Anda di halaman 1dari 5

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Inflamasi

Inflamasi adalah respons perlindungan normal terhadap cedera jaringan yang


disebabkan oleh trauma fisik, bahan kimia berbahaya, atau agen mikrobiologi.
Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktifkan atau menghancurkan
organisme penginvasi, menghilangkan iritan, dan persiapan tahapan untuk
perbaikan jaringan. Bila penyembuhan telah sempurna, proses inflamasi biasanya
mereda. Meskipun demikian, aktivasi sistem imun kita yang tidak sesuai akan
menyebabkan inflamasi yang mengakibatkan artritis reumatoid (rheumatoid
arthritis/RA) (Harvey and Champe, 2016).

Mekanisme inflamasi terjadi karena adanya suatu respon jaringan terhadap


rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan
lepasnya mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, dan
prostaglandin yang menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri, merah,
bengkak, dan disertai gangguan fungsi. Kerusakan sel yang terkait dengan
inflamasi berpengaruh pada selaput membran sel yang menyebabkan leukosit
mengeluarkan enzim-enzim lisosomal dan asam arakidonat, selanjutnya
dilepaskan dari persenyawaan-persenyawaan terdahulu. Jalur siklooksigenase
(COX) dari metabolisme arakidonat menghasilkan prostaglandin yang berperan
dalam menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskular
(Katzung dan Trevor, 2002).

Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimia fisika,
atau mekanik, maka enzim fosfolipase diaktifkan dengan mengubah fosfolipida
yang terdapat disitu menjadi asam arakidonat. Asam lemak poli tak jenuh ini,
kemudian untuk sebagian diubah menjadi enzim siklooksigenase dan seterusnya
menjadi zat-zat prostaglandin. Bagian lain dari arakidonat diubah oleh enzim
lipoksigenase menjadi zat-zat leukotrien. Baik prostaglandin maupun leukotrien
bertanggung jawab bagi sebagian besar dari gejala peradangan. Peroksida
melepaskan radikal bebas oksigen yang juga memegang peranan pada timbulnya
rasa nyeri (Tjay dan Raharja, 2002).

B. Obat Antiinflamasi
Obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan
atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai dalam beberapa cara
yaitu : menghambat pembentukan mediator radang, menghambat migrasi sel
leukosit ke daerah radang dan sebagainya. Obat AINS (obat antiinflamasi non
steroid) bekerja dengan menghambat siklooksigenase (COX) dan inhibisi sintesis
prostaglandin yang diakibatkannya sangat berperan untuk efek terapeutiknya
(Neal, 2006). Sedangkan obat antiinflamasi steroid memiliki mekanisme
menghambat phospholipase A2 dalam sintesis asam arakhidonat sehingga
memiliki efek antiinflamasi yang poten.
Diklofenak termasuk jenis obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dengan
aksi antiradang paling kuat, dan efek samping obat relatif lebih ringan dibanding
obat segolongan. Obat ini sering digunakan untuk segala macam nyeri, juga pada
migrain dan encok (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat ini juga disetuuji untuk
penggunaan jangka panjang pada pengobatan RA, osteoartritis, dan ankylosing
spondilitis. Obat ini tersedia dalam preparat oftalmika. Diklofenak berakumulasi
dalam cairan sinoval, dan rute utama eksresi untuk obat dan metabolitnya adalah
ginjal (Harvey & Champe, 2016). Berikut merupakan struktur Diklofenak natrium

Kemurnian : Diklofenak natrium mengandung tidak kurang dari 99,0% dan


tidak lebih dari 101,0% C14H10Cl2NNaO2, dihitung terhadap zat
yang telah dikeringkan.
Pemerian : Serbuk hablur, putih hingga hampir putih; higroskopik.
Kelarutan : Mudah larut dalam metanol; larut dalam etanol; agak sukar larut
dalam air, praktis tidak larut dalamkloroform dan eter.
(Farmakope Indonesia Edisi V, 2014)
Deksametason termasuk golongan obat kortikosteroid digunakan tunggal,
efektif melawan kemoterapi emetogenik derajat ringan hingga sedang. Namun,
obat-obat ini paling sering digunakan dalam bentuk kombinasi dengan agen lain
(Harvey & Champe, 2016). Struktur deksametason sebagai berikut :

Kemurnian : Deksametason mengandung tidak kurang dari 97,0% dan tidak


lebih dari 102,0% C22H29FO5, dihitung terhadap zat yang telah
dikeringkan.
Pemerian : Serbuk hablur; putih sampai praktis putih; tidak berbau; stabil
di udara. Melebur pada suhu lebih kurang 250o disertai
penguraian.
Kelarutan : Agak sukar larut dalam aseton, dalam etanol, dalam dioksan
dan dalam metanol; sukar larut dalam kloroform; sangat sukar
larut dalam eter; praktis tidak larut dalam air.
(Farmakope Indonesia Edisi V, 2014)

Aspirin atau asam asetilsalisilat (asetosal) termasuk obat antiinflamasi


nonsteroid (OAINS) yang paling sering digunakan dan obat pembanding terhadap
semua agen anti-inflamasi lainnya. Mekanisme kerjanya yaitu aspirin
mengasetilasi secara ireversibel (sehingga) menginaktifkan siklooksigenase, lalu
menurunkan pembentukan prostaglandin sehingga memodulasi aspek-aspek
inflamasi ketika prostaglandin bekerja sebagai mediator (Harvey & Champe,
2016). Struktur aspirin sebagai berikut :
Kemurnian : Asam asetilsalisilat mengandung tidak kurang dari 99,5% dan
tidak lebih dari 100,5% C9H8O4, dihitung terhadap zat yang telah
dikeringkan.
Pemerian : Hablur, umumnya seperti jarum atau lempengan tersusun, atau
serbuk hablur; putih; tidak berbau atau berbau lemah. Stabil di
udara kering; di dalam udara lembab secara bertahap terhidrolisa
menjadi asam salisilat dan asam asetat.
Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol; larut dalam
kloroform dan dalam eter; agak sukar larut dalam eter mutlak.
(Farmakope Indonesia Edisi V, 2014)

C. Karagenin

Penggunaan karagenin sebagai penginduksi radang memiliki beberapa


keuntungan antara lain tidak meninggalkan bekas, tidak menimbulkan kerusakan
jaringan dan memberikan respon yang lebih peka terhadap obat antiinflamasi
dibanding senyawa iritan lainnya. Pada proses pembentukan udema, karagenin
akan menginduksi cedera sel dengan dilepaskannya mediator yang mengawali
proses inflamasi. Udema yang disebabkan induksi karagenin dapat bertahan
selama 6 jam dan berangsur-angsur berkurang dalam waktu 24 jam. Karagenin
merupakan senyawa yang dapat menginduksi cedera sel dengan melepaskan
mediator yang mengawali proses inflamasi. Udema yang terjadi akibat terlepasnya
mediator inflamasi seperti: histamin, serotin, bradikinin, dan prostagladin. Udem
yang disebabkan oleh injeksi karagenin diperkuat oleh mediator inflamasi
terutama PGE1 dan PGE2 dengan cara menurunkan permeabilitas vaskuler.
Apabila permeabilitas 6 vaskuler turun maka protein-protein plasma dapat menuju
ke jaringan yang luka sehingga terjadi udema (Corsini et al., 2005).
Dapus

Corsini, E., Paola R.D., Viviani, B., Genovese, T., Mazzon, E., Lucchi, L., et al.,
2005, Increased Carrageenan-Induced Acute Lung Inflammation in Old
Rats, Immunology, 115 (2):253-61.

Depkes R.I. 2014. Farmakope Indonesia. Edisi V. Jakarta : Departemen


Kesehatan R.I.

Harvey, Richard A and Champe, Pamela C. 2009. Farmakologi Ulasan


Bergambar Edisi IV. Jakarta : EGC

Katzung, B.G., and Trevor, A.J., 2002, Drug Interactions in Master, S., B.,
Pharmacology, Sixth Edition. New York : Lange Medical Book/McGraw-
Hill

Tjay, T.H., Rahardja, K. (2002). Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan


Efek-Efek Sampingnya. Edisi VI. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai