Disusun oleh :
Syifa Silviyah 1710221036
Pembimbing:
dr. Yulvina, Sp.THT-KL
REFERAT
Oleh :
Syifa Silviyah 1710221036
Pembimbing,
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Abses Leher
Dalam” ini. Adapun referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL.
Penyusunan laporan ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang
turut membantu terselesaikannya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.
Yulvina, Sp.THT-KL selaku pembimbing dan seluruh teman kepaniteraan klinik
Ilmu Kesehatan THT-KL atas kerjasamanya selama penyusunan laporan ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna
perbaikan yang lebih baik. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di
antara fasia leher sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti
gigi, sinus paranasal, telinga tengah, leher, dan lainnya. Manifestasi gejala klinis
berupa nyeri tenggorokan dan demam yang disertai dengan terbatasanya gerakan
membuka mulut dan leher, serta adanya pembengkakan di ruang leher dalam (Brito,
et al., 2017).
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring,
abses parafaring, abses submandibula dan angina Ludovici (Ludwig’s angina).
Secara epidemiologi penyebab tersering pada abses leher dalam adalah penjalaran
infeksi orofaring (35%) dan infeksi odontogenik (23%). Bakteri aerob dari hasil
pemeriksaan kultur penyebab tersering abses leher dalam adalah Streptococcus
viridans, Klebsiella pneumonia dan Staphylococcus aureus. Sedangkan bakteri
anaerob penyebab tersering abses leher dalam adalah Prevotella,
Peptostreptococcus, dan Bacteroides. Abses leher dalam memiliki angka mortalitas
sebesar 8% akibat komplikasi ke arah mediastinitis (Yang, Lee, & Chen, 2008).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial
di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi,
seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher. Abses leher dalam
dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibula dan angina Ludovici (Ludwig’s angina)(Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).
2.2 Epidemiologi
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahunterakhir
(Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalamsebanyak 33
orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%)kasus, abses
parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, absesmastikator 3(9%)
kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.
2.3 Anatomi
Terkait kasus abses leher dalam, ada beberapa bagian anatomi leher yang perlu
diketahui. Anatomi leher melibatkan fascia leher dan spasium leher dalam
(Murray,2018).
2
aksila dan dada. Ruang yang berada di dalam lapisan ini mengandung lemak,
serabut neurovaskular, dan vasa limfatika. Bagian ini tidak termasuk dalam spasium
leher dalam (Muray, 2018 & Hansen et al, 2011).
3
Lapisan profunda fascia cervicalis profunda dibagi menjadi 2 bagian yaitu
bagian prevertebra dan alar. Pada verterba menunjukkan bahwa lapisan ini
menempel pada bagian anterior corpus vertebra dan melebar ke lateral pada
processus transvesus os. Vertebrae. Pembagian alar menunjukkan batas posterior
spasium retrofaring.
4
Ruang Faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting, yaitu (Snell, 2006) :
1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi
jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis
tengah mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh :
Anterior : fasia bukkofaringeal (divisi viscera lapisan media fasia servikalis
profunda) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid
Posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
Lateral : selubung karotis (carotid sheath) dan daerah parafaring (fosa
faringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum
setinggi bifurkasio trakea (vertebra torakal I atau II) dimana divisi viscera dan
alar bersatu. Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak.
Kejadiannya ialah karena di ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa.
Daerah retrofaring terbagi menjadi dua daerah yang terpisah di bagian lateral
oleh midline raphe. Tiap–tiap bagian mengandung 2–5 buah kelenjar limfe
retrofaring yang biasanya menghilang setelah berumur 4–5 tahun. Kelenjar ini
menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring,
tuba Eustachius dan telinga tengah. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat
terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang
retrofaring. Daerah ini disebut juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus
dan ruang viscera posterior.
2. Ruang parafaring (pharyngomaxillary fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid.
Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas
5
luarnya adalah ramus asendens mandibula yang melekat dengan m.pterigoideus
interna dan bagian posterior kelenjar parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os
stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah
bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat
tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari
karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.carotis
interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang
disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang
retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.
Ruang submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.
Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang
submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila
(lateral) oleh otot digastrikus anterior. Ruang mandibular dibatasi pada bagian
lateral oleh garis inferior dari badan mandibula, medial oleh perut anterior musculus
digastricus, posterior oleh ligamen stylohyoid dan perut posterior dari musculus
digastricus, superior oleh m.mylohyoid dan hyoglossus, dan inferior oleh lapisan
superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini mengandung glandula saliva sub
mandibular dan sub mandibular lymphanodes (Snell, 2006).
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke
dalam ruang submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang
submental dan ruang submaksila saja (Snell, 2006).
6
dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob,
maupun fakultatif anaerob (Porter, 2005).
Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak
dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1
sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman
yang paling dominan adalah kuman anaerob, yaitu Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob dan fakultatif
adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus (Yang, Lee, & Chen,
2008).
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil
dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi
dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi molar I
yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akanmasuk terlebih
dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah
mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila
(Pulungan, 2011).
Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber
infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan flora
normal di saluran nafas atas seperti Streptococcus dan Stafilococcus. Infeksi yang
berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti Prevotella,
Fusobacterium spp. (Pulungan, 2011).
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan, yaitu
hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi
tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi. Infeksi dari
submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan
infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya
infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya (Pulungan, 2011).
7
massa leher, pergeseran dinding faring lateral pada kasus keterlibatan spasium
parafaring, trismus, tortikolis, fluktuasi pada perabaan leher, defisit neurologis,
demam, dan takipnea (Murray,2018) .
Anamnesis pada kasus leher dalam dapat meliputi onset, nyeri, durasi,
riwayat operasi gigi, infeksi saluran napas atas, riwayat trauma leher atau cavitas
oral, kesulitan bernapas, disfagia, dan status imunosupresi dan imunokompromais
(Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada kasus abses leher dalam ditujukan
untuk mencari lokasi infeksi dan spasium leher dalam mana saja yang terlibat. Oleh
sebab itu pemeriksaan kepala dan leher yang komprehensif harus dilakukan. Hasil
pemeriksaan fisik yang akan ditemukan pada sebagian besar kasus adalah demam,
leukositosis, dan nyeri tekan. Beberapa hal lain yang dapat ditemukan antara lain ,
leher asimetri, terdapatnya massa leher dengan pergeseran dinding faring lateral
pada kasus keterlibatan spasium parafaring, trismus, tortikolis, fluktuasi pada
perabaan leher, defisit neurologis, demam, dan takipnea (Murray,2018).
8
CT Scan dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas pada abses leher
dalam. CT Scan memberikan gambaran abses berupa lesi dengan hipodens,
batas yang lebih jelas, kadang ada air fluid levels. Pemeriksaan CT Scan thoraks
diperlukan jika dicurigai adanya perluasan abses ke mediastinum (Murray &
Marcincuk, 2009).
9
Gambar 5. Pemindaian CT Dengan Kontras Menunjukkan Abses Parafaring
Dengan Rim Enhancement dan Lokulasi Parsial
5. MRI
MRI dapat digunakan dan dapat memberikan gambaran yang baik
terhadap jaringan lunak sehingga dapat memberikan informasi yang baik
terkait regio abses leher dalam yang terlibat. Namun demikian, oleh karena
peningkatan waktu dan biaya, modalitas MRI tidak digunakan sebagai pilihan
pertama pencitraan untuk kasus abses leher dalam (Murray,2018).
6. Pemeriksaan ultrasonografi
Dapat digunakan untuk membantu membedakan flegmon dan abses,
memberikan informasi tentang kondisi pembuluh darah di sekitar abses, dan
sebagai pemandu untuk aspirasi jarum halus. Namun demikian, pemeriksaan
ultrasonografi tidak dapat memberikan detail anatomi terkait abses leher
dalam.
7. Pemeriksaan arteriografi dapat digunakan apabila terdapat keterlibatan
pembuluh darah carotis dan jugular.
8. Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam. Setelah desinfeksi kulit, pus
dapat diambil dengan aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan insisi.
Pus yang diambil sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal yang ada
di daerah saluran nafas atas atau rongga mulut. Spesimen yang telah diambil
dimasukkan ke dalam media transportasi yang steril (Yang, 2008).
10
2.7 Tata Laksana
Prinsip utama adalah menjamin dan memelihara jalan nafas yang memadai.
Jika diperlukan jalan nafas buatan, intubasi endotrakea sulit dilakukan karena abses
merubah atau menyumbat jalan nafas atas. Jika intubasi tidak mungkin dilakukan,
maka dilakukan trakeostomi atau krikotirotomi. Terapi selanjutnya dimaksudkan
untuk mengatasi infeksi dan mencegah komplikasi (Bailey, 2006).
Pemeriksaan kultur darah serta aspirasi abses dan pemberian antibiotik serta
drainase bedah, diperlukan pada penatalaksanaan infeksi ini. Resusitasi cairan
diperlukan karena hampir selalu terjadi dehidrasi oleh karena intake yang tidak
mencukupi karena seringnya terjadi trismus (Bailey, 2006).
Drainase bedah diindikasikan untuk penderita dengan abses atau ancaman
terjadinya komplikasi. Ruang primer yang terkena dan perluasan keruang lainnya
harus dibuka dan didrainase. Drainase dapat berupa aspirasi abses atau insisi dan
eksplorasi, tergantung pada luasnya abses dan komplikasi yang ditimbulkannya
(Surarso, 2011;Triana, 2011).
Berikut algoritma untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan
infeksi/abses leher dalam (Bailey, 2006; Surarso, 2011).
11
2.8 Pembagian Abses Leher Dalam
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses
parafaring, dan abses submandibular, Angina Ludovici (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).
2.8.1.2 Epidemiologi
Abses peritonsil dapat terjadi pada usia 10–60 tahun, namun paling sering usia
20–40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang
immunocompromized. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama anatara laki-laki dan
perempuan (Porter, 2005).
2.8.1.3 Etiologi
Abses biasanya unilateral yang merupakan kumpulan pus antara kapsul tonsil,
otot konstriktor faring superior dan otot palatofaringeus. Abses ini diyakini muncul
akibat penyebaran infeksi dari tonsil atau dari kelenjar mukosa Weber, yang terletak
di bagian superior tonsil. Abses ini paling sering dimulai dari pole atas tonsil,
namun dapat juga menyebar dari pole tengah atau bawah (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Patogen penyebab sama dengan patogen penyebab tonsilitis, terutama
Streptococcus, namun tidak jarang infeksi polimikroba dan melibatkan bakteri
anaerob (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
2.8.1.4 Patologi
Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang
paling banyak diterima adalah progresivitas episode tonsillitis eksudatif pertama
menjadi peritonsilitis dan kemudian menjadi pembentukan abses sebenarnya (Snow
& Philip, 2009).
12
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati
daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang,
abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin,
& Restuti, 2012).
Pada stadium infiltrat, selain pembengkakan tampak permukaannya
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah
kontralateral. (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat
pecah spontan dan mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).
13
2.8.1.6 Pemeriksaan
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring dikarenakan trismus.
Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi.
Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis,
mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah (Soepardi,
Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
2.8.1.7 Penatalaksanaan
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan penisilin atau
klindamisin dan obat simtomatik. Juga perlu kumur dengan air hangat dan kompres
dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase,
baik dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Tempat
insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis
yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit
(Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan setelah pemberian
cairan kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa
nasalis. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a”
tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi
“a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu
2―3 minggu sesudah drainase abses (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti,
2012).
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini
belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil.
Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat
kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.
2.8.1.8 Komplikasi
14
Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau
piemia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi
mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).
2.8.2.2 Etiologi
Bakteri penyebab abses retrofaring adalah aerob, anaerob maupun
campuran keduanya. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah Streptococcus
pyogenes, Staphylococcus, Dipteroid, Klebsiela dan Haemophilus. Kuman anaerob
yang sering ditemukan adalah Bacteroides Sp dan Bacteroides melaninogenicus.
Kuman anaerob menyebarkan bau yang khas, tetapi jika tidak timbul bau yang khas
belum dapat disingkirkan bahwa penyebabnya bukan kuman anaerob (Al-Sabah et
al., 2004; Avecedo JL et al., 2009).
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring adalah
(Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012) :
Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring
15
Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau
tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi
Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin)
2.8.2.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa adanya riwayat infeksi
saluran napas bagian atas dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan rontgen soft
tissue cervical lateral yang akan menampakkan adanya pelebaran ruang retrofaring
>7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal >14 mm pada anak dan
>22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga daapat dilihat berkurangnya lordosis
vertebrae servikal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan dinding
posterior faring.
16
Gambar 7. Rontgen Soft Tissue Servikal Lateral Tampak Pelebaran Ruang
Retrofaring
2.8.2.5 Penatalaksanaan
Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk kuman
aerob dan anaerob yang diberikan secara parenteral serta tindakan bedah. Pungsi
dan insisi abses dilakukan melalui laringoskop langsung dalam posisi pasien
Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan
dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau umum (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).
2.8.2.6 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, &
Restuti, 2012) :
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring dan ruang vaskuler visera,
sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke
mediastinum sehingga terjadi mediastinitis
Obstruksi jalan napas sampai asfiksia
Bila abses pecah spontan dapat mengakibatkan pneumonia aspirasi dan abses
paru
17
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang
parafaring. Ruang Parafaring berhubungan dengan setiap ruang leher dalam lainnya
dan juga berhubungan dengan ruang karotid. Akibatnya infeksi berasal dari ruang
mastikator, parotis, ruang submandibula, sublingual, ruang retrofaring dan
peritonsil semua dapat menyebar ke ruang ini (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, &
Restuti, 2012).
2.8.3.2 Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012) :
1) Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena jarum suntik yang telah terkontaminasi
kuman menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang
memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris.
2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,
sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi
untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.
18
Gambar 8. Abses Parafaring
2.8.3.4 Penatalaksanaan
Selain pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi abses harus segera
dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24−48 jam dengan cara
eksplorasi dalam narkosis. Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi servikal
pada 2½ jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan
dari batas anterior M. Sternocleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri
bagian medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung
karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di
depan M. Sternocleidomastoideus (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti,
2012).
2.8.3.5 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau
perkontinuatum ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan
peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai
mediastinum (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila
pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur dan terjadi perdarahan
hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan
septikemia (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
19
Abses submandibula adalah terkumpulnya pus pada ruang submandibula.
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual yang berada di atas otot
milohioid dan ruang submaksila (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti,
2012).
2.8.4.2 Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau
kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi
ruang leher dalam lain. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan
anaerob (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
2.8.4.3 Patogenesis
Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi. Nekrosis pulpa
karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam merupakan
jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang
banyak, maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai
tulang kortikal. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke
jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh
(Boies, 2012).
Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (perkontinuitatum),
pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh limfe (limfogenous). Yang paling
sering terjadi adalah penjalaran secara perkontinuitatum karena adanya celah/ruang
di antara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran
infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses
gingiva, cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses fasial. Penjalaran
infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses subingual, abses submental,
abses submandibular, abses submaseter, dan angina Ludwig. Ujung akar molar
kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea mylohyoidea (tempat melekatnya
m. mylohyoideus) yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika molar
kedua dan ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya dapat menyebar ke ruang
submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaringal (Boies, 2012).
20
Selain infeksi gigi abses ini juga dapat disebabkan pericoronitis, yaitu suatu
infeksi gusi yang disebabkan erupsi molar ketiga yang tidak sempurna. Infeksi pada
ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan yang keras dari fasia
servikal profunda dengan m.digastricus anterior dan tulang hyoid. Edema dagu
dapat terbentuk dengan jelas (Boies, 2012).
Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu sendiri,
tetapi dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilar Whartoni dan mengikuti
struktur kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga meluas ke bawah
sepanjang m. hyoglossus menuju ruang-ruang fasia leher (Boies, 2012).
21
Gambar 10. Abses Submandibula
2.8.4.5 Penatalaksanaan
Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan
secara parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang
adekuat dan drainase abses yang baik. Seharusnya pemberian antibiotik
berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan terhadap bakteri penyebab
infeksi, tetapi hasil biakan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan
hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil
mikrobiologi ada, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob (Soepardi,
Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi lokal untuk abses yang
dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan
luas. Adanya trismus menyulitkan untuk masuknya pipa endotrakea peroral. Pada
kasus demikian diperlukan tindakan trakeostomi dalam anastesi lokal. Jika terdapat
fasilitas bronkoskopi fleksibel, intubasi pipa endotrakea dapat dilakukan secara
intranasal. Insisi abses submandibula untuk drainase dibuat pada tempat yang
paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses.
Eksplorasi dilakukan secara tumpul sampai mencapai ruang sublingual, kemudian
dipasang salir (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
22
Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibular berupa selulitis dengan
tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk
abses, sehingga keras pada perabaan submandibula (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).
2.8.5.2 Epidemiologi
Sebagian besar kasus angina Ludwig terjadi pada orang sehat. Faktor
predisposisinya termasuk diabetes mellitus, neutropenia, alkoholisme, anemia
aplastik, glomerulonefritis, dermatomiositis, dan Sistemik Lupus Erythematosus.
Sebagian besar pasien yang terkena di antara usia 20 dan 60 tahun. Ditemukan laki-
laki mendominasi dalam terjadinya Angina Ludwig (Lenorick, 2012).
2.8.5.3 Etiologi
Angina Ludwig paling sering terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi
geligi (80%), tetapi dapat juga terjadi sebagai akibat proses supuratif nodi limfasiti
servikalis pada ruang submandibularis. Angina Ludwig yang disebabkan oleh
infeksi odontogenik berasal dari gigi molar kedua dan ketiga bawah, dimana gigi
ini memiliki akar yang berada di atas otot milohioid dan abses di lokasi ini dapat
menyebar ke ruang submandibular. Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri
Streptococcus, Stafilococcus, Bacteroides ( Balakrishnan, 2014).
Penyebab lain dari Angina Ludwig adalah sialadenitis, abses peritonsil,
fraktur terbuka mandibular, kista duktus tiroglosal yang terinfeksi, epiglotitis,
injeksi intravena di leher, bronkoskopi yang menyebabkan trauma, intubasi trakea
(Balakrishnan, 2014).
23
pasien dengan pembengkakan submandibula bilateral dan pembengkakan dasar
mulut yang menyebabkan lidah terangkat (Soni et al., 2014).
Gejala lainnya adalah edem jaringan leher depan diatas tulang hyoid yang
memberikan gambaran “bulls neck”. Demam, takikardi, takipnea, dan dapat pula
disertai gangguan cemas dan agitasi. Bengkak dan nyeri pada dasar mulut dan leher,
sulit menelan, nyeri menelan, berliur, trismus, dan nyeri gigi. Hoarseness, stridor,
distress pernapasa, sianosis dan postur tubuh mengendur. Selain itu, gejala disfonia
juga dapat muncul akibat edema plika vokalis, tanda ini merupakan tanda bahaya
bagi klinisi oleh karena potensi sumbatan jalan napas (Soni et al., 2014).
2.8.5.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut
gigi, dengan gejala dan tanda klinik. Ada lima kriteria yang dikemukakan
Grodinsky untuk membedakan angina Ludwig dengan bentuk lain dari infeksi leher
dalam. Infeksi pada angina Ludwig harus memenuhi kriteria (Balakrishnan, 2014):
1. Proses selulitis dari ruang submandibula, bukan pembentukan abses
2. Melibatkan hanya ruang submandibula secara bilateral
3. Terdapat gangren serosanguis, infiltrasi pus sedikit/tidak ada
4. Melibatkan jaringan ikat, fascia, dan muskulus tetapi tidak melibatkan glandula
5. Penyebaran secara langsung, bukan secara limfatik
2.8.5.6 Penatalaksanaan
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu (Winter S,
2003) :
1. Menjaga patensi jalan napas.
2. Terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi
penyebaran infeksi.
3. Dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.
Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan
adanya teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang lebih
baik, maka kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui
hidung dengan menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan
24
dalam posisi tegak. Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi
atau trakheotomi dengan anestesi lokal (Winter S, 2003).
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, disamping terapi antibiotik dan
operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi
yang lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan trakeostomi/krikotiroidotomi,
serta mengurangi waktu pemulihan di rumah sakit. Diawali dengan dosis 10 mg,
lalu diikuti dengan pemberian dosis 4 mg tiap 6 jam selama 48 jam (Winter S,
2003).
Setelah patensi jalan napas telah teratasi, maka antibiotik IV segera diberikan.
Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2–4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam)
merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya
prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan
metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam, amoxicillin-
clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan
regimen terapi (Winter S, 2003).
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang
terdapat pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan
memakai cunam tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi
dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os hyoid (3–4 jari di bawah
mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan paralel dengan corpus mandibula
melalui fascia dalam sampai kedalaman kelenjar submaksila. Insisi vertikal
tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai batas bawah dagu. Jika gigi yang
terinfeksi merupakan fokal infeksi dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus
diekstraksi untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai infeksi reda
(Raharjo, 2010).
25
Gambar 11. Kondisi Pasien Post-Trakeostomi namun Masih Membutuhkan
Drainase Abses. Tampak depan dan samping menunjukkan pembengkakkan
submandibular dan sublingual.
2.8.5.7 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, &
Restuti, 2012) :
1. Sumbatan jalan napas
2. Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum
3. Sepsis
2.8.5.8 Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas
untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan
radang. Sekitar 45–65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang
26
terinfeksi, disertai dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil
pengobatan yang lengkap. Selain itu, 35% dari individu yang terinfeksi
memerlukan intubasi dan trakeostomi (Porter, 2005).
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Kematian
pada era preantibiotik sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan
jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat
serta penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan
komplikasi. Begitu pula angka mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5%
(Porter, 2005).
2.9 Komplikasi
Secara umum, komplikasi yang dapat muncul adalah obstruksi jalan napas,
paresis mandibula, jaringan granulasi, perdarahan, dan kematian (Soepardi,
Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Komplikasi yang dapat muncul dari kasus abses peritonsil adalah pecahnya
abses yang menyebabkan aspirasi paru dan perdarahan, penyebaran infeksi dan
abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring, penjalaran ke
mediastinum sehingga terjadi mediastinitis, penjalaran ke kranial yang dapat
mengakibatkan trombus sinus cavernosus, meningitis, dan abses otak.
Komplikasi yang dapat muncul dari abses retrofaring adalah penyebaran
infeksi ke ruang parafaring, ruang vaskuler viscera, mediastinitis, obstruksi jalan
napas, pneumonia aspirasi (bila terjadi pecah abses spontan), dan abses paru.
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus angina Ludovici adalah sumbatan jalan
27
napas, penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis
(Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
2.10 Prognosis
Prognosis abses leher dalam baik bila didiagnosis secara dini dan ditangani
secara optimal (Motahari et al,2014).
28
BAB III
KESIMPULAN
Abses leher dalam adalah abses yang melibatkan regio leher dalam yang
terbentuk di dalam ruang potensial di antara fascia leher dalam sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus
paranasal, telinga tengah, dan leher.
Diagnosis dini dan tata laksana awal adalah kunci kesuksesan menangani
abses leher dalam. Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang tersebut meliputi pemeriksaan
darah dan pencitraan radiologis.
Tata laksana abses leher dalam meliputi tata laksana medikamentosa dan
tata laksnaa non-medikamentosa. Tata laksana medikamentosa paling utama adalah
pemberian antibiotik sistemik intravena yang sesuai dengan patogen penyebab,
sedangkan tata laksana non-medika mentosa utama adalah insisi drainase. Apabila
tidak ditangani dengan baik, maka dapat timbul komplikasi abses leher dalam
berupa penyebaran ke bagian dalam leher lainnya maupun penyebaran hematogen
sehingga terjadi septikemia yang dapat berujung pada kematian.
Prognosis pasien dengan abses leher dalam akan baik apabila keadaan ini
diketahui sejak awal dan ditatalaksana sedini mungkin.
29
DAFTAR PUSTAKA
Boies, Adams, George, Lawrence, Higler, Peter. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi VI. Jakarta : EGC. 2012.
Brito, T. P., Hazboun, I. M., Fernandes, F. L., Bento, L. R., Zappelini, C. E., Chone,
C. T., et al. (2017). Deep Neck Abscesses: Study of 101 Cases. Braz J
Otorhinolaryngology, 341-348.
Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [update July 2009;
cited July 16th, 2018] Available from: http://www.eMedicine
Specialties//Otolaringology and facial plastic surgery.com
Raharjo SP. (2010). Penatalaksanaan Angina Ludwig. Jurnal Dexa Media. Januari-
Maret vol.21.
Rosen, E. J. (2002, April 17). Deep Neck Spaces and Infections. Retrieved Oktober
2005, from UTMB: https://www.utmb.edu/otoref/grnds/Deep-Neck-
Spaces-2002-04/Deep-NeckSpaces-2002-04-slides.pdf
Snow, J. B., & Philip, A. (2009). Ballenger's Otorhinolaryngology: Head and Neck
Surgery. PMPH.
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. D. (2012). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi
Ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soni YC, Pael HD, Pandya HB, Dewan HS, Bhavsar BC, Shah U. H. (2014).
Ludwig’s angina: diagnosis and management - a clinical review. J Resv Adv
Dent; 3(2s): 131-6
30
Winters S. A Review of Ludwig's Angina for Nurse Practitioners. Journal of the
American Academy of Nurse Practitioners. December 2003;Vol. 15(Issue
12).
Yang, S. W., Lee, M. H., & Chen, T. A. (2008). Deep Neck Abscess: An Analysis
of Microbial Etiology and the Effectiveness of Antibiotics. Infection and
Drug Resistance, 1-8.
31