Anda di halaman 1dari 8

Nama : Aning Tyas Kusuma Dewi

NIM : 201720401011113

Kelompok : D29-RSU Haji Surabaya

EVIDENCE BASED MEDICINE

1.1 Definisi

Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti
ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian, dalam prakteknya, EBM
memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang paling dapat
dipercaya.2

Pengertian lain dari evidence based medicine (EBM) adalah proses yang digunakan secara sistematik
untuk menemukan, menelaah/me-review, dan memanfaatkan hasil-hasil studi sebagai dasar dari
pengambilan keputusan klinik. Jadi secara lebih rincinya lagi, EBM merupakan keterpaduan antara (1)
bukti-bukti ilmiah, yang berasal dari studi yang terpercaya (best research evidence); dengan (2) keahlian
klinis (clinical expertise) dan (3) nilai-nilai yang ada pada masyarakat (patientvalues).

Adapun accountable aspek ilmiah adalah mensurvey secara langsung tentang suatu permasalahan
dengan penelitian untuk mendapatkan dasar yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Maksudnya
adalah :

1. Melalui evidence based medicine kita mengadakan survei tentang keluhan sejumlah penderita.

2. Melalui evidence based medicine kita mengadakan survei tentang kelainan fisik sejumlah penderita
penyakit tertentu.

3. Selain mensurvei keluhan dan kelainan fisik penderita, melaui evidence based medicine kita juga
dapat mensurvei hasil terapinya.

Penerapan evidence based medicine dalam pembelajaran mahasiswa diantaranya adalah

1. Dalam menyusun dan memformulasikan pertanyaan ilmiah yang berkaitan dengan masalah

2. Menelusuri informasi ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi


3. Menelaah terhadap bukti-bukti ilmiah yang didapat

4. Penerapan hasil-hasil penelaah bukti-bukti ilmiah tadi yang sudah dipercaya ke dalam praktek
pengambilan keputusan . Kemudian pengevaluasian terhadap efficacy dan effectiveness

Beberapa alasan utama mengapa EBM diperlukan :

1. Bahwa informasi-informasi tradisional (misalnya yang terdapat dalam text-book) sudah sangat tidak
akurat pada saat ini. Beberapa justru sering keliru dan menyesatkan (misalnya informasi dari pabrik
obat yang disampaikan oleh duta-duta farmasi/cfete//er), tidak efektif (misalnya continuing medical
education yang bersifat didaktik), atau bisa saja terlalu banyak sehingga justru sering
membingungkan (misalnya jurnal-jurnal biomedik/ kedokteran yang saat ini berjumlah lebih dari
25.000 jenis).

2. Dalam pendidikannya, dengan bertambahnya pengalaman klinik seseorang maka


kemampuan/ketrampilan untuk mendiagnosis dan menetapkan bentuk terapi (clinical judgement)
juga meningkat. Namun pada saat yang bersamaan, kemampuan ilmiah (akibat terbatasnya informasi
yang dapat diakses) serta kinerja klinik (akibat hanya mengandalkan pengalaman, yang sering tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah) menurun secara signifikan.

3. Meningkatkan kinerja mahasiswa dalam mencari dan mengidentifikasi literatur klinis terbaik untuk
menyelesaikan masalah.

1.2 Tujuan EBM

EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih baik agar diperoleh hasil
klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien, dengan cara memadukan bukti terbaik yang ada,
keterampilan klinis, dan nilai-nilai pasien 5

Dua strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM. Pertama, EBM mengembangkan sistem
pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik, yaitu bukti dari riset yang menggunakan metodologi
yang benar. Metodologi yang benar diperoleh dari penggunaan prinsip, konsep, dan metode kuantitatif
epidemiologi. Pengambilan keputusan klinis yang didukung oleh bukti ilmiah yang kuat memberikan hasil
yang lebih bisa diandalkan.6

Kedua, EBM mengembalikan fokus perhatian dokter dari pelayanan medis berorientasi penyakit ke
pelayanan medis berorientasi pasien (patient-centered medical care). 6
EBM bertujuan meletakkan kembali pasien sebagai principal‖ atau pusat pelayanan medis. EBM
mengembalikan fokus perhatian bahwa tujuan sesungguhnya pelayanan medis adalah untuk membantu
pasien hidup lebih panjang, lebih sehat, lebih produktif, dengan kehidupan yang bebas dari gejala
ketidaknyamanan. Implikasi dari re-orientasi praktik kedokteran tersebut, bukti-bukti yang dicari dalam
EBM bukan bukti-bukti yang berorientasi penyakit (Disease-Oriented Evidence, DOE), melainkan bukti
yang berorientasi pasien (Patient-Oriented Evidence that Matters, POEM). 8

Di samping itu, paradigma EBM mengingatkan kembali pentingnya hubungan antara pasien sebagai
principal‗ dan dokter sebagai agent‗ yang dibutuhkan untuk penyembuhan. Healing requires relationships—
relationships which lead to trust, hope, and a sense of being known. 6

Praktik klinis EBM memberdayakan klinisi sehingga klinisi memiliki pandangan yang independen
dalam membuat keputusan klinis, dan bersikap kritis terhadap klaim dan kontroversi di bidang kedokteran. 3

Praktik EBM menuntut dokter untuk mengambil keputusan medis bersama pasien (shared decision
making), dengan memperhatikan preferensi, keprihatinan, nilai-nilai, ekspektasi, dan keunikan biologis
individu pasien. Sistem nilai pasien meliputi pertimbangan biaya, keyakinan agama dan moral pasien, dan
otonomi pasien, dalam menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya. 1

1.3 Langkah – langkah EBM

Langkah 1: Merumuskan pertanyaan klinis

BACKGROUND QUESTIONS. Ketika seorang dokter memberikan pelayanan medis kepada pasien hampir
selalu timbul pertanyaan di dalam benaknya tentang diagnosis, kausa, prognosis, maupun terapi yang akan
diberikan kepada pasien. Sebagian dari pertanyaan itu cukup sederhana atau merupakan pertanyaan rutin
yang mudah dijawab, disebut pertanyaan latar belakang (background questions). 5

FOREGROUND QUESTIONS. Banyak pertanyaan klinis lainnya yang sulit dijawab, yang tidak memadai
untuk dijawab hanya berdasarkan pengalaman, membaca buku teks, atau mengikuti seminar. Pertanyaan
yang sulit dijawab disebut pertanyaan latar depan (foreground questions). 5

Langkah 2: Mencari Bukti

Setelah merumuskan pertanyaan klinis secara terstruktur, langkah berikutnya adalah mencari bukti-bukti
untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bukti adalah hasil dari pengamatan dan eksperimentasi sistematis .
Jadi pendekatan berbasis bukti sangat mengandalkan riset, yaitu data yang dikumpulkan secara sistematis
dan dianalisis dengan kuat setelah perencanaan riset. 9
Langkah 3: Menilai Kritis Bukti

penilaian kritis kualitas bukti dari artikel riset meliputi penilaian tentang validitas (validity), kepentingan
(importance), dan kemampuan penerapan (applicability) bukti-bukti klinis tentang etiologi, diagnosis, terapi,
prognosis, pencegahan, kerugian, yang akan digunakan untuk pelayanan medis individu pasien, disingkat
―VIA‖.

a. Validity

Validitas (kebenaran) bukti yang diperoleh dari sebuah riset tergantung dari cara peneliti
memilih subjek/ sampel pasien penelitian, cara mengukur variabel, dan mengendalikan
pengaruh faktor ketiga yang disebut faktor perancu (confounding factor).

b. Importance

Suatu tes diagnostik dipandang penting jika mampu mendiskriminasi (membedakan) pasien
yang sakit dan orang yang tidak sakit dengan cukup substansial, sebagaimana ditunjukkan
oleh ukuran akurasi tes diagnostik, khususnya Likelihood Ratio (LR). Suatu intervensi medis
yang mampu secara substantif dan konsisten mengurangi risiko terjadinya hasil buruk (bad
outcome), atau meningkatkan probabilitas terjadinya hasil baik (good outcome), merupakan
intervensi yang penting dan berguna untuk diberikan kepada pasien

c. Applicability

Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika bisa diterapkan pada pasien
di tempat praktik klinis. Efikasi (efficacy) adalah bukti tentang kemaknaan efek yang
dihasilkan oleh suatu intervensi, baik secara klinis maupun statistik, seperti yang ditunjukkan
pada situasi riset yang sangat terkontrol.

Langkah 4: Menerapkan Bukti

Langkah EBM diawali dengan merumuskan pertanyaan klinis dengan struktur PICO‖, diakhiri dengan
penerapan bukti intervensi yang memperhatikan aspek PICO‖ – patient, intervention, comparison, dan
outcome. Selain itu, penerapan bukti intervensi perlu mempertimbangkan kelayakan (feasibility) penerapan
bukti di lingkungan praktik klinis.

a. Patient

Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang pasien sebelum menerapkan intervensi:


1. Apakah pasien yang digunakan dalam penelitian memiliki karakteristik yang sama dengan
pasien di tempat praktik?

2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan maupun kebutuhan
sesungguhnya (real need) pasien?

3. Bagaimana dampak psikologis-sosial-kutural pada pasien sebelumnya dalam menggunakan


intervensi?

b. Intervention

Tiga pertanyaan perlu dijawab terkait intervensi sebelum diberikan kepada pasien:

1. Apakah intervensi memiliki bukti efektivitas yang valid?

2. Apakah intervensi memberikan perbaikan klinis yang signifikan?

3. Apakah intervensi memberikan hasil yang konsisten?

c. Comparison

Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang aspek perbandingan untuk menerapkan bukti:

1. Apakah terdapat kesesuaian antara pembanding/ alternatif yang digunakan oleh peneliti dan
pembanding/ alternatif yang dihadapi klinisi pada pasien di tempat praktik?

2. Apakah manfaat intervensi lebih besar daripada mudarat yang diakibatnya?

3. Apakah terdapat alternatif intervensi lainnya?

d. Outcome

Tiga pertanyaan perlu dijawab bertalian dengan hasil:

1. Apakah hasil intervensi yang diharapkan pasien?

2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
sesungguhnya (real need) pasien?

3. Apakah pasien memandang manfaat dari intervensi lebih penting daripada kerugian yang
diakibatkannya?

Langkah 5: Mengevaluasi Kinerja Penerapan EBM


Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, terdiri atas tiga kegiatan sebagai berikut. Pertama,
mengevaluasi efisiensi penerapan langkah-langkah EBM. Penerapan EBM belum berhasil jika klinisi
membutuhkan waktu terlalu lama untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi mendapat bukti
dalam waktu cukup singkat tetapi dengan kualitas bukti yang tidak memenuhi VIA (kebenaran, kepentingan,
dan kemampuan penerapan bukti). Kedua contoh tersebut menunjukkan inefisiensi implementasi EBM.

Kedua, melakukan audit keberhasilan dalam menggunakan bukti terbaik sebagai dasar praktik klinis.
Audit klinis adalah ―a quality improvement process that seeks to improve patient care and outcomes
through systematic review of care against explicit criteria and the implementation of change". Dalam audit
klinis dilakukan kajian (disebut audit) pelayanan yang telah diberikan, untuk dievaluasi apakah terdapat
kesesuaian antara pelayanan yang sedang/ telah diberikan (being done) dengan kriteria yang sudah
ditetapkan dan harus dilakukan (should be done). Jika belum/ tidak dilakukan, maka audit klinis memberikan
saran kerangka kerja yang dibutuhkan agar bisa dilakukan upaya perbaikan pelayanan pasien dan perbaikan
klinis pasien. Ketiga, mengidentifikasi area riset di masa mendatang. Kendala dalam penerapan EBM
merupakan masalah penelitian untuk perbaikan implementasi EBM di masa mendatang. 10

1.4 Pembagian

Evidence based medicine dengan membagi tingkat terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori
rekomendasi yaitu A, B dan C (Adelson 2003; Mod. SIGN / Scottish Intercollegiate Guideline Network
2011) : 11

A. Didapat dari level pembuktian klas I, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang diperoleh
dari penelitian yang bersifat prospektif randomized controlled trial (RCT) atau meta analisis dari
penelitian yang bersifat RCT. Metode ini merupakan gold standard atau standard (high degree of clinical
certainty).

B. Didapat dari level pembuktian klas II, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang
diperoleh dari penelitian yang bersifat analisis baik prospektif maupun retrospektif (studi observasional,
kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode ini merupakan guideline (moderate clinical
certainty).

C. Didapat dari level pembuktian klas III, adalah metode terapi atau intervensi / pembedahan yang
diperoleh dari penelitian retrospektif, serial case, dari data registrasi pasien, laporan kasus, review kasus,
dan pendapat ahli (level pembuktian IV). Metode ini merupakan option (unclear clinical certainty).

Level of Evidence (Pembuktian Klas)


Mod. SIGN ( Scottish Intercollegiate Guideline Network ) 201111
KLASIFIKASI
REKOMENDASI ( EBM-HTA )
Adelson, 2003 : 11
(Diagnostik maupun
Tindakan)
1. Gold Standard (High degree of
clinical certainty) > ( I-a, I-B )
Rekomendasi : A
2. Guideline (Moderate clinical certainty) > ( II-a, II-b) Rekomendasi : B
3. Option (Unclear clinical certainty) > ( III- IV ) Rekomendasi : C

Dengan demikian, EBM dapat diartikan sebagai pemanfaatan bukti ilmiah secara seksama, ekplisit dan
bijaksana dalam pengambilan keputusan untuk tatalaksana pasien. Artinya mengintegrasikan kemampuan klinis
individu dengan bukti ilmiah yang terbaik yang diperoleh dengan penelusuran informasi secara sistematis. Bukti
ilmiah itu tidak dapat menetapkan kesimpulan sendiri, melainkan membantu menunjang penatalaksanaan pasien.
Integrasi penuh dari ketiga komponen ini dalam proses pengambilan keputusan akan meningkatkan probabilitas
untuk mendapatkan hasil pelayanan yang optimal dan kualitas hidup yang lebih baik.
Praktek EBM itu sendiri banyak juga dicetuskan oleh adanya pertanyaan-pertanyaan pasien tentang efek
pengobatan, kegunaan pemeriksaan penunjang, prognosis penyakitnya, atau penyebab kelainan yang dideritanya.
EBM membutuhkan ketrampilan khusus, termasuk didalamnya kemampuan untuk melakukan penelusuran literatur
secara efisien dan melakukan telaah kritis terhadap literatur tersebut menurut aturan-aturan yang telah ditentukan.11
DAFTAR PUSTAKA

1. Sackett DL, Haynes RB, Guyatt GH, Tugwell P (1991). Clinical epidemiology: A basic science for clinical
medicine. Boston: Little, Brown, and Company.

2. Sackett DL, Rosenberg WM (1995). The need for evidence-based medicine. J R Soc Med;88:620-624

3. Sackett DL, Rosenberg WM, Gray JA, Haynes RB, Richardson WS (1996). "Evidence based medicine: what
it is and what it isn't". BMJ 312 (7023): 71–2.

4. Sackett DL (1997). Evidence-based medicine. Seminars in Perinatology. 21 (1): 3-5

5. Sackett DL, Straus SE, Richardson WS, Rosenberg WM, Haynes B (2000). Evidence based medicine: how
to practice and teach EBM. (2nd ed.) Toronto: Churchill Livingstone.

6. Scott IA (1009). Analysis: Errors in clinical reasoning: causes and remedial strategies. BMJ
338:doi:10.1136/bmj.b1860

7. Shaughnessy AF, Slawson DC (1997). POEMs: Patient-Oriented Evidence That Matters. Annals of Internal
Medicine, 126 ( 8): 667

8. Smith CA, Hay PPJ, MacPherson H (2010). Acupuncture for depression. Cochrane Database of Systematic
Reviews 2010, Issue 1. Art. No.: CD004046. DOI: 10.1002/14651858. CD004046.pub3

9. Straus SE, Richardson WS, Glasziou P, Haynes RB (2005). Evidence-based medicine: how to practice and
teach EBM. Edisi ketiga. Edinburgh: Churchill Livingstone.

10. Zakowski L Seibert CS, VanEyck S (2004). Evidence-based medicine: Answering questions of diagnosis.
Clinical Medicine & Research, 2 (1) : 63 -69

11. Tumbelaka AR. 2002. Evidence Based Medicine. Sari Pediatri. Vol 3 No 4.

Anda mungkin juga menyukai