Anda di halaman 1dari 10

PENGOBATAN KUSTA

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil
sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai sejak 1948 di Indonesia
digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh BROWN dan HOGERZEIL, dan
rifampisin sejak tahun 1970. Pada tahun 1988 WHOmenambahkan 3 obat antibiotic lain untuk
pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.1

Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberculosis telah menggunakan multi drug


treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971.1

Pada saat ini ada berbagai macam cara dan MDT yang dilaksanakan di Indonesia sesuai
rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang
paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat antikusta yang paling
banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di negara
berkembang dengan social ekonomi rendah. MDT digunakan sebagai usaha untuk1:

 Mencegah dan mengobati resistensi1


 Memperpendek masa pengobatan1
 Mempercepat pemutusan mata rantai penularan1

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain1:

 Efek terapeutik obat1


 Efek samping obat1
 Ketersediaan obat1
 Harga obat1
 Kemungkinan penerapannya1

DDS (Dapsone)

Merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfon. Dapson bersifat bakteriostatik


dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA.1
Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah
5 sampai 6 bulan.1

Dosis: dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-
anak. Efek samping: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis
epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut jarang dijumpai pada
dosis lazim.1

Rifampisin

Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat paling
ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang
berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya
resistensi.1

Dosis: dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kira-kira 99.9%
dalam waktu beberapa hari.1

Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.1

Klofazimin

Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui gangguan
metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna untuk
pengobatan reaksi kusta.1

Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari. Selain
itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I dan II.1

Efek samping: hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen,
diare, anoreksia dan vomitus).1
Obat alternatif

Ofloksasin

Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M. leprae in vitro. Dosis
optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam dosis akan membunuh kuman
M. leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna
lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness,
nervousness dan halusinasi.1

Minoksiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada


klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian adalah 100 mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf
pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness.1

Klaritromisin

Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap


M. leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat
membunuh 99% kuman hidup dalam hari dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek sampingnya
adalah nausea, vomitus dan diare.1

Penatalaksanaan kusta menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) menurut WHO tahun
1998 adalah sebagai berikut1:

Skema Regimen MDT WHO


Pemakaian regimen MDT-WHO pada pasien dengan keadaan khusus
 Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui. Kusta seringkali mengalami
eksaserbasi pada masa kehamilan, oleh karena itu MDT harus tetap diberikan. Menurut
WHO, obat-obatan MDT standar aman dipakai selama masa kehamilan dan menyusui baik
untuk ibu maupun bayinya. Tidak diperlukan perubahan dosis pada MDT. Obat dapat
melalui air susu ibu dalam jumlah kecil, belum ada laporan mengenai efek simpang obat
pada bayi kecuali pewarnaan kulit akibat klofazimin.3
 Pengobatan kusta pada pasien yang menderita tuberkulosis (TB) saat yang sama.3
 Bila pada saat yang sama pasien kusta juga menderita TB aktif, pengobatan harus ditujukan
untuk kedua penyakit. Obat anti TB tetap diberikan bersamaan dengan pengobatan MDT
untuk kusta.3
o Pasien TB yang menderita kusta tipe PB. Untuk pengobatan kusta cukup
ditambahkan dapson 100 mg karena rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama
pengobatan tetap sesuai dengan jangka waktu pengobatan PB.3
o Pasien TB yang menderita kusta tipe MB. Pengobatan kusta cukup dengan dapson
dan lampren karena rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan
tetap disesuaikan dengan jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah
selesai, maka pengobatan kusta kembali sesuai blister MDT.3
 Pengobatan kusta pada penderita yang disertai infeksi HIV pada saat yang sama.
Manajemen pengobatan pasien kusta yang disertai infeksi HIV sama dengan menajemen
untuk penderita non HIV.3

Regimen U-MDT untuk kusta PB dan MB.


Obat ini diberikan pada MH-PB dan MB selama 6 bulan, terdiri atas: rifampisin 600 mg 1
kali/bulan, dapson 100 mg/hari, serta klofazimin 300 mg/bulan pada hari pertama dilanjutkan
dengan 50 mg/hari.8 Regimen ini efektif dan ditoleransi baik untuk tipe PB tetapi kurang adekuat
untuk tipe MB.3

Pengobatan kusta dengan regimen alternatif


Bila MDT-WHO tidak dapat diberikan dengan berbagai alasan, antara lain:
 Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi obat, menderita penyakit penyerta hepatitis kronis, atau
terinfeksi dengan kuman yang resisten dengan rifampisin. Pasien dengan kuman resisten
terhadap rifampisin, biasanya resisten juga terhadap DDS. Oleh sebab itu digunakan
regimen berikut.3
 Pasien yang menolak klofazimin
Bila pasien menolak mengonsumsi klofazimin, maka klofazimin dalam MDT 12 bulan
dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan
atau rifampisin 600 mg/bulan, ofloksasin 400 mg/bulan dan minosiklin 100 mg/bulan
selama 24 bulan.3

 Pasien yang tidak dapat mengonsumsi DDS


Bila dapson menyebabkan terjadinya efek simpang berat, seperti sindrom dapson (sindrom
hipersensitivitas obat), obat ini harus segera dihentikan. Tidak ada modifikasi lain untuk
pasien MB, sehingga MDT tetap dilanjutkan tanpa dapson selama 12 bulan. Sedangkan
untuk pasien PB, dapson diganti dengan klofazimin dengan dosis sama dengan MDT tipe
MB selama 6 bulan.3
Tabel 4. Obat dan dosis regimen MDT WHO untuk anak1

PB MB

OBAT < 10 tahun 10 th – 14 th < 10 th 10 th -14 th

BB < 50kg BB < 50 kg

Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 300 mg/bln 450 mg/bln

Klofazimin - - 100 mg/bln 150 mg/bln


dilanjutkan 50 mg, dilanjutkan 50
2x/mgg mg/hr
25 mg/hr 50 mg/hr
25 mg/hr 50 mg/hr

Terapi kusta yang dikutip dari sumber kepustakaan lain2


Rawat inap
Rawat inap diindikasikan untuk pasien kusta dengan3:
 Efek samping obat berat3
 Reaksi reversal atau ENL berat3
 Keadaan umum buruk (ulkus, gangren), atau terdapat keterlibatan organ tubuh lain dan
sistemik3
 Rencana tindakan operatif.3
Edukasi
1. Saat mulai MDT
 Kusta, disebabkan oleh kuman kusta dan dapat disembuhkan dengan MDT, bila
diminum teratur tiap hari sesuai dosis dan lama terapi yang ditentukan.3
 Penjelasan tentang efek samping obat MDT seperti urin berwarna merah, bercak kulit
gatal, berwarna kekuningan dan perubahan warna kulit.3
 Penjelasan tentang gejala dan tanda reaksi kusta.3
 Cacat baru dapat timbul saat atau setelah pengobatan dan dapat diobati. Penyembuhan
cacat yang sudah ada sebelumnya, tergantung pada lamanya cacat diderita.3
 Cari dan periksa kontak untuk konfirmasi dan pengobatan.3
 Perawatan diri harus dilakukan tiap hari secara teratur.3

2. Saat RFT
 Beri selamat karena telah menyelesaikan pengobatan dan berarti telah sembuh
sehingga tidak memerlukan MDT lagi.3
 Bercak kulit yang masih tersisa memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang
sebagian menetap selamanya.3
 Mati rasa, kelemahan otot karena kerusakan saraf akan menetap.3
 Lapor segera apabila timbul gejala dan tanda reaksi kusta.3
 Walaupun sangat jarang terjadi, beri penjelasan tentang gejala dan tanda relaps.3
 Tetap melaksanakan kegiatan rawat-diri seperti biasanya.3
Referensi

1. Wisnu IM, Daili ESS, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Menaldi, SLSW. Bramono, K. Indriatmi,
W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015. p.
97-02
2. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilcherest BA, Paller AS,
Lefeel DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s. Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York
: McGraw Hill Company. 2012. P.2261-62
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Dermatologi
Infeksi. In: Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan Y, Siswati SA, Triwahyudi D, et al.
Panduan Praktik Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venerologi. Jakarta: Dokter
Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI), 2017. p.80-6

Anda mungkin juga menyukai