Memiliki anak dengan kondisi disabilitas tentunya sangat tidak diharapkan, tidak
terbayangkan, dan membutuhkan perjuangan panjang dalam menghadapi setiap perubahan
kondisi anak.1 Terdapat berbagai kondisi disabilitas yang dapat terjadi pada anak, misalnya
pada kondisi anak dengan palsi serebral, sindroma Down, autisme, atau kondisi anak dengan
serangan asma berulang dan kondisi disabilitas lainnya.1,2,3,4,5 Seluruh kondisi disabilitas ini
membuat anak bergantung penuh pada pengasuhan dan perawatan yang utamanya diberikan
oleh ibu.1
Dalam Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi, ibu sebagai pengasuh utama memiliki
peran yang sangat besar dalam program habilitasi dan rehabilitasi pada anak disabilitas. Hal
ini disebabkan oleh terbatasnya durasi dan frekuensi terapi yang dapat diberikan di pusat terapi,
sedangkan untuk proses pembelajaran dan pemulihan fungsi anak membutuhkan durasi yang
panjang dan pengulangan setiap harinya. Proses habilitasi dan rehabilitasi ini tentunya tidak
dilakukan dalam waktu singkat, tetapi harus dilakukan dalam waktu yang panjang dan
berkesinambungan.6 Perjuangan panjang yang harus dijalani dan dihadapi sang ibu seringkali
terabaikan, karena intervensi dan program yang diberikan lebih berfokus pada kondisi anak.1
Padahal pada kenyataannya ibu tidak hanya menghadapi kondisi anak, tetapi juga harus
menghadapi kondisi lainnya, seperti : keterbatasan kondisi fisik ibu, kondisi finansial keluarga,
dukungan keluarga, dan lain sebagainya. Seluruh hal ini tentunya akan menimbulkan rasa
lelah, jenuh, putus asa, dan kecewa pada ibu. Sehingga akan menurunkan kualitas hidup ibu
yang akan berdampak pada terhambatnya proses pembelajaran dan pemulihan fungsi anak
dengan kondisi disabilitas.1 Berbeda dengan ayah, ibu merupakan sosok yang terlibat langsung
dalam proses kehamilan, persalinan dan pengasuhan anak.7 Sehingga dalam beberapa
penelitian dikatakan bahwa dalam menghadapi anak dengan kondisi disabilitas, kualitas hidup
ibu lebih rendah dari kualitas hidup ayah.1,8,9,10
Menurut WHO (World Health Organization), kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi
individu tentang posisinya pada suatu kehidupan dalam konteks sistem budaya dan nilai
dimana dia tinggal dan dalam kaitannya dengan tujuan, harapan, standar dan perhatian atau
fokus seseorang. Melalui serangkaian proses yang dilakukan oleh WHO, maka ditetapkan alat
ukur WHOQOL-BREF (World Health Organization Quality of Life - BREF) yang dapat
menilai kondisi kualitas hidup seseorang secara holistik, dapat digunakan lintas budaya, dan
membutuhkan waktu yang singkat. Penilaian kualitas hidup menggunakan WHOQOL-BREF
ini meliputi aspek kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan.11 Penilaian
dilakukan dengan pengisian langsung dalam kondisi 4 minggu terakhir.12
Penilaian kualitas hidup menggunakan WHOQOL-BREF ini telah dilakukan di berbagai
negara dan dalam berbagai bidang kesehatan.1,8,9,10,13,14,15 Namun belum ada penilaian kualitas
hidup ibu dengan anak disabilitas di Indonesia. Berdasarkan data kunjungan pasien ke
Poliklinik Pediatri Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo, persentase
anak dengan palsi serebral terus mengalami peningkatan dari 14,7% (periode Maret-Desember
2013) menjadi 21,2% (periode Januari-Desember 2016) dan pada periode Januari-Desember
2017 menjadi 25,3%.
Sehingga pada bulan Agustus 2017, dilakukan penelitian pendahuluan oleh Meiliana,W
dan Wahyuni,LK yang membandingkan kualitas hidup 10 orang ibu dengan anak palsi serebral
dan 10 orang ibu dengan anak normal menggunakan kuesioner WHOQOL-BREF melalui
metode wawancara dan didapatkan hasil yang menunjukan bahwa ibu dengan anak palsi
serebral memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan ibu dengan anak normal.
Penelitian pendahuluan tersebut juga menunjukan bahwa lama menderita palsi serebral dapat
menurangi kualitas hidup ibu dengan anak palsi serebral, serta adanya beberapa faktor sosial
demografik (usia ibu, pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan jarak dari rumah ke pusat
terapi) yang juga ikut mengurangi kualitas hidup ibu dengan anak normal dan ibu dengan anak
palsi serebral.16
Saat ini penelitian pendahuluan tersebut sedang dilakukan dalam jumlah sample yang lebih
besar (pada 120 ibu dengan anak palsi serebral yang terbagi dalam 60 ibu di Poliklinik Pediatri,
Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo dan 60 ibu di Yayasan
Penyandang Anak Cacat, Jakarta). Penelitian ini juga menghubungkan kualitas hidup ibu
dengan kondisi palsi serebral anak, faktor social demografik dan kondisi mental ibu.
Daftar Pustaka
1. Tekinarslan, Ilknur Cifci. 2013. A Comparison Study of Depression and Quality of Life in
Turkish Mothers of Children with Down Syndrome, Cerebral Palsy, and Autism Spectrum
Disorder. Journal of Psychological Reports: Relationships & Communications, Vol.112,
No.1, P.266-87.
2. Piovesan J, Passo U De, Fundo P. Quality of Life and Depressive Symptomatology in
Mothers of Individuals with Autism. 2015:505-515.
3. Dardas LA. Stress , Coping Strategies , and Quality of Life among Jordanian Parents of
Children with Autistic Disorder. 2014;4(1):1-6. doi:10.4172/2165-7890.1000127.
4. Roncada C, Pieta C, Goecks S, et al. Usefulness of the WHOQOL-BREF questionnaire in
assessing the quality of life of parents of children with asthma. Rev Paul Pediatr (English
Ed. 2015;33(3):267-273. doi:10.1016/j.rppede.2015.06.008.
5. Gau B, Chen Y, Lo L, et al. Clinical applicability of the World Health Organization
Quality of Life Scale Brief Version ( WHOQOL-BREF ) to mothers of children with
asthma in Taiwan. 2010;(1):811-819. doi:10.1111/j.1365-2702.2009.02934.x.
6. Mangunsong, Frieda. 2011. Orang Tua dan Keluarga Anak Berkebutuhan Khusus. Dalam
Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Edisi 2011, Jilid 2, Bab 17 (Hal
162-80). LPSP3 UI : Jakarta.