Anda di halaman 1dari 27

KAPITA SELEKTA

TOKSOPLASMOSIS

Pembimbing :

dr. Wiwid Samsulhadi, Sp.PD, FINASIM

Oleh :

Hari Khoirur Rozikin

201810401011062

ILMU PENYAKIT DALAM

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

TOKSOPLASMOSIS

Referat dengan judul “Toksoplasmosis” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas

dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di Bagian Ilmu Penyakit Dalam

yang disusun oleh:

Nama : Hari Khoirur Rozikin

NIM : 20181040111062

Telah disetujui pada tanggal 23 Oktober 2018

Surabaya, Oktober 2018

Pembimbing

dr. Wiwid Samsulhadi, Sp.PD, FINASIM

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya,

penulis telah menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Toksoplasmosis”.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dr. Wiwid Samsulhadi, Sp.PD, FINASIM

selaku pembimbing yang telah membimbing penyusunan referat ini hingga selesai, serta

kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan kegiatan ini.

Adapun tujuan pembuatan referat ini adalah sebagai saranna untuk lebih memahami

dan menambah wawasan tentang suatu topik tertentu dalam bidang ilmu penyakit Dalam, dan

juga sebagai salah satu syarat kepanitraan dokter muda di Departemen INTERNA.

Tulisan referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati, penulis

mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Surabaya, Oktober 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................... iv
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 3
1 Epidemiologi ........................................................................................................ 3
2 Etiologi ................................................................................................................. 4
3 Faktor Resiko........................................................................................................ 5
4 Patogenesis ........................................................................................................... 5
5 Manifestasi Klinis ................................................................................................. 11
6 Diagnosis .............................................................................................................. 12
7 Terapi .................................................................................................................... 15
8 Pencegahan ........................................................................................................... 17
9 Prognosis .............................................................................................................. 18
KESIMPULAN ....................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 21

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagian-bagian Toxoplasma gondii tachyzoite ............................................. 5

Gambar 2.2 Siklus Hidup Toksoplasma gondii ................................................................ 6

Gambar 2.3 Monitoring Serologi Pada Toksoplasmosis .................................................. 15

Gambar 2.4 Bagan pengobatan ibu hamil dengan toksoplasmosis ................................... 16

iv
PENDAHULUAN

Toksoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma

gondii sebagai penyakit zoonosis yaitu infeksi pada manusia dan binatang.

Toxoplasma gondii termasuk spesies dari kelas sporozoa (Coccidia), pertama kali

ditemukan pada binatang pengerat Ctenodactylus gundii di Afrika tahun 1908. Tahun

1928 Toxoplasma gondii ditemukan pada manusia pertama kali oleh Castellani,

Yanku, kemudian oleh Torres, diklasifikasikan parasit tersebut sebagai suatu

"encefalon" (Dabritz, Conrad, 2010).

Hospes definitif adalah kucing dan Filidae, dan hospes perantaranya adalah

manusia dan mamalia lainnya serta beberapa jenis burung. Dalam tubuh kucing T.

gondii berkembang dan menghasilkan ookista yang dikeluarkan bersama tinja. Infeksi

kongenital setelah lahir dapat bersifat asimtomatik, dan lebih sering menghasilkan

kista jaringan yang mentap kronik. Baik toksoplasmosis akut maupun kronik

menyebabkan gejala klinis termasuk limfadenopati, ensefalitis, miokarditis, dan

pneumonitis. Toksoplasmosis kongenital terjadi pada bayi baru lahir yang berasal dari

penularan lewat plasenta pada ibu yang terinfeksi (Cvetkovic et al, 2010).

Toksoplasmosis telah lama diketahui sebagai penyebab utama kelainan

kongenital pada bayi seperti: toksoplasmosis kongenital, abortus, lahir mati dan

prematuritas. Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa infeksi oleh kuman TORCH

(Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalo virus, Herpes Simplex) pada wanita, yang

biasanya menyebabkan infeksi sub klinis (silent infection), dapat menyebabkan

kemandulan (interfilitas) berkisar 70% wanita infertil. Bila seorang ibu hamil terkena

1
toksoplasmosis, maka resiko terjadinya toksoplasmosis kongenital pada bayi yang

dikandungnya berkisar antara 30-40% (Robert, Darde, 2012).

Menurut data WHO, diketahui sekitar 300 juta orang di dunia ini telah

terinfeksi oleh toksoplasmosis dan secara klinik mengandung kista walaupun tidak

jelas dan lebih dari 1000 bayi yang lahir terinfeksi oleh toksoplasmosis. Data dari

National Collaborative Perinatal Project (NCPP) menunjukkan angka prevalensi

toksoplasmosis 38,7% dari 22.000 wanita di Amerika Serikat, dan insidensi infeksi

akut pada ibu selama kehamilan diperkirakan 1,1/1000. Menurut data WHO, di Asia

prevalensinya sekitar 10-30% dari total jumlah penduduk Asia dan prevalensi

toksoplasmosis pada manusai di Indonesia berkisar 43-88%. Sedangkan untuk di Jawa

Timur sebesar 64% dari jumlah penduduk dan di daerah Surabaya sendiri sebesar 58%

(Anonim, 2001; Ogendi E et al, 2013).

Dalam referat ini, akan dibahas secara singkat mengenai penyakit

toksoplasmosis karena tingginya resiko terinfeksi penyakit ini di dunia dan dampak

yang diakibatkannya. Infeksi toksoplasmosis ini dapat menyerang pria ataupun wanita,

terutama wanita hamil yang dapat menginfeksi pada bayi melalui plasenta atau disebut

juga toksoplasmosis kongenital. Selain itu juga toksoplasmosis dapat menginfeksi pada

mata.

2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Epidemiologi

Infeksi Toksoplasma gondii tersebar secara luas di seluruh dunia.

Insidennya sangat bervariasi pada manusia dan binatang pada berbagai daerah

geografis. Prevalensi infeksi yang lebih tinggi biasanya terjadi pada daerah

beriklim panas dan lembab. Keadaaan toksoplasmosis di suatu daerah dipengaruhi

beberapa faktor, antara lain kebiasaan makan daging kurang matang, adanya

kucing terutama yang dipelihara, adanya tikus dan burung sebagai hospers

perantara, serta sejumlah vektor seperti lipas atau lalat ayang dapat memindahkan

ookista dari tinja kucing ke makanan. cacing tanah juga berperan untuk

memindahkan ookista dari lapisan dalam ke permukaan tanah. Insiden infeksi pada

wanita hamil tergantung pada faktor risiko daerah geografik tersebut dan proporsi

populasi yang belum pernah terinfeksi. Insiden infeksi kongenital di Amerika

Serikat berkisar antara 1/1.000 sampai 1/8.000 kelahiran hidup (Robert, Darde,

2012; Ogendi E et al, 2013).

Menurut data WHO, diketahui sekitar 300 juta orang di dunia ini telah

terinfeksi oleh toksoplasmosis dan secara klinik mengandung kista walaupun tidak

jelas dan lebih dari 1000 bayi yang lahir terinfeksi oleh toksoplasmosis. Di Asia

prevalensinya sekitar 10-30% dari total jumlah penduduk Asia. Di Indonesia

prevalensi T. gondii yang positif pada manusia berkisar antara 43-88%. Sedangkan

untuk di Jawa Timur sebesar 64% dari jumlah penduduk dan di daerah Surabaya

sendiri sebesar 58%. Prevalensi zat anti T. gondii pada binatang di Indonesia

adalah sebagai berikut: pada kucing 25-73%, pada babi 11-36%, pada kambing 11-

3
61%, pada anjing 75%, dan pada ternak lain kurang dari 10%. Pada umumnya

prevalensi zat anti yang positif meningkat dengan umur, tidak ada perbedaan

antara pria dan wanita (Robert, Darde, 2012; Ogendi E et al, 2013).

2. Etiologi

Toksoplasma gondii merupakan anggota dari filum Apicomplexa, kelas

Sporozoa, subkelas Coccidia, orde Eucoccidia dan suborde Eimeria. Siklus hidup

dari Toxoplasma gondii pertama kali dikemukakan pada tahun 1970 dan sebagai

inang definitif (penjamu) adalah kelompok famili Felidae termasuk kucing. Dapat

menginfeksi hewan berdarah panas, manusia, dan unggas sebagai inang perantara.

Kucing merupakan golongan yang sangat penting untuk penularan terjadinya

toksoplasmosis pada hewan lain ataupun manusia. Parasit ini ditularkan dengan

tiga cara yaitu dengan cara kongenital yaitu melalui plasenta, mengkonsumsi

daging yang terkontaminasi oleh kista dan melalui kotoran asal kucing yang

mengandung ookista (Robert, Darde, 2012).

Dalam siklus hidupnya pada phylum Amplicomplexa mengenal 3 stadium

yaitu stadium takizoit, stadium bradizoit, dan stadium ookista. Stadium takizoit

yaitu stadium multiplikasi aktif dari tropozoit dan biasanya teramati pada infeksi

akut. Stadium ini paling sering dijumpai di dalam darah, urine, air mata, air liur,

dan cairan tubuh lain. Stadium bradizoit merupakan stadium dimana kista tidak

aktif dan berada dalam jaringan, otak, otot jantung, hati, mata dan organ

pencernaan serta bersifat infektif dan stadium ketiga adalah stadium ookista yang

berada dalam kotoraran kucing. Dalam siklus hidupnya diperantarai oleh sel inang

ke intraselular inang dan kemudian melakukan multiplikasi (Robert, Darde, 2012).

4
Gambar 2.1 Bagian-bagian Toksoplasma gondii tachyzoite

3. Faktor Resiko

Risiko manusia dan hewan terinfeksi dengan Toxoplasma gondii

ditentukan berdasar antara lain:

1) Adanya kucing sebagai sumber penularan,

2) Adanya pencemaran tanah dan air oleh kista parasit,

3) Iklim yang sesuai dengan kelangsungan hidup parasit,

4) Kebiasaan hidup penduduk terutama kebiasaan makan daging dan makanan


mentah atau kurang masak (Cvetkovic et al, 2010).

4. Patogenesis

Hospes definitif T. gondii adalah kucing dan binatang sejenisnya

(Felidae). Hospes perantaranya adalah manusia, mamalia lainnya dan burung.

Dalam sel epitel usus kecil kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur

seksual (gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista immatur dan

sporogoni yang dikeluarkan bersama tinja. Ookista immatur yang bentuknya

5
lonjong dengan ukuran 12,5µ akan mengalami maturase selama beberapa hari

menjadi matang menghasilkan 2 sporokista yang masing- masing mengandung 4

sporozoit. Bentuk kista ini dapat bertahan hidup selama beberapa bulan sampai

dengan beberapa tahun. Bila ookista ini tertelan oleh mamalia lain atau burung

(hospes perantara), maka pada berbagai jaringan hospes perantara ini dibentuk

kelompok-kelompok tropozoit yang membelah secara aktif atau cepat dan disebut

takizoit, fase ini disebut fase infeksi akut. Akibat adanya respon imun tubuh yang

efektif kecepatan takizoit toksoplasma berkurang secara berangsur-angsur dan

terbentuklah kista yang mengandung bradizoit (bentuk yang membelah perlahan);

masa ini adalah masa infeksius klinis menahun (fase infeksi kronik) yang biasanya

merupakan infeksi laten. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual,

tapi dibentuk stadium istirahat, yaitu kista jaringan (bradizoit) (Martin et al, 2007).

Gambar 2.2 Siklus Hidup Toksoplasma gondii.

6
Toksoplasma gondii biasanya didapat oleh anak dan orang dewasa

karena memakan makanan (daging kambing 9-60% atau sapi 0-9%) yang

mengandung kista atau yang terkontaminasi ookista. Ookista juga dapat

dipindahkan ke makanan oleh lalat dan kecoa. Bila termakan maka enzim

proteolitik gaster akan meluruhkan dinding kista dan menyebabkan lepasnya

bradizoit atau tropozoit. Di dalam sel epitel, bradizoit maupun tropozoit

selanjutnya berkembang menjadi takizoit. Takizoit memperbanyak diri, sel

pecah, dan menginfeksi sel yang berdekatan. Takizoit menyebar melalui vasa

limfatika dan menyebar secara hematogen ke seluruh tubuh dan dapat

menginfeksi hampir semua sel tubuh hospes, terutama pada jaringan limfoid,

otot skeletal, miokardium, retina, plasenta, dan susunan saraf pusat. Akibat

pengaruh respons imun (humoral dan seluler) yang efektif, takizoit akan

menghilang dari jaringan dan berubah menjadi bradizoit, kista ini biasa

ditemukan di otak, otot, dan hepar (Schwartzman JD. 2001).

Toksoplasma gondii berkembangbiak di aliran darah yaitu di dalam sel

darah putih (leukosit). Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan

terjadi proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit

menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan

sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan

retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling besar.

Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap

ketiga rnerupakan fase kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan

7
otot dan saraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal

(Martin et al, 2007).

Transmisi infeksi toksoplasma dapat terjadi melalui beberapa

mekanisme, antara lain :

1) Hospes memakan daging mentah atau daging yang tidak dimasak dengan

sempurna yang mengandung kista jaringan,

2) Hospes memakan makanan atau air yang terkontaminasi ookista dari feses

kucing,

3) Transmisi kongenital, terjadi bila wanita hamil mengalami toksoplasmosis

akut,

4) Transplantasi organ yang mengandung kista jaringan kepada resipien

yang belum pernah terinfeksi oleh T. Gondii,

5) Transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan infeksi T. Gondii

(Ferguson, 2009; Kasper, 2008).

Bila wanita mendapat infeksi selama kehamilan, organisme dapat

menyebar secara hematogen ke plasenta. Bila hal ini terjadi, infeksi dapat

ditularkan pada janin secara parenteral atau selama persalinan pervaginam.

Kurang lebih terdapat satu sampai dengan lima dari 1000 kehamilan mengalami

komplikasi toksoplasmosis akut. Toksoplasma gondii dapat menginfeksi

plasenta dan menyebabkan infeksi pada fetus. Hal ini dapat menyebabkan

abortus, still birth, dan cacat kongenital (Ferguson, 2009).

Jika infeksi didapat oleh wanita pada trimester pertama dan tidak

diobati, sekitar 17% janin terinfeksi, dan penyakit pada bayi biasanya berat. Jika

8
infeksi didapat oleh wanita pada trimester ketiga dan tidak diobati, sekitar 65%

janin terinfeksi dan keterlibatannya ringan atau tidak tampak pada saat lahir.

Total transmisi maternal-fetal adalah 30%, namun bervariasi dari 6% pada

minggu ke-13 menjadi 72% pada minggu ke-36. Hal ini menunjukkan risiko

infeksi pada fetus meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan.

Namun, gejala klinis berat pada bayi lebih sering ditemukan pada wanita yang

terinfeksi di awal ke hamilan. Perbedaan frekuensi penularan ini paling

mungkin akibat aliran darah plasenta, virulensi dan jumlah T gondii yang

didapat, dan kemampuan imunologis wanita membatasi parasitemia. Hampir

semua individu dengan infeksi kongenital mempunyai tanda-tanda atau gejala-

gejala infeksi, seperti khorioretinitis pada remaja jika mereka tidak diobati pada

masa neonatus (Kasper, 2008).

Infeksi toksoplasmosis pada individu dengan sistem imun yang baik

umumnya adalah asimtomatik. Infeksi ini tidak disadari pada 80-90% pasien

toksoplasmosis. Hal inilah yang menyebabkan infeksi akut sulit terdiagnosis,

terutama pada wanita hamil. Diagnosis toksoplasmosis sangat bergantung pada

pemeriksaan penunjang. Bila simptomatis, maka gejala dapat berupa satu atau

beberapa limfadenopati servikal yang tidak nyeri, keras, dan berbatas tegas.

Limfadenopati juga dapat ditemukan pada daerah suboksipital, supraklavikula,

inguinal, dan mediastinal. Kurang lebih 20-40% pasien dengan limfadenopati

juga mengeluhkan adanya sakit kepala, lemah, dan demam. Sebagian kecil

penderita juga mengeluhkan mialgia, nyeri abdomen, ruam makulopapular,

menigoensefalitis, dan konfusi. Gejala akan hilang dalam beberapa minggu.

9
Fetus yang mengalami infeksi kongenital dapat memperlihatkan gejala berupa

komplikasi neurologis (hidrosefalus, mikrosefali, retardasi mental, dan

korioretinitis), kerusakan multi organ, dan kematian. Sebagian bayi dengan

infeksi kongenital dapat asimtomatik saat lahir, namun seiring dengan

pertumbuhannya, 3/4 bayi tersebut akan menunjukkan gejala mental retardasi

berat dan/atau gangguan pendengaran dan sebanyak 90% akan menderita

masalah mata. Gambaran toksoplasmosis okular unilateral dengan uveitis dapat

terlihat pada orang dewasa dan dewasa muda. Pada infeksi akut di retina

ditemukan reaksi peradangan fokal dengan edema dan infiltrasi leukosit yang

dapat menyebabkan kerusakan total dan pada proses penyembuhan menjadi

parut dengan atrofi retina dan koroid disertai pigmentasi. Sindrom ini biasanya

merupakan manifestasi dari infeksi kongenital yang asimptomatik atau

reaktivasi infeksi laten (Kasper, 2008; Patrick, Patel, Fenwick, 2007).

Pada individu dengan imunodefisiensi dan beberapa penderita yang

tampak secara imunologis normal, infeksi akut dapat berkembang dan dapat

menyebabkan keterlibatan yang mungkin mematikan seperti pneumonitis,

miokarditis, atau ensefalitis nekrotikan. Bentuk kista terjadi secepatnya 7 hari

sesudah infeksi dan menetap sepanjang hidup hospes. Kista sedikit atau tidak

menimbulkan respons radang tetapi menyebabkan penyakit berulang pada

penderita dengan gangguan imun atau menyebabkan dapat korioretinitis pada

anak yang lebih tua yang telah mendapatkan infeksi secara kongenital (Jones,

Lopez, Wilson, 2013).

10
5. Manifestasi Klinis

Pada 80-90 % penderita toksoplasmosis tidak menunjukkan gejala sama

sekali (asimptomatik). Pada beberapa penderita biasanya didapatkan adanya

perbesaran kelenjar getah bening di bagian leher (cervical lymphadenopathy).

Beberapa penderita juga dapat mengalami sakit kepala, demam (biasanya di bawah

40 0C), lemah, dan lesu. Sebagian kecil penderita mungkin mengalami nyeri otot

(mialgia), nyeri tenggorokan, nyeri pada bagian perut, dan kemerahan pada kulit.

Gejala-gejala tersebut dapat menghilang dalam waktu beberapa minggu, kecuali

perbesaran kelenjar getah bening di bagian leher yang dapat bertahan selama

beberapa bulan. Jika penyakit berlanjut maka dapat menimbulkan komplikasi

berupa radang paru (pneumonia), radang pada jaringan otot jantung (miokarditis),

radang pada selaput luar jantung (perikarditis), dan lainnya (Patrick, Patel,

Fenwick, 2007).

Bayi yang dikandung oleh ibu yang menderita toksoplasmosis mempunyai

risiko yang tinggi untuk menderita toksoplasmosis kongenital. Anak dengan

toksoplasmosis kongenital dapat menunjukkan gejala kelainan neurologis seperti

hidrosefalus, mikrosefalus, retardasi mental dan kelainan pada mata

(koriodoretinitis). Selain itu dapat juga terjadi gangguan pada saat kehamilan dan

persalinan berupa abortus, lahir mati, atau lahir cacat (Patrick, Patel, Fenwick,

2007).

Gejala klinis yang khas dikenal dengan istilah trias klasik yang meliputi

hidrosefalus, koroidorenitis dan kalsifikasi intrakranial dan jika disertai dengan

kelainan psikomotorik disebut Tetrade Sabin. Toksoplasmosis yang didapat lebih

11
ringan meskipun infeksinya sendiri banyak terjadi. Gejala kinis berupa kelainan

mata uveitis dan koroidorenitis, atau kelainan sistem limpatik (limpadenopati)

(Jones, Lopez, Wilson, 2013).

Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan fokal dengan

edema dan infiltrasi leukosit yang dapat menyebabkan kerusakan total dan proses

penyembuhan menjadi parut (sikatriks) dengan atrofi retina dan koroid disertai

pigmentasi. Gejala susunan saraf pusat sering meninggalkan gejala sisa seperti

retardasi mental dan motorik (Rasmaliah, 2008).

Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis biasanya lebih berat daripada

yang lahir cukup bulan, yaitu disertai adanya hepatosplenomegali, ikterus,

limfadenopati, dan kelainan susunan saraf pusat. Sekitar 60 % bayi yang terinfeksi

dalam rahim ternyata asimptomatik pada kelahiran seperti yang didapatkan pada

penelitian prospektif yang dilakukan oleh Desmonts dan Couvreur di Paris.

Selebihnya yaitu 40 % mengalami abortus, lahir mati, simtomatik dan banyak yang

lahir prematur (Jones, Lopez, Wilson, 2013).

6. Diagnosis

Diagnosis toksoplasmosis dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu dari

gejala klinis, pemeriksaan darah atau jaringan tubuh penderita, dan pemeriksaan

serologis. Diagnosis dari gejala klinis terkadang sulit, dikarenakan sebagian besar

penderita tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik). Diagnosis dapat

ditegakkan jika ditemukan parasit di dalam jaringan atau cairan tubuh penderita.

Hal ini dilakukan dengan cara menemukan secara langsung parasit yang diambil

12
dari cairan serebrospinal, atau hasil biopsi jaringan tubuh yang lainya (Robert,

Darde, 2012).

Pemeriksaan langsung dapat dilakukan dengan cara melihat adanya dark

spot pada retina, melakukan pemeriksaan darah untuk melihat apakah parasit

sudah menyebar melalui darah dengan melihat perubahan yang terjadi pada

gambaran darahnya, serta bisa menggunakan CT scan, MRI untuk menemukan lesi

akibat parasit tersebut. Pemeriksaan juga bisa dilakukan dengan biopsi dan dari

sample biopsi tersebut bisa dilakukan pengujian dengan menggunakan PCR, kultur

jaringan, isolasi pada hewan percobaan ataupun pembuatan preparat hispatology.

Pemeriksaan kultur jaringan, isolasi hewan dan PCR digunakan untuk

mengidentifikasi infeksi parasit, namun pemeriksaan ini membutuhkan waktu

lama. Diagnosis berdasarkan penemuan parasit secara langsung jarang dilakukan

karena kesulitan dalam hal pengambilan spesimen yang akan diteliti (Desmonts,

Couvreur, 2008).

Pemeriksaan serologis dilakukan dengan dasar bahwa antigen toksoplasma

akan membentuk antibodi yang spesifik (IgM, IgG, IgA, dan IgG avidity) pada

serum darah penderita, dimana IgM, IgG, IgA meningkat jika terjadi infeksi dan

IgG avidity yang memiliki kekuatan ikatan antar antibodi IgG vs antigen. Pada

IgM yang meningkat pertama kali jika terjadi infeksi menandakan infeksi baru,

akan menghilang dalam waktu beberapa bulan, dapat menetap sampai > 6 bulan

atau bertahun-tahun. Pada ibu IgM tidak dapat melewati plasenta, janin mulai

dapat membentuk IgM pada akhir trimester I. IgG akan muncul beberapa hari

kemudian setelah IgM. Setelah mencapai titer puncak, IgG menurun perlahan dan

13
menetap pada titer rendah seumur hidup pasien dapat digunakan sebagai pertanda

infeksi yang sudah lampau, IgG pada ibu dapat melewati plasenta, terdeteksi dalam

darah janin pada usia kehamilan 20 – 24 minggu, IgG pada bayi baru lahir berasal

dari ibu dengan waktu paruh ± 28 hari, bayi dapat membentuk IgG sendiri pada

usia 2-3 bulan. IgA akan muncul beberapa saat setelah IgM, juga digunakan

sebagai pertanda infeksi primer dan menghilang dalam 4 – 7 bulan, IgA sering

tidak terdeteksi selama infeksi primer. IgG avidity dapat memprediksi kapan

infeksi terjadi pada dugaan adanya infeksi primer baru (IgG (+) dan IgM (+) pada

serum yang sama), bisa juga mengakibatkan terjadi keraguan dengan IgM (-) dan

IgG  atau stabil ataupun IgM (-) dan IgG  bermakna. Hasil yang tinggi

menandakan infeksi diperkirakan terjadi > 4 bulan sebelumnya, sedangkan hasil

yang rendah menunjukan infeksi diperkirakan terjadi < 4 bulan sebelumnya

(Desmonts, Couvreur, 2008).

Seseorang didiagnosis infeksi primer bila terjadi serokonversi IgG dari (-)

menjadi (+) atau terjadi peningkatan titer IgG secara bermakna (≥ 2 kali lipat)

dengan pemeriksaan serial dengan tenggang waktu 3 minggu, dan juga ditemukan

IgM (+) dan atau IgA (+) dengan IgG avidity rendah. Sedangkan untuk diagnosis

infeksi kongenital bila IgM (+) dan atau IgA (+) dengan adanya IgG yang menetap

pada tahun pertama setelah kelahiran (pemeriksaan serial).

Metode diagnosa lain yang sering digunakan adalah dengan menggunakan

indirect haemaglutination (IHA), immunoflourrescence (IFTA), ataupun dengan

enzym link immuno sorbant assay (Elisa) (Rasmaliah, 2008).

14
Gambar 2.3 Monitoring Serologi Pada Toksoplasmosis

7. Terapi

Kebanyakan penderita toksoplasmosis dapat sembuh tanpa diberikan

pengobatan. Pada beberapa penderita dengan gejala toksoplasmosis yang berat

atau penderita toksoplasmosis dengan penurunan sistem kekebalan tubuh, maka

diperlukan pengobatan dengan kombinasi antibiotik pirimetamin dan sulfadiazine

yang biasanya diberikan dalam jangka waktu 4 minggu. Pemberian dengan loading

dose pirimetamin pada dewasa 50-75 mg oral 4x sehari salama 1-3 minggu,

kemudian diikuti 25 mg oral 4x sehari selama 4-5minggu. Pada anak pirimetamin

diberika usia > 2 bulan dengan dosis 2 mg/kg/hari terbagi dalam 2x pemberian

selama 3 hari. Sulfadiazine 4-6 gram 4x sehari selama 4-6 minggu. Karena efek

samping obat pirimetamin dan sulfadiazine dapat menyebabkan leukopenia dan

trombositopenia, maka dianjurkan untuk menambahkan asam folat (leucovorin) 5

mg/hari (Montoya, Remington, 2008).

Pada ibu hamil dengan toksoplasmosis biasanya diberikan terapi dengan

antibiotik spiramisin (drug of choise) jika pemberian pirimetamin dan sulfadiazine

15
tidak dapat dilakukan. Pengobatan ini diharapkan dapat mengatasi infeksi

toksoplasma pada ibu serta mengurangi risiko terjadinya toksoplasmosis

kongenital pada bayi. Dosis spiramisin 100 mg/kgBB/hari selama 30-45 hari. Pada

toksoplasmosis ringan-sedang: 6-9 Juta Unit (MU)/hari terbagi dalam 2 pemberian

oral, sampai 15 MU (MU = million units). Pada toksoplasmosis berat: 12-15

MU/hari terbagi dalam 2 pemberian oral. Spiramisin sebagai obat tunggal

diberikan selama 26 minggu. Rekomendasi WHO untuk pengobatan ibu hamil

dengan infeksi akut toksoplasmosis: sampai akhir minggu ke-20 kehamilan,

berikan 9 juta unit spiramisin oral, per hari selama 4 minggu. Sesudah 4 minggu

istirahat, regimen ini diulangi. Sesudah minggu ke-20 kehamilan, sulfadiazin

dengan dosis 1000 mg/hari diberikan selama 4 minggu dikombinasi dengan

pirimetamin 25 mg/hari dan folinic acid 10 mg/minggu. Sesudah istirahat selama

4 minggu regimen ini diulangi. Antara masa kehamilan minggu ke-20 sampai saat

persalinan, sebanyak maksimum tiga siklus pengobatan dapat diberikan (CDC,

2010).

Gambar 2.4 Bagan pengobatan ibu hamil dengan toksoplasmosis

16
Pengobatan pada toksoplasmosis akut diberikan sedikitnya 6 bulan sampai

pasien menunjukan perbaikan klinis. Pemberian dengan dosis primetamin 200 mg

dosis tunggal, diikuti 50 mg (BB <60 kg) sampai 75 mg (BB >60 kg) sekali sehari,

ditambah sulfadiazine 1000 mg (BB <60 kg) sampai 1500 (BB >60 kg), ditambah

asam folat 10-25 mg/hari. Alternatif lain bisa menggunakan atovaquone digunakan

sebagai terapi lini kedua dari toksoplasmosis. Tablet atovaquone 750 mg dua kali

sehari diberikan untuk pengobatan toksoplasma kronis +/- pirimetamin 25 mg oral

sekali sehari (+ folinic acid 10 mg oral sekali sehari) atau sulfadiazine 2000- 4000

mg oral per hari terbagi dalam 2-4 dosis. Atau juga bisa menggunakan azitromisin

1200 mg/hari dan terapi digabungkan dengan pirimetamin 25-50 mg/hari (CDC,

2010).

Pada kasus toksoplasmosis ocular, beberapa regimen terapi dapat

direkomendasikan. Tidak ada standar terapi yang benar-benar diterima pada

penelitian.10,19 Terapi dengan tiga obat, yaitu pirimetamine, sulfadiazine, dan

prednisone. Pirimetamine diberikan dengan loading dose 75-100 mg pada hari

pertama, diikuti dengan 25-50 mg pada hari berikutnya. Sulfadiazine diberikan

dengan loading dose 2-4 g selama 24 jam pertama diikuti 1 gram diberikan 4 kali

sehari. Serta pemberian prednisone 1mg/kg (CDC, 2010).

8. Pencegahan

Infeksi transplasenta dari janin telah lama sebagai cara penularan. Hewan

kucing dikaitkan dengan penularan parasit ke manusia. Infeksi ditularkan oleh

suatu okista yang menyerupai isospora yang hanya terdapat dalam tinja kucing dan

sejenisnya. Binatang pengerat kelihatannya juga memegang peranan pada

17
penularan, karena binatang ini mengandung kista infektif dalam jaringan yang

dapat dimakan oleh kucing. Tindakan untuk mengurangi kontak antara manusia

dan tinja kucing jelas penting dalam pengawasan, khususnya bagi wanita yang

hamil dengan tes serologik negatif. Karena ookista biasanya memerlukan waktu

48 jam untuk menjadi infektif, maka pembersihan kotoran kucing setiap hari dan

pembuangannya pada tempatnya dapat mencegah penularan (Jones, Lopez,

Wilson, 2013).

Pada wanita hamil, terutama mereka yang pernah berhubungan dengan

kucing. Kucing harus dijaga agar tidak berburu dan diheri makanan kering,

makanan kaleng atau makanan matang saja. Hati-hati pada saat mencuci tempat

kotoran kucing dan hendaknya memakai sarong tangan (CDC, 2010).

Suatu sumber yang sama penting bagi kontak manusia ialah daging mentah

atau yang dimasak kurang matang, terutama daging babi dan domba, dimana

sering ditemukan kista jaringan yang infeksi. Manusia dan mamalia lain dapat

terkena infeksi ookista dalam tinja kucing maupun kista jaringan dalam daging

mentah atau matang. Tindakan selanjutnya adalah mengenai riwayat hidup sehat

dan epidemiologik toksoplasmosis dapat memberikan perbaikan pengawasan.

Pendidikan kesehatan tentang toksoplasmosis dan skrining antibodi anti

toksoplasma sangat dianjurkan terutama bagi ibu yang hamil atau yang akan hamil

(CDC, 2010).

Dalam penatalaksanaan ini meliputi bagaimana cara pencegahan dan

pengobatan terhadap toksoplasmosis. Untuk pencegahan terhadap toksoplasmosis

antara lain dengan: (CDC, 2010)

18
1. Memasak daging hingga matang untuk meminimalkan parasit toksoplasma

pada suhu 66° C dan menyimpan pada suhu -22° C.

2. Menghindari kontak langsung dengan tanah yang berpotensi sebagai tempat

ookista.

3. Hindari kontaminasi silang antara bahan mentah dengan bahan makanan yang

telah matang.

4. Membiasakan mencuci sayur dan buah yang akan dikonsumsi.

5. Membersihkan tangan dengan sabun setelah mempersiapakan daging mentah

untuk dimasak.

6. Membuang feses kucing dari kandang kucing setiap hari untuk mencegah

ookista sporulasi.

7. Melakukan disinfeksi kandang kucing dengan menggunakan air mendidih.

8. Tidak memberikan kucing daging mentah.

9. Prognosis

Toksoplasma akut untuk pasien imunokompeten mempunyai prognosis

yang baik. Toksoplasmosis pada bayi dan janin dapat berkembang menjadi

retinokoroiditis. Toksoplasmosis kronik asimptomatik dengan titer antibodi yang

persisten, umumnya mempunyai prognosis yang baik dan berhubungan erat

dengan imunitas seseorang. Toksoplasmosis pada pasien imunodefisiensi

mempunyai prognosis yang buruk (Robert, Darde, 2012).

19
KESIMPULAN

Toksoplasmosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh suatu protozoa

yang disebut Toxoplasma gondii. Sekitar 80-90 % penderita toksoplasmosis tidak

menunjukkan gejala sama sekali (asimptomatik). Namun pada penderita yang

mengalami defisiensi kekebalan (imunocompromise), gejala klinisnya dapat menjadi

menifestasi gejala klinis toksoplasmosis yang berat. Diagnosis toksoplasmosis dapat

dilakukan dengan tiga cara, yaitu dari gejala klinis, pemeriksaan darah atau jaringan

tubuh penderita, dan pemeriksaan serologis.

Penderita toksoplasmosis dapat sembuh sendiri tanpa diberikan pengobatan.

Untuk penderita dengan gejala toksoplasmosis yang berat atau penderita

toksoplasmosis dengan penurunan sistem kekebalan tubuh, maka diperlukan

pengobatan dengan kombinasi antibiotik pirimetamin dan sulfadiazine. Dalam hal

pencegahan toksoplasmosis yang penting ialah menjaga kebersihan, mencuci tangan

setelah memegang daging mentah, menghindari feces kucing pada waktu

membersihkan halaman atau berkebun. Memasak daging hingga matang minimal pada

suhu 66°C atau dibekukan pada suhu –20°C.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Jones J, Adriana Lopez, Marianna Wilson. 2013. Congenital toxoplasmosis.


American family physician. 2145-6.
2. Ogendi E, et.al. 2013. Questionnaire survey on the occurrence of risk factors for
toxoplasma gondii infection amongst farmers in thika district Kenya. Journal of
South African Veterinary Association.
3. Robert-Gangneux F, Darde ML. 2012. Epidemiology of and diagnostic strategis
for toxoplasmosis. Clin Microbiol Reviews, American Society for Microbiology
(ASM) Journals.
4. CDC. 2010. Toxoplasma Diagnosis and Treatment. Resources for Health
Professionals.
5. Dabritz HA, Conrad PA. 2010. Cats and Toxoplasma: implications for public
health. Zoonoses Public Health 57: 34–52
6. Cvetkovic D, et.al. 2010. Risk factors for toxoplasma infection in pregnant women
in FYR of Dubey JP. 2008. The history of toxoplasma gondii the first 100 years.
Journal Eukaryot Microbiol. 55 (6): 467-475.
7. Ferguson DJP. 2009. Toxoplasma gondii: 1908-2008, homage to Nicolle,
Manceaux and Splendore. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Jeneiro. 104(2):133-
48.
8. Desmonts G, Couvreur J. 2008. Congenital toxoplasmosis. A prospective study of
378 pregnancies. N Engl J Med. 290(20):1110-6.
9. Kasper LH. 2008. Toxoplasma infection. Dalam: Fauci AS, Kasper DL, Longo
DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison's principles of internal
medicine Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill; h. 1243-7.
10. MontoyaMontoya JG, Remington JS. 2008. Management of Toxoplasma gondii
infection in pregnancy. Clin Infect Dis; 47:554-566
11. RasmaliahRasmaliah. 2008. Toksopalsmosis dan Upaya Pencegahannya. FKM
USU.

21
12. Martin AM, Liu T, Lynn BC, Sinai AP. 2007. The Toxoplasma gondii
parasitophorous vacuole membrane: transactions across the border. J Eukaryot
Microbiol. 54(1):25-8
13. Patrick I, Patel M, Fenwick S. 2007. Australian Centre for International
Agricultural Research. Final report: Assessment of zoonotic diseases in
Indonesia. Canberra: ACIAR.
14. Anonim, 2001. Toxoplasmosis Public health Education Information Sheet. March
of Dimer. Ask NOAH About : Pregnancy Fact Sheet WHO.
15. Schwartzman JD. 2001. Toxoplasmosis. Dalam : Gillespie SH, Person RD, edtor.
Principles and practice of clinical parasitology. Chichister : John Wiley and Sons
Ltd ; 113-38.

22

Anda mungkin juga menyukai