Anda di halaman 1dari 11

PRINSIP-PRINSIP PENGAWETAN DALAM INDUSTRI PANGAN

Perkembangan industri pangan di Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang cukup pesat.
Diperkirakan bahwa perkembangan industri pangan di Indonesia akan terus maju dengan laju
pertumbuhan yang cukup. Arah dan laju pengembangan industri pangan di Indonesia, paling
tidak, didorong oleh tiga faktor utama yang saling mendukung, yaitu (i) faktor sosial-ekonomi
konsumen, (ii) faktor kebijakan pemerintah dan (iii) faktor ilmu dan teknologi.

Faktor Penyebab Kerusakan Pangan

Kerusakan bahan pangan, tergantung dari jenis bahan pangan, dapat berlangsung secara lambat
misalnya pada biji-bijian atau kacang-kacangan atau dapat berlangsung secara sangat cepat
misalnya pada susu dan daging.

Penyebab Utama Kerusakan Bahan Pangan

Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut : pertumbuhan dan
aktivitas mikroba terutama bakteri, kamir dan kapang; aktivitas enzim-enzim di dalam bahan
pangan; serangga, parasit dan tikus, suhu termasuk suhu pemanasan dan pendinginan; kadar air,
udara terutama oksigen; sinar dan jangka waktu penyimpanan.

Bakteri, Kapang dan Kamir

Mikroba penyebab kebusukan pangan dapat ditemukan di mana saja baik di tanah, air, udara, di
atas kulit atau bulu ternak dan di dalam usus. Beberapa mikroba juga ditemukan di atas
permukaan kulit buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian dan kacang-kacangan. Mikroba
seharusnya tidak ditemukan di dalam jaringan hidup misalnya daging hewan, daging buah atau
air buah. Sebagai contoh misalnya susu yang berasal dari sapi sehat mula-mula steril ketika
masih di dalam kelenjar susu, tetapi setelah diperah akan mengalami kontaminasi dari udara,
wadah atau dari si pemerah itu sendiri. Daging sapi yang berasal dari sapi yang sehat juga akan
mengalami kontaminasi segera setelah pemotongan.

Enzim

Enzim yang ada pada bahan pangan dapat berasal dari mikroba atau memang sudah ada pada
bahan pangan tersebut secara normal. Adanya enzim memungkinkan terjadinya reaksi-reaksi
biokimia dengan lebih cepat tergantung dari macam enzim yang ada, dan dapat mengakibatkan
bermacam-macam perubahan pada komposisi bahan. Contoh lain adalah penggunaan enzim
papain (proteinase) untuk mengempukkan daging.

Serangga, Parasit dan Tikus

Serangga terutama dapat merusak buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian dan umbi-umbian.


Pada biji-bijian atau buah-buahan kering biasanya serangga dapat dicegah secara fumigasi
dengan beberapa zat kimia seperti metil bromide, etilena oksida dan propilena oksida. Etilena
dan propilena tidak boleh digunakan untuk bahan pangan yang mempunyai kadar air tinggi,
karena kemungkinan dapat membentuk racun. Telur-telur serangga dapat tertinggal di dalam
pangan sebelum dan sesudah pengolahan, misalnya di dalam tepung. Parasit yang banyak
ditemukan misalnya di dalam daging babi adalah cacing pita (Trichinella spiralis). Cacing pita
tersebut masuk ke dalam tubuh babi melalui sisa-sisa makanan yang mereka makan. Daging babi
yang tidak dimasak dapat menjadi sumber kontaminasi bagi manusia. Cacing-cacing dalam
bahan pangan mungkin dapat dimatikan dengan pembekuan.

Pemanasan dan Pendinginan

Pemanasan dan pendinginan yang tidak diawasi dengan teliti dapat menyebabkan kerusakan
bahan pangan. Menurut hasil penelitian setiap kenaikan suhu 10oC pada kisaran suhu 10-38oC
kecepatan reaksi, baik reaksi enzimatik maupun reaksi nonenzimatik, rata-rata akan bertambah 2
kali lipat. Pemanasan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan protein (denaturasi),
emulsi, vitamin dan lemak.

Kadar Air

Kadar air pada permukaan bahan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi (RH) udara di sekitarnya.
Bila kadar air bahan rendah sedangkan RH di sekitarnya tinggi, maka akan terjadi penyerapan
uap air dari udara sehingga bahan menjadi lembab atau kadar airnya menjadi lebih tinggi. Bila
suhu bahan lebih rendah (dingin) daripada sekitarnya akan terjadi kondensasi uap air udara pada
permukaan bahan dan dapat merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kapang atau
perkembangbiakan bakteri.

Oksigen

Oksigen udara selain dapat merusak vitamin terutama vitamin A dan C, warna bahan pangan, cita
rasa dan zat kandungan lain, juga penting untuk pertumbuhan kapang. Pada umumnya kapang
bersifat aerobik, oleh karena itu sering ditemukan tumbuh di atas permukaan bahan pangan.
Oksigen udara dapat dikurangi jumlahnya dengan cara mengisap udara keluar dari wadah secara
vakum atau menggantikan dengan gas “inert” selama pengolahan misalnya mengganti udara
dengan gas nitrogen (N2) atau CO2 atau dengan mengikat molekul oksigen dengan pereaksi
kimia. Pada bahan pangan yang mengandung lemak adanya oksigen dapat menyebabkan
ketengikan.

Sinar

Sinar atau cahaya dapat merusak beberapa vitamin terutama riboflavin, vitamin A dan vitamin
C, juga dapat merusak warna pangan. Sebagai contoh misalnya susu yang disimpan dalam botol
yang tembus sinar, cita rasanya dapat berubah karena terjadinya oksidasi lemak dan perubahan
protein yang prosesnya dibantu oleh katalisator sinar. Bahan-bahan yang sensitif terhadap sinar
dapat dilindungi dengan cara pengepakan di dalam wadah yang tidak tembus sinar.

Waktu penyimpanan
Pada saat sesudah penyembelihan, pemanenan atau pengolahan bahan pangan mempunyai mutu
yang terbaik, tetapi hal ini hanya berlangsung sementara. Tergantung pada derajat kematangan
waktu pemanenan, beberapa bahan pangan dapat menurun mutunya dalam satu atau dua hari,
atau dalam beberapa jam setelah pemanenan atau pemotongan. Efek kerusakan oleh
pertumbuhan mikroba, keaktifan enzim, perkembangbiakan serangga, pengaruh pemanasan atau
pendinginan, kadar air, oksigen dan sinar, semua dipengaruhi oleh waktu. Pada umumnya waktu
yang lebih lama akan menyebabkan kerusakan bahan yang lebih besar, kecuali untuk beberapa
bahan tertentu misalnya pada keju, minuman anggur dan lain-lainnya yang tidak rusak selama
pemeraman.

Teknologi Pengawetan Dengan Suhu Rendah

Suhu rendah didefinisikan sebagai suhu di bawah suhu udara normal tetapi masih di atas suhu
beku. Umumnya yang dimaksud dengan suhu rendah ini berkisar antara -2 oC sampai 8oC. Pada
dasarnya, penurunan mutu produk pangan melibatkan dua sistem, yaitu sistem kimia dan
biokimia produk itu sendiri dan sistem mikroorganisme yang mengkontaminasinya. Kedua
sistem ini sama-sama beraktivitas dan akan mempengaruhi mutu akhir produk.

Dasar Pengawetan Pangan dengan Suhu Rendah

Pada umumnya proses respirasi akan berlangsung terus setelah bahan dipanen. Respirasi ini
terus berlangsung sampai bahan menjadi mati dan kemudian membusuk. Berlangsungnya
metabolisme jaringan-jaringan hidup seperti buah-buahan dan sayur-sayuran terbatas pada
kisaran suhu tertentu. Suhu di mana metabolisme tersebut berlangsung dengan sempurna disebut
suhu optimum. Pada suhu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari suhu optimum ini
metabolisme akan berjalan lebih lambat atau malahan dapat terhenti sama sekali pada suhu yang
terlalu tinggi.

Van’t Hoff, ahli kimia bangsa Belanda, juga menunjukkan bahwa laju reaksi kimia akan menurun
kira-kira dua kali jika suhu lingkungannya diturunkan sebesar 10oC. Hal ini biasanya dinyatakan
dengan nilai Q10 (temperature quotient). Nilai Q10 umumnya berkisar antara 2 dan 3. Nilai Q10 = 2
berarti bahwa laju reaksi tersebut akan berubah menjadi dua kali lebih besar kalau suhu
dinaikkan sebesar 10oC, dan sebaliknya akan menurun tinggal menjadi ½ dari laju semula jika
suhu diturunkan sebesar 10oC.

Cara-Cara Pengawetan dengan Suhu Rendah

Cara pengawetan pangan dengan suhu rendah ada 2 macam yaitu pendinginan (cooling) dan
pembekuan (freezing). Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan
yaitu -2 sampai +10oC. Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es pada
umumnya mencapai suhu 5-8oC. Meskipun air murni membeku pada suhu 0 oC, tetapi beberapa
makanan ada yang tidak membeku sampai suhu -2o atau di bawahnya, hal ini terutama
disebabkan oleh pengaruh kandungan zat-zat di dalam makanan tersebut.
Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik
biasanya dilakukan pada suhu -12 sampai -24oC. Pembekuan cepat (quick freezing) dilakukan
pada suhu -24 sampai -40oC.

Perbedaan yang lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap
keaktifan mikroba di dalam bahan pangan. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan pangan
tidak dapat menyebabkan kematian bakteri secara sempurna, sehingga jika bahan pangan beku
misalnya dikeluarkan dari penyimpanan dan dibiarkan sehingga mencair kembali, maka keadaan
ini masih memungkinkan terjadinya pertumbuhan bakteri pembusuk yang berjalan dengan cepat.
Pendinginan dan pembekuan masing-masing juga berbeda pengaruhnya terhadap rasa, tekstur,
nilai gizi dan sifat-sifat lainnya. Beberapa bahan pangan dapat menjadi rusak pada suhu
penyimpanan yang terlalu rendah.

Pengawetan dengan Suhu Rendah Bahan Pangan Hewani

Daging harus selalu disimpan pada suhu rendah dari sejak hewan dipotong sampai pada waktu
daging akan diolah. Bila daging akan disimpan selama beberapa hari maka harus segera
didinginkan sampai suhu di bawah 4oC, tetapi bila akan disimpan dalam waktu yang lebih lama
maka daging harus segera dibekukan pada suhu -18 sampai -23,5oC.

Pengawetan dengan Suhu Rendah Bahan Pangan Nabati

Di daerah sub tropis biji-bijian atau kacang-kacangan segar misalnya kacang tanah atau kedelai
biasanya disimpan pada suhu di bawah 4,5oC dengan kelembaban nisbi 75 persen. Kelembaban
yang lebih tinggi dapat mempercepat pertumbuhan kapang. Kacang kedelai yang rusak selama
penyimpanan biasanya berbintik-bintik coklat. Kedelai yang demikian tidak dapat menghasilkan
susu kedelai yang baik, banyak protein yang sudah tidak dapat larut lagi dalam air akibat
penggumpalan dan reaksi “browning” antara protein dan karbohidrat. Buah-buahan dan sayur-
sayuran juga memerlukan suhu penyimpanan tertentu.

Aspek Khusus Penyimpanan Dingin Produk Hortikultura

Penyimpanan produk hortikultura pada suhu dingin banyak dipraktekkan oleh industri.
Karakteristik penting pada produk hortikultura adalah bahwa produk tersebut masih melakukan
proses respirasi walaupun produk hortikultura telah dipanen. Karena hal itulah maka buah dan
sayuran dan produk hortikultura lainnya sering dikatakan sebagai bahan biologi yang masih
”hidup”. Sebagai bahan biologi yang hidup, produk hortikultura masih melakukan reaksi-reaksi
metabolisme untuk mempertahankan kondisi fisiologisnya, yang dapat ditunjukkan dengan
adanya proses pematangan, perubahan warna kulit dari hijau menjadi kuning, perubahan cita rasa
dari masam menjadi manis dan sebagainya.

Salah satu reaksi metabolisme yang penting dalam penanganan pasca panen adalah reaksi
respirasi atau pernafasan. Pada reaksi ini buah dan sayuran mengoksidasi bahan kimia simpanan
atau cadangannya menjadi energi. Reaksi ini memerlukan oksigen (O 2) dan menghasilkan
karbondioksida (CO2) dan panas (energi). Selain respirasi, buah dan sayuran tersebut juga
melakukan transpirasi, yaitu kehilangan kandungan air. Proses transpirasi ini juga sangat penting
dalam menentukan mutu produk hortikultura selama penyimpanan. Bagi produk yang sensitif
terhadap suhu rendah, penurunan suhu di bawah 10-15oC akan menyebabkan percepatan proses
kerusakan (chiling injury). Pada kondisi demikian, pada buah yang sensitif terhadap suhu rendah
ini akan terjadi beberapa perubahan yang tidak dikehendaki, sehingga bahkan akan menurunkan
daya simpan.

Karena itu, pengaturan suhu yang baik dan tepat merupakan syarat utama untuk memperoleh
daya awet yang optimum. Sebagai pedoman umum, untuk buah dan sayuran yang ”chilling
sensitive”, daya awet maksimum dapat diperoleh bila disimpan pada suhu yang mendekati titik
beku jaringannya. Sedangkan bagi buah dan sayuran yang ”chilling sensitive”, suhu
penyimpanan perlu dikontrol lebih baik, jangan sampai lebih rendah dari suhu kritisnya.

Teknologi Pengawetan Dengan Suhu Tinggi

Pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi merupakan metoda pengolahan yang telah
lama digunakan orang dan merupakan metoda pengolahan pangan yang paling populer
digunakan di industri. Aplikasi panas pada proses pengolahan pangan tentunya dimulai pada saat
manusia menemukan api, yaitu ketika manusia mulai memasak makanannya. Namun secara
industri hal tersebut menjadi sangat berkembang dengan ditemukannya proses pengalengan
makanan yang dapat memperpanjang masa simpan produk pangan beberapa bulan sampai
beberapa tahun.

Beberapa keuntungan dari proses pemanasan atau pemasakan ini adalah terbentuknya tekstur dan
cita rasa khas dan disukai; rusaknya atau hilangnya beberapa komponen anti gizi (misalnya
inhibitor tripsin pada produk leguminosa); peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi,
misalnya peningkatan daya cerna protein dan kabohidrat; terbunuhnya mikroorganisme sehingga
meningkatkan keamanan dan keawetan pangan; menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak,
sehingga mutu produk lebih stabil selama penyimpanan.

Pertumbuhan Mikroba dan Daya Tahan Panas

Tahap pertama adalah tahap istirahat (lag-phase). Pada keadaan ini bila mikroba tersebut
dimasukkan ke dalam media, akan hidup terus tetapi belum dapat berkembang biak. Tahap ini
merupakan masa persiapan bagi mikroba tersebut untuk melangsungkan metabolisme pada tahap
berikutnya, dan bila metabolisme sudah siap baru terjadi pembiakan.

Tahap berikutnya adalah tahap tumbuh (accelerate phase) yaitu tahap terjadinya pembelahan.
Bila bahan makanan cukup dan lingkungan hidupnya optimum (suhu dan pH), mikroba akan
bertambah dengan cepat sekali. Kecepatan pertumbuhan tersebut merupakan fungsi
eksponensial dengan waktu. Tahap ini dilanjutkan dengan tahap tumbuh ganas (log phase)
dimana kurvanya merupakan fungsi eksponensial dengan waktu. Hubungan antara log jumlah
mikroba yang masih hidup dengan waktu merupakan garis lurus.

Tahap berikutnya adalah tahap tumbuh reda (decelerate phase). Pada tahap ini pertumbuhan
mikroba menurun karena beberapa makanan yang tersedia berkurang atau karena adanya racun
hasil metabolismenya sendiri, sehingga terjadi pembelokan pada kurva pertumbuhan.
Tahap akhir adalah tahap kematian (death phase) di mana jumlah mikroba yang mati jauh lebih
besar daripada yang baru.

Bakteri yang berbahaya bagi kesehatan manusia yang paling tahan panas dan dapat ditemukan di
dalam makanan terutama yang dikalengkan dalam kondisi anaerobik adalah Clostridium
botulinum. Akan tetapi di dalam kaleng tersebut juga mungkin terdapat spora bakteri nonpatogen
tetapi dapat menyebabkan kebusukan bahan. Bakteri tersebut biasanya mempunyai daya tahan
panas lebih besar dari C. botulinum, misalnya bakteri PA 3679 (Putrefactive Anaerob) dan
Bacillus stearothermophilus (FS 1518). Karena daya tahannya yang tinggi maka dengan
pemanasan yang cukup untuk mematikan bakteri-bakteri tersebut, diharapkan bahwa Cl
botulinum dan bakteri-bakteri patogen lainnya juga akan mati.

Cara-Cara Pengawetan dengan Panas

Dua faktor yang harus diperhatikan dalam pengawetan dengan panas yaitu : (1) jumlah panas
yang diberikan harus cukup untuk mematikan mikroba pembusuk dan mikroba patogen dan (2)
jumlah panas yang digunakan tidak boleh menyebabkan penurunan gizi dan cita rasa makanan.

Jumlah panas yang diberikan dalam proses pengolahan pangan tidak boleh lebih dari jumlah
minimal panas yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba yang dimaksud. Dalam proses
pemanasan ada hubungan antara panas dan waktu, yaitu jika suhu yang digunakan rendah maka
waktu pemanasan harus lebih lama, sedangkan jika suhu tinggi waktu pemanasan singkat.
Sebagai contoh misalnya jumlah panas yang diterima bahan jika kita memanaskan selama 10 jam
di dalam air mendidih (100oC) kira-kira sama dengan memanaskan bahan tersebut selama 20
menit pada suhu 121oC.

Sterilisasi

Istilah sterilisasi berarti membebaskan bahan dari semua mikroba. Karena beberapa spora
bakteri relatif lebih tahan terhadap panas. Maka sterilisasi biasanya dilakukan pada suhu yang
tinggi misalnya 121oC (250oF) selama 15 menit. Ini berarti bahwa setiap partikel dari makanan
tersebut harus menerima jumlah panas yang sama. Misalnya jika suatu makanan dalam kaleng
akan disterilisasi, maka beberapa tempat pada makanan di dalam kaleng tersebut lebih lambat
menerima panas. Waktu yang diperlukan untuk sterilisasi sebenarnya tergantung dari besarnya
kaleng yang digunakan dan kecepatan perambatan panas dari makanan tersebut.

Selama proses sterilisasi dapat terjadi beberapa perubahan terhadap makanan yang dapat
menurunkan mutunya. Oleh karena itu jumlah panas yang diberikan harus dihitung sedemikian
rupa sehingga tidak merusak mutu makanan.

Sterilisasi komersiil (commercial sterilization) adalah sterilisasi yang biasanya dilakukan


terhadap sebagian besar makanan-makanan di dalam kaleng atau botol. Makanan yang steril
secara komersiil berarti semua mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksin) dalam
makanan tersebut telah dimatikan, demikian juga semua mikroba pembusuk. Mikroba lainnya
mungkin saja ada di dalam makanan tersebut tetapi berada di luar perhatian kita. Di dalam
makanan ini mungkin masih terdapat sedikit sekali spora bakteri yang tahan panas, tetapi tidak
dapat berkembang biak secara normal. Jika spora tersebut diisolasi dari makanan dan diberikan
kondisi yang sesuai maka dapat hidup sebagai biasa. Dengan demikian maka produk pangan
yang telah mengalami sterilisasi akan mempunyai daya awet yang tinggi; beberapa bulan sampai
beberapa tahun.

Pasteurisasi

Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif cukup rendah (umumya dilakukan
dibawah 100oC) dengan tujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk sehingga
bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan mempunyai daya awet beberapa hari (misalnya
produk susu pasteurisasi) sampai beberapa bulan (misalnya produk sari buah pateurisasi).

Walaupun proses ini hanya mampu membunuh sebagian populasi mikroorganisme, namun
pasteurisasi ini sering diaplikasikan terutama jika dikhawatirkan bahwa penggunaan panas yang
lebih tinggi akan menyebabkan terjadinya kerusakan mutu (misalnya pada susu). Tujuan utama
proses pemanasan hanyalah untuk membunuh mikroorganisme patogen (penyebab penyakit;
misalnya pada susu) atau inaktivasi enzim-enzim yang dapat merusak mutu (misalnya pada sari
buah). Oleh karena itu harus diketahui terlebih dahulu bahwa mikroorganisme penyebab
kebusukan yang utama adalah mikroorganisme yang sensitif terhadap panas (misalnya
kamir/kamir pada sari buah).

Blansir

Blansir adalah pemanasan pendahuluan yang biasanya dilakukan terhadap buah-buahan dan
sayur-sayuran untuk menginaktifkan enzim-enzim adi dalam bahan pangan tersebut, di antaranya
adalah enzim katalase dan peroksidase yang merupakan enzim-enzim yang paling tahan panas di
dalam sayur-sayuran.

Perlakuan blansir praktis selalu dilakukan jika bahan pangan akan dibekukan, karena pembekuan
tidak dapat menghambat keaktifan enzim dengan sempurna. Tergantung dari panas yang
diberikan, blansir juga dapat mematikan beberapa mikroba. Blansir biasanya dilakukan pada
suhu 82-93oC selama 3-5 menit.

Menentukan Suhu Pemanasan

Perambatan panas dapat berjalan secara konduksi, konveksi atau radiasi. Dalam pengalengan
makanan biasanya perambatan panas berjalan secara konveksi dan konduksi. Sifat perambatan
panas ini perlu diperhatikan untuk menentukan “jumlah panas” yang optimum yang harus
diberikan pada makanan kaleng.

Konduksi adalah perambatan panas di mana panas dialirkan dari satu partikel ke partikel lainnya
tanpa adanya pergerakan atau sirkulasi dari partikel itu, misalnya pada makanan-makanan yang
berbentuk padat seperti “corned beef”.

Di dalam makanan kaleng atau bahan yang dipanaskan terdapat tempat (titik) yang paling lambat
menerima panas yaitu yang disebut “cold point”. Pada bahan-bahan yang merambatkan panas
secara konduksi, “cold point” terdapat di tengah atau di pusat bahan tersebut, sedangkan pada
bahan-bahan yang merambatkan panas secara konveksi, “cold point” terletak di bawah atau di
atas pusat yaitu kira-kira seperempat bagian atas atau bawah sumbu.

Pengalengan Pangan

Tahap-tahap proses pengalengan yang umum dilakukan adalah persiapan bahan mentah
(pemilihan, pemotongan dan pencucian), blansir pengisian, penghampaan (ekshausting),
penutupan, sterilisasi dan pendinginan. Ekshausting dimaksudkan untuk mengurangi tekanan
dari dalam kaleng yang disebabkan karena pengembangan pada waktu proses pemanasan.
Dalam hal ini udara, terutama oksigen, yang dapat mempercepat terjadinya korosi pada kaleng
dikeluarkan. Keuntungan lain dari ekshausting adalah mencegah oksidasi makanan di dalam
kaleng dan mencegah pertumbuhan bakteri aerobik. Tanpa ekshausting makanan akan menjadi
lunak (bubur) setelah pemanasan karena “over pressure”. Hal semacam itu harus dihindari.
Ekshausting dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan cara (i) melakukan
pengisian produk ke dalam kaleng pada saat produk masih dalam kondisi panas, (i) memanaskan
kaleng beserta isinya sampai pada suhu 80-95 oC dengan tutup kaleng masih terbuka, atau (iii)
secara mekanik dilakukan penyedotan udara dengan sistem vakum.

Prosedur proses dan pengoperasian retort perlu dikuasai dengan baik. Menyadari betapa
pentingnya proses sterilisasi dengan retort (retorting) ini maka di banyak negara maju -seperti di
AS, misalnya- operator retort ini diisyaratkan untuk mempunyai sertifikat. Badan Pengawasan
Obat dan Makanan Amerika Serikat (USFDA) selalu menyelenggarakan pelatihan (Better
Process Control School) bagi operator retort, sehingga operator tersebut betul-betul paham dan
mahir dalam proses pengalengan.

Faktor yang penting tentang karakteristik produk pangan yang ada hubungannya dengan proses
sterilisasi adalah nilai pH. Berdasarkan pada nilai pH-nya, produk pangan dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok besar; yaitu (i) produk pangan berasam tinggi (high-acid foods) dengan
pH 6, (ii) produk pangan asam (acid foods) dengan nilai pH 3.7 sampai 4.5 dan (iii) produk
pangan berasam rendah (low-acid foods) dengan nilai pH > 4.5.

Kerusakan makanan kaleng

Kerusakan makanan-makanan dalam kaleng biasanya disebabkan oleh proses atau tahap-tahap
pengolahan yang tidak baik, atau disebabkan karena kebocoran kaleng, biasanya ditandai dengan
adanya jenis mikroba yang lebih bervariasi. Kebocoran biasanya terjadi pada sambungan badan
kaleng atau pada sambungan antara tutup dengan badan kaleng. Kaleng-kaleng yang isinya
mengalami kebusukan dapat digolongkan dalam “flat sour”, “flipper”, “springer” dan “swell”
(cembung) yang dibedakan dari “soft swell” dan “hard swell”.

Sterilisasi Produk secara Sinambung (Proses Aseptis)

Pada prinsipnya proses sterilisasi dapat dilakukan dengan berbagai kombinasi suhu dan waktu.
Jika digunakan suhu yang lebih tinggi, maka waktu sterilisasinya semakin pendek. Diketahui
bahwa kombinasi suhu yang lebih tinggi dan waktu pendek ini dapat memberikan keuntungan
berupa mutu produk yang lebih baik. Karena itulah maka muncul konsep sterilisasi High
Temperatur Short Time (HTST) dan Ultra High Temperature (UHT). Pada kondisi ini
sterilisasi dilakukan pada suhu 130-145oC tetapi hanya dalam beberapa detik saja. Karena itu,
maka diperlukan perlatan pemanasan yang mampu mencapai suhu tersebut dan sekaligus secara
cepat mampu mendinginkannya kembali dalam waktu relatif cepat. Hal ini dapat dilakukan
dengan dengan relatif mudah jika proses pemanasan dan pendinginan dilakukan sebelum
makanan tersebut dikemas. Hal ini umumnya dilakukan untuk produk pangan yang berbentuk
cairan, seperti susu cair dan sari buah, dengan menggunakan alat penukar panas yang dilakukan
secara sinambung.

Seiring dengan perkembangan teknik sterilisasi makanan yang demikian ini, khususnya dengan
berkembangnya teknik sterilisasi secara sinambung (sistem alir; continue), maka berkembang
pula produk-produk dalam kemasan aseptis. Sistem ini sering disebut sebagai sistem
pengalengan aseptis (aseptic canning).

Pengeringan Bahan Pangan

Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari
suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas. Biasanya
kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai suatu batas agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi
di dalamnya. Keuntungan produk hasil pengeringan adalah awet, volume lebih ringkas
(memudahkan penyimpanan dan transportasi), dan menimbulkan citarasa khas. Kecuali itu
banyak bahan-bahan yang hanya dapat digunakan apabila telah dikeringkan misalnya tembakau,
kopi, teh, biji-bijian dan lain-lainnya.

Dasar Pengawetan Pangan dengan Pengeringan

Proses pengeringan selain dapat dilakukan dengan pemanasan langsung, juga dapat dilakukan
dengan cara lain yaitu dengan “dehydro freezing” yang mempunyai daya pengawetan lebih baik,
dan “freeze drying”. “Dehydro freezing” adalah pengeringan disusul dengan pembekuan,
sedangkan “freeze drying” terjadi sublimasi yaitu perubahan dari bentuk es dalam bahan yang
beku langsung menjadi uap air tanpa mengalami proses pencairan terlebih dahulu. Cara ini
biasanya dilakukan terhadap bahan-bahan yang sensitif terhadap panas, misalnya vaksin-vaksin,
hormon, enzim, antibiotika dan lain-lainnya. “Freeze drying” mempunyai keuntungan karena
volume bahan tidak berubah, dan daya rehidrasi tinggi sehingga mendekati bahan asalnya.

Macam-Macam Pengeringan

Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan suatu alat pengering (artificial drier), atau
dengan penjemuran (sun drying) yaitu pengeringan dengan menggunakan energi langsung dari
sinar matahari.

Ada bermacam-macam alat pengering tergantung dari bahan yang hendak dikeringkan dan tujuan
pengeringannya, misalnya : “kiln drier”, “cabinet drier”, “continuous belt drier”, “air lift drier”,
“bed drier”, “spray drier”, “drum drier”, “vacuum drier” dan lain-lainnya.
Pengeringan buatan (artificial drying) mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara
dapat diatur sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dengan tepat dan kebersihan dapat
diawasi sebaik-baiknya.

Peranan Udara dalam Proses Pengeringan

Udara dapat dibedakan atas 2 macam yaitu udara kering atau udara tanpa kandungan uap air di
dalamnya, dan udara basah yaitu udara dengan kandungan uap air yang tinggi. Udara merupakan
campuran dari beberapa gas dengan perbandingan yang kira-kira tetap, misalnya H 2O, O2, N2,
CO2 yang kadang-kadang mengandung senyawa berbentuk gas (pencemar).

Air di dalam bahan pangan terdapat dalam 3 bentuk yaitu : (1) air bebas (free water) yang
terdapat dipermukaan benda padat dan mudah diuapkan, (2) air terikat (bound water) secara fisik
yaitu air yang terikat menurut sistem kapiler atau air absorpsi karena tenaga penyerapan, dan (3)
air terikat secara kimia misalnya air kristal dan air yang terikat dalam suatu sistem dispersi.

Kadar air suatu bahan pangan dapat dinyatakan dalam 2 cara yaitu berdasarkan bahan kering (dry
basis) dan berdasarkan bahan basah (wet basis). Kadar air secara “dry basis” adalah
perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut dengan berat bahan keringnya. Berat
bahan kering adalah berat bahan asal setelah dikurangi dengan berat airnya. Kadar air secara
“wet basis” adalah perbandingan antara berat air di dalam bahan tersebut dengan berat bahan
mentah.

Cara Menghitung aw Bahan Pangan

Pangan Setengah Basah (Intermediate Moisture Food)

Yang dimaksud dengan pangan setengah basah ialah suatu pangan yang mempunyai kadar air
tidak terlalu tinggi tetapi juga tidak terlalu rendah yaitu kira-kira 15-50 persen, tetapi pangan ini
dapat tahan lama selama penyimpanan. Jenis pangan ini baru kira-kira 10 tahun yang lalu dibuat
orang khusus untuk makanan anjing atau kucing, karena binatang-binatang ini tidak suka
makanan yang terlalu kering (keras) atau terlalu basah seperti bubur. Tetapi sekarang telah
banyak dibuat pangan setengah basah untuk makanan manusia.

Pengaruh Pengeringan Terhadap Sifat Bahan Pangan

Jika proses pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi, maka hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya “case hardening” yaitu suatu keadaan di mana bagian luar
(permukaan) dari bahan sudah kering sedangkan bagian sebelah dalamnya masih basah. Hal ini
disebabkan karena suhu pengeringan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan bagian permukaan
cepat mengering dan menjadi keras, sehingga akan menghambat penguapan selanjutnya dari air
yang terdapat di bagian dalam bahan tersebut. “Case hardening” juga dapat disebabkan oleh
adanya perubahan-perubahan kimia tertentu, misalnya terjadinya penggumpalan protein pada
permukaan bahan karena adanya panas atau terbentuknya dekstrin dari pati yang jika dikeringkan
akan menjadi bahan yang masif (keras) pada permukaan bahan. Terjadinya “case hardening”
dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.
Daging biasanya dikeringkan dengan menambahkan campuran gula, garam serta bumbu-bumbu
lainnya, dan hasilnya dikenal sebagai dendeng. Warna dendeng yang coklat sampai hitam terjadi
karena reaksi antara asam amino dari protein dengan gula pereduksi, di samping disebabkan pula
oleh warna gula yang digunakan.

Biji-bijian dan kacang-kacangan biasanya disimpan dalam keadaan kering terutama untuk
mencegah pertumbuhan kapang. Aspergillus flavus yang dapat membentuk aflatoksin yang
bersifat racun. Biji-bijian dan kacang-kacangan misalnya padi, jagung, kacang kedelai, kacang
tanah, kacang hijau dan lain-lainnya biasanya dikeringkan sampai kadar air 10-14 persen.

Buah-buahan dan sayur-sayuran selalu mengandung asam organik, dan juga kadar gula pereduksi
yang lebih tinggi pada buah yang lebih masak. Dengan demikian kematangan buah-buahan
untuk dikeringkan merupakan faktor penting dalam proses pengeringan. Reaksi “browning”
dapat dibatasi dengan menambahkan SO2 pada buah sebelum dikeringkan, dan cara yang paling
mudah dan murah adalah dengan mengasap buah yang sudah dikupas dengan asap hasil
pembakaran belerang.

Pada pengeringan ketela pohon (pembuatan gaplek) sering terjadi perubahan warna menjadi
hitam. Perubahan warna tersebut kemungkinan disebabkan oleh enzim polifenolase yaitu suatu
oksidase yang terdapat pada lendir ketela pohon, yang karena kontak dengan udara dapat
mengubah senyawa polifenol (tannin) menjadi senyawa yang berwarna hitam.

Kopra adalah hasil pengeringan daging buah kelapa, yang biasanya digunakan untuk membuat
minyak kelapa. Kopra yang baik harus mengandung air di bawah 5 persen untuk mencegah
pertumbuhan Aspergilus flavus, karena kapang ini umumnya tumbuh pada bahan yang
mempunyai kadar lemak tinggi.

Anda mungkin juga menyukai