Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP MEDIS
A. Anatomi Fisiologi trauma maxillofacial.

Trauma pada struktur anatomi maxillofacial sangat membutuhkan perahatian khusus. Hal ini

dikarenakan muka mendukung beberapa fungsi tubuh yang vital,seperti melihat, mendengar,

membau, bernafas, makan,berbicara.Regio maxillofacial dibagi menjadi 3 bagian :

1. Upper face : fraktur (patah tulang) mencngkup os frontal dan sinus frontal

2. Midface : midface dibagi menjadi 2 bagian

3. Upper part, terdiriatas os nasal, os zygomaticus, os ethmoid,bagian os axilla yang tidak ada

gigi nya. Pada bagian ini terjadi fraktur os maxilla tipe Le Fort II dan Le Fort II, yang

mencangkup fraktur pada nasal, komplek nasoethmoidal atau kompleks Zygomaticomaxillari

dan dinding orbital

4. Lower midface : trdiri dari alveolus maxilla, gigi, dan terjadi frkatur maxilla tipe Le Fort I

5. Lower face : Terdiri dari mandibula.

B. DEFINISI

Fraktur ialah hilangnya atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh (Tulang) yang

secara ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan hilangnya

kontinuitas tulang-tulang wajah. Jadi Fraktur maksilofasial ialah fraktur yang terjadi pada

tulang-tulang pembentuk wajah.. Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi

menjadi tiga bagian, antara lain sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan sepertiga

bawah wajah. Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang frontalis, regio supra

orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus, lakrimal, nasal, palatinus, nasal

konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke dalam sepertiga tengah wajah sedangkan

mandibula termasuk ke dalam bagian sepertiga bawah wajah (Kruger, 1984). Trauma

maxillofacial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak wajah.
Penyebab trauma maxillofacial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas,kekerasan fisik,

terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan

terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak,hilangnya dukungan

terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawat

daruratan yang tepat dan secepat mungkin.Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan

persentase yang tinggi terjadinyakecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum

dibawah usia tahun dan angkaterbesar biasanya mengenai batas usia tahun. &erdasarkan studi

yang dilakukan, (kematian oleh trauma maxillofacial paling banyak disebabkan oleh

kecelakaan lalu lintas.Pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat

inap di rumah sakit dandapat mengalami cacat permanen.

Oleh karena itu, diperlukan perawatan kegawatdaruratanyang tepat dan secepat

mungkin.)edera maxillofacial, juga disebut sebagai trauma wajah, meliputi cedera pada

wajah,mulut dan rahang. hampir setiap orang pernah mengalami seperti cedera, atau

mengetahuiseseorang yang memiliki. sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang

akibattrauma maxillofacial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta

menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan

saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak,hilangnya dukungan terhadap fragmen


tulang danrasa sakit. namun, trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal

tersebut terjadimungkin disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan

kesadaranyang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah, patahan gigi.

C. ETIOLOGI

Facial trauma pada daerah urban disebabkan oleh

1. perkelahian, Os nasal, mandibula, dan zygoma, merupakan tulang yang paling sering

mengalami fraktur selama perkelahian

2. kecelakaan menggunakan kendaraan bermotor, menggunakan mobil dan kecelakaan industry

pabrik akibat kejatuhan benda berat. Penyebab lain yang penting meliputi,

3. trauma penetrasi (luka pisau atau luka tembak),


4. domestic violence,

5. dan kekerasan pada anak dan orang tua.

D. MANIFESTASI KLINIS.

Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :

1. Dislokasi,berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur

mandibula.

2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.

3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.

4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.

5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah

fraktur.

6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang yang fraktur.

7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.

8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan

9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah nervus

alveolaris.

10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola

mata dan penurunan visus.

E. KOMPLIKASI

Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan ekstensif serta gangguan pada

jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan pembengkakan soft tissue. Infeksi

pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan pada luka fraktur mandibula. Padahal luka

terkontaminasi saat tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur.

Infeksi akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat

obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur,

sehingga terjadi rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi akibat
pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat berupa kegagalan

penyatuan tulang.

yang mengalami fraktur, penyatuan yang salah, obstruksi sistem lakrimal, anestesia/hipoestesia

infraorbita, devitalisasi gigi, ketidakseimbangan otot ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus.

Kenampakan wajah juga dapat berubah (memanjang, retrusi).

F. PENATALAKSANAAN

Fiksasi intermaksilari merupakan treatment paling sederhana dan salah satu yang paling

efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi

fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat fraktur dapat kita eliminasi. Mandibula

yang utuh dalam fiksasi ini dapat membatasi pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah

dan

belakang, sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang baru

akan ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami penyembuhan

secara parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open reduction, bahkan

kalaupun dilakukan tetap sulit untuk direduksi.

G. Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk memperjelas

suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan radiografis juga dapat

memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.

Pemeriksaan radiografis pada maxilla biasanya memerlukan foto radiografis panoramic

view, open-mouth Towne’s view, postero-anterior view, lateral oblique view. Biasanya bila

foto-foto diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga digunakan foto oklusal

dan periapikal.

Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma yang

dapat menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak

pasien dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan untuk menilai
gangguan neurologi, selain itu CT-scan dapat juga digunakan sebagai tambahan penilaian

radiografi.

Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah dapat menggunakan Water’s

view, lateral skull view, posteroanterior skull view, dansubmental vertex view.

Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial adalah

penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi, dan fungsi nasal,

pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase perawatan dan

penyembuhan, penting untuk meminimalisi efek lanjutan pada status nutrisi pasien dan

mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien merasa tidak nyaman.

Untuk mendapatkan hasil yang baik, prinsip dasar pada bedah yang harus dipersiapkan

sebagai penunjuk untuk perawatan fraktur maksilofasial ialah : reduksi fraktur

(mengembalikan segmen-segmen tulang pada lokasi anatomi semula) dan fiksasi segmen-

segmen tulang untuk meng-imobilisasi segmen-segmen pada lokasi fraktur. Sebagai tambahan,

sebelum tindakan, oklusi sebaiknya sudah direstorasi dan infeksi pada area fraktur sebaiknya

di cegah dan dihilangkan terlebih dahulu.

Waktu perawatan fraktur tergantung dari banyak faktor. Secara umum, lebih cepat merawat

luka akan lebih baik hasilnya. Penelitian membuktikan bahwa semakin lama luka dibiarkan

terbuka dan tidak ditangani, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya infeksi dan malunion.

Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF) disebut juga reduksi

tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area fraktur secara langsung.

Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah penggunaan arch bar.

Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan dan reduksi terhadap

area fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan. Reduksi terbuka dilakukan bila

diperlukan reduksi tulang secara adekuat. Indikasi perawatan reduksi terbuka ialah

berpindahnya segmen tulang secara lanjut atau pada fraktur unfavorable, seperti fraktur

angulus, dimana tarikan otot masseter dan medialis pterygoid dapat menyebabkan distraksi

segmen proksimal mandibula.


Pemeriksaan neurologis pada wajah dievaluasi secara hati-hati dengan memeriksa

penglihatan, pergerakan ekstraokular, dan reaksi pupil terhadap cahaya.

Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area inferior dan lateral

mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi untuk melihat adanya laserasi

pada area gingiva dan kelainan pada bidang oklusi. Untuk menilai mobilisasi maksila,

stabilisasi kepala pasien diperlukan dengan menahan kening pasien menggunakan salah satu

tangan. Kemudian ibu jari dan telunjuk menarik maksila secara hati-hati untuk melihat

mobilisasi maksila.

KONSEP KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas dan istirahat
Gejala :
Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak tidur. Merasa gelisah dan
ansietas. Pembatasan aktivitas/kerja sehubungan dengan efek proses penyakit. kelemahan
dan/atau keletihan, perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari,
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misal nyeri, ansietas, berkeringat malam.
2. Sirkulasi
Tanda :
Takikardia (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi dan nyeri). Kemerahan,
area ekimosis (kekurangan vitamin K). Tekanan darah hipertensi, termasuk postural.
Kulit/membran mukosa : turgor buruk, kering, bibir pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi).
3. Integritas ego
a. Gejala :
Ansietas, ketakutan misalnya : perasaan tak berdaya/tak ada harapan. Faktor stress
akut/kronis misalnya: hubungan dengan keluarga dan pekerjan, pengobatan yang mahal.
b. Tanda :
Menolak, perhatian menyempit, depresi.
4. Neurosensori
a. Gejala :
gangguan pendengaran dan penghidu, adanya pusing, sinkope
5. Pernapasan:
a. Gejala:
Pada pemeriksaan penunjang dapat terlihat adanya sumbatan seperti massa.
6. Makanan dan cairan
a. Gejala :
Penurunan lemak, tonus otot dan turgor kulit buruk. Membran mukosa bibir pucat; luka,
inflamasi rongga mulut. Intake kurang adekuat akibat lesi.
b. Tanda :
Penurunan berat badan, tidak toleran terhadap diit/sensitive; buah segar/sayur, produk susu,
makanan berlemak.
7. Hygiene
a. Tanda :
Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri. Stomatitis menunjukan kekurangan
vitamin. Bau badan.
8. Nyeri dan kenyamanan
a. Gejala ;
Nyeri/nyeri tekan pada perawatan ganti verban (mungkin hilang dengan defekasi), titik nyeri
berpindah, nyeri tekan (atritis). nyeri terjadi pada bagian nasofaring, terasa panas.
b. Tanda :
Nyeri tekan pada bagian wajah OS. Nasal, superaorbital, maxilla.
9. Keamanan
a. Gejala ;
Peningkatan suhu 39-40°Celcius (eksaserbasi akut). Penglihatan kabur akibat hematom
neurologik, alergi terhadap makanan/produk susu (mengeluarkan histamine kedalam usus dan
mempunyai efek inflamasi).
b. Tanda :
Lesi kulit mungkin ada misalnya : eritema nodusum (meningkat, nyeri tekan, kemerahan
dan membengkak) pada tangan, muka; pioderma ganggrenosa (lesi tekan purulen/lepuh dengan
batas keunguan) pada paha, kaki dan mata kaki.
10. Seksualitas
a. Gejala :
Frekuensi menurun/menghindari aktivitas seksual.
11. Interaksi social
Gejala : Masalah hubungan/peran sehubungan dengan kondisi. Ketidak mampuan aktif dalam
sosial.
12. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : Pada bagian wjah terdapat lesi gusi berdarah wajah kemerahan, terdapat luka akibat
goresan vulnus dan terlihat pada wajah epistaksis.
b. Palpasi : nyeri tekan supraorbital akibat open rewind, selain itu terasa nyeri apabila ditekan.
Pemeriksaan THT:
a) Otoskopi : Liang telinga, membran timpani
b) Rinoskopia anterior : Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya
banyak sekret.
Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung, tertutup sekret
mukopurulen, fenomena palatum mole negative.
c) Rinoskopia posterior :
Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak menonjol, tak rata dan
paskularisasi meningkat.
Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
d) Faringoskopi dan laringoskopi : Kadang faring menyempit karena penebalan jaringan
retrofaring; reflek muntah dapat menghilang.
X – foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan CA. Nasofaring :


a. Nyeri kronis berhubungan dengan trauma fraktur pada bagian wajah supra orbita
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat terutama lesi
pada bagian mulut.
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan tubuh.
d. Ansietas atau kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
PERENCANAAN/INTERVENSI

1. Nyeri kronis berhubungan dengan trauma fraktur pada bagian wajah supra orbita
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Hasil : wajah klien tidak meringis lagi
Skala nyeri 2(0-10)
Intervensi
1) Kaji keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas.
2) Pantau tanda-tanda vital.
3) Ajarkan pada pasien teknik nafas dalam
4) Berikan tindakan kenyamanan misalnya masase
5) Penatalaksanaan pemberian obat analgetik.
Rasional.
1) Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan.meningkatnya nyeri secara bertahap pasca
operasi,menunjukkan melambatnya penyembuhan.
2) Peningkatan TTV menandakan adanya peningkatan skala nyeri
3) Meningkatkan relaksasi kenyamanan dan menurunkan nyeri.
4) Menurunkan ketegangan otot sehingga nyeri berkurang.
5) Memblokir rangsangan lmpuls nyeri ke otak sehingga nyeri tidak dipersepsikan.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
Tujuan : kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Hasil : keadaan umum baik dan berat badan sesuai dengan umur.
Intervensi :
1) Kaji pola makan klien.
2) Jelaskan pada klien bahwa pentingnya kebutuhan nutrisi.
3) Anjurkan pada klien untuk memakan makanan dalam keadaan hangat.
Rasional:
1) Menentukan intake yang dikonsumsi klien sebagai dasar dalam menentukan tindakan
selanjutnya.
2) Diharapkan dapat memenuhi informasi yg dibutuhkan klien.
Dapat meningkatkan nafsu makan klien dengan baik.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan tubuh.
Tujuan : klien dapat beraktifitas kembali
Hasil: klien tidak merasa lemas lagi , keadaan umum baik.
Intervensi :
1) Kaji respon klien terhadap aktivitas
2) Instruksikan pada klien untuk menghemat energy
3) Dekatkan peralatan yang dibutuhkan klien.
4) Libatkan keluarga dalam mengambil kebutuhan.
5) Anjurkan dan ajarkan pada klien untuk latihan gerak secara bertahap.
Rasional:
1) Untuk menunjukkan respon klien terhadap aktivitas.
2) Membantu keseimbangan antara suplay O2
3) Agar klien mudah mengambil alat – alat yang dibutuhkan.
4) Membantu klien untuk memenuhi kebutuhan.
Mencegah terjadinya artropi otot.
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Tujuan : rasa cemas klien berkurang atau hilang
Intervensi :
1) Kaji rasa Cemas yang mampu mempengaruhi kesehatan klien.
2) observasi vital sign.
3) Ajarkan pada pasien teknik relaksasi.
4) Berikan tindakan kenyamanan misalnya masase
5) Kolaborasi tim medis pemberian edukasi kesehatan pada pasien
Rasional :
1) Membantu mengevaluasi derajat ketidaknyamanan.meningkatnya kecemasan pasien secara
bertahap pasca operasi,menunjukkan melambatnya penyembuhan.
2) Peningkatan TTV menandakan adanya peningkatan skala cemas
3) Meningkatkan relaksasi kenyamanan dan menurunkan nyeri.
4) Menurunkan beban atropi otot.
5) Memblokir rangsangan lmpuls nyeri ke otak sehingga cemas tidak dipersepsikan mampu
berkurang.

AFTAR PUSTAKA

Reksoprodjo, Soelarto. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Fakultas Kedoktran Universitas


Indonesia. Jakarta: Binarupa Aksara. 1995
Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC. 2004.

John L. Triplane fracture. Available from: http://www.emedicine.com/sports-


/TOPIC24.HTM

Manfra Marretta S, Schrader SC, Matthiesen DT: Problems associated with the
management and treatment of jaw fractures. Prob Vet Med (Dentistry) 2:220, 1990.

Anda mungkin juga menyukai