Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi

Trauma capitis adalah merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami

memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Sedangkan menurut Brunner

& Suddarth (2000), trauma capitis adalah “gangguan traumatic yang menyebabkan

gangguan fungsi otak disertai atau tanpa disertai perdarahan in testina dan tidak

mengganggu jaringan otak tanpa disertai pendarahan in testina dan tidak mengganggu

jaringan otak”

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai

dengan perdarahan intertisial dalam substansi otak tanpa terputusnya kontinuitas dari

otak (Hudak & Gallo, 1996). Cedera kepala juga merupakan trauma pada otak yang

diakibatkan kekuatan fisik eksternal yang menyebabkan gangguan kesadaran tanpa

terputusnya kontinuitas otak.

Cedera otak / kepala yang disebabkan trauma, iskemik dan atau kimiawi

menjadi fokus kesehatan internasional.

Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Secara

anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, tulang, dan tentorium

(helm) yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini otak akan mudah sekali
terkena cedera dan mengalami kerusakan.

Berdasarkan GCS, cedera kepala/otak dapat dibagi menjadi 3, yaitu :

1. Cedera kepal ringan, bila GCS 13-15

2. Cedera kepala sedang, bila GCS 9-12

3. Cedera kepala berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8.

Tipe-Tipe Trauma :

1. Trauma Kepala Terbuka:

Faktur linear daerah temporal menyebabkan pendarahan epidural, Faktur Fosa anterior dan

hidung dan hematom faktur lonsitudinal. Menyebabkan kerusakan meatus auditorius internal dan

eustachius.

2. Trauma Kepala Tertutup

 Comosio Cerebri, yaitu trauma Kapitis ringan, pingsan + 10 menit, pusing dapat

menyebabkan kerusakan struktur otak.

 Contusio / memar, yaitu pendarahan kecil di jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah

kapiler dapat menyebabkan edema otak dan peningkatan TIK.

 Pendarahan Intrakranial, dapat menyebabkan penurunan kesadaran, Hematoma yang

berkembang dalam kubah tengkorak akibat dari cedera otak. Hematoma disebut sebagai

epidural, Subdural, atau Intra serebral tergantung pada lokasinya.


Ada berbagai klasifikasi yang di pakai dalam penentuan derajat kepala.

The Traumatic Coma Data Bank mendefinisakan

Berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (cited in Mansjoer, dkk, 2000: 4):

1. Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)

 Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)

 Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)

 Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang

 Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

 Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala Tidak adanya kriteria

cedera sedang-berat.

2. Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)

 Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)Konkusi

 Amnesia pasca trauma

 Muntah

 Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata

 rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).

3. Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)

 Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)

 Penurunan derajat kesadaran secara progresif

 Tanda neurologis fokal

 Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.


Menurut Keperawatan Klinis dengan pendekatan holistik (1995: 226):

1. Cidera kepala ringan /minor

 SKG 13-15

 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.Tidak ada

fraktur tengkorak,tidak ada kontusio cerebral,dan hematoma.

2. Cidera kepala sedang

 SKG 9-12

 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24

jam.Dapat mengalami fraktur tengkorak.

3. Cidera kepala berat

 SKG 3-8

 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam,juga meliputi

kontusio serebral,laserasi atau hematoma intrakranial.

Annegers ( 1998 ) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesia

pasca trauma yang di bagi menjadi :

1. Cidera kepala ringan,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia berlangsung kurang

dari 30 menit

2. Cidera kepala sedang,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit

sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak

3. Cidera kepala berat,apabiula kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24

jam,perdarahan subdural dan kontusio serebri.


Arif mansjoer, dkk (2000) mengklasifikasikan cidera kepala berdasarakan mekanisme,

keparahan dan morfologi cidera.

Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter:

a. Trauma tumpul : Kecepatan tinggi (tabrakan mobil).

: Kecepatan rendah (terjatuh,di pukul).

b. Trauma tembus (luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya.

Keparahan cidera

 Ringan : Skala koma glasgow(GCS) 14-15.

 Sedang : GCS 9-13.

 Berat : GCS 3-8.

B. Etilogi

Adanya benturan sesuatu benda tumpul, atau berasal dari trauma langsung atau tidak

langsung pada kepala.

C. Patofisiologi

Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan

berat-ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan

(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,

seperti trauma akibat benda tumpul, atau karena terkena lemparan benda tumpul.
Cedar perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara

relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin

terjadi secara bersaman bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung,

seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa

dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma

regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar pada

permukan otak, laserasi substansia alba, cedara robekan atau hemoragi. Sebagai

akibat, cedaea sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral

dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hyperemia

(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta

vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial (TIK). Beberapa

kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia,

dan hipotensi.

E. Manifestasi

1. Denyut nadi lemah

2. Pernafasan dangkal

3. Kulit dingin dan pucat

4. Defekasi dan berkeimih tanpa disadari


5. Fungsi motorik abnormal misalnya gerakan mata

6. Peningkatan TIK

7. Sakit kepala

8. Vertigo

9. Gangguan fungsi mental

10. Kejang

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Scan CT (tanpa/ dengan kontras) : Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan ukuran

ventrikuler,pergeseran jaringan otak

2. MRI (tanpa/ dengan menggunakan kontras)

3. Angiografi serebral : Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, spt pergeseran jaringan otakakibat

edema, perdarahan, trauma

4. EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis

5. BAER (Brain Auditori Evoked Respons): Menentukan fungsi korteks dan batang otak

6. PET ( Positron Emission Tomografi ): Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme pada otak

7. Fungsi lumbal,CSS : Mengetahui kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid

8. GDA ( Gas Darah Arteri ): Mengetahui masalah ventilasi atau oksigenisasi yang dapat

menyebabkan TIK

9. Kimia/ elektrolot darah : Mengetahui keseimbangan yang berperan dalam meningkatkan

TIK/perubahan mental
10. Pemeriksaan toksikologis : Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap

penurunan kesadaran

11. Kadar antikonvulsan darah : Mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi

kejang

G. Komplikasi

1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal

atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.

2. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini,

minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).

3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis

meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya

cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti

hipotesis atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner,

2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera

kepala (Turner, 2000).

Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut :

 Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi.


 Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma.

 Berikan oksigenasi.

 Awasi tekanan darah

 Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neuregenik.

 Atasi shock

 Awasi kemungkinan munculnya kejang.

Penatalaksanaan lainnya:

1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai

dengan berat ringannya trauma.

2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.

3. Pemberian analgetika

4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa

40% atau gliserol 10 %.

5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).

6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat

diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam

pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.

7. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa

5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8

jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui
ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea N.

Tindakan terhadap peningktatan TIK

1. Pemantauan TIK dengan ketat.

2. Oksigenisasi adekuat.

3. Pemberian manitol.

4. Penggunaan steroid.

5. Peningkatan kepala tempat tidur.

6. Bedah neuro.

Tindakan pendukung lain

1. dukungan ventilasi.

2. Pencegahan kejang.

3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.

4. Terapi anti konvulsan.

5. Klorpromazin untuk menenangkan pasien.

6. Pemasangan selang nasogastrik.

I. Prognosis

Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada

pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai
prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap

dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan

meninggal atau vegetatif hanya 5 – 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan

sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi,

iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah

cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Data tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin diperlukan oleh

cedera tambahan pada organ-organ vital.

Aktivitas/ Istirahat

 Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.

 Tanda : Perubahan kesehatan, letargi

 Hemiparase, quadrepelgia

 Ataksia cara berjalan tak tegap

 Masalah dalam keseimbangan

 Cedera (trauma) ortopedi

 Kehilangan tonus otot, otot spastik


Sirkulasi

 Gejala : Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi

bradikardia disritmia).

Integritas Ego

 Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)

Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung depresi dan

impulsif.

Eliminasi

 Gejala : Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gngguan fungsi.

Makanan/ cairan

 Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

 Tanda : Muntah (mungkin proyektil)

 Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).

Neurosensoris

 Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,

sinkope, tinitus kehilangan pendengaran, fingking, baal pada ekstremitas.

 Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma

 Perubahan status mental

 Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)

 Wajah tidak simetri

 Genggaman lemah, tidak seimbang

 Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah


 Apraksia, hemiparese, Quadreplegia

Nyeri/ Kenyamanan

 Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya koma.

 Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangangan nyeri yang hebat,gelisah tidak

bisa beristirahat, merintih.

Pernapasan

 Tanda : Perubahan pola nafas (dispnea).

 Nafas berbunyi stridor, terdesak Ronki, mengi positif

Keamanan

 Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan

 Tanda : Fraktur/ dislokasi

 Gangguan penglihatan

 Gangguan kognitif

 Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekutan secara umum mengalami paralisis

 Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh

Interaksi Sosial

 Tanda : Afasia motorik atau sensorik.

B. Diagnosa

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan terjadinya herniasi batang otak

ditandai dengan dispnea.

2. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penekanan vaskuler


serebral ditandai dengan hipoksia dan iskemia jaringan.

3. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakanial ditandai dengan

wajah menyeringai dan merintih kesakitan.

4. Resiko obstruksi jalan napas berhubungan dengan immobilisasi, penumpukan

secret.

5. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan fraktur mandibula, anoreksia ditandai

dengan penurunan berat badan.

6. Gangguan keseimbangan cairan & elektrolit berhubungan dengan terjadinya

herniasi batang otak, perangsangan saraf mual muntah ditandai dengan mual

muntah.

7. Gangguan persepsi sensori : penglihatan, berhubungan dengan penekanan pada nervus II

dan III ditandai dengan penglihatan terganggu (kabur ketika melihat).

8. Gangguan pola eliminasi urin berhubungan dengan penurunan system saraf

otonom (perkemihan) ditandai dengan inkontinensia urin.

9. Hipertermi berhubungan dengan inflamasi ditandai dengan peningkatan suhu

tubuh.

10. Resiko infeksi berhubungan dengan pemsangan kateter.

11. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, penekanan

pada daerah yang menonjol.


12. Ansietas berhubungan hopitalisasi ditandai dengan klien merasa cemas.

13. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan tonus otot ditandai dengan

kelemahan.

Melakukan evaluasi pada klien yang Mengalami Cedera Kepala dengan Masalah Gangguan Perfusi

Jaringan Cerebral

1.5

Anda mungkin juga menyukai