Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi
masalah global yang melanda dunia. Menurut data WHO (World Health Organization) tahun
2012, penemuan kasus HIV (Human Immunodeficiency Virus) di dunia pada tahun 2012
mencapai 2,3 juta kasus, dimana sebanyak 1,6 juta penderita meninggal karena AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) dan 210.000 penderita berusia di bawah 15 tahun
(WHO, 2012).

HIV/AIDS merupakan penyakit infeksi yang sangat berbahaya karena tidak saja
membawa dampak buruk bagi kesehatan manusia namun juga pada 4 negara secara
keseluruhan Menurut Price & Wilson, 1995 HIV (Human immunodeficiency virus) adalah
virus penyebab Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). HIV yang dulu disebut
sebagai HTLV-III (Human T cell lympothropic virus Tipe III) atau LAV (Lymphadenopathy
Virus), adalah virus sitopatik dari famili retrovirus. Hal ini menunjukkan bahwa virus ini
membawa materi genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam
deoksiribonukleat (DNA).

Menurut Muma, Richard., dkk. (1997) Virus ini memiliki kemampuan unik untuk
mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang
disebut reverse transcriptase, yang merupakan kebalikan dari proses transkripsi (dari DNA ke
RNA) dan translasi (dari RNA ke protein) pada umumnya. AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) merupakan sekumpulan gejala penyakit karena menurunnya
sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV Centers for Disease Control
(CDC) merekomendasikan bahwa diagnosa AIDS ditujukan pada orang yang mengalami
infeksi opportunistik, dimana orang tersebut mengalami penurunan sistem imun yang
mendasar (sel T berjumlah 200 atau kurang) dan memiliki antibodi positif terhadap HIV
(Samsuridjal Djauzi, 2004).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari imunodefisiensi?
2. Apa definisi dari penyakit AIDS?

1
3. Apa penyebab penyakit AIDS?
4. Bagaimana penularan penyakit AIDS?
5. Apa saja tanda dan gejala penderita AIDS?
6. Bagaimana terapi untuk penderita AIDS?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari imunodefisiensi.
2. Mengetahui definisi dari penyakit AIDS.
3. Mengetahui penyebab penyakit AIDS.
4. Mengetahui cara penularan penyakit AIDS.
5. Mengetahui tanda dan gejala penderita AIDS.
6. Mengetahui terapi untuk penderita AIDS.

1.4 Manfaat
Untuk memberikan informasi kepada para pembaca, utamanya bagi sesama pelajar
dan generasi muda tentang AIDS, sehingga dengan demikian kita semua berusaha untuk
menghindarkan diri dari segala sesuatu yang bisa saja menyebabkan penyakit AIDS.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Imunodefisiensi

Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon


imun normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada umumnya disebabkanoleh
kelainan genetik yang diturunkan, serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti
infeksi, pengobatan kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan (menekan
sistem kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi/kekurangan gizi (Wikipedia).

2.2 Definisi Umum HIV/AIDS


HIV atau Human Immunodeficiency Virus merupakan penyebab dari AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome). Virus HIV ini juga disebut juga sebagai Human
Lymphotropic Virus tipe III, Lymphadenophaty-associated Virus ataupun Lymphadenophaty

2
Virus. Virus HIV merupakan retrovirus. Retrovirus adalah virus RNA yang mempunyai
enzim reverse transcriptase. Dengan menggunakan enzim reverse transcriptase, virus ini
menggunakan RNA sebagai cetakan untuk membuat DNA komplementer yang dapat
berintegrasi dengan DNA induk.

Gambar 1. Virus HIV

Sesuai dengan namanya, virus HIV hanya menyerang manusia khususnya sistem
kekebalan tubuh manusia yang melindungi tubuh dari infeksi. Sel imun yang terinfeksi
adalah CD4+ sel T, makrofag, dan sel dendritik. CD4+ sel T secara langsung maupun tidak
langsung dihancurkan oleh virus tersebut. Infeksi HIV menyebabkan sistem kekebalan tubuh
akan semakin lemah. Keadaan ini akan membuat orang mudah diserang beberapa jenis
penyakit (sindrom) yang kemungkinan tidak mempengaruhi orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang sehat. Penyakit tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik.

Jika seseorang di diagnosis terinfeksi HIV (HIV positif), orang tersebut dapat tetap
sehat tanpa gejala klinis sehingga disebut penyakit HIV tanpa gejala. Setelah timbul gejala,
maka disebut sebagai infeksi HIV bergejala atau penyakit HIV lanjutan. Namun pasien HIV
positif tidak langsung di diagnosis menderita AIDS. AIDS itu sendiri merupakan kumpulan
gejala dan infeksi akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi
HIV. Beberapa negara mempunyai kriteria tertentu dalam mendiagnosis pasien AIDS. Di
Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, seseorang didiagnosis menderita AIDS ketika
HIV membunuh CD4+ sel T hingga jumlah CD4+ sel T dalam darah kurang dari 200 sel/µL
darah akibatnya kekebalan seluler menjadi hilang. Sedangkan di Kanada, orang yang
terinfeksi HIV di diagnosis menderita AIDS ketika muncul infeksi oportunistik.

3
Tanpa terapi antiretroviral, rata-rata waktu infeksi HIV berubah menjadi penyakit
AIDS adalah sekitar 9 hingga 10 tahun dan rata-rata harapan hidup penderita AIDS adalah
9,2 bulan. Bagaimanapun perkembangan klinis masing-masing pasien bervariasi, mulai dari 2
minggu hingga 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit ini,
misalnya kemampuan tubuh untuk melawan HIV yang bekaitan dengan sistem imun tubuh.
Pasien AIDS yang lebih tua mempunyai sistem imun tubuh yang lebih lemah dari pada pasien
muda sehingga resiko perkembangan penyakit AIDS menjadi lebih besar. Akses yang sulit
untuk mencapai pelayanan kesehatan dan kehadiran agen infeksi seperti TBC juga dapat
memperburuk perkembangan penyakit.

Gambar 2. Gambaran umum hubungan antara multiplikasi HIV dan jumlah CD4 pada
infeksi HIV yang tidak diobati.

Keterangan :

o ▬ Jumlah CD4+ T Limfosit (sel/mm³)


o ▬ HIV RNA kopi per mL plasma

2.3 Penyebab Penyakit HIV/AIDS


AIDS merupakan stadium akhir dari infeksi HIV. Pada umumnya AIDS berujung
pada kematian. HIV merupakan retrovirus yang mempunyai materi genetik RNA. Tidak
semua virus RNA merupakan retrovirus, misalnya seperti virus campak atau virus flu
merupakan virus RNA tetapi bukan retrovirus. Yang menjadi ciri khas retrovirus adalah
proses replikasi dilakukan mundur (backward replication). HIV disebut retrovirus karena
kemampuannya merubah RNA menjadi DNA, yang merupakan proses terbalik dari apa yang
biasanya terjadi di dalam sel (biasanya DNA dirubah menjadi RNA oleh inti sel untuk
menyampaikan perintah kepada bagian sel lainnya). Bila virus masuk ke dalam tubuh
penderita (sel hospes) maka RNA virus diubah menjadi DNA oleh enzim reverse

4
transcriptase yang dimiliki oleh HIV. DNA pro-virus tersebut kemudian di integrasikan ke
dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus.

Sistem imun manusia dibagi menjadi dua yaitu sistem imun spesifik dan sistem imun
non spesifik. Virus HIV menyerang sistem imun spesifik yaitu sistem imun selular khususnya
adalah T helper CD4. Sel T helper CD4 adalah sel T yang telah disintesis dari kelenjar timus
dan akan terbawa sirkulasi darah sehingga masuk ke dalam limfa dan bermigrasi ke dalam
jaringan limfatik, kemudian bermigrasi kembali ke dalam sirkulasi darah, hingga suatu saat
terjadi terstimulasi oleh antigen tertentu dengat ikatan pada molekul MHC kelas II. Apabila
virus HIV masuk dalam badan,dia akan mulai merusakkan sel T helper CD4. Sel CD4
bertindak sebagai utusan kepada sel-sel sistem pertahanan tubuh badan yang lain,
memberitahu mereka untuk melawan mikroorganisme yang berbahaya. HIV melekat dan
menjangkiti sel CD4 dan mejadikan sel CD4 sebagai tempat untuk menggandakan virus HIV.
Dalam proses ini, sel CD4 yang telah terjangkit kehilangan kekuatannya untuk melawan
penyakit.

2.4 Penularan AIDS


AIDS adalah penyakit hubungan seksual (PHS). Hal ini berarti penyakit tersebut
didapatkan melalui hubungan seksual yang tidak terlindung dengan seseorang yang
terinfeksi. Juga dapat didapatkan dari kontak darah dengan darah bersama orang yang
terinfeksi. HIV menginfeksi sel-sel darah putih. Kebanyakan sel-sel darah putih ditemukan
dalam dua jenis cairan tubuh yang penting : darah dan semen (cairan tempat hidupnya sperma
dan sel-sel darah putih). Tetapi banyak juga terdapat HIV yang menginfeksi sel-sel darah
putih dalam cairan vagina (termasuk darah menstruasi) dan air susu ibu (ASI) dari orang yang
terinfeksi HIV. HIV dapat menyebar ketika darah, semen, atau cairan vagina dari orang yang
terinfeksi memasuki tubuh orang lain. Hal ini dapat terjadi dengan empat cara yang mendasar
yaitu :

1. HIV Dapat Tertular Dengan Melakukan Hubungan Seksual yang Tidak


Terlindung Melalui Hubungan Vagina, Anal atau Oral Dengan Seseorang yang
Terinfeksi.

Vagina, rectum, uretra, mulut dan tenggorokan semuanya dilapisi oleh lapisan sel-
sel spongiosa (seperti busa) disebut membrane mukosa. Dibawah membrane mukosa adalah
pembuluh darah. Bila seseorang melakukan hubungan sek vagina, anal, atau oral HIV dalam
darah, semen, atau cairan vagina dari orang yang terinfeksi dapat mengalir kedalam mukosa

5
tersebut seperti halnya air yang diserap oleh busa. Lapisan dari vagina terbentuk dari banyak
lapisan membrane mukosa, dan pembuluh darah yang terdapat didalamnya terletak jauh
dipermukaan dalam.

Tidak seperti vagina, rectum tidak dapat meregang dengan mudah ketika melakukan
hubungan seks anal, sangat mudah bagi virus HIV untuk masuk kedalam alran darah melalui
lapisan membrane mukosa yang tipis dan sangat mudah mengakibatkan luka pada lapisan
tersebut. Virus HIV pada semen laki-laki yang terinfeksi dapat menggunakan luka tersebut
sebagai jalan masuk ke dalam aliran darah pasangannya. Hubungan seks anal kemungkinan
merupakan hubungan seks yang paling beresiko.

2. HIV Dapat Tertular Dengan Menggunakan Jarum Hypodermis atau Peralatan


Dari Seseorang yang Terinfeksi.

Orang menggunakan obat terlarang dengan banyak cara, salah satu yang paling
berbahaya dengan menyuntikkan obat apalagi ketika jarum itu terinfeksi oleh HIV, apalagi
jika digunakan dengan bersama-sama. Setelah seseorang dengan HIV menggunakan jarum
atau alat suntik untuk menyuntik, setetes kecil darah terinfeksi tertinggal dalam jarum dan
alat suntikan. Maka bila anda menggunakan alat yang sama tidak menutup kemungkinan
anda akan tertular.

3. Melalui Tranfusi Darah

Tranfusi darah adalah ketika anda mendapatkan darah atau komponen darah yang
diberikan (didonorkan) oleh orang lain. Sebelum tahun 1985, sejumlah orang mendapakan
tranfusi darah karena mereka diberikan darah yang terinfeksi oleh HIV.

4. Wanita Hamil Pengidap HIV

Wanita hamil dapat menularkan virus pada bayi yang ada didalam kandungannya.
Janin mendapatkan makanan dari ibunya melalui plasenta dan tali pusat, sekelompok
pembuluh darah yang menghubungakan bayi pada bunya pada pusat bayi (dibawah perut).
Bila wanita yang hamil memiliki HIV dalam darahnya, akan memungkinkan.bahwa wannita
tersebut akan menularkan virus pada jannin nya selama kehamilan atau selama kelahiran bayi
tersebut bayinya akan terlahir dengan HIV. Walauupun kurang umum juga memungkinkan
bahwa ibu yang terinfeksi dapat menularkan virus pada anaknya bila ia menyusui bayinya,
karena HIV juga terdapat dalam ASI.

6
Tahapan yang terjadi dalam Penularan AIDS meliputi :

1) Tahap Dini ( fase akut)

Ditandai oleh viremia transien, masuk kedalam jaringan limfosit, terjadi penurunan
sementara dari CD4 sel T diikuti pengaturan replikasi virus dengan dihasilkan CD8 sel T
antivirus. Secara klinis merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri dengan nyeri
tenggorok, mialgia, non – spesifik, dan meningitis aseptic. Kesembuhan klinis dalam jumlah
CD4 sel T menjadi normal terjadi dalam waktu 6 – 12 minggu.

2) Tahap Menengah (fase kronik)

Berupa keadaan panas secara klinis dengan replikasi virus yang rendah khusunya dijaringan
limfoit, dan hitungan CD4 secara perlahan menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran
kelenjar limfe yang luas tanpa gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai beberapa tahun.
Pada akhir tahap ini, terjadi demam, kemerahan kulit, kelelahan, dan viremi. Tahap kronik
dapat berakhir antara 7 – 10 tahun.

3) Tahap akhir ( fase krisis)

Di tandai dengan menurunya pertahanan tubuh penderita secara cepat berupa


rendahnya jumlah CD4, penurunan berat badan, diarre, infeksi oportunistik, dan keganasan
sekunder. Tahap ini umumnya dikenal sebagai AIDS. Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat
mengganggap semua orang dengan infeksi HIV dan jumlah sel T CD4 kurang dari 200 sel/µl
sebagai AIDS, meskipun gambaran klinis belum terlihat.

a. Gambaran klinis AIDS dapat berupa :


 Berbagai macam infeksi oportunistik ( Pneumonia yang disebabkan oleh
Pneumocystis carinii terjadi pada 50 % penderita ).
 Spektrum luas dari infeksi bakteri piogenik ( menunjukan gangguan imunitas
humoral ).
 Sejumlah keganasan sarkoma kaposi yang agresif ditemukan pada 25% penderita,
ditemukan lebih banyak pada penderita yang homoseks daripada kelompok resiko
lainya. Limfosit sel B non – Hodgkin yang agresif trutama pada daerah ekstra
nodul, dengan kelinan pada otak ditemukan 60 kali lebih tinggi daripada
masyarakat umum.

7
 Pada penderita AIDS, kurun waktu 5 tahun meningkat 85%. Selanjutnya dapat
meningkat sampai 100%.
2.5 Tanda dan Gejala Penderita AIDS

Gejala AIDS beraneka ragam dan tergantung pada manifestasi khusus penyakit
tersebut. Sebagai contoh, pasien AIDS dengan infeksi paru dapat mengalami demam dan
keluar keringat malam sementara pasien tumor kulit akan menderita lesi kulit. Gejala non
spesifik pada pasien AIDS mencakup rasa letih yang mencolok, pembengkakan kelenjar
leher, ketiak serta lipat paha, penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya dan diare yang
berlarut-larut.

Karena gejala-gejala yang belakangan ini dapat dijumpai pada banyak kondisi
lainnya, maka hanya kalau kondisi ini sudah disingkirkan dan gejala tersebut tetap ada,
barulah diagnosis AIDS di pertimbangkan, khususnya pada orang-orang yang bukan
termasuk kelompok resiko tinggi.

Berikut Tanda dan Gejala klinis penderita AIDS :

o Pembengkakan kelenjar limfe.


o Demam yang tidak jelas sebabnya lebih dari 10 hari.
o Pengeluaran keringat yang berlebihan dimalam hari.
o Kelelahan yang berkepanjangan yang bukan dikarenakan aktivitas fisik atau tekanan
emosi.
o Diare yang parah dan menetap.
o Kehilangan berat yang drastic tanpa diketahui sebabnya ( lebih dari 10%).
o Oral candidiasis atau adanya lapisan yang mengeras pada mulut dan lidah.
o Batuk kering flu, tenggorokan luka-luka terdapat goresan-goresan (untuk bukan perokok)
dalam beberapa minggu.
o Munculnya bercak-bercak berwarna keunguan atau tidak berwarna pada kulit atau
selaput mukosa yang tidak menghilang dan secara perlahan ukurannya meningkat.
o Mudah terjadi memar-memar atau pendarahan karena alasan yang tidak jelas.
Beberapa gejala psikologis kadang-kadang berkembang pada seseorang penderita
AIDS lebih parah dibanding gejala pokok untuk AIDS, hal ini mencakup :

o Kesedihan dan perasaan tanpa harapan yang menetap.


o Mudah tersinggung dan rasa gelisah, takut berlebihan.

8
o Sering merasa gelisah dan panik secara mendadak.
o Cenderung untuk keasyikan dengan penyakit atau gejala fisik.
o Peningkatan pemakaian obat-obat tertentu termasuk alkohol.
o Tidak mampu berkosentrasi dan kehilangan energi.
o Tidak mampu melakukan tugas-tugas ditempat kerja atau dirumah.
o Tidak mampu menikmati kehidupan sosial atau seksual.
o Menolak perawatan medis yang diperlukan.
o Keinginan untuk bunuh diri.

2.6 Terapi pada Penderita AIDS

Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu :

1) Pengendalian Infeksi Opurtunistik

Bertujuan menghilangkan mengendalikan, dan pemulihan infeksio purtunistik,


nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
dilingkungan perawatan kritis.

2) Terapi ARV (Anti Retroviral Theraphy)

a. Pengertian ARV (Anti Retroviral Theraphy)

Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human


Immunodeficiency Virus (HIV). Terapi dengan ARV adalah strategi yang secara klinis paling
berhasil hingga saat ini. Tujuan terapi dengan ARV adalah menekan replikasi HIV secara
maksimum, meningkatkan limfosit CD4 dan memperbaiki kualitas hidup penderita yang pada
gilirannya akan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Seperti obat-obat antimikroba
lainnya maka kompleksitas antara pasien, patogen dan obat akan mempengaruhi seleksi obat
dan dosis. Karakteristik pasien akan mempengaruhi farmakokinetik obat. Karakteristik
mikroba meliputi mekanisme kerja, pola kepekaan, dan resistensi. Farmakodinamik obat

9
merupakan integrasi hubungan antara kepekaan mikroba dengan farmakokinetik pasien.
Untuk menjamin tercapainya target terapi, interaksi farmakodinamik antara antimikroba dan
target mikroba harus tercapai.

b. Penggolongan ARV

Ada tiga golongan utama ARV yaitu

a) Penghambat masuknya virus; enfuvirtid


b) Penghambat reverse transcriptase enzyme

Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI)

 Analog nukleosida
 Analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T)
 Analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
 Analog adenin : didanosine (ddI)
 Analog guanin : abacavir(ABC)
 Analog nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir.

Nonnukleosida (NNRTI) yaitu :

 Nevirapin (NVP)
 Efavirenz (EFV)

c) Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV)

 Saquinavir (SQV)
 Indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV)

c. Mekanisme kerja ARV

o Penghambat masuknya virus kedalam sel

Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virus
sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi ini
adalah enfuvirtid.

10
o Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)
 Analog nukleosida ( NRTI)

NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus fosfat) dan
selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga
perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan
pemanjangan DNA.

 Analog nukleotida (NtRTI)

Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan


NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.

 Non nukleosida (NNRTI)

Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan


langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural.
Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.

o Protease inhibitor (PI)

Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang


mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan
virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel
lain. PI adalah ARV yang potensial.

d. Farmakokinetik ARV

Konsep farmakokinetik Absorpsi obat yang dberikan per oral tidak lengkap atau
terhambat dan obat akan mengalami metabolisme lintas pertama sehingga bioavaibilitas
(F) obat akan lebih rendah dibandingkan dengan obat yang diberikan secara intravena.
Distribusi obat akan dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak dan ikatan dengan
protein plasma. Volume distribusi (Vd) menggambarkan distribusi obat dalam
kompartemen tubuh. Obat yang terutama terdistribusi di plasma akan mempunyai Vd
yang relatif kecil dan konsentrasinya tinggi di plasma. Obat yang terdistribusi luas ke

11
berbagai kompartemen tubuh akan mempunyai Vd yang besar dan konsentrasinya
relatif rendah di plasma. Vd diperlukan untuk menghitung loading dose. Loading dose
dapat digunakan untuk mencapai konsentrasi terapi dengan segera.

Metabolisme obat umumnya terjadi di hati yang menyebabkan perubahan kimia


obat sehingga obat mudah untuk dieliminasi dari tubuh. Obat yang di metabolisme oleh
sistem P450 akan berkompetisi dengan obat-obat yang juga dimetabolisme oleh sistem
ini. Obat atau zat yang mempengaruhi P450 apakah menginduksi atau menghambat
akan menyebabkan kecepatan metabolisme obat yang di metabolisme oleh sistem P450
terganggu.

Eliminasi obat umumnya melalui ginjal, walau ada juga yang melalui ekskresi
empedu. Klirens/Clearence (Cl) obat menggambarkan banyaknya darah per satuan
waktu yang dibersihkan dari obat tersebut. Tanpa membedakan rute eliminasi,
kecepatan eliminasi obat dari tubuh dinyatakan sebagai waktu paruh obat. Waktu paruh
obat dapat digunakan untuk menentukan kondisi steady state yaitu suatu kondisi
dimana.

Konsentrasi obat konstan karena pemberian obat yang terus menerus/berulang.


Kondisi ini tercapai setelah lebih kurang 5 waktu paruh obat. Setelah mencapai kondisi
steady state maka pemberian dosis berikutnya tidak akan mengubah konsentrasi obat
kecuali bila dosis obat atau parameter farmakokinetik berubah.

e. Efek samping umum

Efek samping obat adalah salah satu penyebab morbiditas, dirawatnya pasien
dan mortalitas. Hal tersebut juga berpengaruh pada kepatuhan pasien terhadap
rencana terapi. Karena itu pendeteksian dini efek samping adalah hal kritis dan dalam
hal ini apoteker dapat ikut berperan.

GOLONGAN EFEK SAMPING


NRTI Laktat asidosis dan hepatotoksik
NtRTI Toksisitas ginja

12
NNRTI Hepatotoksisitas dan rash
PI Gangguan metabolik ganda (insulin resistensi, hiperlipidemia,
lipodistropi), hepatotoksisitas, gangguan tulang, peningkatan
perdarahan pada penderita hemofilia.

Tabel. Efek Samping Umum Antiretroviral

NO EFEK SAMPING OBAT TANDA KLINIS MANAJEMEN


1 Hepatitis akut NVP Jaundice,  Bila
(Nevirapine),EFV pembesaran hati, mungkin, monitor
(Efavirens) gejala GIT (mual, transaminase
(jarang), ZDV muntah, diare, serum, bilirubin,
(Zidovudin), ddl, nyeri perut, lemah,  Stop ARV
d4T (Stavudin), anoreksia) sampai gejala
RTV hilang.
 NVP harus
distop

2 Pankreatitis akut ddl (Didanosin), Mual, muntah dan  Monitor amilase


d4T (Stavudin) nyeri perut pankreatik
 Stop ARV, tukar
dengan obat baru

3 Laktat asidosis Semua NRTI Lelah dan lemah  Stop ARV


menyeluruh, gejala  Berikan terapi
GIT, hepatomegali, penunjang
anoreksia, turun  Tukar obat baru
berat badan, gejala
pernafasan
4 Reaksi ABC (Abacavir) ABC : demam,  Stop ARV
hipersensitivitas dan NVP lelah, mialgia, sampai gejala
gejala GIT, hilang, jangan
faringitis, batuk, diberi ABC atau
dispnea (dengan NVP

13
atau tanpa ruam).  Bila gejala
hilang, segera mulai
NVP:gejala
dengan ARV baru.
sistemik, demam
mialgia, atralgia,
hepatitis,
eosinofilia dengan
atau tanpa ruam
5 Neuropati perifer ddl (Didanosin), Nyeri, kesemutan,  Stop NRTI yang
berat d4T (Stavudin), tangan dan kaki dicurigai, ganti
3TC (Lamivudin) kebal, bagian ujung dengan NRTI lain
tubuh hilang rasa, yang tidak
lemah otot, tidak menyebabkan
ada refleks neurotoksisitas
misalnya ZDV,
ABC
 Gejala umumnya
hilang dalam
waktu 2-3 minggi
setelah pemutusan
obat

Tabel. Efek samping umum yang memerlukan pemutusan obat

f. Penggunaan Rasional Antiretroviral

Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai
dengan kebutuhannya untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang paling
murah untuknya dan masyarakat. (WHO, 1985). Secara praktis, penggunaan obat
dikatakan rasional bila memenuhi kriteria:

1. Tepat diagnosa

14
2. Tepat indikasi penyakit

3. Tepat pemilihan obat

4. Tepat dosis

5. Tepat cara pemberian obat

6. Tepat interval waktu pemberian

7. Tepat lama pemberian

8. Waspada terhadap efek samping

9. Tepat penilaian kondisi pasien

10. Tepat informasi

11. Tepat dalam melakukan upaya tindak lanjut

12. Tepat penyerahan obat (dispensing)

13. Kepatuhan pasien

 Rejimen ARV Lini-Pertama bagi ODHA dewasa sebagai berikut :

ZDV + 3TC + NVP

Toksisitas utama yang dapat terjadi pada pemberian rejimen ARV lini-pertama
ini adalah: intoleransi gastrointestinal dari ZDV, anemia,netropenia; hepatotoksisitas
NVP, dan ruam kulit berat.

 Rejimen ARV lini-kedua bagi ODHA dewasa/remaja diberikan pada kegagalan terapi
pada rejimen lini-pertama, sebagai berikut :

TDF atau ABC + ddl + LPV/r atau SQV/r

Catatan :

a. Dosis ddl harus dikurangi menjadi 250 mg bila diberikan bersama TDF.

15
b. LPV/r dan SQV/r memerlukan cold chain (Cold chain adalah semacam container
untuk membawa obat/vaksin yang harus dalam keadaan suhu sekitar 50 C)

g. Alasan Mengganti ARV

Ada kemungkinan perlu mengganti ARV baik yang disebabkan karena


toksisitas atau kegagalan terapi.

 Toksisitas

Toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari


obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat dipantau
secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil
pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam kombinasi obat yang dipakai dan
sarana pelayanan kesehatan yang ada.

 Kegagalan Terapi

Kegagalan terapi dapat didefinisikan secara klinis dengan menilai


perkembangan penyakit secara imunologis dengan penghitungan CD4, dan/atau
secara virologist dengan mengukur viral-load.

Penilaian klinis perkembangan penyakit harus dibedakan dengan sindrom


pemulihan kekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu
keadaan yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh
timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu setelah ART dimulai sebagai suatu
respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang semula subklinik.Keadaan
tersebut terjadi terutama pada pasien dengan gangguan kebalan tubuh yang telah
lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari
infeksi oportunistik.

h. Resistensi Obat

Jika ART tidak dilaksanakan dengan baik, HIV dapat mengalami mutasi gen
atau mengubah struktur kimia serta struktur genetiknya sehingga resisten atau tidak lagi
mempan oleh obat ARV.

16
Secara umum resistensi obat ARV meningkat bila ARV diberikan sebagai obat
tunggal. Namun hal ini tidak berarti bahwa ODHA tidak dapat minum obat ARV itu
lagi. Resistensi akan timbul lebih lambat bila viral load rendah dan CD4 masih tinggi.
Sebaliknya, HIV akan lebih cepat resisten bila viral load tinggi.

2.6.1 Strategi Baru Melawan AIDS

Salah satu penemuan baru dalam melawan AIDS adalah dengan pencangkokan
sum-sum tulang. Dengan ini, para dokter tidak hanya berhasil mencegah aktivitas HIV,
bahkan mereka berhasil melenyapkan sama sekali virus tersebut dari tubuh penderita.

Percobaan pencangkokan sum-sum tulang ini tak lepas dari usaha


pengembangan pemakaian AZT ( Azido thymidine ) yakni satu-satuya obat yang
disahkan untuk percobaan penghancur virus HIV.Dengan pencangkokan sumsum tulang
pada pengobatan HIV, para dokter tidak menunggu hasilnya sampai terjadi kerusakan
sel-sel tubuh, mereka bertindak cepat, mengeluarkan sel-sel yang terserang HIV, dan
membersihkannya diluar tubuh.

Hasil percobaan ini ternyata menakjubkan, sum-sum tulang yang telah


mengalami proses pembersihan ( dengan AZT ) setelah dicangkokkan langsung tumbuh,
dan tak ada lagi HIV pada tubuh pasien, baik pada darah maupun sum-sum tulang.
Meskipun HIV sudah berhasil dibersihkan, akan tetapi masih belum bisa diketahui bagaimana
caranya memperbaiki sistem kekebalan tubuh yang sudah terserang.

2.6.2 Daftar Obat-Obat Yang Dianggap Paling Sesuai Untuk Penderita AIDS

17
Obat / Pabrik Keterangan

AZTBurroughs Wellcome Obat yang pertama kali bisa dipakai untuk memperpanjang
hidup penderita AIDS. Terutama mereka yang masih dalam
tahap dini. Mampu menahan proses pembiakan virus AIDS,
namun bisa menimbulkan akibat sampingan, yakni
munculnya penyakit anemia.

DDC Hofman-la Roche Obat sejenis AZT, yang dalam percobaan di laboratorium
memperlihatkan hasil menggembirakan. Walaupun baru
dicoba pada sembilan penderita, para ahli yakin DDC akan
lebih ampuh, dan tidak menimbulkan akibat sampingan.

Al 721 Praxis Penelitian penggunaan obat ini masih dalam taraf


Pharmaceutical permulaan. Percobaan yang dilakukan terhadap sembilan
penderita pembengkakan getah bening akibat virus AIDS
cukup memberi harapan

Granulocyte Monocyte Percobaan bahan ini terhadap binatang cukup memuaskan,


Colony Stimulating Factor tapi penerapannya pada manusia masih membutuhkan waktu
Institut Genetika lama

Alpha Interferon Biogen Terbukti cukup efektif untuk mengobati sarcoma Kaposi,
/Schering-plough Hofmann- kanker kulit yang merupakan petunjuk penyakit AIDS.
La Roche/Genentch Sekarang sedang diteliti kemungkinan kombinasi dengan
AZT untuk melawan AIDS

Interleukin-2 Hofmann - La Penggunaan IL-2 memang mengecewakan, namun diduga


Roche/Immunex Cetus akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan AZT.

Cyclosporine Sandoz Obat ini sangat beracun, dipakai untuk mencegah penolakan
organ tubuh yang dicangkok, mampu menahan penyebaran
virus AIDS pada stadium dini.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
o Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun
normal.
o AIDS merupakan hasil infeksi yang parah oleh virus yang disebut HIV.
o Penyebab AIDS adalah karena kemampuan tubuh merubah RNA menjadi DNA, yang
merupakan proses terbalik dari apa yang biasanya terjadi di dalam sel (biasanya DNA
dirubah menjadi RNA oleh inti sel untuk menyampaikan perintah kepada bagian sel
lainnya). Bila virus masuk ke dalam tubuh penderita (sel hospes) maka RNA virus diubah
menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase yang dimiliki oleh HIV. DNA pro-virus
tersebut kemudian di integrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan
untuk membentuk gen virus.
o Penularan AIDS
 HIV/AIDS dapat tertular dengan melakukan hubungan Seksual yang tidak
terlindung melalui hubungan vagina, anal atau oral dengan seseorang yang
terinfeksi.
 HIV/AIDS dapat tertular dengan menggunakan jarum hypodermis atau peralatan
dari seseorang yang terinfeksi.
 Melalui tranfusi darah
 Wanita hamil pengidap HIV/AIDS

o Tanda dan Gejala Penderita AIDS

 Gejala klinis :
 (Kelelahan yang berkepanjangan yang bukan dikarenakan aktivitas fisik atau
tekanan emosi.
 Diare yang parah dan menetap.
 Kehilangan berat yang drastic tanpa diketahui sebabnya ( lebih dari 10%).
 Gejala psikologis :
 Kesedihan dan perasaan tanpa harapan yang menetap.

19
 Mudah tersinggung dan rasa gelisah, takut berlebihan.
 Sering merasa gelisah dan panik secara mendadak.
o Terapi :
 Pengendalian Infeksi Opurtunistik
 Terapi ARV (Anti Retroviral Theraphy)

3.2 Saran

Diharapkan hasil penulisan makalah ini bisa dijadikan sebagai bahan bacaan yang
bisa menambah wawasan tentang HIV/AIDS.

20
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Orang Dengan


Hiv/Aids (ODHA), Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2006

Johnson, Earvin. 1995. Cara – Cara Menghindari AIDS. Jakarta : Arcan.


Kumar, Robbins Cotran. 1966. Dasar Patologi Penyakit Edisi 5. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC.
Muma, Richard., dkk. 1997. HIV: Manual untuk tenaga kesehatan. Jakarta: EGC
Organiasi Kesehatan Sedunia. 1994. Pencegahan AIDS melalui Promosi Kesehatan. Bandung
: ITB.
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC; 2012

WHO. 2012. HIV/AIDS. http//:www.who.int/hiv/data/en. Diakses tanggal 21 November


2018

21

Anda mungkin juga menyukai