkemih.
 Nyeri terlokalisasi atau menyebar luas, akut atau kronis, inflamasi atau noninflamasi.
 Nyeri sendi dapat terlokalisasi, difus, atau sistemik.
Minta pasien untuk menunjukkan bagian yang terasa nyeri. Jika sendinya terlokalisasi
dan hanya melibatkan satu sendi, nyeri tersebut monoartikular. Nyeri yang berasal dari sendi-
sendi kecil pada tangan dan kaki terasa lebih menusuk dan terlokalisasi daripada rasa nyeri
yang timbul dari sendi – sendi besar. Nyeri sendi pangkal paha merupakan keluhan yang
dapat menyesatkan. Meskipun terasa pada lipat paha atau bokong, nyeri sendi pangkal paha
terkadang terasa pada bagian anterior paha atau terasa sebagian pada lutut atau hanya pada

3
lutut. Nyeri sendi yang lebih difus dapat bersifat poliartikular yang melibatkan beberapa
sendi
Nyeri yang berasal dari sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki terasa lebih menusuk dan
terlokalisasi daripada rasa nyeri yang timbul dari sendi – sendi besar. Nyeri sendi pangkal
paha merupakan keluhan yang dapat menyesatkan. Meskipun terasa pada lipat paha atau
bokong, nyeri sendi pangkal paha terkadang terasa pada bagian anterior paha atau terasa
sebagian pada lutut atau hanya pada lutut. Nyeri sendi yang lebih difus dapat bersifat
poliartikular yang melibatkan beberapa sendi.
 Nyeri itu mengenai satu sendi ataukah beberapa sendi.
Jika bersifat poliartikular, bagaimana pola distribusinya? Berpindah – pindah dari sendi
yang satu ke sendi yang lainnya atau selalu menjalar dari satu sendi ke beberapa sendi?
Apakah distribusinya simetris dengan mengenai sendi – sendi yang sama pada kedua sisi
tubuh?
Nyeri sendi dapat nonartikular yang mengenai otot, tulang, dan jaringan di sekitar
sendi seperti tendon, bursa, atau bahkan kulit yang ada di atasnya. Rasa pegal dan nyeri yang
menyeluruh dinamakan mialgia jika terasa dalam otot dan artralgia bila terdapat rasa nyeri
tanpa ada gejala yang menunjukkan artritis.
 Saat terjadinya, kualitas, dan intensitas gejala pada sendi.
Saat terjadinya merupakan informasi yang sangat penting. Apakah rasa nyeri atau
ketidaknyamanan itu timbul cepat dalam waktu beberapa jam atau terjadi secara perlahan
selama beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan? Pernahkan rasa nyeri itu berjalan
lambat atau berfluktuasi dengan periode perbaikan dan perburukan? Berapa lama rasa nyeri
itu berlangsung? Seperti apa nyeri itu terasa di sepanjang hari? Di pagi hari? Menjelang hari?
Jika onsetnya lebih cepat, bagaimana rasa nyeri ini timbul? Apakah terdapat riwayat
cedera akut atau penggunaan yang berlebihan pada gerakan tubuh yang sama secara
berulang? Jika rasa nyeri timbul karena taruma, bagaimana mekanisme terjadinya cedera atau
rangkaian kejadian yang menyebabkan nyeri seni tersebut? Lebih lanjut, apa saja yang
memperbarat atau meringankan rasa nyeri? Bagaimana pengaruh aktivitas fisik, istirahat, dan
pengobatan?
 Nyeri tekan ketika ditekan
 Gejala sistemik seperti menggigil, demam, ruam, anoreksia, penurunan berat badan, dan
kelemahan.
 Rasa kaku,pembengkakan

4
 Kemampuan pasien untuk berjalan, berdiri, bersandar, duduk, sit up,bangkit dari posisi
duduk, menaiki tangga, menjepit, memegang, membalik halaman buku, membuka gegang
pintu atau stopples, dan mngerjakan berbagai perawatan tubuh, seperti menyisir rambut,
menggosok gigi, makan, berpakaian, serta mandi.

Karena sendi yang lain dapat berkaitan dengan sistem organ di luar sistem
muskuloskeletal. Gejala di bagian tubuh yang lain dapat memberi petunjuk penting yang
menunjukan keadaan ini waspadai gejala seperti:
 Keadaan kulit
Ruam seperti kupu kupu (butterfly rash) pada pipi
Ruam bersisik dan kuku yang berlubang-lubang pada psoriasis
Beberapa papula, pustula, atau vesikel dengan dasar lesi yang berwarna merah yang
terdapat pada ekstremitas distal.
Bercak eritematus yang meluas pada awal penyakit urtikaria
Erosi atau skuama pada penis dan papula dengan pembentukan skuama dan krusta
telapak kaki serta telapak tangan
Ruang makulopapular pada rubela
Jari tabuh atau clubbing fingers
 Mata yang merah terasa panas seperti terbakar dan gatal ( konjungtivitis)
 Didahului oleh nyeri tenggorok
 Diare, nyeri abdomen, kram abdomen
 Gejala uretritis
 Perubahan status mental, fasial atau kelemahan lain , kekakuan leher

I.2 Pemeriksaan Fisik

A. Inspeksi
Amati cara berjalan pasien untuk melihat apakah terdapat aliran gerak yang lancar dan
berirama pada saat pasien memasuki ruang periksa. Lutut harus diekstensikan ketika tumit
menyentuh tanah dan difleksikan pada seluruh fase dalam siklus mengayun dan berdiri
( swing and stance ).
Lakukan pemeriksaan untuk mengecek kesejajaran (alignment) dan kontur sendi lutut.
Amati setiap atrofi pada muskukus quadriceps.
Cari tanda hilangnya cekungan normal disekitar patela yang merupakan tanda
pembengkakan pada sendi lutut dan kantong suprapatela. Perhatikan setiap gejala
pembengkakan lainnya pada sendi lutut atau daerah sekitarnya.
B. Palpasi

5
Minta pasien untuk duduk pada tepi meja periksa dengan kedua sendi lutut berada
dalam keadaan fleksi. Dalam posisi ini, semua patokan tulang akan terlihat lebih jelas,
sedangkan otot, tendon, dan ligamentum menjadi lebih rileks sehingga lebih mudah di
palpasi.
Pertama – tama, tinjau kembali patokan tulang yang penting pada sendi lutut. Dengan
menghadap ke arah sendi lutut, letakkan kedua ibu jari tangan anda pada cekungan jaringan
lunak di kedua sisi tendon patela. Pada permukaan medial, gerakan ibu jari tangan ke atas
kemudian ke bawah, dan kenali kondilus medialis femur serta tepi atas plateau medialis tibia.
Telusuri tendon patela di sebelah distal sampai tuberkulum tibia. Tuberkulum adduktor
berada di sebelah posterior kondilus medialis femur.
Di sebelah lateral tendon patela, kenali kondilus lateralis femur dan plateau lateralis
tibia. Epikondilus medialis dan lateralis femur berada di sebelah lateral kondilus pada saat
sendi lutut berada dalam keadaan fleksi. Tentukan lokasi patela.
Lakukan palpasi ligamentum, tepi meniskus, dan bursa sendi lutut dengan
memberikan perhatian yang khusus pada setiap daerah dengan nyeri tekan. Rasa nyeri
merupakan keluhan utama pada permasalahan sendi lutut, dan penentuan lokasi struktur yang
menyebabkan nyeri amat penting untuk menghasilkan evaluasi yang akurat.
Pada kompartemen patelo femoral, lakukan palpasi tendon patela dan minta pasien
mengekstensikan sendi lututnya untuk memastikan apakah tendon tersebut intak.
Saat pasien berbaring terlentang dan sendi lututnya diekstensikan, dorong patela ke arah os
femur yang ada di bawahnya. Minta pasien mengencangkan m.quadriceps ketika patela
bergerak ke distal dalam sulcus troclearis. Periksa apakah ada gerakan meluncur yang lancar (
patellofemoral grindingtest ).
Kini lakukan pemeriksaan untuk menilai kompartemen medial dan lateral artikulasio
tibio femoralis. Fleksikan sendi lutut pasien hingga suduh 90 0. Kaki pasien harus diletakkan
pada meja periksa. Lakuakan palpasi ligamentum kolateral medialis (ALKM) yang terdapat
diantara epicondilus medialis femur dan os femur. Kemudian lakuakan palpasi ligamentum
kolateral lateralis ( lkl) yang mirip tali serta terletak di antara epicondilus lateralis femur dan
kaput fibula.
Lakukan palpasi meniskus medialis dan lateralis disepanjang garis sendil lateral dan
medial. Palpasi meniskus medialis lebih mudah dilakukan jika ostibia berada dalam keadaan
rotasi internal. Perhatikan setiap pembengkakan atau nyeri tekan yang ada.
Perhatikan setiap tonjolan tulang yang tidak terartur di sepanjang tepi sendi. Coba
untuk meraba setiap penebalan atau pembengkakan pada kafum suprapatela dan di sepanjang
6
sisi patela.mulailah 10 cm diatas margo superior patela dan raba jaringan lunak yg ada
diantara ibu jari dan jari-jari tangan anda. Gerakan tangan anda kedistal dengan langkah-
langkah yang progressif seraya mencoba mengenali kafum suprapatela. Lanjutkan palpasi
anda di sepanjang sisi patela. Perhatikan di setiap nyeri tekan atau perabaan yang lebih
hangat nyata dibandingkan pada jaringan disekitarnya.
Periksa ketiga bursa lain untuk menemukan gejala pembengkakan atau perabaan
seperti spons. Lakukan palpasi pada bursa prepatelalis serta bursa anserina di sisi
posteromedial sendi lutut diantara ligamentum kolateral medialis dan tendon otot yang
berinsersi pada plateau medialis libia. Pada permukaan posterior, dengan tungkai dalam
keadaan ekstensi, periksa permukaan media fosa poplitea.
Ketiga tes berikut ini akan membantu untuk mendekteksi cairan di dalam sendi lutut
 Tanda benjolan (untuk efusi ringan). Dengan sendi lutut dalam keadaan ekstensi,
tepatkan tangan kiri tangan anda di atas sendi lutut dan lakukan penekanan pada kafum
suprapatela dengan menggeser atau memerah cairan kebawah. Lakukan pengurutan
kebawah pada permukaan medial sendi lutut dan kemudian lakukan penekanan untuk
memaksa cairan berpindah ke daerah lateral. Keuklah sendi lutut tepat dibelakang margo
lateral patela dengan menggunakan tnagan kanan.
 Balloon sign (untuk efusi yang banyak). Tepatkan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan
anda pada setiap sisi patela,dengan tangan kiri anda, lakukan kompresi kafum
suprapatela pada os femor. Rasakan gerakan cairan yang masuk kedalam rongga
disebelah rongga patela yang berada di bawah ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan
anda.
 Baloting patela. Untuk menilai efusi yang banyak, anda dapat pula menekan kafum
suprapatela dan melakukan ballotte atau gerakan mendorng patela dengan tiba-tiba ke
arah osfemur. Amati aliran balik cairan efusi kedalam kafum suprapatela.

C. Kisaran gerak dan manuver


Gerakan sendi lutut yang utama adalah fleksi, ekstensi,dan rotasi internal serta eksternal.
Minta pasien mengfleksikan dan mengekstensikan sendi lututnya saat dia duduk. Untuk
mengecek rotasi internal dan eksternal, minta pasien untuk memutar kakinya ke medial dan
lateral. Fleksi dan ekstensi sendi lutut dapat pula dinilai dengan meminta pasien untuk
berjongkok dan berdiri- berikan dukungan jika diperlukan untuk menjaga keseimbangan.

Teknik untuk memeriksa sendi lutut.


 Ligamentum kolateral medialis ( LKM)

7
Tes stress abduksi. Dengan pasien berbaring terlentang dan sendi lutut sedikit
difleksikan, gerakan paha ke lateral hingga sudut sekitar 300 pada sisi meja periksa.
Tempatkan satu tangan pada sisi lateral sedikit lutut untuk menstabilakan os femur
sementara tangan yang lain memegang daerah di sekitar sisi medial pergelangan kaki.
Lakukan dorongan ke medial pada sendi lutut sementara pergelangan kaki ditarik ke
lateral untuk membuka sendi lutut tersebut pada sisi medialnya ( stres valgus).
 Ligamentum kolateral lateralis ( LKL)
Tes stress adduksi. Kini dengan paha dan sendi lutut berada dalam posisi yang sama,
gantilah posisi anda agar anda dapat menempatkan satu tangan pada permukaan medial
sendi lutut sementara tangan yang lain berada di sekitar sisi lateral pergelangan kaki.
Lakukan dorongan ke medial pada sendi lutut sementara pergelangan ditarik ke lateral
untuk membuka sendi lutut tersebut pada sisi lateralnya ( stres varus).
 Ligamentum krusiatum anterior ( LKA)
Anterior drawer sign. Sementara pasien berbaring terlentang, sendi pangkal paha
difleksikan dengan sendi lutut difleksikan hingga sudut 900 dan telapak kaki diletakkan
rata pada meja periksa, tangkupkan kedua tangan anda disekitar sendi lutut dengan kedua
ibu jari tangan berada pada sisi medial serta lateral garis sendi dan jari- jari tangan pada
insersi medialis serta lateralis otot hamstring. Tarik os tibia ke depan diperhatikan apakah
tulang tersebut bergeser ke depan (seperti laci meja) dari bawah os femur. Bandingkan
derajat gerakan ke depan itu pada sendi lutut yang lain.
Tes lachman. Tempatkan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dengan sudut 15 0 dan
rotasi eksternal. Pegang bagian distal os femur dengan satu tangan sementara tangan
yang lain memegang bagian proksimal os tibia. Dengan ibu jari tangan yang memegang
tibial berada pada garis sendi, secara bersamaan gerakan os tibia ke depan dan os femur
ke belakang. Nilai derajat penyimpangan ke depan.
 Ligamentum krusiatum posterior(LKP)
Posterior drawer sign. Posisikan pasien dan tempatkan kedua tangan anda dalam posisi
seperti yang dijelaskan pada tes anterior drawer. Dorong os tibia ke posterior dan
perhatikan derajat gerakan ke belakang pada os femur.
 Medialis dan meniscus lateralis
Tes mcmurray. Jika bunyi klik terasa atau terdengar pada garis sendi ketika sendi lutut
difleksikan dan diekstensikan, atau bila terdapat nyeri tekan disepanjang garis sendi
maka lakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi meniscus untuk menemukan
ruptura posterior.
Dengan pasien berbaring terlentang, pegang tumitnya dan fleksikan sendi lututnya.
Tangkupkan tangan anda yang lain pada sendi lutut pasien dengan jari-jari tangan dan ibu
jari berada disepanjang sisi medial dan lateral garis sendi. Pada tumit, lakukan rotasi

8
internal dan eksternal tungkai bawah. Kemudian, dorong pada sisi lateral untuk
memberikan stres valgus disisi medial sendi tersebut. Pada saat yang sama, lakukan
rotasi eksternal tungkai tersebut, dan dengan perlahan ekstensikan tungkai ini.
Lakukan palpasi muskulus gastroknemius dan soleus pada permukaan posterior
tungkai bawah. Tendon dari kedua otot tersebut, yaitu tendon achilles, dapat diraba dari
sekitar sepertiga bawah betis hingga insersinya pada os kalkaneus.
Untuk memeriksa keutuhan tendon achilles, tempatkan pasien dalam posisi berbaring
terlungkup dengan sendi lutut dan pergelangan kaki difleksikan pada sudut 90 0, atau sebagai
alternatif lain, minta pasien berlutut pada kursi. Pijat betisnya dan perhatikan fleksi plantaris
yang terjadi pada sendi pergelangan kaki.

I.3 Pemeriksaan Laboratorium

A. Pemeriksaan Darah Tepi

a. Laju Endap Darah


Nilai Rujukan
Dewasa: Metode Westergen: Pria: <50 tahun: 0-15 mm/jam. Wanita: <50 tahun: 0-20
mm/jam. Pria: >50 tahun: 0-20 mm/jam. Wanita: >50: 0-30 mm/jam. Metode Wintrobe: Pria:
0-9 mm/jam. Wanita: 0-15 mm/jam. Anak: bayi baru lahir: 0-2 mm/jam; 4-14 tahun: 0-10
mm/jam.
Deskripsi
Laju endap darah adalah laju sel darah merah menetap dalam darah yang belum
membeku, dengan satuan milimeter per jam (mm/jam). LED merupakan uji yang tidak
spesifik. Laju dapat meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis,
kerusakan jaringan (nekrosis), reumatoid, penyakit kolagen, malignansi dan kondisi stres
fisiologis (mis., kehamilan). Bagi sebagian ahli hematologi, nilai LED tidak andalkarena ini
bukanlah uji spesifik, dan dipengaruhi oleh faktor fisiologis yang dapat menyebabkan temuan
tidak akurat.
Uji protein C-reaktif (CRP) dipertimbangkan lebih berguna daripada LED karena
kenaikan kadar LED karena kenaikan kadar CRP terjadi lebih cepat selama proses inflamasi
akut, dan lebih cepat juga kembali ke kadar normal daripada LED. Namun, beberapa dokter
masih mengharuskan uji LED bila ingin membuat perhitungan kasar mengenai proses
penyakit, dan bermanfaat untuk mengikuti perjalanan penyakit. Jika kadar LED meningkat,

9
uji laboratorium lain harus dilakukan untuk mengidentifikasi dengan tepat masalah klinis
yang muncul.
Tujuan
Untuk membandingkan temuan uji laboratorium yang lain guna mendiagnosis kondisi
inflamasi
Masalah Klinis
Penurunan kadar: Polisitemia vera, CHF, anemia sel sabit, mononukleosis infeksius,
defisiensi faktor V, artritis degeneratif, angina pektoris. Pengaruh obat: Etambutol, kinin,
salisilat, kortison, prednison. Peningkatan kadar: AR, demam reumatik, MCI akut, kanker,
penyakit Hodgkin, mieloma multipel, limfosarkoma, endokarditis bakterial, gout, hepattis,
sirosis hepatis, penyakit inflamasi panggul akut, sifilis, tuberkulosis, glomerulonefritis, SLE,
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, dan kehamilan. Pengaruh obat : Dextran, metildopa,
metilsergid, penisilamin, prokainamid, teofiln, kontrasepsi oral, vitamin A.
 Kaitkan peningkatan LED akibat masalah klinis dengan obat yang dikonsumsi. LED
merupakan uji yang tidak spesifik, tetapi dapat mengindikasikan terjadinya proses
inflamasi.
 Jawab pertanyaan klien tentang signifikansi peningkatan LED. Jawabannya bisa saja
bahwa uji laboratorium lain biasanya dilakukan bersama degan LED, untuk
membuatdiagnosis yang adekuat mengenai masalah klinis yang muncul.
Prosedur
 Kumpulkan 7 ml darah vena dalam tabung tertutup lembayung. Simpan spesimen dalam
posisi vertikal.
 Bawa segera spesimen darah ke laboratorium. Tabung tidak boleh berada dalam posisi
tegak karena LED dapat meningkat.
 Jika spesimen darah disimpan dalam lemari pendingin, sebelum diuji spesimen harus
dibiarkan hingga kembali ke suhu ruangan.
 Tidak ada pembatasan asupan makanan dan minuman
 Tangguhkan pengobatan yang dapat menyebabkan temuan positif keliru selama 24 jam
sebelum pengujian atas persetujuan pemberi layanan kesehatan.
Faktor yang Mempengaruhi Temuan Laboratorium
 Faktor yang meningkatkan LED-kehamilan (trimester kedua dan ketiga); menstruasi;
obat; keberadaan kolesterol, fibrinogen, dan globulin.
 Faktor yang mengurangi LED: bayi baru lahir (penurunan kadar fibrinogen); obat; gula
darah tinggi; albumin serum dan fosfolipid serum.

b. CRP (Protein C-reaktif)

10
Nilai Rujukan
Dewasa: biasanya tidak ada: Kualitatif: titer > 1:2= positif. Kuantitatif: 20 mg/dl. N
High Sensitivity CRP Dewasa: <0,175 mg/l.
Deskripsi
Protein C-reaktif bersirkulasi dalam darah selama 6 sampai 10 jam setelah proses
inflamasi akut dan destruksi jaringan, dan kadarnya memuncak dalam 48 sampai 72 jam.
CRP merupakan uji nonspesifik untuk alasan diagnostik yang serupa dengan alasan
dilakukannya uji laju endap darah, tetapi keberadaan CRP mendahului peningkatan LED
selama inflamasi dan nekrosis, kemudian segera kembali pada keadaan normalnya. CRP
serum juga dapat ditemukan pada sebagian besar cairan tubuh.
Uji CRP digunakan untuk memantau fase inflamasi akut pada artritis reumatoid (AR)
dan demam reumatik sehingga pengobatan dini dapat dimulai sebelum terjadi kerusakan
jaringan yang progresif. Kadar CRP meningkat selama infeksi bakteri, tetapi tidak pada
infeksi virus.
N High Sensitivity CRP (hs CRP) merupakan uji yang sangat sensitif untuk
mendeteksi risiko penyakit kardiovaskular dan vaskular perifer. Uji ini sering dilakukan
bersamaan dengan skrining kolesterol. Sekitar sepertiga penduduk yang mengalami serangan
jantung, memiliki kadar kolesterol dan tekanan darah normal. Hs CRP yang positif
menunjukkan bahwa klien berisiko tinggi mengalami penyakit arteri koroner . Uji ini dapat
mendeteksi proses inflamasi, yang terjadi akibat pembentukan plak dalam sistem pembuluh
arteri, terutama arteri koroner. Nilai hs CRP positif jauh lebih rendah daripada nilai standar
CRP serum sehingga uji ini menjadi lebih berguna memprediksi penyakit jantung koroner.
Tujuan
 Untuk mengaitkan peningkatan titer CRP dengan proses inflamasi akut.
 Untuk mendeteksi risiko penyakit jantung koroner (hs CRP).
 Untuk membandingkan temuan uji ini dengan temuan uji laboratorium yang lain.
Masalah Klinis
Kadar normal: supresi obat: steroid, salisilat. Peningkatan kadar: AR, demam
reumatik, MCI akut, penyakit vaskular perifer pada otak, ginjal dan ekstremitas, kanker
(payudara dan metastasisnya), penyakit inflamasi usus, penyakit hodgkin, SLE, infeksi
bakterial, masa kehamilan trimester akhir, alat kontrasepsi intrauterus. Pengaruh obat:
kontrasepsi oral.

11
 Kenali bahwa peningkatan kadar CRP serum berhubungan dengan proses inflamasi aktif
dan destruksi (nekrosis) jaringan. Uji CRP merupakan uji yang tidak spesifik, tetapi
kadarnya meningkat selama demam reumatik akut, AR, dan MCI akut.
 Kaji untuk menemukan tanda dan gejala proses inflamasi akut, mis., nyri dan
pembengkakan pada persendian, panas, kemerahan, atau penigkatan suhu tubuh.
 Beri tahu pemberi layanan kesehatan tentang kekambuhan inflamasi akut. Pemberi
layanan kesehatan mungkin akan menyarankan pelaksanaan uji CRP serum atau kadar hs
CRP serum.
 Kaji untuk menemukan tanda dan gejala nyeri dada yang mungkin disebabkan oleh
penyakit jantung koroner.
 Pantau temuan kadar CRP serum. Jika titernya menurun, berarti klien merespons terapi
yang diberikan, dan/atau fase akutnya mereda. Titer CRP dapat dibandingkan dengan
LED. Kadar CRP serum akan meningkat, dan kembali ke kadar normallebih cepat
dibandingkan LED.
 Bandingkan kadar hs CRP serum dengan temuan pemeriksaan kolesterol dan lipoprotein
serum. Peningkatan kadar hs CRP serum dan profil kolesterol serum menunjukkan
bahwa klien berisiko tinggi terkena penyakit arteri koroner.
Prosedur
 Kumpulkan 3 sampai 5 ml darah vena dalam tabung merah. Hindari panas karena CRP
termo-labil.
 Jaga agar klien tetap dalam keadaan puasa selama 8 sampai 12 jam sebelum uji
dilakukan, tetapi minum air tetap boleh dilakukan. Kebijakan di laboratorium tentang
status puasa dapat beragam dan harus dipastikan.
Faktor yang Mempengaruhi Temuan Laboratorium
 Kehamilan (trimester ketiga) dapat meningkatkan kadar CRP.
 Pemakaian alat kontraseptif per oral dan kontraseptif intrauterus dapat meningkatkan
kadar CRP.

B. Pemeriksaan Serologi
a. Analisa cairan sendi
Deskipsi
Cairan sendi atau sinovial adalah suatu ultra filtrate dari plasma yang disertai dengan
sejumlah kecil perotein dengan berat molekul yang lebih besar, misalnya fibrinogen, beta 1 C
globulin serta globulin lain dan perotein hialuronat yang dibentuk dalam membrane sinovial.
Pengambilan cairan ini dilakukan dengna teknik artrosentesis, harus dilakukan dengna hat-
hati dan steril serta di tempat yang benar. Jika setelah dilakukan aspirasi ternyata tak didapati
adanya cairan, doronglah penghisap semprit agar darah dan jaringan yang terhisap dapat

12
dikeluarkan dari jarum. Kita dapat melakukan pemeriksaan untuk Kristal meskipun yang
didapat hanya satu tetes, atau untuk pemeriksaan gram maupun kultur.
Dalam tes ini yang diperiksa ialah volume, viskositas, warna dan kejernihan jika
jernih, tanda tak ada infeksi, bila keruh berarti ada infeksi dan sebagainya.
Tujuan
Melihat adanya inflamasi, infeksi, atau deposit Kristal.
Masalah klinis
Viskositas biasanya rendah bila ada inflamasi atau edema. Viskositas cenderung
sejajar terhadap konsentrasi hialuronat yang seringkali diukur kadar asam uroniknya sebagai
alat penelitian. Pada cairan yang purulen, kekentalan yang timbul dapat disebabkan oleh
banyaknya jumlah leukosit yang ada dalam cariran tesrsebut makin banyak jumlah, makin
kental cairan sinovial itu. Bila cairan jernih berarti tidak ada inflamasi. Hitung leukosit pada
cairan sinovial dengan menggunakan NaCl 0,3%, normal jumlah eukosti sekitar 50mm 3 –
200mm3, untuk reumatoid arthritis biasanya 2.000 – 75.000 bila jumlah lebih dari 60.000
dicurigai adanya infeksi. Penderita AR sindrom reiter dan arthritis skelet Kristal, jumlah
leukosit dapat mencapai lebih dari 100.000 per mm3

b. Antibodi antinuklir (antinuclear antibodies, ANA)


Nilai rujukan
Dewasa : Negatif pada pengenceran 1:20
Deskripsi
Pengujian antibodi antinuklir ini merupakan uji skrining yang dilakukan untuk
mendiagnosis penyakit sendi lainnya. Uji ANA merupakan imunoglobin (IgM, IgG, IgA)
yang bereaksi dengan bagian inti leukosit. Hasil reaksi tersebut membentuk antibodi yang
merupakan lawan dari asam deoksiribonuleat (DNA), asam ribonukleat (RNA), dan
sebagainya. Dua ANA, yaitu anti-DNA dan anti-D-nukleoprotein (anti-DNP), dan
sebagainya, hampir selalu ditemukan pada penderita SLE. Temuan anti-DNA akan
berfluktuasi bergantung pada proses penyakit ini, yang disertai dengan remisi dan
eksaserbasi. Anti-DNA secara normal (95%) dapat ditemukan pada penderita nefritis lupus.
Kadar total ANA juga dapat meningkat pada penyakit skleroderma, artritis reumatoid,
sirosis, leukemia, mononukleosis infeksius, dan malignansi. Untuk mendiagnosa lupus,
temuan pengujian lainnya saat mendiagnosis lupus, temuan pengujian ANA harus
dibandingkan dengan temuan pengujian lupus lainnya.
Tujuan
Untuk membandingkan temuan pengujian ANA dengan temuan pengujian lainnya
saat mendiagnosis SLE atau penyakit kolagen lainnya.

13
Masalah Klinis
Peningkatan - Positif (>1:20) : SLE (penyebab paling sering), sklerosis sistemik
progresif, skleroderma, leukemia, artritis reumattoid, sirosis hati, mononukleosis infeksius,
miasenia gravis, malignansi. Pengaruh obat : antibiotik, antihipertensif, metildopa, anti_TB,
isoniazid, diuretik, kontrasepsi oral dan prokainamid.
Prosedur
 Kumpulkan 3 sampai 5 ml darah vena dalam tabung bertutup merah.
 Bawa segera sampel ke laboratorium.
 Tidak ada pembatasan asupan makanan atau minuman
 Catat obat yang dikonsumsi klien ( untuk hindari hasil positif palsu)
Faktor yang Mempengaruhi Hasil Laboratorium
 Obat tertentu yang menyebabkan temuan positif palsu
 Proses penuaan dapat menyebabkan peningkatan positif titer ANA yang sedikit.

c. Faktor Reumatoid
Nilai rujukan
Dewasa: <1:20 titer; <1:40 penyakit inflamasi kronis; 1:20-1:80 positif untuk keadaan
artritis reumatoid dan penyakit lain; >1:80 positif untuk artritis reumatoid.
Deskripsi
Uji faktor reumatoid (RF) adalah uji skrining yang digunakan untuk mendeteksi
antibodi (IgM, IgG, atau IgA), yang ditemukan di dalam serum klien yang menderita RA. RF
ditemukan pada 53% sampai 94% (rata-rata 76%) klien penderita artritis reumatoid, dan jika
uji ini negatif, uji tersebut harus diulang.
Uji RF dapat ditemukan positif pada berbagai penyakit kolagen. Uji RF tidak boleh
digunakan untuk memantau tahap pengobatan lanjut RA karena temuan uji RF sering didapati
tetap positif, walaupun pemulihan klinis telah tercapai. Selain itu, juga diperlukan waktu kira-
kira 6 bulan untuk peningkatan titer yang signifikan. Untuk mendiagnosis dan mengevaluasi
RA, sering pula dilakukan uji ANA dan uji aglutinasi protein C-reaktif.
Tujuan
 Untuk skrining terhadap antibodi IgM, IgG, atau IgA yang ada dalam tubuh klien, yang
kemungkinan menderita reumatoid artritis.
 Untuk membantu mendiagnosa reumatoid artritis
 Untuk membandingkan hasil uji dalam kaitannya dengan uji laboratorium lainnya, guna
mendiagnosis artritis reumatoid.
Masalah Klinis

14
Peningkatan kadar : Artritis reumatoid, lupus eritematosus, dermatomiositis,
skleroderma, mononukleosis infeksius, tuberkulosis, leukemia, sarkoidosis, sirosis hati,
hepatitis, sifilis, infeksi kronis, lansia.
 Kaitkan peningkatan titer RF dengan masalah klinis. Nilai titer yang lebih besar dari 1:80
cenderung terjadi akibat artritis reumatoid. Nilai titer di antara 1:20 dan 1:80 dapat
berhubungan dengan lupus, skleroderma, atau sirosis hati.
 Pertimbangkan usia klien jika nilai RF ditemukan sedikit meningkat. Memang dapat
terjadi sedikit peningkatan titer pada lansia walaupun lansia tersebut tidak menunjukkan
gejala klinis artritis reumatoid. Kasus artritis reumatoid pada anak, hanya 10% dari anak
yang menunjukkan titer positif.
 Kaji untuk menemukan nyeri pada sendi kecil tangan dan kaki (terutama sendi
interphalangeal proksimal), suatu tanda yang merupakan indikasi reumatoid stadium
awal.
Prosedur
 Kumpulkan 3 sampai 5 ml darah vena dalam tabung tutup merah.
 Tidak terdapat pembatasan asupan makanan atau cairan
Faktor yang Mempengatuhi Temuan Laboratorium
 Hasil uji RF positif sering tetap didapati positif, tanpa memedulikan apakah telah terjadi
pemulihan klinis.
 Hasil uji RF dapat positif pada berbagai masalah klinis (mis., penyakit kolagen, kanker,
sirosis hati).
 Lansia dapat mengalami peningkatan titer RF, tanpa menderita penyakit apa pun.
 Akibat keanekaragaman dalam sensitivitas dan spesifitas uji skrining ini, temuan positif
harus diintepretasikan berdasarkan bukti yang terdapat dalam status klinis klien.

C. Pemeriksaan Radiologi
Ciri khas yang sering terlihat pada gambaran radiogram osteoarthritis adalah
penyempitan ruang sendi. Keadaan ini terjadi karena rawan sendi menyusut. Pada sendi lutut
penyempitan ruang sendi dapat terjadi pada salah satu kompartemen saja. Selain
ditemukannya penyempitan sendi juga bisa terjadi peningkatan densitas tulang di sekitar
sendi. Osteofit (spur) bisa terlihat pada aspek marginal dari sendi. Kadangkala terlihat
perubahan – perubahan kistik dalam berbagai ukuran.
Beratnya perubahan pada sendi yang terlihat secara radiografis dapat tidak
berhubungan dengan gejala-gejala yang ada. Bukti radiologis osteoarthritis dapat ditemukan

15
pada hampir 85% pasien yang berusia diatas 75 tahun, sedangkan pasien yang mengeluh
nyeri dan kaku sendi presentasenya jauh lebih rendah.
Radiogram khusus dapat membantu untuk mengevaluasi osteoarthritis. Radiogram
sendi lutut yang sedang memikul beban tubuh dapat memberi gambaran yang lebih baik
tentang efek penyakit bila dibandingkan dengan gambaran sendi yang tidak sedang memikul
beban tubuh. Osteoarthritis bukan suatu penyakit simetris,sehingga pembuatan gambar
radiogram sendi kontralateral akan dapat membantu.
Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang terkena osteoartritis sudah
cukup memberikan gambaran diagnostik yang lebih canggih.
Gambaran Radiologi :
a. Foto Konvensional Lutut Posisi AP
Pada sebagian besar kasus radiografi pada sendi lutut yang terkena osteoartritis sudah
cukup memberikan gambaran diagnostik. Gambaran radiologi sendi yang menyokong
diagnosis OA adalah:
 Penyempitan celah sendi akibat hilangnya kartilago
 Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral.
 Kista tulang
 Osteofit pada pinggir sendi, sentral, marginal atau periostal.
 Perubahan struktur anatomi sendi akibat hilangnya sebagian besar dari tulang rawan.
 Kemudian diikuti oleh perubahan yang lambat pada tulang yaitu:
 Meningkatnya gambaran taji (spur).
 Adanya tanda destruksi kartilago.
 Meningkatnya sclerosis pada tepi sendi disertai dengan hilangnya garis normal sendi.
 Kecenderungan untuk mengadakan subluksasi.
 Perubahan bentuk osteofit dari taji menjadi lingkaran atau hilangnya bagian penting
dari tulang.

b. Foto Sendi Interfalangeal Proksimal dan Distal


Tampak gambaran Nodus Heberden pada bagian dorsal sendi interfalangeal distal,
sedangkan nodus Bouchard pada bagian proksimal sendi interfalangeal tangan wanita
dengan osteoarthriis primer. Nodus Heberden kadang-kandang tanpa rasa nyeri dan
kekakuan sendi jari-jari tangan. Pada stadium lanjut disertai dengan deviasi jari ke
lateral.

16
c. Foto Vertebra Servikal dan Torakal-Lumbal
Tampak adanya penyempitan ruangan intervertebralis serta adanya osteofit.

d. Densitometri
Bone density scanning atau juga disebut dual energi x-ray absorptiometry (DXA) atau
tulang Densitometry, adalah bentuk yang disempurnakan sinar-x teknologi yang digunakan
untuk mengukur kehilangan massa tulang.DXA adalah standar yang digunakan untuk
mengukur densitas mineral tulang saat ini. DXA yang paling sering digunakan untuk
mendiagnosa osteoporosis, suatu kondisi yang sering menyerang wanita setelah menopause,
tetapi juga dapat ditemukan pada pria.
Osteoporosis melibatkan hilangnya bertahap kalsium, serta perubahan-perubahan
struktural, yang menyebabkan tulang menjadi lebih tipis, lebih rapuh dan lebih mungkin
untuk istirahat. DXA juga efektif dalam pelacakan efek pengobatan untuk osteoporosis dan
kondisi lain yang menyebabkan hilangnya kepadatan tulang. Harus diingat bahwa pada awal
penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal.
Pemeriksaan penginderaan dan radiografi sendi lain:
 Pemeriksaan radiografi sendi lain atau penginderaan magnetik mungkin diperlukan pada
beberapa keadaan tertentu. Bila osteoartritis pada pasien dicurigai berkaitan dengan
penyakit metabolic atau genetic seperti alkaptonuria, oochronosis, displasia epifisis,
hiperparatiroidisme, penyakit Paget atau hemokromatosis (terutama pemeriksaan
radiografi pada tengkorak dan tulang belakang).
 Radiografi sendi lain perlu dipertimbangkan juga pada pasien yang mempunyai keluhan
banyak sendi (osteoartritis generalisata).
 Pasien-pasien yang dicurigai mempunyai penyakit-penyakit yang meskipun jarang tetapi
berat (osteonekrosis, neuropati Charcot,pig-mented sinovitis) perlu pemeriksaan yang
lebih mendalam. Untuk diagnosis pasti penyakit-penyakit tersebut seringkali diperlukan
pemeriksaan lain yang lebih canggih seperti sidikan tulang, penginderaan dengan
resonansi magnetic (MRI), artroskopi dan artrografi.
 Pemeriksaan lebih lanjut (khususnya MRI) dan mielografi mungkin juga diperlukan pada
pasien dengan OA tulang belakang untuk menetapkan sebab-sebab gejala dan keluhan-
keluhan kompres, radikular atau medulla spinalis.

II. Walking Diagnosis

17
Osteoarthritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik,
berjalan progesif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya deteriorasi dan abrasi
rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian.
Factor – factor genetic memainkan peranan pada beberapa bentuk osteoarthritis.
Perkembangan osteoarthritis sendi-sendi interfalang distal tangan dipengaruhi jenis kelamin
dan lebih dominan pada perempuan. Nodus heberdens 10 kali lebih sering ditemukan pada
perempuan dibandingkan laki – laki.
Hormone seks dan factor –faktor hormonal lain juga kelihatannya berkaitan dengan
perkembangan osteoarthritis. Hubungan antara estrogen dengan pembentukan tulang dan
prevalensi osteoarthritis pada perempuan menunjukkan bahwa hormone memainkan peranan
aktif dalam perkembangan dan progresivitas penyakit ini.
Sendi yang paling sering terserang oleh osteoarthritis adlah sendi – sendi yang harus
memikul beban tubuh, antara lain lutut, panggul, vertebra lumbal dan servikal, dan sendi –
sendi pada jari. Gambaran osteoarthritis yang khas adalah lebih seringnya keterlibatan sendi
falang distal dan proksimal, sementara sendi metakarpofalangeal biasanya tidak terserang.
Pada arthritis rematoid, sendi falang proksimal dan sendi metacarpal keduanya terserang,
namun sendi interfalang distal tidak terlibat.
Osteoratritis terutama menyebabkan perubahan – perubahan biomekanika dan
biokimia di dalam sendi; penyakit ini bukan suatu gangguan perdangan. Namun, seringkali
perubahan – perubahan di dalam sendi ini disertai oleh sinovitis, menyebabkan nyeri dan
perasaan tidak nyaman.
Selain dari jenis osteoarthritis yang lazim, ada beberapa varian lain. Osteoarthritis
generalisata primer berbeda dalam hal adanya peningkatan banyaknya dan beratnya sendi-
sendi yang terserang. Osteoarthritis peradang erosive terutama menyerang sendi pada jari –
jari dan berhubungan dengan episode peradangan akut yang menimbulkan deformitas dan
alkilosis. Hyperostosis alkilosis menimbulkan penulangan vertebra. Osteoartrits sekunder
terjadi sebagai konsekuensi dari beberapa penyakit lain seperti arthritis rematoid dan gout.

III. Diferrent Diagnosis

III. 1 Rematoid arthritis


Reaksi autoimun dalam jaringan sinovial yang melakukan proses fagositosis yang
menghasilkan enzim – enzim dalam sendi untuk memecah kolagen sehingga terjadi edema
18
proliferasi membran sinovial dan akhirnya membentuk pannus. Pannus tersebut akan
menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang sehingga akan berakibat
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi

III. 2 Gout
Terdapat empat tahap perjalanan klinis dari penyakit gout yang tidak diobati. Tahap
pertama adalah hiperurisemia asimtomatik. Nilai normal asam urat serum pada laki – laki
adalah 5,1 +- 1,0 mg/dl, dan pada perempuan adalah 4,0+- 1,0 mg/dl. Nilai – nilai ini
meningkat sampai 9-10 mg/dl pada seseorang dengan gout. Dalam tahap ini pasien tidak
menunjukkan gejala – gejala selain peningkatan asam urat serum. Hanya 20% dari pasien
hiperurisemia asimtomatik yang berlanjut menjadi serangan gout akut.
Tahapan kedua adalah arthritis gout akut. Pada tahap ini terjadi awitan mendadak
pembengkakan dan nyeri yang luar biasa, biasanya pada sendi ibu jari kaki dan sendi
metatarsofalangeal. Arthritis bersifat monoartikular dan menunjukkan tanda – tanda
peradangan local. Mungkin terdapat demam dan peningkatan jumlah leukosit. Serangan dapat
dipicu oleh pembedahan, trauma, obat – obatan, alcohol, atau stress emosional. Tahap ini
biasanya mendorong pasien untuk mencari pengobatan segera.sendi – sendi lain dapat
terserang, termasuk sendi jari tangan lutut, mata kaki, pergelangan tangan, dan siku. Serangan
gout akut biasanya pulih tanpa pengobatan, tetapi dapat memakan waktu 10 sampai 14 hari.
Perkembangan dari serangan akut gout umumnya mengikuti serangkaian peristiwa
sebagai berikut. Mula – mula terjadi hipersaturasi dari urat plasma dan cairan tubuh.
Selanjutnya diikuti oleh penimbunan di dalam dan sekeliling sendi – sendi. Mekanisme
terjadinya kristalisasi urat setelah keluar dari serum masih belum jelas dimengerti. Serangan
gout seringkali terjadi sesudah trauma local atau rupture tofi ( timbunan natrium urat), yang
mengakibatkan peningkatan cepat konsentrasi asam urat local. Tubuh mungkin tidak dapat
mengatasi peningkatan ini dengan baik, sehingga terjadi pengendapan asam urat diluar
serum. Kristalisasi dan penimbunan asam urat akan memicu serangan gout. Kristal – Kristal
asam urat memicu respons fagositik oleh leukosit, sehingga leukosit memakan Kristal –
Kristal asam urat dan memicu mekanisme peradangan lainnya. Respons peradangan ini dapat
dipengaruhi lokasi dan banyaknya timbunan Kristal asam urat. Reaksi peradangan dapat
meluas dan bertambah sendiri, akibat dari penambahan timbunan Kristal serum.
Tahap ketiga setelah serangan gout akut, adalah tahap interkritis. Tidak terdapat gejala
– gejala pada masa ini, yang dapat berlangsung dari beberapa bulan sampai tahun.
Kebanyakan orang mengalami serangan gout berulang dalam waktu kurang dari 1 tahun jika
tidak diobati.

19
Tahap keempat adalah tahap gout kronik, dengan timbunan asam urat yang terus
bertambah dalam beberapa tahun jika pengobatan tidak dimulai. Peradangan kronik akibat
Kristal – Kristal asam urat mengakibatkan nyeri, sakit, dan kaku, juga pembesaran dan
penonjolan sendi yang bengkak. Serangan akut arthritis gout dapat terjadi dalam tahap ini.
Tofi terbentuk pada masa gout kronik akibat insolubilitas relative asam urat. Awitan dan
ukuran tofi secara proporsional munkin berkaitan dengan kadar asam urat serum. Bursa
olekranon, tendon Achilles, permukaan ekstensor lengan bawah, bursa infrapatelar, dan heliks
telinga adalah tempat – tempat yang sering dihinggapi tofi. Secara klinis tofi ini mungkin
sulit dibedakan dengan nodul rematik. Pada masa kini tofi jarang terlihat dan akan
menghilang dengan terapi yang tepat.

III. 3 Sistemik Lupus Eritrematosus


Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya
perubahan sistem imun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok
penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang
mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.

IV. Etiologi

Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari suatu proses ketuaan yang tidak
dapat dihindari. Para pakar yang meneliti penyakit ini sekarang berpendapat bahwa OA
ternyata merupakan penyakit gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago dengan
kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas dikelahui. Jejas
mekanis dan kimiawi pada sinovial sendi yang terjadi multifaktorial antara lain karena faktor
umur, stres mekanis atau penggunaan sendi yang berlebihan, defek anatomik, obesitas,
genetik, humoral dan faktor kebudayaan. Jejas mekanis dan kimiawi ini diduga merupakan
faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi
kartilago di dalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi,
kerusakan khondrosit dan nyeri. Osteoartritis ditandai dengan fase hipertrofi kartilago yang
berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari sintesis matriks makromolekul oleh
khondrosit sebagai kompensasi perbaikan (repair). Osieoartritis terjadi sebagai hasil
kombinasi antara degradasi rawan sendi, remodelling tulang dan inflamasi cairan sendi.

20
Beberapa penelitian membuktikan bahwa rawan sendi teryata dapat melakukan
perbaikan sendiri dimana khondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi matriks
baru. Proses perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang
mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel. Faktor ini menginduksi
khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan protein seperti kolagen
serta proteoglikan. Faktor pertumbuhan yang berperanadalah Insulin like Growth Factor
(1GF-I), growth hormon, Transforming Growth Factor b (TGF-b) dan Coloni Stimulating
Factors (CSFs). Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang peranan penling dalam proses
perbaikan rawan sendi. Pada keadaan inflamasi, sel menjadi kurang sensilif terhadap efek
IGF-1.
Faktor pertumbuhan TGF-β mempunyai efek multipel pada matriks kartilago yaitu
merangsang sintesis kolagen dan proteoglikan serta menekan stromelisin, yaitu enzym yang
mendegradasi proteoglikan, meningkatkan produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan melawan
efek inhibisi sintesis PGE2 oleh interleukin-1 (IL-l). Hormon lain yang mempengaruhi
sintesis komponen kartilago adalah testosteron, β-estradiol, Platelet Derivat Growth Factor
(PDGF), ftbroblast growth factor dan kalsitonin.
Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan metabolisme rawan
sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks rawan sendi ini cenderung berakumulasi di
sendi dan menghambat fungsi rawan sendi serta mengawali suatu respons imun yang
menyebabkan inflamasi sendi. Rerata perbandingan antara sintesis dan pemecahan matriks
rawan sendi pada pasien OA kenyataannya lebih rendah dibanding normal yaitu 0.29
dibanding 1.
Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik
dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan trombus
dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia
dan nekrosis jaringan subkhondral tersebut. Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator
kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina
lewat subkhondral yang dikelahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat
menghantarkan rasa sakit. Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya
mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi ,
peregangan tendo atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstra artikuler akibat kerja yang
berlebihan. Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum
dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler
akibat stasis vena intrameduler karena proses remodelling pada trabekula dan subkhondrial.
21
Peran makrofag di dalam cairan sendi juga penting, yaitu apabila dirangsang oleh
jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs, akan memproduksi sitokin
activator plasminogen (PA) yang disebut katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-1, IL-6, TNF α
dan β, dan interferon (IFN) α dan t (Moskowitz, 1990; Pelletier, 1990; Dingle, 1991). Sitokin-
sitokin ini akan merangsang khondrosit melalui reseptor permukaan spesifik untuk
memproduksi CSFs yang sebaliknya akan mempengaruhi monosit dan PA untuk
mendegradasi rawan sendi secara langsung. Pasien OA mempunyai kadar PA yang tinggi
pada cairan sendinya. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi.
Interleukin-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi, yaitu meningkatkan
sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin dan kolagenosa,
menghambat proses sintesis dan perbaikan normal khondrosit. Pada percobaan binatang
ternyata pemberian human recombinant IL-1 a sebesar 0,01 ng dapat menghambat sintesis
glukoaminoglikan sebanyak 50% pada hewan normal. Khondrosit pasien OA mempunyai
reseptor IL-1 2 kali lipat lebih banyak dibanding individu normal dan khondrosit sendiri
dapat memproduksi IL-1 secara lokal.
Faktor pertumbuhan dan sitokin tampaknya mempunyai pengaruh yang berlawanan
selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks
rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan merangsang sintesis, padahal IGF-1 pasien OA
lebih rendah dibandingkan individu normal pada umur yang sama. Percobaan pada kelinci
membuktikan bahwa puncak aktivitas sintesis terjadi setelah 10 hari perangsangan dan
kembali normal setelah 3-4 minggu.

V. Patofisiologi

Gambaran klinis osteoarthritis umumnya berupa nyeri sendi, terutama apabila sendi
bergerak atau menanggung beban. Nyeri tumpul ini berkurang bila pasien beristirahat, dan
bertambah bila sendi digerakkan atau bila memikul beban tubuh. Dapat pula terjadi kekakuan
sendi setelah sendi tersebut tidak digerakkan beberapa lama, tetapi kekakuan ini akan
menghilang setelah sendi digerakkan. Kekakuan pada pagi hari, jika terjadi, biasanya hanya
bertahan selama beberapa menit, bila dibandingkan dengan kekakuan sendi dipagi hari yang
disebabkan arthritis rematoid yang lebih lama. Spasme otot atau tekanan tekanan pada saraf
di daerah sendi yang terganggu adalah sumber nyeri. Gambaran lainnya adalah keterbatasan

22
dalam gerakan (terutama tidak dapat berekstensi penuh), nyeri tekan local, pembesaran tulang
di sekitar sendi, sedikit efusi sendi, dan krepitasi.
Perubahan yang khas terjadi pada tangan. Nodus heberden atau pembesaran tulang
sendi interfalang distal sering dijumpai. Nodus bauchard lebih jarang ditemukan, yaitu
pembesaran tulang sendi interfalangs proksimal.
Perubahan yang khas juga terlihat pada tulang belakang, yang akan menjadi nyeri,
kaku, dan mengalami keterbatasan dalam gerak (ROM). Pertumbuhan tulang yang berlebihan
atau spur dapat mengiritasi radiks yang keluar dari tulang vertebra. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya perubahan neuromuscular, seperti nyeri, kekakuan, dan keterbatasan
gerak. Ada beberapa orang yang mengeluh sakit kepala sebagai akibat langsung dari
osteoarthritis pada tulang belakang bagian leher.

VI. Penatalaksanaan

VI. 1. Non Medika mentosa


 Terapi Fisik dan Rehabilitasi
Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai dan melatih
pasien untuk melindungi sendi yang sakit.
 Penurunan Berat Badan
Berat badan yang berlebihan ternyata merupakan faktor yang akan memperberat
penyakit OA. Oleh karenanya berat badan hams selalu dijaga agar tidak berlebihan. Apabila
berat badan berlebihan, maka harus diusahakan penurunan berat badan, bila mungkin
mendekati berat badan ideal.

2. Medika Mentosa
 Analgesik Oral Non Opiat
Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati sendiri penyakitnya, terutama
dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa sakit. Banyak sekali obat-obatan yang dijual
bebas yang mampu mengurangi rasa sakit. Pada umumnya pasien mengetahui hal ini dari
iklan pada media masa, baik cetak (koran), radio maupun televisi.
 Analgesik Topikal

23
Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan dipasaran dan banyak sekali
yang dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba terapi dengan cara ini, sebelum
memakai obat-obatan peroral lainnya.
 Obat Anti Inflamasi Non Steroid (GAINS).
Apabila dengan cara-cara tersebut di atas tidak berhasil, pada umumnya pasien mulai
datang kedokter. Dalam hal seperti ini kita pikirkan untuk pemberian GAINS, oleh karena
obat gologan ini di samping mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi.
Oleh karena pasien OA kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obat-obatan jenis ini harus
sangat berhati-hati. Jadi pilihlah obat yang efek sampingnya minimal dan dengan cara
pemakaian yang sederhana, di samping itu pengavvasan terhadap kemungkinan timbulnya
efek samping selalu harus dilakukan.
 Chondroprotective Agent.
Yang dimaksud dengan Chondroprotective agent adalah obat-obatan yang dapat
menjaga atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien OA. Sebagian
peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting And Osteoarthritis Drugs
(SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs). Sampai saat ini
yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin
sulfat, glikosarninoglikan, vitamin-C, superoxide desmutase dan sebagaimya.
 Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai kemampuan untuk menghambat kerja enzim MMP
dengan cara menghambatnya. Salah satu contoh adalah doxycycline, sayangnya obat ini
baru dipakai pada hewan dan belum dipakai pada manusia.
 Asam hialuronat disebut juga sebagai viscosupplement oleh karena salah satu manfaat obat
ini adalah dapat memperbaiki viskositas cairan sinovial, obat ini diberikan secara intra-
artikuler. Asam hialuronat temyata memegang peranan penting dalam pembentukan
matriks tulang rawan melalui agregasi dengan proteoglikan. Di samping itu pada binatang
percobaan, asam hialuronat dapat mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat
angiogenesis dan khemotaksis sel-sel inflamasi.
 Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan dalam proses
degradasi tulang rawan, antara lain: hialuronidase, pro-tease, elastase dan cathepsin B1 in
vitro dan juga merangsang sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang
rawan sendi manusia. Dari penelitian Rejholec tahun 1987 pemakaian glikosarninoglikan
selama 5 tahun dapat memberikan perbaikan dalam rasa sakit pada lutut, naik tangga,
kehilangan jam kerja (mangkir), yang secara statistikbermakna. Juga dilaporkan pada

24
pemeriksaan radiologis menunjukkan progresivitas kerusakan tulang rawan yang menurun
dibandingkan dengan kontrol.
 Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan kelompok vertebrata, dan
terutama terdapat pada matriks ekstraselular sekelihng sel. Salah satu jaringan yang
mengandung kondroitin sulfat adalah tulang rawan sendi dan zat ini merupakan bagian
dari proteoglikan. Menurut Hardingham (1998), tulang rawan sendi, terdiri dari 2% sel dan
98% matriks ekstraselular yang terdiri dari kolagen dan proteoglikan. Matriks ini
membentuk satu struktur yang utuh sehingga mampu menerima beban tubuh. Pada
penyakit sendi degeneratif seperti OA terjadi kerusakan tulang rawan sendi dan salah satu
penyebabnya adalah hilangnya atau berkurangnya proteoglikan pada tulang rawan tersebut
Menurut penelitian Uebelhart dkk (1998) pemberian kondroitin sulfat pada kasus OA
mempunyai efek protektif terhadap terjadinya kerusakan tulang rawan sendi. Sedangkan
Ronca dkk (1998) telah mengambil kesimpulan dalam penelitiannya tentang kondroitin
sulfat sebagai berikut: efektivitas kondroitin sulfat pada pasien OA mungkin melalui 3
mekanisme utama, yaitu : 1) anti inflamasi; 2) efek metabolik terhadap sintesis hialuronat
dan proteoglikan; 3) anti-degradatif melalui hambatan enzim proteolitik dan menghambat
efek oksigen reaktif.
 Vitamin C, dalam penelitian temyata dapat menghambat aktivitas enzim lisozim. Pada
pengamatan temyata vitamin C mempunyai manfaat dalam terapi OA. (Fife & Brandt,
1992)
 Superoxide Dismutase, dapat dijumpai pada setiap sel mamalia dan mempunyai
kemampuan untuk menghilangkan superoxide dan hydroxil radicals. Secara in vitro,
radikal superoxide mampu merusak asam hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang
hydrogen peroxyde dapat merusak kondrosit secara langsung. Dalam percobaan klinis
dilaporkan bahwa pemberian superoxide dismutase ini dapat mengurangi keluhan-keluhan
pada pasien OA.
 Steroid intra-artikuler, pada penyakit artritis reumatoid menunjukkan hasil yang baik.
Kejadian inflamasi kadang-kadang dijumpai pada pasien OA, oleh karena itu
kortikosteroid intra artikuler telah dipakpi dan mampu mengurangi rasa sakit, walaupun
hanya oalam waktu yang singkat. Penelitian selanjutnya tidak menunjukkan keuntungan
yang nyata pada pasien OA, sehingga pemakaiannya dalam hal ini masih kontroversial.

VII. Prognosis

25
Semakin lama akan semakin memburuk, tapi rasa nyeri yang ditimbulkan dapat ditangani
oleh pemberian obat – obatan, jika berat maka perlu dilakukan tindakan operasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. BIckley LS. Buku ajar pemeriksaaan fisik dan riwayat kesehatan.Edisi ke 8. Jakarta:
EGC; 2009. Hal 494-7; 521- 7.
2. Kee JL; editor bahasa Indonesia: Ramona P. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan
diagnostik. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2007.h.59-60,407-9,415-6.
3. Soeroso J, Isbagio H, Handono H, Broto R, Pramudiyo R. Osteoartritis. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-4.Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia,2006.h.1205-8.
4. Osteoarthritis. 2009. Diunduh dari
http://www.lenterabiru.com/2009/01/osteoartritis.htm. 28 maret 2010.
5. Lupus Eritematosus Sistemik. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/penyakit/538/Lupus_Eritematosus_Sistemik.html. 28 maret
2010.
6. Price SA, Wilson M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke - 6.
Jakarta:EGC;2006.h.1380-3.

26
7. Tan, H.T. & Rahardja, K., 2002. Obat-obat Penting, Khasiat dan Penggunaannya. PT.

Elek Komputindo, Jakarta, hal. 321 – 337


8.

27

Anda mungkin juga menyukai