Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KASUS SPONDILITIS TB
DI RUANGAN DAHLIA RS DR. DORIS SYLVANUS
(KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 3)

Disusun oleh :
Erna Wati (PO.62.20.1.16.138)

D-IV Keperawatan (Reguler III)


Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
2018
A. DEFINISI
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa
infeksi granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu
mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra (Abdurrahman,
et al 1994; 144 )
Spondilitis tuberkulosa memiliki distribusi di seluruh dunia dengan
prevalensi yang lebih besar pada negara berkembang. Tulang belakang
adalah tempat keterlibatan tulang yang paling sering, yaitu 5-15% dari
seluruh pasien dengan tuberkulosis. Spondilitis tuberkulosa merupakan
penyakit yang dianggap paling berbahaya karena keterlibatan medula
spinalis dapat menyebabkan gangguan neurologis. Daerah lumbal dan
torakal merupakan daerah yang paling sering terlibat, sedangkan insidensi
keterlibatan daerah servikal adalah 2-3%.
Defisit neurologis pada spondilitis tuberkulosa terjadi akibat
pembentukan abses dingin, jaringan granulasi, jaringan nekrotik dan
sequestra dari tulang atau jaringan diskus intervertebralis, dan kadang-
kadang trombosis vaskular dari arteri spinalis.
Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit kronik dan lambat
berkembang dengan gejala yang telah berlangsung lama. Riwayat penyakit
dan gejala klinis pasien adalah hal yang penting, namun tidak selalu dapat
diandalkan untuk diagnosis dini. Nyeri adalah gejala utama yang paling
sering. Gejala sistemik muncul seiring dengan perkembangan penyakit.
Nyeri punggung persisten dan lokal, keterbatasan mobilitas tulang belakang,
demam dan komplikasi neurologis dapat muncul saat destruksi berlanjut.
Gejala lainnya menggambarkan penyakit kronis, mencakup malaise,
penurunan berat badan dan fatigue. Diagnosis biasanya tidak dicurigai pada
pasien tanpa bukti tuberkulosa ekstraspinal.
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa masih kontroversial;
beberapa penulis menganjurkan pemberian obat-obatan saja, sementara yang
lainnya merekomendasikan obat-obatan dengan intervensi bedah.
Dekompresi agresif, pemberian obat anti tuberkulosis selama 9-12 bulan
dan stabilisasi spinal dapat memaksimalkan terjaganya fungsi neurologis.
B. ETIOLOGI
Spondilitis tuberculosis atau tuberculosis tulang belakang
merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain, 90 – 95%
2 1
disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (3 dari tipe human dan 3

dari tipe bovin) dan 5 – 10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman
mycobacterium tuberkulosa bersifat tahan asam, dan cepat mati apabila
terkena matahari langsung.

C. PATOFISIOLOGI
Infeksi berawal dari bagian epifisial korpus vertebra. Kemudian,
terjadi hiperemia dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
pelunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis,
diskus internertebra, dan vertebra sekitarnya. Kemudain eksudat menyebar
ke depan, di bawah longitudinal anterior. Eksudap ini dapat menembus
ligamen dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang
lemah. Pada daerah vertebra servikalis, eksudat terkumpul di belakang
paravertebral dan menyebar ke lateral di belakang muskulus
sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protusi ke depan dan ke
dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal.
Perubahan struktur vertebra servikalis menyebabkan spasme otot
dan kekakuan leher yang merupakan stimulus keluhan nyeri pada leher.
Pembentukan abses faringeal menyebabkan nyeri tenggorokan dan
gangguan menelan sehingga terjadi penurunan asupan nutrisi dan masalah
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan. Kekakuan leher
menyebabkan keluhan mobilitas leher dan risiko tinggi trauma sekunder
akibat tidak optimalnya cara mobilisasi. Tindakan dekompresi dan
stabilisasi servikal pada pasca bedah menimbulkan port de entree luka pasca
bedah risiko tinggi infeksi.
D. WOC

Invasi hematogen ke korpus dekat diskus invertebra daerah servikal

Gangguan Citra
Tubuh
Kerusakan dan penjalaran ke vertebra yang berdekatan

Perubahan struktur vertebra servikalis

Kurang
Kompresi diskus dan Spasme Otot Pembentukan abses Pengetahuan
kompresi radiks saraf di faringeal
sisinya
kekakuan leher
Nyeri tenggorokan
Tindakan dekompresi dan dan gangguan
stabilisasi Nyeri menelan

Port de entree Ketidakseimbangan


nurisi : Kurang dari
Gangguan
Resiko tinggi Infeksi Mobilitas Fisik kebutuhan
F. MANIFESTASI KLINIS
Secara klinis gejala spondilitis TB hampir sama dengan penyakit
TB yang lain, yaitu badan lemah dan lesu, nafsu makan dan berat badan
yang menurun, suhu tubuh meningkat terutama pada malam hari, dan sakit
pada daerah punggung. Pada anak kecil biasanya diikuti dengan sering
menangis dan rewel.
Pada awal gejala dapat dijumpai adanya nyeri radikuler di sekitar
dada atau perut, kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun kian
memberat. Kemudian muncul adanya spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan
refleks babinski bilateral. Pada stadium awal ini belum ditemukan
deformitas tulang vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri ketok pada
vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya
pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya
destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50%
kasus, termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan
paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa
ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada
daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah
disebutkan di atas. (Harsono,2003)

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling serius dari spondilitis TB adalah Pott’s
paraplegia. Pada stadium awal spondilitis TB, munculnya Pott’s paraplegia
disebabkan oleh tekanan ekstradural pus maupun sequester atau invasi
jaringan granulasi pada medula spinalis dan jika Pott’s paraplegia muncul
pada stadium lanjut spondilitis TB maka itu disebabkan oleh terbentuknya
fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang ( ankilosing ) di atas
kanalis spinalis.
Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses
paravertebra torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema
tuberkulosis, sedangkan pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke
otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold abcess.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
1. Peningkatan laju endapan darah (LED) dan mungkin disertai
mikrobakterium
2. Uji mantoux positif
3. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan
mikrobakterium
4. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limpe regional
5. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan
tuberkelPemeriksaan Radiologis
b. Pemeriksaan Radiologis
1. Foto thoraks untuk melihat adanya tuberculosis paru
2. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis disertai
penyempitan diskus intervertebralis yang berada di korpus
tersebut
3. Pemeriksaan mieleografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala
penekanan sumsum tulang
4. Foto CT Scan dapat memberikan gambaran tulangsecara lebih
detail dari lesi, skelerosisi, kolap diskus dan gangguan
sirkumferensi tulang
5. Pemeriksaan MRI mengevaluasi infeksi diskus intervetebra dan
osteomielitis tulang belakang dan adanya menunjukan
penekanan saraf.

I. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus
dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit
serta mencegah paraplegia. Prinsip pengobatan paraplegia Pott adalah:
1. Pemberian obat antituberkulosis
2. Dekompresi medulla spinalis
3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)
Penatalaksanaan pada pasien spondilitis TB terdiri atas:
1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi
gerak vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita
d. Pengobatan antituberkulosa
Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB
paru adalah :
1) Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-) / rontgen (+),
diberikan dalam 2 tahap:
a) Tahap 1:
Rifampisin 450 mg + Etambutol 750 mg + INH 300
mg + Pirazinamid 1500 mg
Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan
pertama (60 kali).
b) Tahap 2:
Rifampisin 450 mg + INH 600 mg
Diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 4
bulan (54 kali).
2) Kategori 2
Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat
selama sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang
kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :
a) Tahap I
Streptomisin 750 mg + INH 300 mg + Rifampisin
450 mg + Pirazinamid 1500mg + Etambutol 750 mg.
Obat ini diberikan setiap hari. Untuk Streptomisin
injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat
lainnya selama 3 bulan (90 kali).
b) Tahap 2
INH 600 mg + Rifampisin 450 mg + Etambutol
1250 mg. Obat ini diberikan 3 kali seminggu
(intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan
umum penderita bertambah baik, laju endap darah
menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri
dan spasme berkurang serta gambaran radiologik
ditemukan adanya union pada vertebra.
2. Terapi operatif
Indikasi dilakukannya tindakan operasi adalah:
a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia
atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum
tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa
diberikan obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses
secara terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi
ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan
langsung pada medulla spinalis..
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif
masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila
terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan
kifosis.
1) Abses Dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh
karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian
tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase
bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a) Debrideman fokal
b) Kosto-transveresektomi
c) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di
bagian depan.
2) Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a) Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata
b) Laminektomi
c) Kosto-transveresektomi
d) Operasi radikal
e) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
3) Kifosis
Operasi pada pasien kifosis dilakukan dengan 2 cara:
a) Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang
hebat,. Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat
terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa
fusi posterior atau melalui operasi radikal.
b) Operasi PSSW
Operasi PSSW adalah operasi fraktur tulang belakang dan
pengobatan tbc tulang belakang yang disebut total
treatment.
Metode ini mengobati tbc tulang belakang berdasarkan
masalah dan bukan hanya sebagai infeksi tbc yang dapat
dilakukan oleh semua dokter. Tujuannya, penyembuhan
TBC tulang belakang dengan tulang belakang yang stabil,
tidak ada rasa nyeri, tanpa deformitas yang menyolok dan
dengan kembalinya fungsi tulang belakang, penderita
dapat kembali ke dalam masyarakat, kembali pada
pekerjaan dan keluarganya.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Keluhan utama
Keluhan utama pada klien spondiitis TB terdapat nyeri punggung
bagian bawah.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada awal dapat dijumpai nyeri redikuler yang mengelilingi dada dan
perut. nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah
berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang.
Data Subjektif yang mungkin adalah : badan terasa lemah dan lesu,
nafsu makan berkurang serta sakit pada punggung, pada anak-anak
sering disertai dengan menangis pada malam hari, berat badan
menurun, nyeri spinal yang menetap, nyeri radikuler yang
mengelilingi dada atau perut.
Data Objektif yang mungkin adalah : suhu sedikit meningkat
(subfebril) terutama pada malam hari, paraplegia, paraparesis, kifosis
(gibbus), bengkak pada daerah paravertebra.
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
Menurut R. Sjamsu Hidajat, 1997 : 20 tentang terjadinya spondilitis
tuberkulosa biasanya pada klien di dahului dengan adanya riwayat
pernah menderita penyakit tuberculosis paru.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Salah satu penyebab timbulnya spondilitis tuberkulosa adalah klien
pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang menderita
penyakit TB atau lingkungan keluarga ada yang menderita penyakit
tersebut
5. Psikososial
Klien akan merasa cemas, sehingga terlihat sedih dengan kurangnya
pengetahuan mengenai penyakit TB, pengobatan dan perawatannya
sehingga membuat emosinya tidak stabil dan mempengaruhi
sosialisasi penderita.
6. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : terlihat lemah, pucat dan pada tulang belakang terlihat
bentuk kiposis
b. Palpasi : Sesuai yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang
belakang terdapat adanya gibus pada area tulang yang
mengalami infeksi
c. Perkusi : Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat
nyeri ketok
d. Auskultasi : Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak
ditemukan kelainan
e. Review of System (ROS)
1) B1 (Breating).
Inspeksi : batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
nafas, penggunaan otot bantu nafas, peningkatn frekuensi
pernafasan.
Palpasi : taktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi : resonan pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas tambahan (ronki pada klien
peningkatan produksi secret)
2) B2 (Blood).
dengan komplikasi paraplegia : Hipotensi ortostatik
(penurunan TD sistolik ≤25 mmHg dan diastolik ≤ 10
mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring ke posisi
duduk) tanpa komplikasi paraplegia : kelainan system
kardiovaskular
3) B3 (Brain).
tingkat kesadaran kompos mentis
Kepala : tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris,
tidak ada penonjolan, sering didapatkan adanya nyeri
belakang kepala.
Leher : pada spondilitis tuberkulosa yang mengenai
vertebra servikalis, sering didapatkan adanya kekakuan
leher sehingga mengganggu mobilisasi leher dalam
melakukan rotasi, felksi dan ekstensi kepala.
Wajah : wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. wajah simetris, tidak ada lesi dan
edema.
mata : tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak
anemis.
telinga : tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal,
tidak ada lesi atau nyeri tekan.
Hidung : tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan
cuping hidung.
Mulut dan Faring : tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak
terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
Pemeriksaan fungsi serebral. status mental : Observasi
penampilan dan tingkah laku klien. biasanya status mental
klien tidak mengalami perubahan.
4) B4 (bladder).
Pada spondilitis tuberkulosa daerah torakal dan servikal,
tidak ada kelainan pada system ini.
Pada spondilitis tuberkulosa daerah lumbal, sering
didapatkan keluhan inkontinensia urine, ketidak mampuan
mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi urine.
5) B5 (Bowel).
Inspeksi : Bentuk datar, Simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : Turgor baik, tidak ada kejang otot abdomen
akibat adanya abses pada lumbal, hepar tidak teraba.
Perkusi : suara timpani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi : peristaltic usus normal ±20 kali/ menit.
Inguinal – genitalia – anus : tidak ada hernia, tidak ada
pembesaran limfe, tidak ada kesulitan BAB.
Pola nutrisi dan metabolism : pada klien spondilitis
tuberkulosa, sering ditemukan penurunan nafsu makan dan
gangguan menelan karena adanya stimulus nyeri menelan
dari abses faring sehingga pemenuhan nutria menjadi
berkurang
6) B6 (Bone).
Look : Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas
(kifosis) terutama pada spondilitis tuberkulosa daerah
torakal. pada spondilitis tuberkulosa daerah lumbalis,
hampir tidak terlihat deformitas, tetapi terlihat adanya
abses pada daerah bokong dan pinggang. pada spondilitis
tuberkulosa daerah servikal, terdapat kekakuan leher.
Feel : Kaji adanya nyeri tekan pada daerah spondilitis
Move : Terjadi kelemahan anggota gerak (paraparesis dan
paraplegia) dan gangguan pergerakan tulang belakang.
pergerakan yang berkurang tidak dapat dideteksi di daerah
toraks, tetapi mudah diamati pada tulang belakang lumbal,
punggung harus diperhatikan dengan teliti, sementara
gerakan dicoba. biasanya seluruh gerakan terbatas dan
usaha tersebut meninmbulkan spasme otot.
7. Pengkajian diagnostic
a. Laboratorium
Laju Endap darah meningkat
b. Pemeriksaan Diagnostik lain
1) Radiologi : terlihat gambaran distruksi vertebra terutama
bagian anterior, sangat jarang menyerang area posterior ;
terdapat penyempitan diskus ; gambaran abses para
vertebral
2) Tes Tuberkulin : Reaksi Tuberkulin biasanya positif

B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi radiks saraf servikal, spasme
otot servikal
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
musculoskeletal dan nyeri
3. Gangguang citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur tubuh
4. Ketidak seimbangan nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan asupan nutrisi tidak adekuat sekunder akibat
nyeri tenggorokan dan gangguan menelan
5. Risiko Infeksi berhubungan dengan port de entrée luka pasca-bedah
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
mengenai penyakit, pengobatan dan perawatan

C. INTERVENSI
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi radiks saraf servikal, spasme
otot servikal
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang 3 x 24 jam
Kriteria Hasil :
- Klien melaporkan penurunan nyeri
- skala nyeri 0 - 1
- dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau
menurunkan nyeri
- klien menunjukan perilaku yang lebih rileks
Intervensi :
1) Kaji lokasi, intensitas dan tupe nyeri sebagi observasi
penyebaran nyeri.
Rasional : nyeri merupakan pengalaman subjek yang hanya
dapat di gambarkan oleh klien sendiri
2) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri
nonfarmakologis dan non invasive.
Rasional : Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
nonfarmakologis lainnya telah menunjukan keefektifan dalam
mengurangi nyeri.
3) Istirahatkan leher, atur posisi fisiologis dan pasang ban leher
Rasional : posisi fisiologis akan mengurangi kompresi saraf
leher
4) Lakukan masase pada otot leher
Rasional : masase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan
membantu suplai darah dan oksigen ke area nyeri leher
5) Ajarkan teknik relaksasi pernafasan dalam ketika nyeri muncul
Rasional : meningkatkan asupan oksigen sehingga menurunkan
nyeri sekunder akibat iskemia
6) Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri
Rasional : distraksi dapat menurunkan stimulus nyeri
7) Berikan analgesic sesuai terapi dokter dan kaji
keefektivitasannya
Rasional : analgesic mampu mnegurasngi rasa nyeri; bagaimana
reaksi terhadap nyeri yang diderita klien
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
musculoskeletal dan nyeri
Tujuan : klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal dan mampu
teradaptasi dalam waktu 7 x 24 jam
Kriteria Hasil :
- klien dapat ikut serta dalam program latihan
- klien terlihat mampu melakukan mobilisasi secara bertahap
- mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat
optimal
Intervensi :
1) Kaji kemampuan mobilitas dan observasi terhadap peningkatan
kerusakan
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas
2) Bantu klien melakukan ROM, dan perawatan diri sesuai
toleransi
Rasional : latihan ROM yang optimal mampu menurunkan atrofi
otot, memperbaiki sirkulasi perifer dan mencegah kontraktur
3) Pantau keluhan nyeri dan adanya tanda-tanda deficit neurologis
Rasional : peran perawat dalam pemantauan dapat mencegah
terjadinya hal yang lebih parah seperti henti jantung – paru
akibat kompresi batang otak dan korda
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian OAT
Rasional : OAT akan mengobati penyebab dasar spondilitis TB
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur tubuh
Tujuan : Klien dapat mengekpresikan perasaanya dan dapat
menggunakan koping adaptif
Kriteria Hasil :
- Klien dapat mengungkapkan perasaannya dan dapat
menggunakan keterampilan koping yang poeotif dalam
mengatasi perubahan citra
Intervensi :
1) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan.
Rasional : meningkatkan harga diri klien dan membina
hubungan saling percaya dengan mengungkapkan perasaan
dapat membantu penerimaan diri
2) bersama-sama klien mencari alternatif koping yang positif
Rasional : dukungan perawat pada klien dapat meningkatkan
rasa percaya diri klien
3) Kembangkan komunikasi dan bina hubungan antara klien
kluarga dan teman serta berikan aktifitas rekreasi dan permainan
guna mengatasi perubahan body image
Rasional : memberikan semangat bagi klien agar dapat
memandang dirinya secara positif dan tidak merasa rendah diri
4. Ketidakseimbangan nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan asupan nutrisi tidak adekuat sekunder akibat
nyeri tenggorokan dan gangguan menelan
Tujuan : dalam waktu 7 x 24 jam keseimbangan nutrisi dapat terpenuh
Kriteria Hasil :
- klien terlihat mampu melakukan pemenuhan nutrisi per oral
secara bertahap
- proporsi berat badan dan tinggi badan ideal
Intervensi :
1) Pantau persentase asupan makanan yang dikonsumsi setiap
makan, timbang berat badan tiap hari
Rasional : mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari
tujuan yang diharapkan
2) Berikan perawatan mulutu tiap 6 jam. pertahankan kesegaran
ruangan
Rasional : perasaan tidak nyaman pada mulut dan bau yang
tidak nyaman dari lingkungan dapat mempengaruhi selera
makan
3) Beri makanan lunak dalam kondisi hangat, sedikit tapi sering
Rasional : peran perawat dalam memberi dukungan sangat
diperlukan pada klien yang membutuhkan energy dan protein
untuk proses pengembalian fungsi yang optimal
4) Dorong klien untuk ikut serta dalam pemenuhan nutrisi tinggi
kalori dan tinggi protein
Rasional : peran perawat dalam member dukungan sangat
diperlukan pada klien yang pada fase inflamasi sangat banyak
membutuhkan energy dan protein untuk proses pengembalian
fungsi yang optimal
5) Kolaborasi dengan ahli diet untuk pemenuhan nutrisi yang ideal
Rasional : dalam kondisi akut, ahli diet dapat mencari jenis
makanan yang dapat membantu klien dalam memenuhi
kebutuhan akan energy dan perbaikan
5. Risiko Infeksi berhubungan dengan port de entrée luka pasca-bedah
Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Kriteria Hasil :
- terbebas dari tanda atau gejala infeksi
- menunjukan hygiene yang adekuat
- menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi
Intervensi :
1) Pantau tanda/ gejala infeksi
Rasional : mengidentifikasi dini infeksi
2) Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi
Rasional : Menggambarkan faktor yang menunjang penularan
infeksi
3) Berikan terapi antibiotik, bila diperluka
Rasional : Mencegah Infeksi
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
mengenai penyakit, pengobatan dan perawatan
Tujuan : Klien dan Keluarga dapat memahami cara perawatan di
rumah
Kriteria Hasil :
- Klien dapat memperagakan pemasangan dan perawatan brace
atau korset
- mengekspresikan pengertian tentang jadwal pengobatan
- klien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit,
rencana pengobatan dan gejala kemajuan penyakit
Intervensi :
1) Diskusikan tentang pengobatan
Rasional : meminimalisasi kesalahan klien dan keluarga dalam
penggunaan obat
2) Tekankan pentingnya lingkungan yang aman untuk mencegah
fraktur
Rasional : Meningkatkan kewaspadaan klien maupun keluarga
terhadap faktor – faktor resiko yang dapat memperparah kondisi
klien
3) Tingkatkan kunjungan tindak lanjut dengan dokter
Rasional : mendeteksi kondisi perkembangan klien secara dini

D. EVALUASI
1. Pasien menyatakan nyeri berkurang dan atau hilang
2. pasien menunjukan kondisi yang rileks dan dapat beristirahat
3. pasien berpartisipasi dalam program pengobatan
4. pasien mendiskusikan perannya dalam mencegah kekambuhan
5. pasien mampu mengerti penjelasan yang diberikan tentang proses
penyakit dan pengobatannya
6. pasien mampu mengidentifikasi potensial situasi stress dan
mengambil langka untuk menghindarinya
7. pasien dapat menggunakan obat yang diresepkan dengan baik pasien
dapat melakukan pola hidup sehat dengan baik
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, A. (2008). Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal: Aplikasi pada


Praktik Klinik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Moesbar N, Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Diakses dari
repository.usu.ac.id
Hidalgo JA, Alangaden G. Pott’s Disease (Tuberculous Spondylitis).
Available at .emedicine.com/; July 12, 2002.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(Definisi dan Indikator Diagnostik). Jakarta Selatan: Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI).

Anda mungkin juga menyukai