Anda di halaman 1dari 35

RESPONSI

DIABETES MELITUS

Pembimbing :

dr. Wiwid Samsulhadi, Sp. PD, FINASIM

Disusun Oleh :

ROSA EL BARIROH

201810401011004/201410330311172

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

Responsi dengan judul “Diabetes Melitus” yang disusun oleh:

Nama : Rosa El Bariroh

NIM : 201810401011004/201410330311172

Telah disetujui pada tanggal 9 November 2018

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Wiwid Samsulhadi, Sp. PD, FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya

yang telah dikaruniakan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas responsi

dengan judul “Diabetes Melitus”.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak,

rekan sejawat, dan terutama dr. Wiwid Samsulhadi, Sp.PD yang telah meluangkan waktunya

untuk membimbing sehingga kapita selekta ini dapat selesai dengan baik.

Penulis menyadari dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan.Oleh karena itu

kritik dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan guna menyempurnakan tugas kapita

selekta ini. Semoga responsi kasus ini dapat bermanfaat bagi rekan dokter muda dan

masyarakat.

Surabaya, 9 November 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .............................................................................................................iii

DAFTAR ISI............................................................................................................................ iv

PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1

STUDI KASUS ......................................................................................................................... 2

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 9

KESIMPULAN.. .................................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 31

iv
I. Pendahuluan

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai oleh

adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau

keduanya. (Gustaviani R, 2006)

Estimasi terakhir IDF terdapat 382 juta orang hidup dengan diabetes didunia pada tahun

2013. (Kemenkes, 2014) Berdasar data IDF 2014, saat ini diperkiraan 9,1 juta orang penduduk

didiagnosis sebagai penyandang DM. Dengan angka tersebut Indonesia menempati peringkat

ke-5 di dunia, atau naik dua peringkat dibandingkan data IDF tahun 2013 yang menempati

peringkat ke-7 di dunia dengan 7,6 juta orang penyandang DM (Soebagijo et al., 2015)

Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh

meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai

penelitian prospektif menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh

darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit

pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah. Dengan demikian,

pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasi vaskularnya menjadi penting untuk diketahui

dan dimengerti. (Waspadji S., 2006)

Diabetes Melitus merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh seorag dokter.

Didalam SKDI telah ditetapkan kompetensi dokter untuk penegakkan diagnosis Diabetes

Melitus 1 dan 2 adalah 4A yang artinya Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan

melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.(SKDI, 2012)

Dalam studi kasus ini, akan dibahas secara singkat mengenai materi tentang

penyakit Diabates Melitus dan juga Sepsis. Selain itu juga dibahas tentang penegakkan

diagnosis, pemberian terapi, serta melihat dari kasus yang sudah ada.

1
II. Studi Kasus

1. Identitas Pasien

Nama : Ny. Siti Chususiati

Umur : 58 Tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Pedagang

Status : Sudah Menikah

Tanggal masuk : 7 November 2018

Jam masuk : 18.00

Ruangan : 4C – Bed B6

2. Anamnesis

A. Keluhan utama: Nyeri pada kaki

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh nyeri pada kaki kanan dirasakan sejak 1 minggu sejak SMRS, nyeri

dirasakan semakin hari semakin berat. Nyeri terutama pada daerah ujung jari dan daerah

telapak kaki, pasien juga mengeluh luka pada jari manis kaki kanan sejak 1 minggu

SMRS. Awal mula terbentuk luka yaitu terdapat benjolan diujung kaki terlebih dahulu

pada pagi hari, lalu siang setelah pasien memakai sepatu benjolannya tersebut berubah

menjadi luka. Selain itu pasien mengeluh sering BAK dan sering terbangun malam hari

utuk BAK. Pasien serng merasakan haus dan ingin minum terus. Pasien juga merasakan

lemah badan akhir – akhir ini. Lemah badan dirasakan tanpa sebab. Pasien juga

mengeluh mual dan rasa tidak nyaman di daerah ulu hati sejak 2 hari SMRS. Pasien

menrasa perutnya sebah dan tidak enak makan. Nyeri dada (-), dada seperti tertekan (-

), menjalar ke leher dan lengan kiri (-), tembus kebelakang (-), demam (-), sesak (-),

2
ngongsrong (-), batuk (-), pilek (-), BAB dbn, BAK sering terkadang malam hari,

terbangun untuk kencing 2-3x, urin berbusa (-), BB turun (-), jamu-jamuan (-), obat

antinyeri (-), penglihatan menurun (-)

C. Riwayat Penyakit Dahulu

DM (+),HT (-), Dislipidemia (-), riwayat gangguan penglihatan (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga

HT (-), DM (-)

E. Riwayat Sosial

Aktifitas sehari – hari pasien pedagang

F. Riwayat Minum Obat

Obat DM  Metformin 1x1 atau Glibenclamid 1x1

Alergi obat dan makanan (-)

3. Pemeriksaan Fisik

A. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang.

B. Kesadaran : Compos Mentis

C. GCS : 456

D. Status gizi

-BB: 50 kg

-TB: 150 cm

-IMT : 23,4

E. Tanda vital

- TD : 120/80 mmHg

- Nadi : 120 x/menit

- RR : 20 x/menit

3
- Suhu : 38 0C (per axilla)

F. Status Internus

1. Kepala : Rambut dalam batas normal, bentuk kepala dalam batas normal,

reflek cahaya (+), pupil bulat isokor, anemis (-), ikterus (-), dispneu

(-), sianosis (-), hidung dbn, visus ODS 1/300.

2. Leher :Pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-), JVP normal, deviasi trachea (-)

3. Thoraks :

a. Pulmo

Dextra Sinistra

Pulmo Depan

Inspeksi

Bentuk dada Datar Datar

Hemitohorax Simetris, statis, dinamis Simetris, statis, dinamis

Warna Sama seperti kulit Sama seperti kulit sekitar

sekitar Ruam kemerahan (-)

Ruam kemerahan (-)

Palpasi

Nyeri tekan (-) (-)

Perkusi Sonor seluruh lapang Sonor seluruh lapang

paru paru

Auskultasi

Suara dasar Vesikuler Vesikuler

Suara tambahan

- Wheezing (-) (-)

- Ronki (-) (-)

4
- Stridor (-) (-)

b. Cor

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, pulsasi tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi : konfigurasi jantung tidak melebar

-Batas kiri (ICS 5 midclavicula sinistra)

-Batas kanan (ICS4 parasternal line dextra)

Auskultasi : suara jantung I dan II murni, bising jantung (-), gallop (-)

4. Abdomen

Inspeksi : permukaan datar, warna sama seperti kulit sekitar, pelebaran vena (-

Auskultasi : bising usus (+) normal

Perkusi : timpani seluruh lapangan abdomen, nyeri ketok CVA (-)

Palpasi : nyeri tekan (-), tegang, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal

tidak teraba

5. Ektremitas

Superior Inferior

Akral dingin -/- -/-

Oedem -/- -/-

Sianosis -/- -/-

Turgor Dbn Dbn

Capillary Refill <2 detik / <2 detik <2 detik / <2 detik

5
Terdapat ulkus pada kaki kanan jari ke IV diameter kurang lebih 2 cm, hiperemi

slough +, push +, jaringan nekrotik -, Arteri dorsalis pedis dextra teraba lemah

4. Pemeriksaan Penunjang

7/11/2018

Darah Lengkap

 Hb : 13,4 g/dl (normal) Nilai normal: dewasa>13 th: 12,8-16,8 g/dl)

 Leukosit : 25.670/ mm3 (↑) Nilai normal: dewasa>13 th: 4.500-13.500

mm3

 Hematokrit : 39,3 % (normal) Nilai normal: dewasa>13 th: 33-45 %

 Trombosit : 489.000/ mm3 (N) Nilai normal: dewasa>13 th: 150.000-

440.000/ mm3

Kimia Klinik

 GDA Stik: 580 mg/dl (↑)  Nilai normal: <150 mg/dl

 Neut: 93,4%

 Lymph: 3,5 %

K/Na/Cl

 Kalium 5,2 mmol/L

 Natrium 123 mmol/L

 Chlorida 87 mmol/L

5. Assesment

- Ulkus pedis dextra digiti 4 wagner II

- DM tipe 2 dengan Hiperglikemia

- Sepsis

- Dispepsia

- Hiponatremia

6
6. Planning Diagnosis

- GDP

- GD 2 jam PP

- HbA1c

- SC

- Bilirubin

7. Planning Therapy

- Infus RL 21 tpm/menit

- RCI 4x6 IU

- Ceftriaxone 2x1 gr

- Metronidazole 3x500 mg

- Levemir 0-0-14 IU

- Novorapid 10-10-10 IU

- Antrain 3x1

- Omeprazole 3x1

- Sucralfat syr 2x1

8. Planning Monitoring

- Keluhan

- Ulkus pedis

- Vital sign

- GDA RCI

- GDP

- GD2JPP

9. Planning Edukasi

- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi penyakit pasien.

7
- Menjelaskan tentang rencana pemeriksaan dan penatalaksanaan yang akan dilakukan dan

diberikan.

- Menjelaskan kepada pasien untuk melakukan pengobatan secara rutin.

- Menjelaskan kemungkinan penyakit yang diderita dikarenakan adanya infeksi.

- Menjelaskan penatalaksanaan dan efek samping obat yang akan diberikan

8
II. Tinjauan Pustaka

Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut

WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan

kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut

atau relatif dan gangguan fungsi insulin. (Soebagijo et al., 2015)

Klasifikasi

American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical Care in Diabetes

(2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam :

1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya destruksi

sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin. (Soebagijo et al., 2015)

2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi

insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin. (Soebagijo et al., 2015)

3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor lain

seperti kelainan genetik pada fungsi sel β pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin,

penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan kimia

lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ).

4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama

masa kehamilan. (Soebagijo et al., 2015)

9
KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI

DM TIPE 1: DM TIPE 2 : DM TIPE LAIN : DM


Defisiensi Defisiensi insulin 1. Defek genetik fungsi sel beta : GESTASIONAL
insulin absolut relatif : Maturity onset diabetes of the young
A
akibat destuksi 1, defek sekresi Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain
sel beta, insulin lebih 2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis
karena: dominan daripada Pankreatektomy
1.autoimun resistensi insulin. 3.Endokrinopati : akromegali, cushing,
2. idiopatik 2. resistensi insulin hipertiroidisme
lebih dominan 4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme
daripada defek 5.Akibat virus: CMV, Rubella
sekresi insulin. 6.Imunologi: antibodi anti insulin
7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter

Diagnosis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM

perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:

 Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang

tidak dapat dijelaskan sebabnya. (Soebagijo et al., 2015)

 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi

pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. (Soebagijo et al., 2015)

Dalam Kasus ini juga ditemui manifestasi dari Diabetes Melitus yang diantaranya adalah

Polidipsi, polyuria dan lemah badan.

Kriteria diagnostik (Soebagijo et al., 2015) :

 Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah sewaktu

merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan

terakhir, atau

10
 Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori

tambahan sedikit nya 8 jam, atau

 Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. Atau

 Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National

Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

Pada pasien ini pada pemeriksaan penunjang didapatkan Gula darah sewaktu/ Gula

darah acak 580 mg/dl sesuai denga teori yaitu Gula darah sewaktu > 200 mg/dl . Pasien tidak

dilakukan pemeriksaan gula darah puasa, TTGO dan HbA1c. Hal ini tidak menjadi masalah

karena kriteria diagnosis bias dilakukan salah satu saja yaitu GDA, atau GDP atau TTGO

atau HbA1c.

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan

 Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan

mencapai target pengendalian glukosa darah.

 Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikro angiopati, makro

angiopati, dan neuropati.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,

berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan

perawatanmandiri dan perubahan perilaku. (Soebagijo et al.,2015)

Pilar penatalaksanaan DM

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa

waktu (2-4 minggu). Apa bila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan

intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada

keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai

indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat,

11
berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.

(Soebagijo et al.,2015)

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup danperilaku telah terbentuk

keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan

perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang

komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa

darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada

pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat

pelatihan khusus. (Soebagijo et al., 2015)

Penyuluhan atau edukasi pada penderita diabetes 2 hal pokok yaitu tentang pemantauan

H.D.L (Hipertensi, Diabetes Mellitus, Lipid) dan tatalaksana pola hidup sehat.

(Askandar,2015).

Selai target H.D.L para diabetisi harus mengikuti 10 petunjuk pola hidup sehat GULOH-

SESAR:

a. G = Gula

b. U = Uric Acid

c. L = Lipid

d. O = Obesitas

e. H = Hipertensi

f. S = Sigaret

g. I = Inaktivitas

h. S = Stres

i. A = Alkohol

j. R = Regular check up

12
2. Terapi Nutrisi Medis

Penentuan status gizi selain dengan menghitung BBR dapat juga dihitung dengan rumus

Indek Massa Tubuh (IMT). (Askandar,2015).

BB = Berat Badan (Kg)


IMT = BB(kg)/
TB(m2)
TB = Tinggi Badan (meter)

Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT adalah (Askandar,2015). :

Klasifikasi Status Gizi Indeks Massa Tubuh (IMT) (Kg/M2)

(1) Kurus (Underweight) < 18,5

(2) Normal 18,5 – 22,9

(3) Gemuk (Overweight) ≥ 23

(4) Resiko Obesitas (At 23 – 24,9

Risk)

(5) Obesitas I 25 – 29,9

(6) Obesitas II ≥ 30

Dalam praktek, pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari untuk Diabetisi yang bekerja

biasa adalah (Askandar,2015).:

Kurus : Berat Badan X 40 – 60 kalori

Normal: Berat Badan X 30 kalori sehari

Gemuk: Berat Badan X 20 kalori sehari

Obesitas: Berat Badan X 10 – 15 kalori sehari

Pada pasien ini dengan indeks masa tubuh yang normal yaitu 22,2 maka kebutuhan

kalori adalah 50 kg x 30 kalori = 1500 kal.

Macam Diet-Diabetes (Askandar,2015).

A. DIET-B : Komposisi dan Sifat

13
Komposisi Diet-B lebih rinci, dapat dilihat susunannya pada tabel

TABEL-2. KOMPOSISI DIET-B

Komposisi dan Sifat Diet-B

Karbohidrat 68%. Kompleks karbohidrat bebas gula

Protein 12%

Lemak 20%

Rasio PUFA : SAFA ± 1.0

SAFA & TUFA <5%

PUFA <5%

MUFA 10 %

Kolesterol per hari 300 mg

Serat Sayuran Gologan-A dan B. 25 – 35 gram /hari

Frekuensi per hari 6 kali

% Distribusi per hari 20%, 10%, 25%, 10%, 25%, 10%

10% = Snack (1) (2) (3) (4) (5) (6)

Diet-B pada umumnya diberikan kepada semua Diabetisi yang mempunyai tingkat ekonomi

rendah dan sedang, tetapi juga diberikan kepada Diabetisi yang:

(1) tidak tahan lapar dengan Dietnya

(2) mampu atau kaya, tetapi kadar kolesterol dalam darahnya tinggi

(3) mempunyai komplikasi penyempitan pembuluh darah

(4) telah menderita Diabetes Mellitus lebih dari lima belas tahun. Penderita Diabetes

Melitus yang lama ini biasanya mengidap angiopati diabetik.

B. DIET-B1

14
Karena kemampuan sosio – ekonomi, kebiasaan makan, dan agama Diabetisi berbedabeda,

juga atas dasar petunjuk medis yang lain, sejak tahun 1980 telah disusun dan digunakan Diet-

B1 yang terdiri: 60% karbohidrat 20% lemak 20% protein.

Susunan ini hampir mendekati susunan Diet-Diabetes di negara barat. Cara pemberian dan

distribusi makanan perhari adalah sama dengan Diet-B, hanya kolesterol yang terkandung

didalamya lebih tinggi.

Diet-B1 diberikan kepada Diabetisi yang memerlukan protein tinggi yaitu penderita yang:

(1) mampu atau mempunyai kebiasaan makan tinggi protein, tetapi kadar lemak darahnya

normal

(2) kurus atau BBR kurang dari 90%

(3) masih muda (perlu pertumbuhan)

(4) mengalami patah tulang

(5) menderita TBC paru

(6) dalam keadaan pasca bedah

(7) menderita penyakit Graves atau Morbus Basedowi, yaitu penyakit gondok dengan

kadar hormon gondok yang tinggi

(8) menderita tumor ganas, antara lain: kanker panyudara, kanker rahim, atau kanker

lainnya.

C. DIET-B2 DAN DIET-B3 : Komposisi dan Indikasi

Nefropati Diabetik adalah manifestasi penyempitan pembuluh darah dalam ginjal. Keadaan

terakhir ini memerlukan pengobatan khusus, baik di bidang Diet-Maupun dibidang ginjalnya.

Berdasarkan pengalaman, pemberian insulin akan dapat meningkatkan proses anabolik

(pembentukan protein). Tetapi, sering kali kebutuhan insulin menurun pada Nefropati Diabetik

dengan Gagal Ginjal Kronik, bahkan kadang-kadang didapatkan hipoglikemia.

D. DIET-Be : Komposisi dan Indikasi

15
Diet-Be atau Diet-Bebas hanya diberikan kepada Diabetisi dengan Nefropati Diabetik Tipe Be

(Stadium IV). Pada Stadium IV ini biasanya faal ginjal sudah sangat jelek. Sehingga

memerlukan terapi cuci darah. Pada saat ini (dengan HD reguler Stadium-V) diberikan

makanan yang tinggi protein (1 g/kg berat badan/hari). Penderita ini boleh minum glukosa dan

rasa manis lain (misalnya es krim dan lain-lain). Oleh karena itu disebut pula Diet Es Krim,

tetapi harus diberikan suntikan insulin. Aturan makan tetap tiga kali makanan utama dan tiga

kali makanan kecil, interval tiga jam dengan kalori lebih dari 2000 kal/hari.

D. DIET-KV

Diet ini diberikan kepada Diabetisi dan gangguan kardiovaskuler seperti: stroke, penyakit

jantung koroner, infark jantung, penyakit pembuluh arteri perifer oklusif. Komposisi Diet-KV

ini sama dengan Diet-B hanya ditambah tinggi arginin, tinggi serat, rendah kolesterol, ekstra

asam folat, vitamin B6 dan B12.

E. DIET-G : Komposisi dan Indikasi

Diet ini diberikan untuk Diabetisi dan gangren. Komposisi Diet-G ini sama dengan DietB1,

hanya ditambah tinggi arginin, tinggi serat, rendah kolesterol, ekstra asam folat, vitamin B6

dan B12

F. DIET-GL : Komposisi dan Indikasi

Diet ini diberikan untuk penderita gagal ginjal yang berat dengan Stress Related Mucosal

Damage (SRMD) (perdarahan lambung). Diet ini terdiri dari gula pasir ± 30 gram di bawah

lidah pada GL 1, GL 3 Gl 5, dan ± 15 gram dibawah lidah pada GL 2, GL 4, GL 6.

G. DIET-M : Komposisi dan Indikasi

Diet ini diberikan untuk Diabetisi Malnutrisi (gizi kurang). Komposisi Diet-M terdiri dari 55%

karbohidrat, 25% protein, dan 20% lemak, dengan kandungan kolesterol kurang dari 300 mg

per hari.

16
H. DIET-M – PUASA : Indikasi

Diet ini diberikan untuk Diabetisi Malnutrisi (gizi kurang) yang berpuasa di bulan ramadhan.

I. DIET-KV : BAGI DM-PREGESTASIONAL (DMPG)

DM Pregestasional adalah seorang ibu yang sudah menderita diabetes mellitus sebelum hamil.

Diet ini diberikan untuk Diabetisi yang hamil. Komposisi Diet ini sama dengan Diet-KV.

Pada pasien ini diet yang sesuai adalah diet G. Diet ini diberikan untuk Diabetisi dan

gangren. Seuai dengan pasien ini yaitu Diabete dengan adanya ulkus pedis.

3. Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30

menit,sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhithmical, Interval, Progressive training). Sedapat

mungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut nadi maksimal (220/umur),

disesuaikandengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan

adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan selama 20 menit

dan olahraga berat misalnya joging.

4. Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani

(gaya hidup sehat).Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Obat Antihiperglikemia oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan (Soebagijo et al., 2015):

A. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkansekresi insulin oleh sel beta pankreas,

dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun

masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari

17
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal

dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan

sulfonilurea kerja panjang (Soebagijo et al., 2015).

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada

peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu

Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi

dengan cepat setelah pemberian secara oral dan di ekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini

dapat mengatasi hiperglikemia post prandial (Soebagijo et al., 2015).

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada PeroxisomeProliferator Activated Receptor

Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot, sel hati dan sel lemak. Golongan ini

mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein

pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa diperifer.Tiazolidindion

dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat

edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan

tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala (Soebagijo et al., 2015).

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di

samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang

diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal

(serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia

(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat

memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat

18
atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi

pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut

(Soebagijo et al., 2015).

C. Penghambat Absorbsi Glukosa di saluran pencernaan

Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa diusus halus, sehingga mempunyai efek

menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping

hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens

(Soebagijo et al., 2015).

D. DPP-IV inhibitor

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1

(Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas

GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glucagon bergantung kadar

glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan

Linagliptin(Soebagijo et al., 2015).

E. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang

menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat

kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain:

Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat

approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015(Soebagijo et al., 2015).

2. Obat Antihiperglikemia Suntik

A. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

1. Mutlak pada DMT1

19
2. Relatif pada DMT2 dengan keadaa tertentu :

a. Gagal terapi OHO kombinasi 3-6 bulan

b. Kehamilan

c. Selulitis/gangrene/infeksi lain

d. Kurus/underweight

e. Fraktur

f. Hep. B kronis/ Sirosis hepatis

g. Operasi

h. Gangguan fungsi ginjal

Jenis dan lama kerja insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

• Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

• Insulin kerja pendek (short acting insulin)

• Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

• Insulin kerja panjang (long acting insulin)

20
Evaluasi medis secara berkala

• Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan, atau pada

waktu-waktu tertentu lainnya sesuai dengan kebutuhan

• Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan

• Secara berkala dilakukan pemeriksaan:

o Jasmani lengkap

o Mikroalbuminuria

o Kreatinin

o Albumin / globulin dan ALT

o Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dantrigliserida

o EKG

o Foto sinar-X dada

o Funduskopi

21
Masalah-Masalah Khusus

Kaki Diabetes

1. Setiap pasien dengan diabetes perlu dilakukan pemeriksaan kaki secara lengkap, minimal sekali

setiap satu tahun meliputi: inspeksi, perabaan pulsasi arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior,

dan pemeriksaan neuropati sensorik.

2. Deteksi Dini Kelainan Kaki dengan Risiko Tinggi dapat dilakukan melalui pemeriksaan

karakteristik kelainan kaki:

 Kulit kaku yang kering, bersisik, dan retak-retak serta kaku.

 Rambut kaki yang menipis.

 Kelainan bentuk dan warna kuku (kuku yang menebal, rapuh, ingrowing nail).

 Kalus (mata ikan) terutama di bagian telapak kaki.

 Perubahan bentuk jari-jari dan telapak kaki dan tulang-tulang kaki yang menonjol.

 Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari.

 Kaki baal, kesemutan, atau tidak terasa nyeri.

 Kaki yang terasa dingin.

 Perubahan warna kulit kaki (kemerahan, kebiruan, atau kehitaman).

3. Kaki diabetik dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi. Ulkus kaki diabetik

adalah luka kronik pada daerah di bawah pergelangan kaki, yang meningkatkan morbiditas,

mortalitas, dan mengurangi kualitas hidup pasien.

4. Ulkus kaki diabetik disebabkan oleh proses neuropati perifer, penyakit arteri perifer

(peripheral arterial disease), ataupun kombinasi keduanya.

5. Pemeriksaan neuropati sensorik dapat dilakukan dengan menggunakan monofilamen

Semmes-Weinstein 10g, serta ditambah dengan salah satu dari pemeriksaan : garpu tala

frekuensi 128 Hz, tes refleks tumit dengan palu refleks, tes pinprick dengan jarum, atau tes

ambang batas persepsi getaran dengan biotensiometer.

22
6. Penatalaksanaan kaki diabetik dengan ulkus harus dilakukan sesegera mungkin. Komponen

penting dalam manajemen kaki diabetik dengan ulkus adalah :

 Kendali metabolik (metabolic control): pengendalian keadaan metabolik sebaik

mungkin seperti pengendalian kadar glukosa darah, lipid, albumin, hemoglobin dan

sebagainya.

 Kendali vaskular (vascular control): perbaikan asupan vaskular (dengan operasi atau

angioplasti), biasanya dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik.

 Kendali infeksi (infection control): jika terlihat tanda-tanda klinis infeksi harus diberikan

pengobatan infeksi secara agresif (adanya kolonisasi pertumbuhan organisme pada hasil

usap namun tidak terdapat tanda klinis, bukan merupakan infeksi).

 Kendali luka (wound control): pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara

teratur. Perawatan lokal pada luka, termasuk kontrol infeksi, dengan konsep TIME:

o Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)

o Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi)

o Moisture Balance (menjaga kelembaban)

o Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)

 Kendali tekanan (pressure control): mengurangi tekanan pada kaki, karena tekanan yang

berulang dapat menyebabkan ulkus, sehingga harus dihindari. Mengurangi tekanan

merupakan hal sangat penting dilakukan pada ulkus neuropatik. Pembuangan kalus dan

memakai sepatu dengan ukuran yang sesuai diperlukan untuk mengurangi tekanan.

 Penyuluhan (education control): penyuluhan yang baik. Seluruh pasien dengan diabetes

perlu diberikan edukasi mengenai perawatan kaki secara mandiri.

23
Sepsis

Definisi

Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang

berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan panas, takikardia,

takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.

(Guntur, 2007).

Sepsis sindroma klinik yang ditandai dengan:

 Hyperthermia/hypothermia (>38°C; <35,6°C)

 Tachypneu (respiratory rate >20/menit)

 Tachycardia (pulse >100/menit)

 >10% cell immature

 Suspected infection

Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); Creactive Protein (CrP).

Society of Critical Care Medicine (SCCM) dan European Society of Intensive Care

Medicine (ESICM) mengajukan definisi sepsis yang baru, dengan istilah Sepsis. Pada definisi

sepsis terbaru dijelaskan bahwa sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam nyawa

(life-threatening) yang disebabkan oleh disregulasi respons tubuh terhadap adanya infeksi.2-5

Definisi yang baru meninggalkan penggunaan kriteria systemic inflammatory response system

(SIRS) untuk identifikasi adanya sepsis dan meninggalkan istilah sepsis berat (severe sepsis).

Berdasarkan analisis direkomendasikan SOFA score untuk menilai derajat disfungsi organ

pada pasien sepsis.

Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) scoring dan quick SOFA (qSOFA)

Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut skor total SOFA (Sequential

(Sepsis-related) Organ Failure Assessment) ≥2 sebagai konsekuensi dari adanya infeksi. 2-5

Skor SOFA meliputi 6 fungsi organ, yaitu respirasi, koagulasi, hepar, kardiovaskular, sistem

24
saraf pusat, dan ginjal dipilih berdasarkan telaah literatur, masing-masing memiliki nilai 0

(fungsi normal) sampai 4 (sangat abnormal) yang memberikan kemungkinan nilai dari 0

sampai 24. 2-5 Skoring SOFA tidak hanya dinilai pada satu saat saja, namun dapat dinilai

berkala dengan melihat peningkatan atau penurunan skornya. 2,3 Variabel parameter penilaian

dikatakan ideal untuk menggambarkan disfungsi atau kegagalan organ (Putra,2018).

Organ System score 0 1 2 3 4

Respiration

PaO2/FiO2, kPa >53.3 40-53.3 0-39.9 0-25.2 R) 0-13.3 R)

torr >400 ≤400 ≤300 ≤200 R) ≤100 R)

Coagulation,Haematol.

Platelets , x10E9/L * >150 101-150 51-100 21-50 0-20

Hepatic

Bilirubin, µmol/l 0-19 20-32 33-101 102-204 >204

mg/dL <1.2 1.2-1.9 2.0-5.9 6.0-11.9 >12.0

CNS

Glasgow Coma Score 15 13-14 10-12 6-9 <6

Circulation,

Cardiovasc. >70 0-70 Dopamine ≤5.0 or Dopamine 5-14,9 Dopamine ≥15 or

MAP, mmHg dobutamine (any or epi >0.1 or

dose) a epi ≤0.1 norepi >0.1 a

or norepi ≤0.1 a

25
Renal

s-creatinine,

µmol/l <110 110-170 171-299 300-440 >440 or dialysis

mg/dL <1.2 1.2-1.9 2.0-3.4 3.5-4.9 >5.0

Or urine output Or <500 mL/24h Or <200 mL/24h

Dalam kasus ini untuk menetukan sepsis atau tidak masih belum bisa dilakukan

menggunakan system sofa score dikarenakan kurangnya hasil dari pemeriksaan penunjang.

Kriteria yang dapat dinilai dari kasus ini hanya dari GCS, platelet dan kardiovaskular.

Sehingga pada kasus ini untuk menentukan diagnosis dari sepsis masih menggunakan

definisi lama yaitu ditemukan tanda tanda dari Sepsis yaitu adanya hipertermia degan suhu

38°C, Tachycardia yaitu heart rate 120x/menit, serta suspect infection ditandai adanya

leukositosis sebanyak 25.670/mm3 dan adanya ulkus pada kaki kanan jari ke IV diameter

kurang lebih 2 cm, hiperemi sloug +, push +, jaringan nekrotik -.

Sehingga pada pasien ini saya usulkan melakuka pemeriksaan penunjang untuk

melakukan cek dari Serum creatinine, Bilirubin da PaO2. Serta melakukan monitoring urine

output.

Derajat Sepsis (Putra, 2018)

Keadaan Kriteria

SIRS (Systemic Terdapat paling sedikit dua dari beberapa kriteria

Inflammatory dibawah ini :

Respond Syndrome) 1. suhu tubuh ≥ 38 ° C atau ≤ 36° C

2. Denyut nadi > 90 x/’

26
3. Frekuensi nafas > 20 x/’ atau PaCO2 <>

4. Leukosit > 12000/mm3 atau <4000/mm3 atau lekosit

muda > 10%

Sepsis SIRS dengan tanda-tanda infeksi

Sepsis Berat Sepsis disertai dengan hipotensi (sistole < 99 mmHg)

Syok Septik Sepsis disertai dengan hipotensi dan hipoperfusi

Setelah mendapat cairan yang adekuat

Dalam kasus ini juga termasuk dalam katagori Sepsis dikarenakan sudah memasuki

kriteria yaitu SIRS dengan tanda tanda infeksi. Namun belum termasuk katagori sepsis berat

karena tekanan darah pada pasien ini normal yaitu 120/80.

Etiologi

Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika bakteri gram negatif

menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan lipopolisakarida (LPS)

yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum darah penderita sehingga

membentuk lipo-polisakarida antibody (LPSab). LPSab yang beredar didalam darah akan

bereaksi dengan perantara reseptor CD 14+ dan akan bereaksi dengan makrofag dan

mengekspresikan imunomodulator (Guntur,2007).

Insidensnya meningkat, antara lain karena pemberian antibiotik yang berlebihan,

meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya frekuensi

penggunaan alat-alat invasive seperti kateter intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit

rentan infeksi yang dapat hidup lama, serta meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme

yang resisten terhadap antibiotic (Guntur,2007).

27
Pada kasus ini penyebab dari sepsis adalah Ulkus pedis dextra digiti 4 wagner II yang

mana sangat dimungkinkan tumbuhnya bakteri pada ulkus tersebut selain itu pasien juga

menderita diabetes melitus sehingga menyebabkan rentan trjadinya infeksi serta factor

penyebab luka ti\dak kunjung sembuh.

Pemeriksaan Penunjang

1. Sebaiknya dilakukan kultur mikroba sebelum dosis pertama pemberian antibiotic jika tidak

memperlambat pemberian antibiotic lebih dari 45 menit.

2. Jika dicurigai disebabkan oleh infeksi jamur, maka dapat digunakan pemeriksaan beta-D-

glucan dan anti-mannan antibody.

3. Pemeriksaan pencitraan sebaiknya dilakukan untuk mencari sumber infeksi.

Pada pasien ini sudah sesuai dengan teori yaitu dilakukan pemeriksaan pencitraan

pada daerah yang diduga penyebab infeksi, yaitu dilakukan foto pedis dengan hasil bentukan

gas gangrene metatarso phalangeal. Namun pasien belum melakukan kultur mikroba untuk

menentukan pemberian antibiotic. Sehingga disini saya mengusulkan untuk melakukan

pemeriksaan penunjang yaitu kultur bakteri untuk meentukan antibiotic apa yang aka dipilih.

Tatalaksana

Terapi Antimikroba:

1. Antimikroba sebaiknya diberikan dalam waktu tidak lebih dari satu jam setelah

diagnosis sepsis dibuat.

2. Pemilihan antimikroba empirik didasarkan pada antimikroba yang aktif terhadap

mikroba penyebab dan yang dapat mencapai sumber infeksi. Antimikroba harus

dievaluasi setiap hari untuk kemungkinan deeskalasi.

3. Pemeriksaan kadar procalcitonin dapat digunakan untuk membantu diagnosis.

28
4. Untuk infeksi mikroba Multi Drug Resistant seperti Acinetobacter dan Pseudomonas,

sebaiknya gunakan antibiotik kombinasi. Untuk pasien sepsis dengan gagal napas dan

syok sepsis, sebaiknya gunakan kombinasi antara Extended Spectrum Beta Lactam

dengan Aminoglycoside atau Fluoroquinolone. Untuk pasien syok sepsis akibat infeksi

Streptococcus pneumoniae, sebaiknya kombinasi betalactam dengan macrolide.

Kombinasi antibiotik empirik sebaiknya tidak dipakai lebih dari 3–5 hari. Sebaiknya.

segera lakukan de-eskalasi bila profi sensitivitas telah diketahui.

5. Durasi pemberian antimikroba biasanya 7–10 hari, dapat lebih panjang pada pasien

dengan defisiensi imun.

6. Bila disebabkan infeksi virus, segera berikan antivirus.

7. Antimikroba sebaiknya tidak diberikan pada sepsis yang penyebabnya bukan infeksi.

Pada poin 4 direkomendasikan penggunaan kombinasi untuk pasien sepsis dengan infeksi

bakteri Multi Drug Resistant. Salah satu rekomendasinya untuk Multi Drug Resistant adalah

kombinasi antara Extended Spectrum Beta Lactam (contoh: Meropenem) dengan

Aminoglycoside (contoh: Amikacin) atau Fluoroquinolone (contoh: Levofl oxacin). Hal ini

sesuai dengan rekomendasi IDSA lainnya, yaitu untuk Hospital Acquired Pneumonia tahun

2005 yang juga menyatakan bahwa untuk infeksi bakteri direkomendasikan penggunaan

kombinasi Antipseudomonal Beta-Lactam (contoh: Meropenem) dengan Antipseudomonal

Fluoroquinolone (contoh: Levofl oxacin) atau Aminoglycoside (contoh: Amikacin). (Frans JV,

2017)

29
KESIMPULAN

1. Diagnosis Diabetes Melitus pada kasus ini didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis

dan pemeriksaan penunjang.

2. Anamnesis yang menunjang pada kasus ini adalah polidipsi, poliuri, letargi.

3. Pemeriksaan penunjang pada kasus ini ditujukan untuk mendeteksi da mengevaluasi kadar

gula darah pada pasien

4. Penatalaksanaan Diabetes Melitus pada kasus ini sudah sesuai dengan teori

5. Diagnosis Sepsis pada kasus ini didasarkan pemeriksaan fisis

6. Pemeriksaan penunjang pada kasus ini ditujukan untuk meegakkan diagnosis sepsis

7. Penatalaksanaan Sepsis pada kasus ini sudah sesuai dengan teori

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu penyakit

dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai

penerbit FKUI, 2006; 1857.

2. Soebagijo et al. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di

Indonesia 2015. Jakarta : PERKENI, 2015

3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi

pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi

I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1906.

4. Guntur.H. Sepsis. 2007. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III . Edisi IV. Jakarta

: Pusat Penerbit IPD FK UI. 2007;1840-43

5. Frans JV. et al., 2017. Penatalaksanaan Sepsis Dan Syok Septik Optimalisasi Fasthugsbid.

Jakarta: Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia

31

Anda mungkin juga menyukai