ASY’ARIYAH
Dipresentasikan dalam seminar kelas pada mata kuliah
Perkembangan pemikiran dalam Islam program pasca sarjana
UIN suska Riau-Pekanbaru
Oleh
Syarifudin
NIM: 0804 S2 776
Dosen Pembimbing
Dr. Asmal May, M.Ag
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah swt atas karunia dan
rahmatnya kepada kita semua, shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan
alam Nabi Muhammad saw.
Makalah ini disusun untuk memnuhi tugas dan dipresentasikan dalam seminar
kelas pada mata kuliah filsafat pendidikan Islam, pada kosentrasi pendidikan islam
program pasca sarjana universitas islam negeri (UIN) suska Riau.
Makalah ini membahas dan membicarakan tentang tujuan pendidikan Islam hal
ini penting untuk kita bicarakan karena tujuan pendidikan Islam ini adalah merupakan
salah satu hal yang mengkaji tentang bagaimana seharusnya tujuan pendidikan islam
itu. Serta apa yang akan diharapkan setelah pendidikan itu dilaksanakan
Akhirnya ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan, baik bberupa referensi buku maupun pandangan, masukan dan diskusi-
diskusi yang membangun dengan tema yang diangkat.
Kritik dan saran sangat perlu kiranya disampaikan sebagai bahan evaluasi dan
perbaikan dimasa mendatang, baik itu isi, penulisan maupun metodologi yang
digunakan, terima kasih
Pekanbaru,April 2009
Wassalam
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………..………………………….i
DAFTAR ISI………………………………………..………………………………...ii
PENDAHULUAN………...…………………………..………………………………1
PEMBAHASAN
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
ASY’ARIYAH
PENDAHULUAN
Ilmu kalam merupakan ajaran dasar dalam Agama Islam, dan merupakan
disiplin ilmu tersendiri. Dalam perkembangannya berbagai aliran muncul dalam
rangka mendapatkan wawasan yang luas tentang persoalan-persoalan teologis untuk
menambah keyakinan seseorang dalam pemikiran dan filsafat manusia.
Salah satu aliran tersebut adalah aliran Asy’ariyah yang muncul di tengah
tekanan mu’tazilah. Aliran ini dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ary (873-935 M).
Tokoh-tokoh lain yang mengembagkan aliran ini antara lain: Muhammad Abu Bakar
al-Baqillani (w.1013 M), Abu Bakar al-Juwaini (w.178 H), Abu al-Qasim al-Qusyairi,
(w.1074 M), dan Abu Hamid al-Ghazaly (w.1058-1111M). Diantara tokoh-tokoh
tersebut, tokoh terpenting adalah Abu Hasan Asy’ary sebagai pendiri, al-Juwaini dan
al-Ghazaly. Dalam makalah yang singkat ini akan penulis coba bahas tentang sejarah
kehidupan tokoh-tokoh tersebut beserta beberapa pokok pemikiran.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Aliran Asy’ariah
Aliran Asy’ariah ini muncul disaat aliran mu’tazilah kehilangan pengaruh
dan simpati umat, tokoh al-Asy’ari tampil dengan sistem ajaran kalamnya sendiri,
yang segera diterima oleh mayoritas Muslimin. Sistem kalam yang baru ini diberi
nama aliran Asy’ariah, dinisbatkan kepada nama tokoh pendirinya. Nama
lengkapnya Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ary, lahir di Bashrah dan wafat di
Bagdad. Ia merupakan keturunan dari seorang sahabat Nabi Musa al-Asy’ary.
Nama beliau disingkat menjadi Abu Hasan al-Asy’ary. 1 Pada waktu kecil, ia
berguru pada seorang guru Mu’tazilah yang terkenal, yaitu al-Jubba’i. Al-Jubba’i
sendiri merupakan ayah tirinya yang menikahi ibu Asy’ary setelah ayah
kandungnya wafat.2 Aliran ini ia ikuti hingga ia berusia 40 tahun. Ketika mencapai
usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari dan kemudian pergi ke
masjid Basrah dan mengatakan bahwa ia keluar dari ajaran tersebut dan menolak
faham mu’tazilah dan ajaran-ajarannya.3
Ada beberapa teori tentang latarbelakang atau alasan keluarnya al-asy’ari
dari Mu’tazilah yang dianutnya selama puluhan tahun tersebut. Menurut sumber
al-Subki dan Ibn ‘Asakir, al-Asy’ari mengaku pada suatu malam bermimpi
Rasulullah SAW datang menghampirinya seraya memerintahkan agar
meninggalkan paham Mu’tazilah. Sumber lain juga mengatakan bahwa al-Asy’ari
berdebat dengan gurunya Abu Ali al-Jubba’i mengenai konsep al-Shalah wa al-
Ashlah, dalam hubungannya dengan nasib seorang dewasa mukmin, dewasa kafir,
dan anak kecil di akhirat kelak. Dalam perdebatan tersebut, sang guru tidak dapat
memberikan jawaban yang memuaskan terhadap pertanyaan sang murid.
Selain dari dua teori yang telah disebutkan, ada analisis yang menyatakan
bahwa pada diri al-asy’ari memang telah muncul keraguan terhadap ajaran-ajaran
mu’tazilah yang selama ini dianutnya sehingga, meurut riwayat ia hidup
menyendiri selama 15 hari unuk merenungkan ajaran-ajaran dimaksud. Setelah
menghabiskan masa perenungan selama 15 hari ia pun keluar rumah pergi
1 Abu Hasan al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah (Damascus-Beirut: Maktabah Dar-Bayan,
1981), hlm. 7.
2 Abu Hasan Ali al-Hasani, Rijal al-Fikr wa al-Da’wah fi al-Islam (Damascus: Maktabah Dar-Bayan,
1968), hlm 148.
3 Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 58.
kemesjid dan naik mimbar seraya menyampaikan pidatonya dihadapan khalayak
sebagai berikut:
Hadirin sekalian, selama ini saya mengasingkan diri untuk
merenungkan keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang
diajukan oleh masing-masing golongan. Dalil-dalil tersebut
dalam pemikiran saya sama kuatnya. Oleh karena itu, saya
meminta petunjuk dari Allah. Atas petunjuknya sekarang saya
meninggalkan paham lama dan menganut paham baru yang saya
tulis dalam buku-buku ini. Paham-paham lama saya tanggalkan
sebagaimana saya menanggalkan baju ini.
Terlepas dari benar tidaknya beberapa teori yang telah dikemukakan, yang
jelas al-asy’ari keluar meninggalkan Mu’tazilah ketika golongan ini tengah berada
dalam fase kemunduran dan kelemahan. Dalam suasana kemunduran inilah al-
Asy’ari membangun sistem kalam baru sesuai dengan paham orang-orang yang
berpegan teguh pada al-Sunnah. Apapun sebab musabab dan motif keluarnya al-
Asy’ari dari Mu’tazilah yang jelas ia sangat berjasa telah memberikan sistem
pemikiran kalam yang dapat diterima oleh mayoritas umat Islam. Lebih dari itu,
al-asy’ari telah berjasa membuat ilmu kalam menjadi halal dan dapat diterima
secara luas di dunia Islam, yang sebelumnya sangat dicurigai bahkan dipandang
bid’ah dan sesat serta diharamkan, yang mana aliran ini kemudia dikenal dengan
aliran Ahl al-Sunnah wa al-jama’ah4
B. Pemikiran
Asy’ary sebagai orang yang pernah bergelut dengan pemikiran Mu’tazilah
tidak dapat terlepas dari penggunaan akal dalam berargumentasi pemikiran.
Karena itu ia menentang keras orang yang keberatan membela agama dengan
argumentasi pikiran sebagaimana dalam bukunya Ihtihsan al-Khawadh fi-Ilm al-
Kalam.5 Dalam banyak hal ia berusaha untuk mencari jalan tengah antara banyak
aliran dalam kalam ketika itu, terutama antara golongan rasionalis dan tekstualis.
Di antara pokok-pokok pemikirannya antara lain:
1. Mengenai zat dan sifat Tuhan
Dalam persoalan ini Asy’ary dihadapkan pada dua pandangan ekstrim,
yaitu kaum Shifatiah mujassimah dan musyabbinah yang menyatakan bahwa
Allah mempunyai sifat dan sifat tersebut harus dipahami secara harfiah,
4 Dr. Suryan A. Jamrah, MA, Studi Ilmu Kalam (Pekanbaru: LSFK2P, 2007), hlm. 131.
5 Ahmad Hanafi, Op. Cit, hlm. 67.
sedangkan di sisi lain golongan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan
tidak mempunyai sifat di luar esensinya. Kalau IA mempunyai sifat maka sifat
itu Kekal sebagaimana Tuhan. Itu berarti yang kekal itu tidak satu (ta’addudul
Qudama). Namun bukan berarti Tuhan tidak mendengar, melihat dan
sebagainya.6 Dalam hal ini Asy’ary berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat sebagaimana dalam al-Qur’an dan Hadist, dan sifatnya tersebut sesuai
dengan zat-Nya sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk.
Tuhan mendengar tetapi tidak sebagaimana makhluk mendengar. Sifat Tuhan
tersebut unik dan tidak dapat disamakan dengan makhluk dengan kata lain
sifat makhluk tidak dapat dianoligakan kepada sifat Tuhan.7
2. Kebebasan Kehendak
Dalam persoalan ini Asy’ary kembali dihadapkan pada dua pandangan
yang ekstrim. Disatu pihak jabbariyah yang fatalistik berpandangan bahwa
manusia tidak bisa menentukan perbuatannya dan terikat secara mutlak pada
kehendak tuhan, jadi manusia berbuat dalam keadaan terpaksa dan Tuhanlah
yang menciptakan perbuatan manusia, Dipihak lain mu’tazilah berpandangan
bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak dan diberi kekuatan untuk
menciptakan perbuatannya sendiri. Oleh karena itu sekiranya ia berbuat dosa
akan disiksa dan kalau berbuat baik akan diberi pahala. Dalam hal ini Asy’ari
memakai paham kasab dalam artian manusia memperbuat perbuatan yang
diciptakan tuhan. Sesuatu itu terjadi dengan perantara daya yang diciptakan
dan dengannya perbuatan itu timbul.8 Dari sini terlihat bahwa Asy’ari pada
hakekatnya menemukan kesulitan ketika dihadapkan pada dua pandangan di
atas, yang pada akhirnya ia terlihat lebih berpihak pada kaum fatlit (jabariyah)
demi membela kebebasan berkehendak di hadapan tuhan sementara juga
memperhatikan kepentingan manusia.
3. Akal dan wahyu
Persoalan akal dan wahyu berkaitan pada empat pokok persoalan, yaitu
tentang mengetahui Tuhan, mengetahui kewajiban kepada tuhan, mengetahui
baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan perbuatan baik dan buruk.
Dalam hal ini ia dihadapkan pada kaum mu’tazilah yang mengatakan bahwa
6 Qadir CA, Filsafat dan ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan obor, 1989), hlm. 68.
7 Abu Hasan al-Asy’ary, al-luma’ (cairo, 1965), hlm. 31.
8 Ibid, hlm. 107.
keempat persoalan tersebut dapat diketahui oleh akal. Dalam hal ini asy’ari
berpandangan bahwa segala kewajiban manusia dapat diketahui melalui
wahyu, namun akal tak dapat menjadikan sesuatu itu wajib dan tak dapat
mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah
wajib bagi manusia. Akal dapat mengetahui bahwa tuhan itu ada namun
wahyulah yang mewajibkan mengetahui dan bersyukur kepadaNya, juga
dengan wahyulah diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan
memperoleh upah dan yang tidak patuh kepadaNya akan mendapat hukuman.9
Menurut al-Baghdadi akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat
mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena segala kewajiban
dapat diketahui hanya melalui wahyu, oleh karena itu sebelum turunya wahyu,
tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada larangan-larangan bagi manusia,
jika seseorang sebelum wahyu turun sekiranya dapat mengetahui Tuhan serta
sifat-sifatnya dan kemudian percaya padanya, maka orang demikian adalah
mukmin tetapi tidak berhak mendapat upah dari Tuhan, jika oarang demikian
dimasukkan ke dalam syurga, maka itu adalah atas kemurahan Tuhan begitu
juga sebaliknya.
9 Harun Nasution, Teologi Islam “Aliran-Aliran sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press,
1983), 82.
pelaku dosa besar tidak mungkin berada dalam posisi tidak mukmin dan tidak
kafir.10
KESIMPULAN
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Aliran Asy’ariah ini muncul
disaat aliran mu’tazilah kehilangan pengaruh dan simpati umat, tokoh al-Asy’ari
tampil dengan sistem ajaran kalamnya sendiri, yang segera diterima oleh mayoritas
Muslimin, Asy’ary sebagai orang yang pernah bergelut dengan pemikiran Mu’tazilah
tidak dapat terlepas dari penggunaan akal dalam berargumentasi pemikiran. Karena
itu ia menentang keras orang yang keberatan membela agama dengan argumentasi
pikiran sebagaimana dalam bukunya Ihtihsan al-Khawadh fi-Ilm al-Kalam.13 Dalam
banyak hal ia berusaha untuk mencari jalan tengah antara banyak aliran dalam kalam
ketika itu, terutama antara golongan rasionalis dan tekstualis. Di antara pokok-pokok
pemikirannya antara lain: Pelaku Dosa Besar, Soal melihat tuhan di Akhirat, Akal dan
wahyu, Kebebasan Kehendak, . Mengenai zat dan sifat Tuhan
DAFTAR PUSTAKA
Dar-Bayan, 1981
Hanafi, Ahmad, Theologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Qadir CA, Filsafat dan ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Yayasan obor, 1989