Anda di halaman 1dari 32

UJIAN AKHIR SEMESTER I tahap 1

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNDIP

Mata Kuliah : Imunologi Dasar


Pengampu : Prof. dr. Edi Dharmana, M.Sc, PhD, Sp.ParK
Hari/Tanggal : Jumat, 07 April 2017

Nama : dr. Wahyu Hendra Prabowo


NIM : 22010116420017

Soal
1. Jelaskan penyakit asma bronkhiale alergi

Jawaban
A. Definisi Asma
Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan;
penyempitan ini bersifat sementara/reversible.
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea
dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik
secara spontan maupun hasil dari pengobatan.
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis,fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis
yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang
sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan
adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas,
yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri
patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai
dengan perubahan struktur saluran napas.
B. Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alegen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan syaraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila sesorang
menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut
meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada
sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai
macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik, eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan
efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental
dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga
menyebabkan inflamasi saluran nafas.
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15
menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan
respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung
pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam,
bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti
eosinofil, sel T, sel mast dan antigen precenting cell (APC) merupakan sel-sel
kunci fdalam patogenesis asma.
Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan menbuat epitel
saluran napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut, reaksi asma terjadi
melalui reflek syaraf. Ujung syaraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A, dan
Calcitonin Gen-Related Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan
terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi
lendir, dan aktifasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan
parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan
untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut antara lain dengan uji provokasi
beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, dan inhalasi zat nonspesifik.

C. Faktor Resiko Asma


Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.
1. Faktor genetic, seperti : atopi/alergi, hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin,
ras/etnik, obesitas
2. Faktor lingkungan, seperti : alergen dalam rumah, alergen luar rumah
3. Faktor lain, seperti : alergen makanan, alergen obat-obatan tertentu, bahan
yang mengiritasi, ekspresi emosi berlebih, asap rokok bagi perokok aktif
maupun pasif, polusi udara dari luar dan dalam ruangan, exercise-induced
asthma, perubahan cuaca, status ekonomi.

D. Gambaran Klinis Asma


Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak
napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada,
dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada
mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya
pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang
purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa
disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang
terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan
sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala
asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala
terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang,
infeksi saluran napas maupun perubahan cuaca.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada
awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya
tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila
pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya.
Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan
tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan
diagnosis.

E. Klasifikasi asma
Sebenarnya derajat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat
asma persisten dapat berkurang atau bertambah. derajat gejala eksaserbasi
atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat
sebelumnya.
1. Klasifikasi menurut etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etilogi, terutama
dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu sulit dilakukan
antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.
2. Klasifikasi menurut derajat berat asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menetukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan
persisten berat.
3. Klasifikasi menurut kontrol asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya,
istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun
pada asma, hal itu tidak realistis. Maksud kontrol adalah kontrol manifestasi
penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan.
Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk
waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
4. Klasifikasi menurut gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat
serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat
ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru
berguna untuk mengklasifikasikan penyakit menurut berat ringannya.
Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan
asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum
pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi
β-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan
untukmengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat, dan frekuensi pemakaian
obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermitten, persisten ringan,
persisten sedang, dan persisten berat.
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan danobat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya
serangan. Global initiative for asthma (GINA) melakukan pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menetukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma
serangan sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya
pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam
melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap
untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi
dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan
keterbatasan yang ada.
Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa.

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru


Intermitten Bulanan ≤2 kali APE ≥80%
Gejala sebulan VEP1 ≥80% nilai prediksi
<1x/minggu, APE ≥80% nilai terbaik
tanpa gejala di Variabilitas APE <20%
luar serangan
Serangan
singkat
Persisten Mingguan >2 kali APE >80%
ringan Gejala sebulan VEP1 ≥80% nilai prediksi
>1x/minggu, APE ≥80% nilai terbaik
tetapi <1x/hari Variabilitas APE 20-30%
Serangan
dapat
menggangu
aktivitas dan
tidur
Persisten Harian >2 kali APE 60-80%
sedang Gejala setiap sebulan -VEP1 60-80% nilai
hari prediksi APE 60-80%
Serangan nilai terbaik
menggangu -Variabilitas APE >30%
aktivitas dan
tidur
Bronkodilator
setiap hari
Persisten Kontinyu Sering APE ≤60%
berat Gejala terus VEP1 ≤60% nilai prediksi
menerus APE ≤60% nilai terbaik
Sering Variabilitas APE >30%
kambuh
aktivitas fisik
terbatas

Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma


Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan
Dapat berbaring Lebih suka duduk Duduk
membungkuk ke
depan
Bicara Beberapa Kalimat terbatas Kata demi kata
kalimat
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya
terganggu terganggu terganggu
Frekuensi Meningkat meningkat Sering >30
napas kali/menit
Retraksi otot- Umumnya tidak Kadang kala ada ada
otot bantu ada
napas
Mengi Lemah sampai Keras Keras
sedang
Frekuensi nadi <100 100-120 >120
Pulsus Tidak ada Mungkin ada (10- Sering ada (>25
paradoksus (<10mmHg) 25mmHg) mmHg)
APE sesudah >80% 60-80% <60%
bronkodilator
(% prediksi)
PaCO2 <45mmHg <45mmHg <45mmHg
SaCO2 >95% 91-95% <90%
Keterangan: dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus
dipenuhi.

F. Diagnosis Asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik
berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-
anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan
mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh
gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara
dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat
membantu identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten
tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis.
Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah
dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma
menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma diperlukan pengkajian
kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian
cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat
berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat
asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di
dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah.
Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah
menggunakan karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak barang
di kamar tidur. Apakah sesak seperti bau-bauan seperti parfum, spray
pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok, di
rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta
blocker, aspirin, atau steroid.
2. Pemeriksaan klinis
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci
menetukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas,
dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat
ditemukan: napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan
otot napas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi dapat
ditemukan mengi, ekspirasi diperpanjang.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada asma bisa melakukan berbagai
pemeriksaan,seperti :spirometer, peak flow meter/PFM, x-ray toraks,
pemeriksaan IgE, petanda inflamasi, uji hipereaktivitas bronkus/HRB.

G. Diagnosis Banding dan Komplikasi Asma


1. Diagnosis banding asma antara lain : bronkitis kronik, emfisema paru, gagal
jantung kiri akut, emboli paru, penyakit lain yang jarang (seperti stenosis
trakea, karsinoma bronkus, poliartritis nodusa).
2. Komplikasi asma antara lain : pneumothoraks, pneumodiastinum dan
emfisema subkutis, atelektasis, aspergilosis bronkopulmoner alergik, gagal
napas, bronkitis, fraktur iga.

H. Pengobatan Asma
Ada 6 komponen dalam pengobatan asma, yaitu:
a. Penyuluhan kepada pasien
b. Penilaian derajat beratnya asma
c. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan
d. Perencanaan obat-obat jangka panjang
Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala
asma, ada 3 hal yang harus dipertimbangkan
 Obat-obat anti asma
 Pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga
 Pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien.
e. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma)
Tujuan pengobatan serangan asma yaitu:
 Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera
 Mengatasi hipoksemia
 Mengambalikan fungsi paru kearah normal secepat mungkin
 Mencegah terjadinya serangan berikutnya
 Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai cara-
cara mengatasi dan mencegah serangan asma.
f. Berobat secara teratur
Soal
2. Jelaskan mekanisme aktivasi sistem komplemen dan peran sistem ini pada
mekanisme pertahanan tubuh

Jawaban
A. Sistem Komplemen
Sistem komplemen adalah suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks
protein yang satu dengan lainnya sangat berbeda. Ada 9 komponen dasar komplemen
yaitu C1 sampai C9 yang bila diaktifkan, dipecah menjadi bagian-bagian yang besar
dan kecil (C3a, C4a dan sebagainya). Fragmen yang besar dapat berupa enzim
tersendiri dan mengikat serta mengaktifkan molekul lain. Fragmen tersebut dapat juga
berinteraksi dengan inhibitor yang menghentikan reaksi
selanjutnya. Komplemen sangat sensitif terhadap sinyal
kecil, misalnya jumlah bakteri yang sangat sedikit sudah
dapat menimbulkan reaksi beruntun yang biasanya
menimbulkan reaksi lokal.
Unsur pokok sistem komplemen diwujudkan oleh
sekumpulan komponen protein yang terdapat di dalam
serum. Protein-protein ini dapat dibagi menjadi protein
fungsional yang menggambarkan elemen dari berbagai
jalur, dan protein pengatur yang menunjukkan fungsi
pengendalian. Komplemen sebagian besar disintesis di
dalam hepar oleh sel hepatosit, dan juga oleh sel fagosit
mononuklear yang berada dalam sirkulasi darah.
Komplemen C l juga dapat di sintesis oleh sel epitel lain
diluar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh sel fagosit
mononuklear terutama akan disintesis ditempat dan waktu terjadinya aktivasi.
Komponen C3 mempunyai fungsi sangat penting pada aktivasi komplemen, baik
melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Konsentrasi C3 jauh lebih besar
dibandingkan dengan fraksi lainnya, hal ini menempatkan C3 pada kedudukan yang
penting dalam pengukuran kadar komplemen di dalam serum. Penurunan kadar C3 di
dalam serum dapat dianggap menggambarkan
keadaan konsentrasi komplemen yang menurun.
Juga penurunan kadar C3 saja dapat dipakai
sebagai gambaran adanya aktivasi pada sistem
komplemen.
Aktivasi komplemen menghasilkan
sejumlah molekul efektor antara lain
anafilaktoisin, kemotaksin, adherens imun,
opsonin dan membrane attack complex yang
mempunyai efek biologik.

B. Aktivasi Komplemen
a. Aktivasi Komplemen melalui Jalur Klasik
Jalur ini diawali dengan stimulasi dari kompleks antigen-antibodi yang kemudian
mengaktivasi C1q, C1r, C1s, ketiga komponen ini menghasilkan komponen enzimatik
yang menstimulasi C4, C4 menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi
C2, komponen C2 ini kemudian menghasilkan komponen enzimatik dan
menstimulasi C3 Convertase (pusat katalitik sistem komplemen).
(Gambar :Tiga Jenis Jalur Aktivasi Komplemen)

b. Aktivasi Komplemen melalui Jalur Alternatif


Jalur ini diawali oleh stimulasi dari permukaan patogen yang mengandung LPS
(Lipopolisakarida) yang kemudian langsung menstimulasi C3, C3 menghasilkan
komponen enzimatik yang menstimulasi faktor B, faktor B menghasilkan komponen
enzimatik yang menstimulasi fakator D, faktor D kemudian menghasilkan komponen
enzimatik yang akhirnya mensimulasi C3 convertase.
c. Aktivasi Komplemen melalui Jalur Lektin
Jalur ini diawali oleh stimulasi dari kompleks manosa binding protein pada
permukaan patogen yang kemudian menstimulasi MBL, MASP-1, MASP-2. Ketiga
komponen ini kemudian mnghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi C4,
(seperti halnya pada jalur klasik) C4, C4 menghasilkan komponen enzimatik yang
menstimulasiC2, komponen C2 ini kemudian menghasilkan komponen enzimatik dan
menstimulasi C3 convertase (pusat
katalitik sistem komplemen).
Setelah ketiga jalur tersebut mengaktivasi C3 Convertase, C3 convertase ini
kemudian menghasilkan C3a, C5a dan C3b. C3a, C5a kemudian menstimulasi peptida
mediator untuk inflamasi dan menstimulasi rekrutmen sel fagositik. C3b kemudian
berikatan dengan reseptor komplemen pada sel fagositik dan kemudian menstimulasi
opsonisasi dan penghilangan kompleks imun. Selain itu, C3b juga menstimulasi
komponen terminal komplemen yang kemudian terjadi reaksi cascade : menstimulasi
C5b,C6,C7,C8,C9 dan akhirnya membentuk Membran attack complex dan
menyebabkan lisis pada patogen.

C. Reseptor Komplemen
Ada beberapa reseptor spesifik yang berikatan dengan komponen komplemen
dan fragmen pada komplemen. CR1 dan CR3 adalah komponen penting dalam
menginduksi proses fagositosis bakteri. CR2 terutaman ditemukan pada sel B yaitu
kompleks sel B-koreseptor dan menjadi reseptor terhadap virus Epstein-Barr yang
menyebabkan infeksi mononukleusis. CR1 dan CR2 saling membagi struktur
komplemen-regulatory protein yang mengikat C3b dan C4b. CR3 dan CR4 saling
berintegrasi, CR3 untuk proses migrasi dan adesi leukosit, sedangkan CR4 untuk
respon fagositosis. Reseptor C5a dan C3a adalah bagian dari tujuh pasang pada
untaian G protein. FDC sebagai sel folikular dendritik tidak terlibat dalam imunitas
bawaan (innate immunity).
Anafilaksis dan kemotaksis
C3a, C4a dan C5a disebut anafilatoksin oleh karena dapat memacu sel mast dan
sel basofil untuk melepaskan mediator kimia yang dapat meningkatkan permeabilitas
dan kontraksi otot polos vaskular. Reseptor C3a dan C4a terdapat pada permukaan sel
mast, sel basofil, otot polos dan limfosit. Reseptor C5a terdapat pada permukaan sel
mast, basofil, netrofil, monosit, makrofag, dan sel endotelium.
Melekatnya anafilatoksin pada reseptor yang terdapat pada otot polos
menyebabkan kontraksi otot polos tersebut. Untuk mekanisme ini C5a adalah yang
paling poten dan C4a adalah yang paling lemah. C5a juga mempunyai sifat yang tidak
dimiliki oleh C3a dan C4a; oleh
karena C5a juga mempunyai
reseptor yang spesifik pada permukaan sel-sel fagosit maka C5a dapat menarik sel-sel
fagosit tersebut bergerak ke tempat mikroorganisme, benda asing atau jaringan yang
rusak; proses ini disebut kemotaksis. Juga setelah melekat C5a dapat merangsang
metabolisme oksidatif dari sel fagosit tersebut sehingga dapat meningkatkan daya
untuk memusnahkan mikroorganisme atau benda asing tersebut.
Opsonisasi dan peningkatan fungsi fagositosis
Fagositosis yang diperkuat oleh proses opsonisasi C3b dan iC3b yang dibantu oleh IgG
atau IgM mungkin merupakan mekanisme pertahanan utama terhadap infeksi bakteri
dan jamur secara sistemik.
Proses peradangan
Kombinasi dari semua fungsi yang tersebut diatas mengakibatkan terkumpulnya sel-sel
dan serum protein yang diperlukan untuk terjadinya proses dalam rangka
memusnahkan mikroorganisme atau benda asing tersebut.
Pelarutan dan eliminasi kompleks imun
Kompleks imun yang beredar mengaktifkan komplemen dan mengaktifkan fragmen C3b
yang menempel pada antigen. Kompleks tersebut akan berikatan dengan reseptor pada
permukaan eritrosit. Pada waktu sirkulasi eritrosit melewati hati dan limpa, maka sel
fagosit dalam limpa dan hati (sel Kupffer) dapat membersihkan kompleks imun yang
terdapat pada permukaan sel eritrosit tersebut.

D. Regulator
Aktivasi komplemen dikontrol melalui tiga mekanisme utama, yaitu 1) komponen
komplemen yang sudah diaktifkan biasanya ada dalam bentuk yang tidak stabil
sehingga bila tidak berikatan dengan komplemen berikutnya akan rusak, 2) adanya
beberapa inhibitor yang spesifik misalnya C1 esterase inhibitor, faktor I dan faktor H, 3)
pada permukaan membran sel terdapat protein yang dapat merusak fragmen
komplemen yang melekat.
Soal
3. Eritoblastosis foetalis, bagaimana mekanisme terjadinya, dan bagaimana cara
pencegahannya

Jawaban

A. Definisi
Eritroblastosis fetalis adalah suatu sindroma yang ditandai oleh anemia berat
pada janin dikarenakan ibu menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah
janin.Sindroma ini merupakan hasil dari inkompabilitas kelompok darah ibu dan
janinterutama pada sistem rhesus. Sistem Rhesus merupakan suatu sistem yang
sangat kompleks dan masih banyak perdebatan baik mengenai aspek genetika,
nomenklatur maupun interaksi antigeniknya.
Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada
eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak
mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut
dinamakan antigen-D dan merupakan antigen yang berperan penting dalam
transfusi. Tidak seperti pada sistem ABO dimana seseorang yang tidak
mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang berlawanan dalam
plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu oleh
suatu paparanapakah itu dari transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah
Rhesus merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem
golongan darah lainnya. Pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali saja
sebanyak ± 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai golongan
darah Rhesus negatif (D-) sudah dapat menimbulkan anti Rhesus positif (anti-D)
walaupun golongan darah ABOnya sama.
Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut
yang diakibatkan oleh alloimun antibodi (anti-D atau inkomplit IgG antibodi
golongan darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi
maternal isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin dan timbul sebagai
reaksi terhadap antigen eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada
neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal yang merusak eritrosit
janin.

B. Insiden dan Klasifikasi


Secara garis besar, terdapat dua tipe penyakit inkompabilitas yaitu:
inkompabilitas Rhesus dan inkompabilitas ABO. Keduanya mempunyai gejala
yang sama, tetapi penyakit Rh lebih berat karena antibodi anti Rh yang melewati
plasenta lebih menetap bila dibandingkan dengan antibodi anti-A atau anti-B.
Insidens pasien yang mengalami inkompatibilitas Rhesus (yaitu rhesus negatif)
adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam dan jarang pada
bangsa asia. Rhesus negatif pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali adanya
perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus negatif.
1. Inkompatibilitas Rhesus (Rh)
Inkompatibiltas Rh dapat disebabkan oleh isoimmunisasi maternal ke
antigen Rh oleh transfusi darah Rh positif atau isoimmunisasi maternal
dari paparan ke antigen Rh janin pada kehamilan pertama atau kehamilan
yang sekarang. Pada inkompatibilitas Rh, anak pertama lahir sehat
karena ibu belum banyak memiliki benda-banda penangkis terhadap
antigen Rh, asalkan sebelumnya ibu tidak menderita abortus atau
mendapat transfusi darah dari Rh positif. Pasangan suami istri hanya
mempunyai 1 atau 2 anak, sedang anak-anak berikutnya semua
meninggal. Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama
Rhesus positif, risiko terbentuknya antibodi sebesar 8%, sedangkan
insidens timbulnya antibodi pada kehamilan berikutnya sebagai akibat
sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%. Tertundanya
pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh proses
sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respons imun sekunder
yang timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang
lebih 1% dari wanita akan tersensitasi selama kehamilan terutama
trimester ketiga. Kemungkinan terjadinya imunisasi Rh diperkirakan1-2%
dari semua kehamilan namun di Asia frekuensi ini lebih rendah. Untuk
inkompabilitas Rh, predominan seks adalah perempuan.Mayoritas
inkompatibilitas Rh terjadi pada janin dengan Rh-positif dari ibu yang
mempunyai Rh- negatif. Faktor Rh adalah protein, suatu antigen dalam
sel darah merah. Hadirnya faktor Rh membuat sel darah tidak cocok
terhadap sel-sel darah yang tidak mempunyai antigen. Jika seseorang
dengan Rh-positif, berarti dia mempunyai faktor Rh di dalam darahnya.
Jika seseorang dengan Rh-negatif, berarti dia tidak mempunyai faktor Rh
di dalam darahnya. Sekitar 85% orang-orang mempunyai Rh-positif dan
sekitar 15% dengan Rh-negatif. Faktor Rh bermasalah ketika darah
dengan Rh-negatif mengalami kontak dengan darah Rh-positif. Sistem
immun dari orang dengan Rh-negatif mengidentifikasi darah Rh-positif
sebagai penyerang yang berbahaya, suatu antigen, dan dapat
memproduksi antibodi untuk melawan darah tersebut. Antibodi adalah
substansi protein yang dihasilkan oleh tubuh dalam merespon suatu
antigen. Antibodi ini yang mennyebabkan masalah kehamilan.
Gambar 1. Alur terjadinya Eritroblastosis fetalis

2. Inkompabilitas ABO
Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompabilitas ABO, yang
berarti bahwa serum ibu mengandung anti-A atau anti-B sedangkan
eritrosit janin mengandung antigen respective. Inkompabilitas ABO
nantinya akan menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir
dimana terdapat lebih dari 60% dari seluruh kasus. Penyakit ini sering
tidak parah jika dibandingkan dengan akibat Rh, ditandai anemia
neonatus sedang dan hiperbilirubinemia neonatus ringan sampai sedang
serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi tukar.
Inkompabilitas ABO tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu
penyebab hemolisis dan secara umum dapat menjadi panduan bagi ilmu
pediatrik dibanding masalah kebidanan.
Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama (40% menurut
Mollison), dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya.
Gambaran klinis penyakit hemolitik pada bayi baru lahir berasal dari
inkompabilitas ABO sering ditemukan pada keadaan dimana ibu
mempunyai tipe darah O, karena tipe darah grup masing-masing
menghasilkan anti A dan anti B yang termasuk kelas IgG yang dapat
melewati plasenta untuk berikatan dengan eritrosit janin. Pada beberapa
kasus, penyakit hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan sampai
sedang selama 24-48 jam pertama kehidupannya. Hal ini jarang muncul
dengan anemia yang signifikan. Tingginya jumlah bilirubin dapat
menyebabkan kernikterus terutama pada neonatus preterm. Fototerapi
pada pengobatan awal dilakukan meskipun transfusi tukar yang mungkin
diindikasikan untuk hiperbilirubinemia. Seks predominan eritroblastosis
fetalis akibat inkompatibilitas ABO adalah sama antara laki-laki dan
perempuan.

C. Genetik
Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak ada
d. Hanya gen dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang
digunakan adalah Rhesus (D), bukan hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif
mengandung substansi (antigen D) yang dapat merangsang darah rhesus (D)
negatif memproduksi antibodi. Gen C dan E kurang berperan disini. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa antibodi yang dihasilkan oleh wanita Rhesus negatif
disebut anti-D (anti-rhesus D). 1

Gambar 2. Keadaan janin dan plasenta pada Eritroblastosis fetalis berat.

D. Patofisiologi
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan
antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu
hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi
darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki
antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi
untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati
plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel
eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya
terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia
(reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi
dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur
yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum
tulang) secara berlebihan.
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan
limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa.
Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti
platelet dan faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat
berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan
yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat
pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai
penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigeneritrosit dalam tubuh berpotensi
menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut
berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin.
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal
sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,
amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan
berikutnya.Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah
merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin.
Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi
tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada
suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan
bilirubin yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya
menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus.
Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan
kadar gula darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops
fetalis ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan
gambaran membengkak (swollen). Penumpukan cairan ini menghambat
pernafasan normal, karena paru tidak dapat mengembang maksimal dan
mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu
tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia dapat
menimbulkan masalah jantung. 2

Gambar 3. Interaksi antibodi dan antigen pada eritrosit.

E. Gejala Klinis
Terdapat dua gejala klinis utama pada eritroblastosis fetalis, yaitu:
1. Hidrops fetalis
Hidrops fetalis adalah suatu sindroma ditandai edema menyeluruh pada bayi,
asites dan pleural efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yang terjadi
bervariasi, tergantung intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema
subkutan dan efusi kedalam kavum serosa (hidrops fetalis). Hemolisis yang
berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid
pada sumsum tulang, hematopoesis ekstrameduler didalam lien dan hepar,
pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan
hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen
janin yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu
respirasi janin.
Gambar 4. Bayi hidrops fetalis
Patofisologi hidrops fetalis tak jelas. Teori-teori penyebabnya mencakupkeadaan:
 gagal jantung akibat anemia.
 kebocoran kapiler akibat hipoksia pada kondisi anemia berat
 hipertensi vena portal dan umbilikus akibat kerusakan parenkim hati oleh
proses hematopoesis ekstrameduler.
 menurunnya tekanan onkotik koloid akibat hipoproteinemia yang
disebabkan oleh disfungsi hepar
Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan
kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus
dan lemas pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie
menyebar, sesak nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu
beberapa jam meskipun transfusi sudah diberikan.
2. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya
ganglia basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yang muncul berupa
letargia, kekakuan ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan
melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam
usia beberapa minggu.
Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu
menyanggah kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami
keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi
inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yanag terjadi akibat gangguan
eritropoesis dapat bertahan selama berminggu–minggu hingga berbulan-
bulan. 1

F. Diagnosis
Pemeriksaan antibodi yang dilakukan disebut Coomb’s test, dibagi menjadi
indirect Coomb’s test dan direct Coomb’s test.
1. Indirect Coomb’s test
Indirect Coomb’s test merupakan pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi
anti-RBC dalam serum. Pemeriksaan ini menunjukkan reaksi terhadap
antigan rhesus D, skrining sebelum transfusi darah, dan skrining prenatal
untuk fetomaternal blood incompatibility.
Prosedur pelaksanaan:
 Mencampurkan eritrosit berisi antigen yang diketahui jenisnya kepada
serum pasien lalu menunggu antibodi dari serum pasien untuk bereaksi
dengan antigen
 Kemudian menambahkan serum globulin antihuman kedalam campuran
tersebut dan mengobservasi apakah ada aglutinasi, yang
mengindikasikan adanya antibody.
Interpretasi hasil:
 Hasil negatif, menunjukkan tidak terjadi aglutinasi. Ini mengindikasikan
hasilnya normal.
 Hasil positif, menunjukkan terjadi aglutinasi. Indikasi hasil tersebut adalah
inkompatibel-ABO pada transplantasi sum-sum tulang, erythroblastosis
fetalis, anemia hemolitik, reaksi transfusi hemolitik, rhesus maternal-fetus
yang inkompatibel, dan reaksi transfusi prior. Obat-obatan tertentu seperti
levodopa, asam mefenamat, methyldopa, dan methyldopate hydrochloride
dapat menginduksi hasil positif pada tes ini.
2. Direct Coomb’s test
Direct Coomb’s test merupakan pemeriksaan untuk mendeteksi kompleks
antigen-antibodi pada membran sel darah merah. Direct Coomb’s test
dilakukan pada sampel darah merah dari tubuh. Reaksi antigen-antibodi pada
pemeriksaan ini dapat menunjukkan tipe dari anemia hemolitik.
Prosedur pelaksanaan:
Dilakukan penambahan serum Coomb’s antihuman globulin kepada sel darah
merah pasien yang telah dicuci, kemudian diobservasi adanya aglutinasi,
yang menunjukkan adanya antibodi IgG dan komponen komplemen.
Interpretasi hasil:
 Hasil negatif, menunjukkan tidak terjadi aglutinasi. Ini mengindikasikan
hasilnya normal.
 Hasil positif, berarti terjadi aglutinasi yang mengindikasikan reaksi
transfusi, anemia hemolitik karena autoimun, terapi cephalotin, hemolytic
disease of newborn, dan induksi dari obat-obatan seperti penisilin, insulin
dan ∝-methyldopa.
Interpretasi hasil Coomb’s test dapat dibagi menjadi tiga kelas, yaitu
ringan, sedang, dan berat:
 Ringan: 1:4 kebawah
 Sedang: antara 1:8 hingga 1:16
 Berat: lebih dari 1:32
Titer meningkat menunjukan adanya anemia hemolitik, eritoblastosis fetalis,
dan ketidak cocokan darah.
Pemeriksaan menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi, yang
disebut ultrasound, perlu dilakukan untuk mendeteksi pembesaran organ atau
penumpukan cairan interstitial pada janin. Sudah dijelaskan bahwa
manifestasi klinis daripada hemolytic disease of the newborn atau
eritroblastosis fetalis merupakan hepatosplenomegaly dan hydrops fetalis.
Pemeriksaan ultrasound digunakan untuk memantau keadaan janin yang
mempunyai risiko menderita eritroblastosis fetalis.
Amniocentesis dilakukan untuk mengetahui kadar bilirubin di dalam cairan
amnion. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menusukan jarum ke dalam
dinding abdomen dan uterus untuk mendapatkan sample cairan amnion.
Kadar bilirubin yang tinggi pada cairan amnion dapat menandakan derajat
hemolisis yang terjadi pada janin.
Pemeriksaan darah janin perlu didahulukan untuk mengetahui rhesus janin
karena terdapat kemungkinan bahwa janin memiliki rhesus negatif seperti
ibunya sehingga tidak berisiko menderita eritroblastosis fetalis. Selain itu
pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui kadar bilirubin dan
hemoglobin (agar dapat mengetahui apakah terdapat anemia). Sample darah
janin dapat digunakan juga untuk pemeriksaan direct Coomb’s test yang
dapat mendiagnosis eritroblastosis pada janin. Sample darah diperoleh dari
umbilical cord/ tali pusat.
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi
yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca
persalinan, kadar hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam
darah tali pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada
pemeriksaan darah tepi.

G. Penatalaksanaan
Bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi
kenaikan bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar,
umumnya dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan
ABO). Jika tak ada donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan
darah Rhesus positif sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi
antibodi dikeluarkan dari tubuh bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau
lahir mati yang disebabkan oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal jantung.
Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan terjadinya anemia berat dan
kematian janin.
a. Transfusi tukar :
Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :
1. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah
2. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells)
dengan eritrosit normal (menghentikan proses hemolisis)
3. mengurangi kadar serum bilirubin
4. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu
Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :
 berikan darah donor yang masa simpannya ≤ 3 hari untukmenghindari
kelebihan kalium
 pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan
Rhesus negatif (D-)
 dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed
red cells
 bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah
Rh.negatif tidak tersedia maka untuk sementara dapat diberikan
darah yang inkompatibel (Rhpositif) untuk transfusi tukar pertama,
kemudian transfusi tukar diulangi kembali dengan memberikan darah
donor Rh negatif yang kompatibel.
 pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cells
 darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi
dengan lama pemberian transfusi ≥ 90 menit
 lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah
bayi, bila tidak memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali
dapat digunakan darah ibunya, namun untuk transfusi tukar
berikutnya harus menggunakan darah bayi.
 sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37°C
 pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan
darah donor sebanyak 50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga
semua darah donor ditransfusikan.
Tabel 1. Calon donor transfusi tukar pada Rh inkompatibilitas.
GOLONGAN DARAH IBU
O A B AB
O O O O -
GOLONGAN
A O A O A
DARAH
B O O B B
BAYI
AB - A B AB

Gambar 5. Transfusi tukar pada Rh inkompatibilitas.


b. Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar
bilirubin. Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan
sebagai terapi tunggal.
Gambar 7. Foto terapi pada bayi dengan Rh Inkompatibilitas.

H. Prognosis
Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin
mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin
dapat dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih
tinggi menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu
yang sudah mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik
meskipun janinnya Rhesus negatif.
Mortalitas
Angka mortalitas dapat diturunkan jika :
1. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi
secara dini
2. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar
bilirubin yang tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh
darah umbilikus yang diarahkan secara USG
3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum
meninggal didalam rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi
intraperitoneal atau intravaskuler langsung sel darah merah Rhesus
negatif.Pemberian Ig-D kepada ibu Rhesus negatif selama atau segera
setelah persalinan dapat menghilangkan sebagian besar proses isoimunisasi
D.

I. Pencegahan
Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat
isoimunisasi Rhesusadalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat
imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram
antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah
janin.
Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan pada saat persalinan bukan sebagai
vaksin dan tak membuat wanita kebal terhadap penyakit Rhesus. Suntikan ini
untuk membentuk antibodi bebas, sehingga ibu akan bersih dari antibodi pada
kehamilan berikutnya.
Tabel 2. Kategori obat sebagai pencegahan Inkompatibilitas Rhesus.
Drug Name Human anti-D immune globulin (RhoGAM) -- Suppresses
immune response of nonsensitized Rh O (D) negative
mothers exposed to Rh O (D) positive blood from the fetus as
a result of a fetomaternal hemorrhage, abdominal trauma,
amniocentesis, abortion, full-term delivery, or transfusion
accident. Should be administered if the patient is Rh-
negative, unless the father also is Rh-negative.
Adult Dose <13 wk gestation: 50 mcg IM >13 wk gestation: 300 mcg IM
Pediatric Dose Administer as in adults
Contraindicati Documented hypersensitivity; patients who have received
ons Rho(D)-positive blood within the last 3 mo
Interactions None reported
Pregnancy C - Safety for use during pregnancy has not been
established.
Precautions Caution in thrombocytopenia, bleeding disorders, or IGA
deficiency; when administered close to delivery, may
interfere with Rh typing of the newborn
Preparat globulin yang diberikan kepada ibu dengan Rhesus negatif yang
mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam sesudah melahirkan ternyata sangat
protektif. Ibu dengan kemungkinan abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa,
atau perdarahan pervaginam harus ditangani karena akan mengalami
isoimunisasi tanpa preparat imunoglobulin. Ibu rhesus negatif yang memperoleh
darah ataupun fraksi darah berupa trombosit atau plasmaferesis berisiko untuk
mengalami sensitisasi.
Kalau terdapat keraguan untuk memberikan preparat Ig anti Gmaka preparat
tersebut harus diberikan, termasuk kepada ibu yang tampaknya belum
mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam setelah melahirkan. Kebijaksanaan
ini dapat menurunkan resiko isoimunisasi. Antibodi dengan dosis 300 mikrogram
diberikan kepada ibu rhesus negatif yang belum mengalami sensitisasi pada
kehamilan 28 minggu dan kehamilan 34 minggu atau pada saat dilakukan
amniosintesis atau pada saat terjadi perdarahan uterus. Dosis ketiga diberikan
kepada ibu sesudah melahirkan.
Kegagalan pemberian anti D terjadi bila :
1. tidak diberikan suntikan RhIg pada ibu Rh negatif (D-) yang telah melahirkan
bayi Rh positif
2. tidak diberikan suntikan Immunoglobulin anti-D setelah abortus atau setelah
pemeriksaan amniocentesis
3. pemberian dosis RhIg tidak mencukupi (karena feto maternal
macrotransfusion jarang terjadi)
4. sudah terlanjur terjadi sensitisasi oleh sel darah merah janin.

Anda mungkin juga menyukai