Anda di halaman 1dari 5

A. Etiopatogenesis F44.

3 Gangguan Trans dan Kesurupan


1. Multifaktorial, utamanya terkait kondisi psikologis yang tertekan.
Etiologi dari gangguan disosiasi ini diduga bersifat psikologis. Faktor
predisposisinya menurut The American Psychiatric Publishing Textbook of
Psychiatry, 5th Edition antara lain:
a. Memiliki karakter cemas dan takut, karakter histerik
b. Keinginan untuk menarik diri dari pengalaman yang menyakitkan
secara emosional
c. Konflik antarpribadi, kondisi subyektif yang berarti, penyakit, dan
kematian individu atau bermimpi dari individu almarhum
d. Depresi
e. Berbagai stressor dan faktor pribadi, seperti finansial, perkawinan,
pekerjaan, peperangan dan agama.
Menurut Cameron, kondisi ini memang multifaktorial, di mana faktor-
faktor spiritual, sosial, psikologis dan fisik semua mungkin memainkan peran
etiologi. Namun, tidak ada teori biologis tentang asal-usul gangguan. Oleh
karena itu, selain skrining untuk kondisi medis dan psikiatris umum, dokter
juga harus memeriksa konteks budaya tertentu .
Penyebab kesurupan dari sisi ilmiah disimpulkan oleh beberapa pakar
ilmu psikiatri yang menyebutkan tekanan sosial dan mental yang masuk ke
dalam alam bawah sadar sebagai biang penyebab kesurupan. Banjir, tsunami,
gizi buruk, ketidakadilan, upah kecil, kesenjangan yang sangat mencolok,
kelelahan fisik dan jiwa adalah beberapa contoh tekanan tersebut. (Joyanna,
2006 dan Suryani, 2006)
Berikut satu contoh kasus dari keadaan trans disosiatif seperti yang
pernah dialami oleh subyek dalam penelitian Chiu, SN 2007. Subyek pernah
mengalami kondisi trans ketika berusia 20 tahun. Saat kejadian itu subyek
merasa dalam dirinya ada yang mengendalikan, ia berteriak-teriak dan
menangis dan terjadi hampir lima jam lamanya, dia tidak menyadari bahwa dia
dalam keadaan trans. Subyek mengakui sebelum mengalami kondisi trans,
subyek mempunyai berbagai permasalahan yang berat. Saat itu banyak
permasalahan yang dihadapinya, mulai dari masalah pribadi, masalah dengan
keluarga hingga masalah perekonomian yang tidak bisa terselesaikan.
2. Peningkatan kekuatan pita gelombang otak theta dan alpha
Kesurupan yang berhubungan dengan ritual agama atau religi dapat kita
lihat dalam upacara adat di Bali yang disebut Kerauhan. Banyak orang sehat
disini mengalami kerasukan yang sudah pernah didokumentasikan lewat film
oleh Margaret Mead dan Gregory Bateson. Namun, keberadaannya belum
terbukti secara ilmiah sehingga seorang pakar psikologi dan ilmu syaraf dari
Jepang, Manabu Honda, melakukan penelitian pada tahun 2000 untuk
mengukur gelombang otak saat masyarakat Bali kesurupan. Honda dan kawan-
kawannya menggunakan sistem telemetri Elektro Encephalogram (EEG)
multi channel portable untuk mengukur gelombang otak dari 24 orang-orang
yang kesurupan saat upacara adat ini. Mereka berhasil untuk pertama kalinya
menunjukkan kalau fungsi otak ternyata berubah menjadi tidak biasa saat
seseorang kerasukan. Kekuatan pita gelombang otak theta dan alpha dari orang
yang kesurupan ternyata meningkat secara signifikan. Gelombang ini tetap
tinggi selama beberapa menit setelah mereka sadar dari kesurupan. Bukan
hanya itu, mereka yang kesurupan memiliki tingkat konsentrasi beta-
endorphin, dopamine dan noradrenalin yang tinggi. Ketiga zat ini merupakan
narkotika endogen, artinya narkotika yang dibuat oleh otak sendiri. Honda dan
kawan-kawannya menyimpulkan kalau kondisi ini diaktifkan oleh suara alunan
gamelan Bali yang mengandung beberapa sinyal yang tak terdengar tapi dapat
memacu kerja syaraf. Penelitian ini menunjukkan kalau setidaknya, kesurupan
tipe ritual merupakan semacam hiburan seperti halnya dansa atau musik
dimana orang terlarut di dalamnya.
3. Orang yang bermasalah dalam isu agama dan budaya
Penelitian untuk kesurupan yang tidak ritualistik lebih sulit dilakukan
karena tidak terduga kapan datangnya, seperti kesurupan massal mendadak
yang sering terjadi di SMP dan SMA di Indonesia. Namun, dua orang psikolog
dari Singapura, Beng-Yeong Ng dan Yiong-Huak Chan baru saja berhasil
menentukan faktor-faktor psikosial yang menyebabkan seseorang dapat
mengalami kesurupan. Mereka melakukan wawancara mendalam terhadap 58
orang pasien yang pernah mengalami kesurupan dan membandingkannya
dengan 58 pasien yang mengalami depresi berat. Mereka menemukan kalau
orang yang sering mengalami kesurupan adalah orang yang memiliki masalah
dalam isu agama dan budaya; terpaparkan pada kondisi trans (kesurupan
disengaja) dan memiliki peran sosial sebagai seorang rohaniawan atau
pendamping seorang rohaniawan. Penelitian oleh Berry (2002) dan kawan-
kawan di China membenarkan kondisi ini. Mereka menambahkan data
mengenai apa yang terjadi saat seseorang kesurupan. Berdasarkan wawancara
terhadap 20 orang yang pernah kesurupan mereka memperoleh data sebagai
berikut: 19 kehilangan kendali atas tindakan, 18 mengalami perubahan perilaku
atau bertindak berbeda, 12 kehilangan kesadaran atas sekelilingnya, 11
kehilangan identitas pribadi, 10 kehilangan kemampuan membedakan antara
kenyataan dan fantasi, 10 mengalami perubahan nada suara, 9 mengalami
perhatian yang tidak fokus, 9 mengalami kesalahan dalam menilai, 8
mengalami kesulitan berkonsentrasi, 7 kehilangan kemampuan menilai waktu,
7 kehilangan ingatan, 6 kehilangan kemampuan merasa sakit dan 4 percaya
kalau dirinya berubah ujud. Dilihat dari agen yang merasuki, sembilan dirasuki
oleh orang yang telah meninggal, lima oleh dewa/mahluk ghaib yang baik,
empat oleh roh hewan, dan 2 oleh setan. Satu tidak tahu siapa yang
merasukinya. Lima melaporkan dimasuki oleh lebih dari satu agen. Satu
percaya kalau ia dirasuki oleh beberapa orang yang telah meninggal, yang lain
percaya kalau ia dirasuki oleh lebih dari satu mahluk halus seperti dewa baik
dan setan yang memasuki dirinya serentak. Gaw et al bahkan menambahkan
bukti dari luar sampelnya kalau di China, seseorang bahkan bisa kesurupan
benda mati, seperti batu dan kayu. Gaw et al menggabungkannya dalam satu
istilah: penyakit atribusi. Penyakit atribusi ini termasuklah susto di Amerika
Latin dimana seseorang merasa dirinya sangat ketakutan, hwa-byung dari
Korea dimana seseorang merasa dirinya sangat marah, dan kesurupan dimana
seseorang merasa dirinya dimasuki mahluk asing.
4. Terkait fenomena Multiple Personality Disorder
Peneliti Indonesia, Luh Ketut Suryani, dan seorang peneliti barat,
Gordon D Jensen menyimpulkan kalau fenomena kesurupan memiliki analog
paling sesuai dengan fenomena MPD (Multiple Personality
Disorder). Perbedaannya, kesurupan sangat erat kaitannya dengan
kebudayaan. Hal ini bisa dibilang berlaku pula pada MPD, karena fenomena
MPD terjadi di satu kebudayaan saja, yaitu kebudayaan barat. Dengan kata
lain, MPD adalah salah satu contoh fenomena yang melatarbelakangi
kesurupan pula.
5. Pengaruh energi asing, khususnya energi infra merah.
Menurut Jerald Kay kesurupan artinya aura tubuh sedang dipengaruhi
energi asing, khususnya energi infra merah yang tidak dapat dilihat kasat mata
oleh manusia, sesuatu yang punya energi itu artinya masih berjiwa. Roh sudah
tidak berenergi karena sudah tidak memiliki jiwa, tapi makhluk halus belum
tentu. Banyak makhluk halus yang masih mengeluarkan materi dan energi
inframerah. Sedikit berbeda dengan pakar lainnya, ia percaya bahwa penyebab
kesurupan berasal dari mental yang dimasuki energi asing dan tidak ada
hubungannya dengan masalah-masalah fisik seperti kurang gizi dan lainnya.
Energi asing bisa berasal dari lingkungan sekitar dan bisa dicek menggunakan
foto aura. Kesurupan bukan hanya sebuah peristiwa fisik tapi lebih pada
penurunan daya tahan mental. Stres dan gangguan lainnya mungkin bisa
mempengaruhi tapi itu bukan faktor utamanya. Penyebab utamanya itu karena
mentalnya memang sedang tidak kuat.
6. Kekacauan neurotransmitter
Ditinjau dari sistem saraf, kesurupan adalah fenomena serangan
terhadap sistem limbik yang sebagian besar mengatur emosi, tindakan dan
perilaku. Sistem limbik sangat luas dan mencakup berbagai bagian di berbagai
lobus otak. Dengan terganggunya emosi dan beratnya tekanan akibat kesulitan
hidup, timbullah rangsangan yang akan memengaruhi sistem limbik. Akhirnya,
terjadilah kekacauan dari zat pengantar rangsang saraf atau neurotransmitter.
Zat penghantar rangsang saraf yang keluar mungkin norepinephrin atau juga
serotonin yang menyebabkan perubahan perilaku atau sebaliknya. Kondisi ini
bisa terjadi secara tibatiba atau secara bertahap, bersifat sementara atau kronis.
Reaksi disosiasi ini menimpa mereka yang jiwanya labil ditambah dalam
kondisi yang membuatnya tertekan. Stress yang bertumpuk ditambah pemicu
memungkinkan reaksi yang dikendalikan alam bawah sadar ini muncul ke
permukaan, sehingga seseorang yang mengalami stress berat, maka ia sangat
mudah sekali akan mengalami trans disosiasi.

Daftar Pustaka

Kmardhiyah, 2013. Gangguan Trans dan Kesurupan. Palembang: Fakultas


Kedokteran Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai