Anda di halaman 1dari 12

A.

Pendahuluan
Sebagaimana diketahui, sumber pokok Hukum Islam adalah al-Quran dan
al-Hadits. Kedua sumber ini masuk pada dua dalil hukum diantara empat, yakni
Ijma’ dan Qiyas. Materi-materi hukum yang terdapat di dalam sumber tersebut,
secara kuantitatif terbatas jumlahnya. terutama setelah berlalunya zaman
Rasulullah, dalam penerapannya diperlukan penalaran.
Sementara itu permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam
masyarakat semakin kompleks, dan butuh segera mungkin harus diketemukan
legalitas hukum-hukumnya. Permasalahan tersebut, adakalanya sudah ditemukan
nashnya yang jelas dalam kitab suci Al-Qur’an atau Sunnah Nabi, tetapi
adakalanya yang ditemukan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi itu hanya berupa
prinsip-prinsip umum. Namun untuk pemecahan permasalahan-permasalahan
baru yang belum ada nashnya secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum, yaitu
mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam
masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Al-
Qur’an atau Sunnah.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, Adalah Muhammadiyah sebagai salah
satu ORMAS Islam terbesar kedua, yang memiliki perhatian besar terhadap
permasalahan umat. Yang pada akhirnya membentuk sebuah badan khusus guna
menangani dan memecahkan masalah ditinjau dari segi hukum Islam. Badan
tersebut dikenal sampai saat ini dengan Majlis Tarjih Muhammadiyah. Sudah
banyak masalah-masalah yang telah dibahas dan diputuskan.
Disisi lain, NU (Nahdhatul Ulama), yang berdiri setelah Muhammadiyah,
juga membentuk badan khusus dalam menelorkan fatwa hukum terhadap
masalah ke-kini-an. Badan tersebut dikenal dengan LBMNU (Lembaga Bahtsul
Masail Nahdhatul Ulama). Walaupun kedua badan fatwa (Muhammadiyah dengan
Majlis Tarjihnya, Nu dengan LBMNU nya) ini, tentu memiliki ciri khas berbeda
dalam “Istinbath al-Ahkam”, namun keduanya sama-sama memiliki semangat
yang sama, yakni menggali dalil-dalil untuk menentukan hukum bagi
permasalahan ke-kini-an.
Disisi lain, terdapat MUI (Majlis Ulama Indonesia), yang juga ikut andil
besar dalam dinamika fatwa ke-Indonesia-an. Dengan komisi fatwanya, MUI
mencoba mencari solusi pelbagai permasalah masyarakat setelah meninjau
berbagai pertimbangan yang diserap dari dalil-dalil hukum.
Menarik untuk dikaji, ketia badan “pencetus hukum” tersebut, ditinjau dari
pemikiran dasar mereka sampai konsep mencetuskan sebuah hukum, dan tatacara
Istinbathnya. Dalam makalah ini, penulis mencoba memaparkan beberapa contoh
dari ketiga badan fatwa tersebut, dengan analisa masing-masing metodologi yang
digunakan, dan mengkomparasikannya. Sehingga nantinya diharapkan hasilnya
terjadi kejelasan dari ketiga konsep tersebut.
B. Pembahasan
1. Fiqih Kontemporer
Fiqh menurut bahasa adalah mengetahui sesuatu dengan mengerti. Adapun
fiqih menurut istilah adalah ilmu tentang hukum syara yang bersifat amali
diambil dari dalil-dalil yang Tafshili. Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia
kata Kontemporer /kontémporér/ pada waktu atau masa yg sama; pada masakini:
mereka menyajikan musik pada acara itu.
Perkembangan kehidupan manusia selalu berjalan sesuai dengan ruang dan
waktu, dan ilmu fiqh adalah ilmu yang selalu berkembang karena tuntutan
kehidupan zaman. Fiqh adalah ilmu yang sangat penting bagi kehidupan umat
islam.
Dengan semakin berkembangnya arus informasi dan jaringan komunikasi
dunia, terjadi pulalah apa yang disebut dengan proses modernisasi. Modernisasi
tersebut melahirkan berbagai macam bentuk perubahan baik secara struktural
maupun kultural
Ruang lingkup fiqh kontemporer mencakup masalah-masalah fiqh yang
berhubungan dengan situasi kontemporer (modern). Kajian fiqh kontemporer
mencakup masalah-masalah fiqh yang berhubungan dengan situasi kontemporer
(modern) dan mencakup wilayah kajian dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kajian
fiqh kontemporer tersebut dapat dikategorikan ke dalam beberapa aspek:
a. Aspek hukum keluarga, seperti ; akad nikah melalui telepon,
penggunaan alat kontra sepsi, dan lain-lain.
b. Aspek ekonomi, seperti ; system bunga dalam bank, zakat profesi,
asuransi, dan lain-lain.
c. Aspek pidana , seperti ; huku pidana islam dalam sistem hukum
nasional
d. Aspek kewanitaan seperti, ; busana muslimah (jilbab), wanita karir,
kepemimpinan wanita, dan lain-lain.
e. Aspek medis, seperti ; pencangkokan organ tubuh atau bagian organ
tubuh, pembedahan mayat, euthanasia, ramalan genetika, cloning,
penyebrangan jenis kelamin dari pria ke wanita atau sebaliknya,
keluarga berencana, percobaan-percobaan dengan tubuh manusia dan
lain-lain.
f. Aspek teknologi, seperti ; menyembelih hewan secara mekanis, seruan
adzan atau ikrar basmalah dengan kaset, makmum kepada radio atau
televisi, dan lain-lain.
g. Aspek politik (kenegaraan), seperti ; yakni perdebatan tentang
perdebatan sekitar istilah “Negara islam”, proses pemilihan pemimpin,
loyalitas kepada penguasa (kekuasaan), dan lain sebagainya.
h. Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah, seperti ; tayammum
dengan selain tanah (debu), ibadah kurban dengan uang, menahan haid
karena demi ibadah haji, dan lain sebagainya.
Merujuk pada objek kajian yang akan dibahas dalam makalah ini, yakni
keluarga berencana, sudah masuk kriteria pembahasan Fiqih Kontemporer.

2. Sekilas Tentang Majils Tarjih Muhammadiyah


Majlis Tarjih didirikan atas dasar keputusan kongres Muhammadiyah ke-
XVI pada tahun 1927, atas usul dari K.H. Mas Mansyur. Fungsi dari majlis ini
adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah
tertentu. Masalah itu tidak perlu semata-mata terletak pada bidang agama dalam
arti sempit, tetapi mungkin juga terletak pada masalah yang dalam arti biasa
tidak terletak dalam bidang agama, tetapi pendapat apapun juga haruslah dengan
sendirinya didasarkan atas syari’ah, yaitu Qur’an dan Hadits, yang dalam proses
pengambilan hukumnya didasarkan pada ilmu ushul fiqh. Majlis ini berusaha
untuk mengembalikan suatu persoalan kepada sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadits, baik masalah itu semula sudah ada hukummnya dan berjalan di
masyarakat tetapi masih dipertikaikan di kalangan umat Islam, ataupun yang
merupakan masalah-masalah baru, yang sejak semula memang belum ada
ketentuan hukumnya, seperti masalah keluarga berencana, keluarga berencana,
bank dan lain-lain.
3. Definisi Keluarga Berencana
Keluarga berencana merupakan usaha untuk mengukur jumlah anak dan
jarak kelahiran anak yang diinginkan. Maka dari itu, Pemerintah mencanangkan
program atau cara untuk mencegah dan menunda kehamilan (Sulistyawati,
2013).
Tujuan dilaksanakan program KB yaitu untuk membentuk keluarga kecil
sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan
kelahiran anak agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya (Sulistyawati, 2013). Tujuan program KB
lainnya yaitu untuk menurunkan angka kelahiran yang bermakna, untuk
mencapai tujuan tersebut maka diadakan kebijakaan yang dikategorikan dalam
tiga fase (menjarangkan, menunda, dan menghentikan) maksud dari kebijakaan
tersebut yaitu untuk menyelamatkan ibu dan anak akibat melahirkan pada usia
muda, jarak kelahiran yang terlalu dekat dan melahirkan pada usia tua (Hartanto,
2002).
Istinbath Hukum
Kata “istinbath” merupakan kata yang harus masuk dalam
pengertian ijtihad, istinbath adalah upaya untuk menemukan hukum Allah SWT.
Menurut bahasa stinbath” berasal dari kata “nabth” yang berarti :“air yang mula-
mula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut
bahasa, arti istinbath ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya,
Sehingga tidak bisa disebut sebagai tasyri’ karena tasyri’ merupakan sumber
hukum utama yakni Al-Qur’an dan As-sunnah. Jadi ijtihad merupakan produk
hukum yang dikeluarkan oleh mujtahid. Dapat disimpulkan bahwa Istinbath
adalah usaha mencari solusi hukum yang diserap dari dalil-dalil. Sedangkan
dalil yang dimaksud sebagai landasan terdapat dua macam:
a. Dalil yang disepakati oleh Ulama, yaitu al-Quran, al-Hadits, Ijma’ dan
Qiyas.
b. Dalil yang tidak disepakati, yaitu al-Istishan, Mashlahah Musrsalah / al-
istishlah, al-Istishab, Syar’u Man Qablana, Syaddzu al-Dzarai’, ‘Urf,
Madzhabu al-Shahabah
Pendekatan istinbath hukum Islam seperti yang dijelaskan oleh
Muhammad Salam Madkur.
1) Ijtihad Bayani (Pendekatan Melalui Kaidah-Kaidah Kebahasaan)
Ijtihad bayani merupakan metode ijtihad yang lebih menitikberatkan
kepada kajian kebahasaan. Ijtihad bayani adalah pengetahuan
kemampuan untuk sampai kepada hukum yang dimaksud oleh nash dan
zhanni tsubut atau dalalahnya, atau zhanni kedua-duanya. Inilah yang
menjadi ruang lingkup ijtihad, yaitu batas-batas yang diberi toleransi
untuk memahami nash dan mentarjih atau mengutamakan beberapa
maksudnya, atau mengetahui sasaran nash dan jalurnya. Pengistilahan
ijtihad bayani, karena berkaitan dengan penjelasan terhadap nash, yaitu
pembatasan terhadap ruang lingkup nash, hal-hal apa saja yang menjadi
ruang lingkup tersebut menurut pembuat syara’. Ijtihad model ini
disepakati oleh seluruh ulama.
2) Ijtihad Qiyasi ( Pendekatan melalui Qiyas)
Menurut Muhammad Salam Madkur, ijtihad qiyasi adalah sebuah
ijtihad dimana seorang ahli fiqih mengerahkan kemampuannya untuk
sampai kepada hukum yang tidak dijelaskan oleh nash qathi’ maupun
zhanni, juga tidak diperkuat ijma’. Ahli fiqih tersebut akan sampai
kepada hukum dengan memperhatikan indikator-indikator (imarah-
imarah) dan jalan-jalan (wasilah-waslah) hukum yang telah
3) Ijtihad Istishlahi (Pendekatan Melalui Metode Mashlahah Mursalah)
Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah
pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hokum syara’ (Islam)
dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah), yaitu
mengenai masalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah
umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’
terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode
qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada
dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah
(menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.
4. Analisia Hasil Keputusan
a. Metode
Pada tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986, setelah Muktamar
Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majlis Tarjih baru berhasil merumuskan 16
point pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
Dalam memutuskan suatu masalah, maka lajnah Tarjih menggunakan dalil-
dalil al-Qur’an dan Sunnah maqbullah (yang dapat diterima otensitasnya),
Berikut Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih (disertai keterangan singkat)
adalah sebagai berikut:
1) Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al Sunnah al
Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang
tidak terdapat dalam nash, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut
bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia.
2) Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara
musyawarah.
3) Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-
pendapat madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur’an dan al–
Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
4) Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya
majlis Tarjih yang paling benar.
5) Di dalam masalah aqidah (Tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil
mutawatir.
6) Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan.
7) Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara
“al Jam’u wa al Taufiq “. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih.
8) Menggunakan asas “ saddu al-dara’i “ untuk menghindari terjadinya
fitnah dan mafsadah.
9) Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil
Al Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare’ah.
Adapun qaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman”
10) Pengunaaan dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum, dilakukan
dengan cara konprehensif, utuh dan bulat. Tidak terpisah.
11) Dalil-dalil umum Al Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad,
kecuali dalam bidang aqidah.
12) Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip “ Taysir
13) Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Al
Qur’an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal,
sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya.
14) Dalam hal-hal yang termasuk “al Umur al dunyawiyah” yang tidak
termasuk tugas para nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi
kemaslahatan umat.
15) Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
16) Dalam memahani nash , makna dlahir didahulukan dari ta’wil dalam
bidang aqidah.
Merujuk pada permasalahan keluarga berencana, Dalam hal ini,
Muhammadiyah memandang bahwa seseorang dapat dibenarkan untuk
mengikuti program Keluarga Berencana apabila berada dalam keadaan
darurat. Hal tersebut terdapat dalam putusan Majelis Tarjih berikut :

1. Mencegah kehamilan adalah berlawanan dengan ajaran agama Islam.


Demikian pula keluarga berencana yang dilaksanakan dengan
pencegahan kehamilan.

2. Dalam keadaan darurat dibolehkan sekedar perlu dengan sharat


persetujuan suami-isteri dan tidak mendatangkan mudlarat jasmani
dan rohani.

b. Rumusan Masalah
Dalam merumuskan masalah keluarga berencana, selain menyertakan
beberapa dalil al-Quran yang secara tersirat memuat tentang kebutuhan
manusia secara tabiat. Yaitu menginginkan keturunan. Yang terdapat dalam
al-Quran al- an am 151 yang artinya : Janganlah kamu membunuh anak-
anak kamu karena kemiskinanmu.kami akan memberi rezeki kepadamu
dan kepada mereka.
Dikarenakan permasalahan keluarga berencana ini masuk ke dalam
kategori permasalahan D}aruriyat, maka permasalahan tersebut boleh
ditinjau menggunakan analisis Mas{lah{ah sebagaimana persyaratan Al
Ghazali seperti yang telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya.
Apa yang terdapat dalam putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah
perihal Keluarga Berencana ini dimaksudkan untuk mengatur jarak
kelahiran dengan adanya alasan sebagaimana terdapat dalam putusan
Majelis Tarjih tersebut diatas, bukan semata-mata memperkecil jumlah
keturunan tanpa ada alasan apapun. Fat}urrahman Djamil dalam bukunya
menyebutkan bahwa Muhammadiyah senderung menggunakan istilah
‚Keluarga Sejahtera‛ daripada istilah ‚Keluarga Berencana‛. Menurutnya,
istilah pertama terlihat lebih netral dan terbuka, karena tidak berorientasi
terhadap kuantitas anak, melainkan kepada kualitas dan kesejahteraan
keluarga. Paling tidak, kesejahteraan keluarga itu diukur oleh tingkat
kesejahteraan anak yang berada di bawah asuhan orang

Selanjutnya, dihadirkan beberapa keputusan tentang hukum


keluarga berencana, dengan beberapa syarat yang tentunya
menggunakan dalil-dalil
c. Hasil Keputusan
Dari hasil uraian yang meliputi tinjaun definisi, serta kategori masalah,
dan dalil yang digunakan. Maka keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah
tentang suami-istri yang menginginkan keluarga berencana, harus
memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
a. Mengkhawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu karena
mengandung atau melahirkan, bila hal itu diketahui dengan pengalaman
atau keterangan dokter yang dapat dipercaya

b. Mengkhawatirkan keselamatan agama, akibat faktor-faktor kesempitan


penghidupan, seperti kekhawatiran akan terseret menerima hal-hal yang
haram atau menjalankan/melanggar larangan karena didorong oleh
kepentingan anak-anak

c. Mengkhawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak


kelahiranterlalu rapat.

Kriteria tersebut di atas menunjukkan bahwa permasalahan keluarga


berencana termasuk masalah darurat. Hal tersebut dikarenakan illat tersebut
termasuk dalam maqas dan syari, dimana poin a berhubungan dengan hifdh
an nafs (melindungi jiwa) dimana apabila tidak dilakukan pembatasan
kelahiran maka akan membahayakan keselamatan jiwa. Poin b berkaitan
dengan hifdh al din (melindungi agama), dimana apabila seseorang tidak
melakukan pembatasan kelahiran maka ia akan dihadapkan dengan tuntutan
ekonomi dimana apabila ia tidak kuat menghadapinya maka dikhawatirkan
akan melanggar larangan agama demi memenuhi kebutuhan anak, misal
mencuri untuk membeli susu, dan lain sebagainya.Poin c dapat
dihubungkan dengan hifdh al aql (menjaga akal) dimana apabila seseorang
tidak melakukan pembatasan kelahiran maka dikhawatirkan pendidikan
anak-anaknya tidak terurus.Nampak bahwa keputusan yang diambil, bukan
hanya memperhatikan aspek yuridis, namun juga mempertimbangkan
kemashlahatan umat manusia secara umum.
C. Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan beberapa point berkenaan dengan hasil
metode keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam merumuskan serta
memutuskan hukumnya. Sebagai berikut :
1. Majlis tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum menggunakan Istidlal
tanpa keberpihakan pada satu Madzhab.
2. Keputusan yang diambil dalam masalah ijtihadi berpegang teguh pada
kemashalahatan umum. Dengan memperhatikan mashlahah dan mafsadahnya.
3. Metode yang diambil dalam mengambil keputusan adalah ijtihad Isthslahi
Daftar Pustaka
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih, (Pekalongan : STAIN Press, 2005)
Al-Jizani, Muhammad bin Husain Bin Hasan,” Ma’alim Ushul Al-Fiqh” . 1427
(Madinah: Abu Muhammad An-Najdi)
al-Zuhaili, Wahbah. “ Ushul al-Fiqhi al-Islamy” 1986. (Damaskus; Dar al-Fikr)
Anwar, Syahrul. “Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh”. 2010 (Bogor : Ghalia Indonesia)
Haidar Bagir dan Syafiq Basri ”Ijtihad Dalam Sorotan” 1996 (Bandung: Mizan
Anggota IKAPI)
Kementrian Agama RI “Al-Quran dan Terjemahan” 2012 (Jakarta; PT. Sinergi
Pustaka Indonesia)
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kotamadya Malang “Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah” Cet. 1. 1995 (Malang; Citra Mentari Group)
Tim Penyusun Kamus Pusat Nahasa “Kamus Bahasa Indonesia” 2008 (jakarta;
Pusat Bahasa)
W.Y.S Poerwodaminto, “Kamus Bahasa Indonesia” Cet. V. 1976 (jakarta; Balai
Pustaka) Azhar, Muhammad. “Fiqh Kontemporer “ 1996(Yogyakarta:
Lesiska)
W.Y.S Poerwodaminto, “Kamus Bahasa Indonesia” Cet. V. 1976 (Jakarta; Balai
Pustaka)

Anda mungkin juga menyukai