1. Multifaktorial, utamanya terkait kondisi psikologis yang tertekan. Etiologi dari gangguan disosiasi ini diduga bersifat psikologis. Faktor predisposisinya menurut The American Psychiatric Publishing Textbook of Psychiatry, 5th Edition antara lain: a. Memiliki karakter cemas dan takut, karakter histerik b. Keinginan untuk menarik diri dari pengalaman yang menyakitkan secara emosional c. Konflik antarpribadi, kondisi subyektif yang berarti, penyakit, dan kematian individu atau bermimpi dari individu almarhum d. Depresi e. Berbagai stressor dan faktor pribadi, seperti finansial, perkawinan, pekerjaan, peperangan dan agama. Menurut Cameron, kondisi ini memang multifaktorial, di mana faktor- faktor spiritual, sosial, psikologis dan fisik semua mungkin memainkan peran etiologi. Namun, tidak ada teori biologis tentang asal-usul gangguan. Oleh karena itu, selain skrining untuk kondisi medis dan psikiatris umum, dokter juga harus memeriksa konteks budaya tertentu . Penyebab kesurupan dari sisi ilmiah disimpulkan oleh beberapa pakar ilmu psikiatri yang menyebutkan tekanan sosial dan mental yang masuk ke dalam alam bawah sadar sebagai biang penyebab kesurupan. Banjir, tsunami, gizi buruk, ketidakadilan, upah kecil, kesenjangan yang sangat mencolok, kelelahan fisik dan jiwa adalah beberapa contoh tekanan tersebut. (Joyanna, 2006 dan Suryani, 2006) Berikut satu contoh kasus dari keadaan trans disosiatif seperti yang pernah dialami oleh subyek dalam penelitian Chiu, SN 2007. Subyek pernah mengalami kondisi trans ketika berusia 20 tahun. Saat kejadian itu subyek merasa dalam dirinya ada yang mengendalikan, ia berteriak-teriak dan menangis dan terjadi hampir lima jam lamanya, dia tidak menyadari bahwa dia dalam keadaan trans. Subyek mengakui sebelum mengalami kondisi trans, subyek mempunyai berbagai permasalahan yang berat. Saat itu banyak permasalahan yang dihadapinya, mulai dari masalah pribadi, masalah dengan keluarga hingga masalah perekonomian yang tidak bisa terselesaikan. 2. Peningkatan kekuatan pita gelombang otak theta dan alpha Kesurupan yang berhubungan dengan ritual agama atau religi dapat kita lihat dalam upacara adat di Bali yang disebut Kerauhan. Banyak orang sehat disini mengalami kerasukan yang sudah pernah didokumentasikan lewat film oleh Margaret Mead dan Gregory Bateson. Namun, keberadaannya belum terbukti secara ilmiah sehingga seorang pakar psikologi dan ilmu syaraf dari Jepang, Manabu Honda, melakukan penelitian pada tahun 2000 untuk mengukur gelombang otak saat masyarakat Bali kesurupan. Honda dan kawan- kawannya menggunakan sistem telemetri Elektro Encephalogram (EEG) multi channel portable untuk mengukur gelombang otak dari 24 orang-orang yang kesurupan saat upacara adat ini. Mereka berhasil untuk pertama kalinya menunjukkan kalau fungsi otak ternyata berubah menjadi tidak biasa saat seseorang kerasukan. Kekuatan pita gelombang otak theta dan alpha dari orang yang kesurupan ternyata meningkat secara signifikan. Gelombang ini tetap tinggi selama beberapa menit setelah mereka sadar dari kesurupan. Bukan hanya itu, mereka yang kesurupan memiliki tingkat konsentrasi beta- endorphin, dopamine dan noradrenalin yang tinggi. Ketiga zat ini merupakan narkotika endogen, artinya narkotika yang dibuat oleh otak sendiri. Honda dan kawan-kawannya menyimpulkan kalau kondisi ini diaktifkan oleh suara alunan gamelan Bali yang mengandung beberapa sinyal yang tak terdengar tapi dapat memacu kerja syaraf. Penelitian ini menunjukkan kalau setidaknya, kesurupan tipe ritual merupakan semacam hiburan seperti halnya dansa atau musik dimana orang terlarut di dalamnya. 3. Orang yang bermasalah dalam isu agama dan budaya Penelitian untuk kesurupan yang tidak ritualistik lebih sulit dilakukan karena tidak terduga kapan datangnya, seperti kesurupan massal mendadak yang sering terjadi di SMP dan SMA di Indonesia. Namun, dua orang psikolog dari Singapura, Beng-Yeong Ng dan Yiong-Huak Chan baru saja berhasil menentukan faktor-faktor psikosial yang menyebabkan seseorang dapat mengalami kesurupan. Mereka melakukan wawancara mendalam terhadap 58 orang pasien yang pernah mengalami kesurupan dan membandingkannya dengan 58 pasien yang mengalami depresi berat. Mereka menemukan kalau orang yang sering mengalami kesurupan adalah orang yang memiliki masalah dalam isu agama dan budaya; terpaparkan pada kondisi trans (kesurupan disengaja) dan memiliki peran sosial sebagai seorang rohaniawan atau pendamping seorang rohaniawan. Penelitian oleh Berry (2002) dan kawan- kawan di China membenarkan kondisi ini. Mereka menambahkan data mengenai apa yang terjadi saat seseorang kesurupan. Berdasarkan wawancara terhadap 20 orang yang pernah kesurupan mereka memperoleh data sebagai berikut: 19 kehilangan kendali atas tindakan, 18 mengalami perubahan perilaku atau bertindak berbeda, 12 kehilangan kesadaran atas sekelilingnya, 11 kehilangan identitas pribadi, 10 kehilangan kemampuan membedakan antara kenyataan dan fantasi, 10 mengalami perubahan nada suara, 9 mengalami perhatian yang tidak fokus, 9 mengalami kesalahan dalam menilai, 8 mengalami kesulitan berkonsentrasi, 7 kehilangan kemampuan menilai waktu, 7 kehilangan ingatan, 6 kehilangan kemampuan merasa sakit dan 4 percaya kalau dirinya berubah ujud. Dilihat dari agen yang merasuki, sembilan dirasuki oleh orang yang telah meninggal, lima oleh dewa/mahluk ghaib yang baik, empat oleh roh hewan, dan 2 oleh setan. Satu tidak tahu siapa yang merasukinya. Lima melaporkan dimasuki oleh lebih dari satu agen. Satu percaya kalau ia dirasuki oleh beberapa orang yang telah meninggal, yang lain percaya kalau ia dirasuki oleh lebih dari satu mahluk halus seperti dewa baik dan setan yang memasuki dirinya serentak. Gaw et al bahkan menambahkan bukti dari luar sampelnya kalau di China, seseorang bahkan bisa kesurupan benda mati, seperti batu dan kayu. Gaw et al menggabungkannya dalam satu istilah: penyakit atribusi. Penyakit atribusi ini termasuklah susto di Amerika Latin dimana seseorang merasa dirinya sangat ketakutan, hwa-byung dari Korea dimana seseorang merasa dirinya sangat marah, dan kesurupan dimana seseorang merasa dirinya dimasuki mahluk asing. 4. Terkait fenomena Multiple Personality Disorder Peneliti Indonesia, Luh Ketut Suryani, dan seorang peneliti barat, Gordon D Jensen menyimpulkan kalau fenomena kesurupan memiliki analog paling sesuai dengan fenomena MPD (Multiple Personality Disorder). Perbedaannya, kesurupan sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Hal ini bisa dibilang berlaku pula pada MPD, karena fenomena MPD terjadi di satu kebudayaan saja, yaitu kebudayaan barat. Dengan kata lain, MPD adalah salah satu contoh fenomena yang melatarbelakangi kesurupan pula. 5. Pengaruh energi asing, khususnya energi infra merah. Menurut Jerald Kay kesurupan artinya aura tubuh sedang dipengaruhi energi asing, khususnya energi infra merah yang tidak dapat dilihat kasat mata oleh manusia, sesuatu yang punya energi itu artinya masih berjiwa. Roh sudah tidak berenergi karena sudah tidak memiliki jiwa, tapi makhluk halus belum tentu. Banyak makhluk halus yang masih mengeluarkan materi dan energi inframerah. Sedikit berbeda dengan pakar lainnya, ia percaya bahwa penyebab kesurupan berasal dari mental yang dimasuki energi asing dan tidak ada hubungannya dengan masalah-masalah fisik seperti kurang gizi dan lainnya. Energi asing bisa berasal dari lingkungan sekitar dan bisa dicek menggunakan foto aura. Kesurupan bukan hanya sebuah peristiwa fisik tapi lebih pada penurunan daya tahan mental. Stres dan gangguan lainnya mungkin bisa mempengaruhi tapi itu bukan faktor utamanya. Penyebab utamanya itu karena mentalnya memang sedang tidak kuat. 6. Kekacauan neurotransmitter Ditinjau dari sistem saraf, kesurupan adalah fenomena serangan terhadap sistem limbik yang sebagian besar mengatur emosi, tindakan dan perilaku. Sistem limbik sangat luas dan mencakup berbagai bagian di berbagai lobus otak. Dengan terganggunya emosi dan beratnya tekanan akibat kesulitan hidup, timbullah rangsangan yang akan memengaruhi sistem limbik. Akhirnya, terjadilah kekacauan dari zat pengantar rangsang saraf atau neurotransmitter. Zat penghantar rangsang saraf yang keluar mungkin norepinephrin atau juga serotonin yang menyebabkan perubahan perilaku atau sebaliknya. Kondisi ini bisa terjadi secara tibatiba atau secara bertahap, bersifat sementara atau kronis. Reaksi disosiasi ini menimpa mereka yang jiwanya labil ditambah dalam kondisi yang membuatnya tertekan. Stress yang bertumpuk ditambah pemicu memungkinkan reaksi yang dikendalikan alam bawah sadar ini muncul ke permukaan, sehingga seseorang yang mengalami stress berat, maka ia sangat mudah sekali akan mengalami trans disosiasi.
Daftar Pustaka
Kmardhiyah, 2013. Gangguan Trans dan Kesurupan. Palembang: Fakultas