Anda di halaman 1dari 17

PERAN PBB MENGHADAPI KONSPIRASI DALAM TERORISME

Makalah Ini Diajukan Untuk Tugas Akhir Mata Kuliah Perspektif Global

Dosen Pengampu : Dr. Arifin Maksum, M.Pd

Nama : Penina Damayanti

NIM : 1107617132

Kelas : D/2017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat,

hidayah, dan inayah-Nya kepada kami hingga akhirnya makalah ini kami selesaikan

dengan lancar. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perspektif

Berwawasan Global. Selain itu kami menyusun makalah ini untuk menambah wawasan

mengenai terorisme.

Makalah ini kami telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman

kami, kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih ada kekurangan

baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa karena kami masih dalam tahap

belajar. Oleh karena itu kami menerima saran ataupun kritikan dari segala pihak agar

makalah selanjutnya bisa lebih baik dari sebelumnya. Dalam makalah ini kami

membahas tentang “Peran PBB Menghadapi Konspirasi Dalam Terorisme”. Semoga

makalah yang kami buat ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi bagi

pembaca.

Jakarta, 25 Juni 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.................................................................................................... 1

B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................ 4

C. TUJUAN PENULISAN................................................................................................. 4

D. MANFAAT PENULISAN …………………………………………………………………... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TERORISME ………………………...................................................... 5

B. KARAKTERISTIK TERORISME ………………………………………………………….. 6

C. BENTUK TERORISME ……………………………………………………………………. 7

D. PENGERTIAN TEORI KONSPIRASI ……………………………………………………. 8

E. HUBUNGAN KONSPIRASI DAN TERORISME ……………………………………….. 9

F. PERAN PBB DALAM MENYELESAIKAN ISU TERORISME ………………………… 11

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN .......................................................................................................... 13

B. SARAN...................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terorisme bukanlah isu baru namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya

peristiwa serangan terhadap gedung World Trade Centre (WTC) di New York,

Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001. Tragedi ini mendorong munculnya

pemahaman baru tentang terorisme. Terorisme tidak lagi hanya dipahami sebagai

aksi kejahatan luar biasa yang bersifat nasionalistik dan teritorial, melainkan aksi

tersebut juga memiliki karakter ideologis yang berkorelasi dengan agama dan

bersifat lintas negara.

Peristiwa 9/11 di atas juga telah memiliki dampak terhadap perubahan

konstelasi politik internasional dengan kecenderungan semakin eksisnya hegemoni

AS. Tragedi ini berkembang sebagai isu global sebagai akibat dari kebijakan yang

dilancarkan untuk memerangi terorisme yang dikenal dengan Global War against

Terrorism. Dalam implementasinya, AS menuntut dukungan dari komunitas

internasional untuk bekerja sama memerangi terorisme. Deklarasi “either you are

with us or against us” yang dinyatakan oleh Presiden AS George W. Bush tidak

memberikan pilihan lain bagi negara-negara di dunia selain hanya untuk bersikap

mendukung atau tidak ikut dalam aliansi AS dalam perang melawan teroris.

Sepertinya tidak ada satu negara pun yang bisa mengusik Amerika Serikat.

Ibaratnya satu jarum saja jatuh di wilayah negara adidaya satu-satunya ini,

gemanya akan terdengar sampai ke seluruh pelosok dunia. Maka, tidaklah

1
mengherankan ketika dua gedung kembar yang legendaris itu luluh lantak, dunia

dihadapkan pada sebuah perang ‘massal’ melawan apa yang dikatakan Amerika

Serikat sebagai terorisme.

Aktivitas terorisme sebenamya bukanlah sebuah hal yang baru. Terorisme

sudah dilakukan sepanjang sejarah dunia ini tercatat. Ahli sejarah Yunani

Xenophon, yang hidup pada tahun 431-350 SM, menulis mengenai efektivitas

senjata psikologis dalam melawan musuh,. seperti halnya propaganda yang tentu

saja lazim digunakan oleh terorisme masa kini. Beberapa kaisar Romawi kuno

seperti Tiberius (masa pemerintahan 14-37 M) dan Kaligula (masa pemerintahan

3741) juga menggunakan metode penghancuran massa, penghancuran properti,

dan eksekusi sebagai alat untuk mengancam lawan politiknya. Meneruskan catatan

sejarah di atas, Perang Sipil Amerika (1861-1865) juga tidak terlepas dan aktivitas

terorisme di mana para pejuang dari Selatan dengan organisasi Ku Klux Klan

dianggap sebagai teroris yang mengintimidasi para pendukung rekonstruksi

Amerika Serikat. Lebih jauh lagi, setelah pertengahan abad ke-19, para pendukung

anarkisme dan negara-negara di Eropa, Rusia, dan Amerika mengadopsi metode

terorisme ini sebagai alat utama yang terbukti efektif dalam mencapai perubahan

politik dan sosial. Dalam kurun waktu dan tahun 1865 hingga 1905 tercatat

sejumlah raja, presiden, perdana menteri dan para pelaku pemerintahan terbunuh

dengan senjata konvensional maupun bom.

Peristiwa 11 September 2001 di New York, Amerika Serikat, dan 12 Oktober

2002 di Bali, Indonesia dan Bogota, Columbia pada tanggal 7 Februan 2003, telah

membawa mimpi buruk bagi setiap pemeriritahan negara-negara di dunia akan

2
kemungkinan terorisme menghancurkan kedaulatan mereka. Secara tidak

langsung, Amerika Serikat sebagai negara adidaya yang terkena tragedi ml,

merasa berkewajiban untuk memperkuat aktivitas perlawanan terhadap terorisme

dunia. Oleh karena itu, dimanfaatkan kembali perannya dalam berbagai organisasi

dunia, seperti NATO dan Dewan Keamanan PBB untuk menjaring kekuatan militer

dunia dan membawa opini publik dunia akan kejahatan kemanusiaan berupa

terorisme, yang harus segera dimatikan. Pengumpulan kekuatan yang dilakukan

oleh Amerika Serikat ini berkelanjutan dengan penyerangan-penyerangan ataupun

ide penyerangan terhadap berbagai negara yang dianggap sebagai sarang teroris.

Dukungan terhadap usaha ini dimiliki oleh Amerika baik dan beberapa rekan di

dalam NATO, calon anggota NATO, maupun Dewan Keamanan PBB sendiri.

Uraian di atas memperlihatkan bagaimana dunia seakan-akan berjalan di atas

sebuah konspirasi yang mampu membentuk satu legalitas bagi setiap tindakan

demi tujuan keamanan dan stabilitas dunia. Berangkat dan sudut pandang

demikian, tulisan ini akan melihat bagaimana teori konspirasi dapat diterapkan

untuk menganalisis peran PBB dalam menanggapi isu teronsme ini. Untuk

kepentingan tersebut, maka bagian kedua dalam tulisan ini akan mengelaborasi

teori konspirasi dari Karl Popper, sebelum akhirnya membahas bagaimana teori

tersebut teraplikasikan dalam peran PBB, terutama menyangkut kewenangan dan

aktivitas Dewan Keamanan PBB dalam isu terorisme.

3
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan terorisme?

2. Apa yang dimaksud dengan teori konspirasi?

3. Bagaimana hubungan teori konspirasi dengan terorisme?

4. Bagaimana peran PBB dalam menangani isu ini?

C. Tujuan Penulisan

1. Memahami apa yang dimaksud dengan terorisme.

2. Memahami apa yang dimaksud dengan teori konspirasi.

3. Mengetahui hubungan antara teori konspirasi dan terorisme.

4. Mengetahui peran PBB dalam menangani isu terorisme ini.

D. Manfaat Penulisan

1. Menjadi referensi bacaan bagi yang ingin mengetahui tentang isu terorisme dan
konspirasi.
2. Menjadi referensi untuk membedakan tindakan apa yang termasuk terorisme
atau bukan.
3. Menjadi referensi bagi mahasiswa dalam mengembangkan isu-isu terorisme
sehingga dapat melakukan tindakan preventif dan menjadi mahasiswa yang
kritis.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Terorisme

Kata “teroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin ’terrere’

yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘teror’ juga

bisa menimbulkan kengerian. Tentu saja, kengerian dihati dan pikiran korbannya.

Akan tetapi, hingga kini tidak ada defenisi terorisme yang bisa diterima secara

universal. Pada dasarnya, istilah “terorisme” merupakan sebuah konsep yang

memiliki konotasi yang sangat sensitive karena terorisme menyebabkan terjadinya

pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.

Secara definitif, menurut Encyclopaedia Britannica 2003, yang dimaksud

dengan terorisme adalah penggunaan teror secara sistematis atau kekerasan yang

tidak dapat diprediksikan yang ditujukan untuk menyerang pemerintah, publik,

ataupun individual demi kepentingan politis tertentu. Terorisme telah digunakan

oleh berbagai organisasi politik, baik aliran kanan maupun kiri, para pejuang

nasionalis dan etnis tertentu, para pejuang revolusi, kekuatan militer suatu negara

maupun polisi, dan bahkan oleh pemerintahan negara tertentu. Hampir serupa

dengan uraian di atas, secara resmi terorisme yang didefinisikan oleh Amerika

Senkat tercatat dalam dokumen Code of Federal Regulations sebagai: “ ...the

unlawful use of force and violence against persons or property to intimidate or

coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance

of political or social objectives”.

5
B. Karakteristik Terorisme

Menurut Terrorism Act 2000 UK, teroris memengandung ciri-ciri yaitu:

1. Aksi yang melibatkan kekeasan serius terhadap seseorang, kerugian berat

terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan

kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi

kesehatan atau keselamatan publik tertentu bagi publik atau didesain secara

serius untuk campur tangan atau menggangu sistem elektronik;

2. Penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau

untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik;

3. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau ideologi;

4. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan

senjata api dan bahan peledak.

Menurut James H. Wolfe menyebutkan beberapa karakteristik terorisme

sebagai berikut:

1. Terorisme dapat didasarkan pada motivasi yang bersifat politis maupun non-

politis;

2. Sasaran yang menjadi objek aksi terorisme bisa sasaran sipil (supermarket,

mall, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit dan fasilitas umum lainnya) maupun

sasaran non-sipil (fasilitas militer, kamp militer)

3. Aksi terorisme dapat ditujukan untuk mengintimidasi atau mempengaruhi

kebijakan pemerintah negara;

4. Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan yang tidak menghormati hukum

internasional atau etika internasional.

6
C. Bentuk-bentuk Terorisme

Mengenai tipologi terorisme, terdapat sejumlah versi penjelasan, di

antaranya tipologi yang dirumuskan oleh “National Advisory Committee” (komisi

kejahatan nasional Amerika) dalam The Report of the Task Force of the on

Disorders and Terrorism, yang mengemukakan sebagai berikut, ada beberapa

bentuk terorisme yaitu:

1. Terorisme Politik yaitu perilaku kekerasan kriminal yang dirancang guna


menumbuhkan rasa ketakutan di kalangan masyarakat demi kepentingan

politik;

2. Terorisme non-politis yakni mencoba menumbuhkan rasa ketakutan dengan


cara kekerasan, demi kepentingan pribadi, misalnya kejahatan terorganisasi;

3. Quasi terorisme, digambarkan dengan “dilakukan secara insidental”, namun


tidak memiliki muatan ideologi tertentu, lebih untuk tujuan pembayaran

contohnya dalam kasus pembajakan pesawat udara atau penyanderaan

dimana para pelaku lebih tertarik kepada uang tebusan daripada motivasi

politik;

4. Terorisme politik terbatas, diartikan sebagai teroris, yang memiliki motif politik
dan ideologi, namun lebih ditujukan dalam mengendalikan keadaan (Negara).

Contohnya adalah perbuatan teroris yang bersifat pembunuhan balas dendam

(vadetta-type executions);

5. Terorisme Negara atau pemerintahan yakni suatu Negara atau pemerintahan,


yang mendasarkan kekuasaannya dengan ketakutan dan penindasan dalam

mengendalikan masyarakatnya.

7
D. Pengertian Teori Konspirasi

Salah satu filsuf dunia yang membahas teori konspirasi adalah Karl R.

Popper. Dalam buku kedua dari The Open Society, and Its Enemies, The High

Tide of Prophyec: Hegel and Marx, and The Aftermath Popper secara panjang

lebar membahas dalain bab berjudul The Autonomy of Sociology perihal apa

yang disebutnya sebagai the Conspiracy Theory of Society.

Menurut Popper, Teori Konspirasi adalah kenyataan di mana penjelasan

dan fenomena sosial terdiri dan keberadaan fenomena itu sendiri dan orang

yang merencanakan dan berkonspirasi untuk mendaptakan fenomena itu.

Secara khusus, Popper menjelaskan bahwa konspirasi merupakan sebuah

fenomena sosial yang tipikal. Konspirasi menjadi penting karena setiap mdividu

yang mempercayainya memiliki kemampuan untuk berkuasa. Individu-Individu

yang secara penuh percaya bahwa mereka tahu betul bagaimana menciptakan

‘surga’ di dunia adalah individu-individu yang potensial untuk mengadopsi teori

konspirasi ini. Mereka jugalah yang mampu menciptakan penjelasan atas

kegagalan mereka merekayasa ‘surga’ dunia karena intensi jahat dari setan-

setan yang memiliki kepentingan tertentu atas dunia ini.

Untuk itulah konspirasi itu harus diakui keberadaannya. Namun demikian,

fakta mengatakan bahwa hanya sedikit konspirasi yang benar-benar sukses

dalam praktiknya. Pemikiran Popper yang berasal dan asumsi Marx mengatakan

bahwa semua kemudahan sosial politik hanya untuk melayani kepentingan

kapitalisme dan kemudian melahirkan sebuah konspirasi yang berkembang

dalam menjelaskan berbagai situasi yang terjadi di dunia ini. Salah satu ilmuwan

8
lainnya yang juga berusaha menjelaskan kembali teori konspirasi dan sisi lain

adalah Fernando R. Tenson. Dalam tulisannya berjudul International Human

Rights and Cultural Relativism, Tenson menjelaskan bagaimana institusi besar

yang seharusnya terwujud demi kepentingan hak asasi manusia, pada

hakikatnya merupakan kreasi ala Macchiavelian dan Barat yang berkuasa.

Menurut Tenson, teori konspirasi institusi dunia, terutama yang bertujuan

mempromosikan hak asasi manusia, gagal dalam memisahkan garis antara

dukungannya terhadap hak asasi manusia dengan dukungannya terhadap

kelompok pemilik modal tertentu). Untuk menjelaskan situasi kacau akibat

adanya teori konspirasi ini, Popper sebenarnya telah mengatakan bahwa solusi

dan fenomena tersebut adalah melihat secara jelas kelompok yang berada di

belakang kejadian tersebut, beserta kepentingan-kepentingan tersembunyi yang

sebenar-benarnya. Untuk itulah penjelasan sejarah kemudian juga dibutuhkan.

E. Hubungan antara Konspirasi dan Terorisme

Setelah peristiwa mengenaskan 11 September 2001, perang melawan

terorisme berkumandang di seluruh dunia. PBB sebagai organisasi internasional

yang beranggotakan hampir seluruh negara-negara di dunia, merasa

bertanggung jawab untuk mengorganisasikan upaya ini. Berbekal investigasi

singkat bahwa Taliban, sebuah organisasi yang bermarkas di Afghanistan,

diduga menjadi otak dan peristiwa 11 September 2001, maka pada tanggal 20

Desember 2001, dalam rangka menumpas terorisme, Dewan Keamanan kembali

mengeluarkan Resolusi 1386 yang memberikan legalitas atas pembentukan

9
ii
International Security Assistance Force. Alasan pembentukan badan ini adalah

keterlibatan pemerintah Afghanistan yang memberikan tempat bagi aktivitas

Taliban yang dipimpin oleh Osama bin Laden, yang hal ini bertentangan dengan

International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism.

Sekali lagi patut dilihat bahwa sesuai dengan teori Popper tentang

konspirasi, solusi dalam melihat sebuah konspirasi adalah dengan melihat

kepentingan yang ada di belakangnya selain dan keberadaannya yang sudah

kita lihat sebelumnya. PBB sebagai organisasi intemasional memiliki

kepentingan untuk menjalankan kewajibannya, namun tentu saja hal ini harus

dilakukan juga sejalan dengan prinsip-prinsip yang dianutnya. Sehingga

bukanlah suatu hal yang mengherankan apabila prinsip universalis HAM PBB ini

tidak sejalan dengan kepentingan negara lain yang juga merasa berkepentingan

dalam menciptakan perdamaian dan kestabilan dunia. Dan situasi ini terlihat

bagaimana konspirasi ala organisasi internasional yang dilakukan oleh PBB

mengalami tantangan dan konsipirasi kepentingan lain.

Kepentingan Amerika Serikat jelas, kerugian dan nama baik, belum lagi

perasaan malu sebagai sebuah negara adidaya yang diserang di depan muka

sendiri. Hal ini menjadi awal kemarahannya terhadap terorisme. Sementara,

Inggris dan Irlandia Utara juga memiliki pengalaman tersendiri mengenai

terorisme. Pengalaman membentuk rasa takut, dan ketakutan merupakan hal

potensial untuk berkonspirasi.

Hal itulah yang terjadi dalam perang melawan terorisme yang saat ini.

PBB merupakan entitas yang mampu menjadi wadah dan semua aspirasi dan

10
memiliki kewenangan untuk merealisasikan setiap ide yang tidak bertentangan

dengan tujuan pembentukan PBB.

Akan tetapi, seperti apa yang dikatakan oleh Popper,” ...conspirators is

likely to cosummate their conspiracy...” atau konspirator seringkali gagal

mewujudkan cita-cita konspirasinya. Ini dikarenakan, dengan keberadaan

konspirasi itu, ada dua kemungkinan keberadaan entitas lain, entitas yang turut

serta bergabung dalam aturan konspirasi tersebut, walaupun belum tentu

merniliki kapabilitas dan kepentingan yang sama untuk menjadi bagian dan

konspirasi, atau entitas konspirasi lain. Sehingga friksi yang terjadi antara dua

konspirasi ini semakin besar dan semakin sulit bagi kedua konspirator untuk

merealisasikan cita-cita konspirasinya.

F. Peran PBB dalam Menyelesaikan Isu Terorisme

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional

yang memegang peranan penting dalam suatu kancah global saat ini. Majelis

Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Strategi Anti-Terorisme Global

pada tanggal 8 September 2006. Strategi ini adalah instrumen global yang unik

untuk meningkatkan upaya nasional, regional dan internasional untuk melawan

terorisme.

Melalui pengadopsiannya bahwa semua negara anggota telah menyetujui

pertama kalinya untuk pendekatan strategis dan operasional umum untuk

memerangi terorisme, tidak hanya mengirimkan pesan yang jelas bahwa

terorisme tidak dapat diterima dalam semua bentuk dan manifestasinya tetapi

11
juga memutuskan untuk mengambil langkah-langkah praktis secara individual

dan kolektif untuk mencegah dan memberantasnya. Langkah-langkah praktis

tersebut mencakup beragam langkah mulai dari memperkuat kapasitas negara

untuk melawan ancaman teroris hingga koordinasi yang lebih baik terhadap

kegiatan anti-terorisme sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Majelis Umum meninjau ulang Strategi setiap dua tahun, menjadikannya

dokumen yang hidup selaras dengan prioritas kontra-terorisme Negara-negara

Anggota. Tinjauan keempat Strategi ini terjadi pada bulan Juni 2014

(A/RES/68/276) dan didahului oleh laporan dari Sekretaris Jenderal PBB

(A/68/841) yang mencakup tinjauan tentang lanskap terorisme yang terus

berkembang, rekomendasi untuk mengatasi tantangan dan ancaman, dan

kompilasi tindakan yang diambil oleh Negara Anggota dan entitas PBB untuk

melawan terorisme.

Strategi Anti-Terorisme Global dalam bentuk resolusi dan Rencana Aksi

yang dianeksasi (A/RES/60/288) terdiri dari 4 pilar, yaitu:

1. Mengatasi kondisi yang kondusif untuk penyebaran terorisme

2. Langkah-langkah untuk mencegah dan memerangi terorisme

3. Langkah-langkah untuk membangun kapasitas negara untuk mencegah dan

memerangi terorisme dan untuk memperkuat peran sistem Perserikatan

Bangsa-Bangsa dalam hal itu;

4. Langkah-langkah untuk memastikan penghormatan terhadap hak asasi

manusia untuk semua dan aturan hukum sebagai dasar fundamental untuk

perang melawan terorisme.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara definitive, terorisme adalah penggunaan teror secara sistematis atau

kekerasan yang tidak dapat diprediksikan yang ditujukan untuk menyerang

pemerintah, publik, ataupun individual demi kepentingan politis tertentu. Konspirasi

merupakan sebuah fenomena sosial yang tipikal. Dari peristiwa 9/11 dengan

kekuasaan negara adidaya yaitu Amerika Serikat, membuka peluang adanya

konspirasi politik di dalamnya untuk menekan sebuah negara berkembang. Hal ini

tentunya tidak dapat dilepaskan dari kepentingan pribadi Amerika Serikat.

Semenjak saat itu, PBB memfokuskan diri pada terorisme. Kasus tersebut diusut

sampai menemukan benang merahnya, namun karena PBB juga terpengaruh oleh

kekuasaan negara adidaya tersebut maka hasil yang di dapat tidaklah maksimal

karena masih adanya keberpihakan.

B. Saran

Seperti yang dikatakan Popper, solusi dan fenomena tersebut adalah melihat

secara jelas kelompok yang berada di belakang kejadian tersebut, beserta

kepentingan-kepentingan tersembunyi yang sebenar-benarnya. Kita perlu lebih

kritis dalam menghadapi isu-isu yang terjadi, jangan sampai salah persepsi hanya

karena perkataan sesuatu atau seseorang yang sedang berkuasa.

13
DAFTAR PUSTAKA

Easson, Joseph J. dan Alex P. Schmid. 2011. “Appendix 2.1 250-plus Academic,

Governmental and Intergovernmental Definitions of Terrorism”, dalam Schmid (Ed.),

The Routledge Handbook of Terrorism Research. New York: Routledge.

Hadiprayitno, Irene. 2003. Terorisme dan Teori Konspirasi: Tinjauan terhadap Peran

PBB. Depok: Jurnal Politik Internasional Global Universitas Indonesia Vol. 5, No.2

Harris, D.J. 1998. Cases and Materials on International Law, London: Sweet and

Maxwell.

Hoffman, Bruce. 1998. Inside Terrorism. New York: Columbia University Press.

Morgan, Matthew J. 2004. The Origins of the New Terrorism. London: Parameters.

Pillar, Paul R. 2001. “Terrorism Goes Global: Extremist Group Extend their Reach

Worldwide”: The Brookings Review 19 (Fall).

Popper, K.R.. 1973. The Open Society and Its Enemies: Vol II, The High Tide of

Prophecy: Hegel, Marx and the Aftermath, London: Routledge.

https://www.un.org/counterterrorism/ctitf/en/un-global-counter-terrorism-strategy

Wuryandari, Ganewati. 2014. Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi Isu

Terorisme Internasional. Jakarta: Jurnal Tantangan Politik Lokal Pasca SBY Vol.11, No.

2.

14

Anda mungkin juga menyukai