Anda di halaman 1dari 8

ORDE LAMA

Era 1950-1959 atau juga disebut Orde Lama adalah era di mana presiden
Soekarno memerintah menggunakan konstitusi UUDS Republik Indonesia 1950.
Periode ini berlangsung mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959

Latar Belakang
Pada masa orde lama, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami
beberapa peralihan. Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan
presidensial, parlementer, demokrasi liberal, dan sistem pemerintahan demokrasi
terpimpin. Berikut penjelasan sistem pemerintahan masa Ir. Soekarno:

Masa Pemerintahan Pasca Kemerdekaan (1945-1950)


Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari
presidensial menjadi parlementer. Dimana dalam sistem pemerintahan
presidensial, presiden memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai badan eksekutif dan
merangkap sekaligus sebagai badan legislatif.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno ini juga terjadi penyimpangan
UUD 1945. Berikut Penyimpangan UUD 1945 yang terjadi pada masa orde lama:
Fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berubah, dari pembantu presiden
menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN
yang merupakan wewenang MPRI.

Konstituante
Konstituante diberikan tugas untuk membuat undang-undang dasar yang
baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga
bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi
tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk
kembali pada UUD 1945. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik
Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia,
dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus
1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat
sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan
menyusun konstitusi baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante
secara demokratis, namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai
berlarut-larut. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret
Presiden 5 Juli 1959, yang antara lain berisi kembali berlakunya UUD 1945.
Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekret 5 Juli 1959, yang membubarkan
Konstituante.

Kabinet-kabinet

Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik
yang tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini.
1950-1951 - Kabinet Natsir
Program kerja kabinet Natsir atau masa kerja:
1. Mempersiapkan dan menyelengarakan pemilihan umum untuk memilih
Dewan Konstituante
2. Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk kelengkapan
negara
3. Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketentraman
4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat
5. Menyempurnakan organisasi angkatan perang
6. Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat
Akan tetapi, belum sampai program tersebut terlaksana, kabinet ini sudah
jatuh pada 21 Maret 1951 dalam usia 6,5 bulan. Jatuhnya kabinet ini karena
kebijakan Natsir dalam rangka pembentukan DPRD dinilai oleh golongan oposisi
terlalu banyak menguntungkan Masyumi.

1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo


Program kerja kabinet Sukiman :
1. Menjalankan berbagai tindakan tegas sebagai negara hukum untuk
menjamin keamanan dan ketentraman serta menyempurnakan organisasi
alat-alat kekuasaan negara
2. Membuat dan melakukan rencana kemakmuran nasional dalam jangka
pendek untuk mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat dan
mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam pembangunan
3. Menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk Dewan
Konstituante dan menyelengarakan pemilu itu dalam waktu singkat serta
mempercepat terlaksananya otonomi daerah
4. Menyiapkan undang-undang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja
sama, penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh
5. Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
6. Memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan
Februari 1952. Penyebab jatuhnya kabinet ini adalah karena diserang oleh
kelompok sendiri akibat kebijakan politik luar negeri yang dinilai terlalu condong
ke Barat atau pro-Amerika Serikat. Pada saat itu, kabinet Sukiman telah
menendatangani persetujuan bantuan ekonomi, teknologi, dan persenjataan
dengan Amerika Serikat. Dan persetujuan ini ditafsirkan sebagai masuknya
Indonesia ke Blok Barat sehingga bertentangan dengan program kabinet tentang
politik luar negeri bebas aktif.

1952-1953 - Kabinet Wilopo


Program kerja kabinet Wilopo :
1. Mempersiapkan pemilihan umum
2. Berusaha mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan RI
3. Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
4. Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
5. Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif
Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan dalam mengatasi timbulnya
gerakan-gerakan kedaerahan dan benih-benih perpecahan yang akan menggangu
stabilitas politik Indonesia. Ketika kabinet Wilopo berusaha menyelesaikan
sengketa tanah perusahaan asing di Sumatera Utara, kebijakan itu ditentang oleh
wakil-wakil partai oposisi di DPR sehingga menyebabkan kabinetnya jatuh pada 2
Juni 1953 dalam usia 14 bulan.

1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I


Program kerja Kabinet Ali-Wongsonegoro :
1. Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah
2. Melaksanakan pemilihan umum
3. Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
4. Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin
meningkat, antara lain munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud
Beureuh Aceh, dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi
berbagai kesulitan, kabinet Ali-Wongsonegoro berhasil menyelenggarakan
Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu, kabinet Ali-Wongsonegoro ikut
terangkat namanya. Kabinet Ali-Wongsonegoro akhirnya jatuh pada bulan Juli
1955 dalam usia 2 tahun (usia terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-
Wongsonegoro adalah perselisihan pendapat anatara TNI-AD dan pemerintah
tentang tata cara pengangkatan Kepala Staf TNI-AD

1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap


Program kerja Kabinet Burhanuddin :
1. Mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan
Angkatan Darat dan masyarakat
2. Akan dilaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah
inflasi, dan pemberantasan korupsi
3. Perjuangan mengembalikan Irian Barat
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, dilaksanakan pemilihan umum
pertama di Indonesia. Kabinet ini menyerahkan mandatnya setelah DPR hasil
pemilihan umum terbentuk pada bulan Maret 1956.

1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II


Program kerja Kabinet Ali II :
1. Menyelesaikan pembatasan hasil KMB
2. Menyelesaikan masalah Irian Barat
3. Pembentukan provinsi Irian Barat
4. Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
Kabinet Ali II ini pun tidak berumur lebih dari satu tahun dan akhirnya digantikan
oleh kabinet Juanda.

1957-1959 - Kabinet Djuanda


Program kerja Kabinet Karya disebut Pancakarya yang meliputi :
1. Membentuk Dewan Nasional
2. Normalisasi keadaan RI
3. Melanjutkan pembatalan KMB
4. Memperjuangkan Irian Barat kembali ke RI
5. Mempercepat pembangunan

Dekret Presiden 5 Juli 1959


Dekret Presiden 5 Juli 1959 ialah dekret yang mengakhiri masa parlementer dan
digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa
Demokrasi Terpimpin
Isinya ialah:
1. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
2. Pembubaran Konstituante
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
ORDE BARU

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di


Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya
Surat Perintah 11 Maret 1966.[1] Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga
1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat
meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.

Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)

Gambar ini merupakan Supersemar versi Presiden.

Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret


(Supersemar) pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya. [1] Orde
Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan
negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[1]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret
1966. Saat itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh
Presiden Soekarno sedang berlangsung.[4] Di tengah-tengah acara, ajudan presiden
melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal.[1] Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno menyerahkan
pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. Johannes
Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr
Subandrio, dan Waperdam III Chaerul Saleh.[4] Leimena sendiri menyusul
presiden segera setelah sidang berakhir.[4]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki
Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud
bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan
Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden.[4] Segera setelah
mendapat izin, pada hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor
dengan tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden
Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga.[4] Namun,
mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk
mengatasi keadaan ini.[4]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat
perintah yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri
Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin
keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan
negara Republik Indonesia.[4] Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh
tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal
Subur, Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa.[4] Surat perintah
inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau
Supersemar.

Pemberangusan Partai Komunis Indonesia

Letnan Jenderal Soeharto


Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal
Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia
mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai
Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau senada
dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia.[4] Keputusan ini
kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris
MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966.[5] Keputusan pembubaran Partai
Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan
karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.[5]
Pembentukan Kabinet Ampera

Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan


Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi
nama Kabinet Ampera.[10] Tugas utama Kabinet Ampera adalah menciptakan
stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal dengan nama Dwidarma
Kabinet Ampera.[10] Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera disebut
Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[10]

1. memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan


pangan;
2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum
dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan
nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam
segala bentuk dan manifestasinya.

Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya


dilakukan oleh Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.[10]
Akibatnya, muncul dualisme kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang
menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.[10

Kebijakan Ekonomi
1. Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
2. Swasembada beras
3. Pemerataan kesejahteraan penduduk

Penataan Kehidupan Politik


1. Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Organisasi masanya
2. Penyederhanaan Partai Politik
3. Pemilihan Umum
4. Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
5. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)

Penataan Kehidupan Politik Luar Negeri


1. Kembali menjadi anggota PBB
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi
anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar bahwa banyak manfaat yang
diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964.[butuh rujukan]
Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-
negara Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan
dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang
tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkan hubungan dengan sejumlah
negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang
sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.
2. Normalisasi Hubungan dengan Negara lain
1) Pemulihan Hubungan dengan Singapura
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur
Rachman, hubungan Indonesia dengan Singapura berhasil dipulihkan
kembali. Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah Indonesia menyampaikan
nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee
Kuan Yew. Lalu pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban
kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
2) Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia


Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan
diadakannya perundingan di Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang
menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian tersebut adalah:
 Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang
telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi
Malaysia.
 Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan
diplomatik.
 Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan
pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh
Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak (Malaysia).
3) Pembekuan Hubungan dengan RRT
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia
membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok
(RRT). Keputusan tersebut dilakukan karena RRT telah mencampuri
urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada
Gerakan 30 September baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun
sesudah terjadinya pemberontakan tersebut. Selain itu pemerintah
Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan orang-
orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Keduataan Besar
Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRT juga telah memberikan
perlindungan kepada tokoh-tokoh Gerakan 30 September di luar negeri,
serta secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali Partai
Komunis Indonesia. Melalui media massanya RRT telah melakukan
kampanye menyerang Orde Baru. Pada 30 Oktober 1967, Pemerintah
Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.

Anda mungkin juga menyukai