Anda di halaman 1dari 13

IBNU HAZM: SANG PELOPOR MADZHAB LITERALIS

(Sebuah Pengantar Sosio-Historis)

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester Dalam Mata Kuliah:


Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam

Disusun Oleh:
MOHAMMAD UMAR SAID
NIM. 1420311060/ HK NONREG-A
Dosen Pengampu:
Dr. H. Kamsi, M.A
Dr. H. Agus Nadjib, M.A

Fakultas Pasca-Sarjana, Prodi Hukum Islam


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014

1
IBNU HAZM AL ANDALUSI: SANG PELOPOR MADZHAB LITERALIS
Sebuah Pengantar Sosio-Historis1
Oleh: Mohammad Umar Said2

A. Pendahuluan

Judul di atas memberikan sebuah asumsi bahwa sosok yang akan dibahas
dalam makalah ini merupakan salah satu ulama yang hidup di Andalusia3, sebuah
daratan Eropa yang pernah menjadi wilayah kekuasaan islam selama kurang lebih
7,5 abad lamanya.4

Membahas tentang seorang Ibnu Hazm merupakan sebuah pembahasan


menarik seiring banyaknya kontroversi dalam pola pemikiran literalis yang
diusungnya, dimana dalam mengkaji dan memahami persoalan yang berhubungan
dengan syara’, Ibnu Hazm selalu berpedoman pada nash Al Quran dan atau
Sunnah dengan menggunakan pola pendekatan literal atau dengan kata lain
mengambil hukum berdasarkan Dzahir-nya nash. Namun demikian bukan berarti
Ibnu Hazm mengesampingkan fungsi akal dalam memahami sebuah teks (baca:
nash), karena akal merupakan karunia ilahi yang menjadi asas fundamental dalam
memahami segala bentuk keilmuan, hanya saja dia membatasi peran akal sekedar
untuk memahami pengertian literal yang telah dibuat oleh Allah atau Rasul-Nya.

Semasa hidupnya ibnu Hazm mengabdikan dirinya bagi pemerintah Bani


Umayyah, Namun pergolakan politik Islam Spanyol yang tiada henti dan berujung
pada runtuhnya daulah Bani Umayyyah di sana, membuat Ibnu Hazm memutar
haluan hidupnya. Diplomasi ilmiah akhirnya menjadi solusi yang ditempuh Ibnu
Hazm dalam mengabdikan dirinya demi kejayaan Islam setelah sempat berkutat
dengan dunia politik.

1
Makalah disajikan dalam memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam
2
Penimba wawasan di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Prodi Hukum Keluarga
3
Andalusia berasal dari Vandalusia yaitu daerah di semenanjung Iberia yang didiami oleh bangsa
Vandals sebelum ditaklukkan oleh bangsa Visigoth pada 507 M. kemudian oleh setelah
ditaklukkan bangsa Arab, semenanjung Iberia disebut dengan Andalusia (Lihat Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, hal. 159)
4
Samsul Munir Amin, Sejarah peradaban Islam, Amzah, Jakarta: 2010, cet. 2, hal 171

2
Berangkat dari hal di atas, Makalah sederhana ini mencoba mengulas sosok
Ibnu Hazm dengan menitik beratkan tinjauan terhadap sejarah sosial dan politik di
masanya dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Siapakah sosok Ibnu Hazm itu?


2. Bagaimana kondisi sosio-politik di masanya?
3. Bagaimana pola pendidikan dan keilmuan Ibnu Hazm?
4. Apa saja dasar hukum yang dijadikan pegangan dalam pemikiran hukum
Ibnu Hazm?

B. Biografi Ibnu Hazm

Nama lengkap Ibnu Hazm adalah Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin
Ghalib bin Shalih bin Abu Sufyan bin Yazid. Dalam berbagai karyanya, ia sering
menggunakan nama samaran Abu Muhammad. Namun di kalangan masyarakat
luas ia lebih populer dengan nama Ibnu Hazm.5

Ibnu Hazm dilahirkan di sebelah timur kota Cordoba yang saat itu menjadi
pusat peradaban keilmuan di Eropa. Ia lahir pada hari rabu pagi menjelang terbit
matahari, akhir bulan Ramadhan 384 H. Para ahli sejarah sepakat mengenai tem-
pat dan tanggal lahirnya ini. Hal ini disebabkan adanya sumber data valid yang
berasal dari Ibnu Hazm sendiri sebagai yang ia sebutkan dalam surat yang
dikirimkan kepada temannya, Shaid bin Ahmad6.

Mengenai kelahiran Ibnu Hazm, dapat dilihat bahwa tidak hanya tahun
kelahirannya yang diketahui, tapi sampai pada bulan, hari dan bahkan saat
kelahirannya. Ini menunjukkan bahwa peradaban umat Islam Spanyol saat itu
sudah sedemikian maju sehingga masalah waktu kelahiran yang sekilas tampak
remeh pun tidak luput dari perhatian.7

Ibnu Hazm berasal dari keluarga elit-aristokrat yang pernah menempuh jalur
politik dalam menggapai kejayaan Islam. Bahkan keluarga Ibnu Hazm mempu-
nyai andil dalam pendirian dinasti Umayyah di Spanyol, di mana Khalaf, salah
5
Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al Madzahib al Islamiyah, Dar al Fikr al Arabi, Cairo: 1996,
hal. 538
6
Dia adalah Qadhi Shaid bin Ahmad Al Jiyani Al Andalusi (w. 462)
7
Muhammad Abu Zahroh, Op. cit, hal. 539

3
seorang kakeknya dahulu menyertai keluarga Bani Umayyah waktu pertama kali
datang ke Spanyol. Setelah keluarga Bani Umayyah berhasil mendirikan daulah
Bani Umayyah di Spanyol, keluarga Khalaf akhirnya berdomisili di Manta
Lisyam. Ayah Ibnu Hazm yang bernama Ahmad, pernah menduduki posisi Wazir
pada masa pemerintahan Al-Manshur, sedangkan Ibnu Hazm sendiri pernah
menduduki jabatan yang sama di masa pemerintahan Al-Murtadha Abdurrahman
bin Muhammad (Abdurrahman IV), Al Mustadzhar (Abdurrahman V), dan
Hisyam Al Mu’tadd Billah .8

Menilik pemaparan di atas, jelaslah bahwa Ibnu Hazm berasal dari keluarga elit
yang terhormat sehingga ia merasakan kehidupan yang serba cukup. Dengan latar
belakang historis-politis yang demikian, wajarlah jika Ibnu Hazm memiliki ikatan
batin dan fanatisme yang begitu mendalam kepada keluarga bani Umayyah.

Dalam aspek keilmuan, Ibnu Hazm bukan hanya seorang politikus dan
pemikir hukum, namun juga merupakan seorang sastrawan dan pakar sejarah di
masanya. Karyanya yang berjudul Thouq al Hamamah merupakan bukti nyata
kehebatannya dalam dunia sastra. Ibnu Hazm wafat di Ounabah, desa yang
terletak di sebelah barat Andalusia pada hari ahad tanggal 28 Sya’ban 456 H.
dengan usia 71 tahun 10 bulan 29 hari.9

C. Kondisi Sosial dan Politik Masa Ibnu Hazm

Karakter, kepribadian dan bahkan kualitas seseorang tidak bisa terlepas dari
pengaruh lingkungannya, tanpa terkecuali seorang ulama maupun pemikir hebat,
tentu memiliki korelasi yang sangat erat dengan kondisi sosio-kultural atau sosio-
politik yang mengitarinya. Secara naluri, manusia senantiasa akan menyesuaikan
perilaku dirinya terhadap lingkungan sekitar atau yang disebut dengan teori
fleksibilitas. Dalam pengertiannya yang luas, fleksibilitas itu tentu saja tidak
selamanya berupa mengikuti arus, tapi dapat juga terwujud dalam tindakan yang
bersifat reaktif dan responsif terhadap situasi dan kondisi sosial yang ada. Dan

8
Muhammad Iqbal, 100 Tokoh Islam Terhebat Dalam Sejarah, Intimedia, Jakarta: 2003, cet. 3,
hal. 109
9
Mustafa Ahmad Zarqa, Ensiklopedi Fiqh Ibnu Hazm Al Dzahiri, Maktabah Dar el Fikr,
Damaskus: 1966, Juz 1, hal. 13

4
seorang Ibnu Hazm pun dalam bangunan pemikirannya tidak terlepas dari kondisi
sosial yang ada.

Konteks sosial politik masa Ibnu Hazm dianggap sebagai puncak krisis yang
paling tragis dalam peradaban Islam di Spanyol, dimana pada saat itu peradaban
Islam mengalami masa transisi dengan gejolak politik dan banyaknya
pemberontakan yang terjadi dalam tubuh pemerintah Bani Umayyah, yang
berimbas pada perubahan bentuk pemerintahan dari kekhalifahan Bani Umayyah
menjadi fragmen atau kerajaan-kerajaan kecil di kawasan Andalusia10 yang oleh
Raghib Sirjani dipaparkan bahwa fragmen-fragmen pemerintahan Islam di
Andalusia terbagi menjadi tujuh wilayah kekuasaan, dan salah satu diantaranya
adalah wilayah Cordoba.11

Ibnu Hazm yang mendiami wilayah Cordoba benar-benar dihadapkan pada


suasana penuh fitnah dan musibah di dalamnya. Kekacauan politik yang
berpuncak pada naiknya Hisyam III ke tampuk kekuasaan pada 400 H/1010 M,
berpengaruh besar pada kehidupan Ibnu Hazm dan keluarganya, karena pada saat
itu orang tuanya tidak lagi menjabat sebagai menteri. Apa lagi setelah orang
tuanya meninggal pada bulan Zulhijjah 402 H/ 1012 M, serta tempat tinggal
keluarganya yang megah di Balad al-Muqhits dirusak orang-orang Barbar.
Serentetan musibah mendorong Ibnu Hazm meninggalkan Cordoba pada bulan
Muharram 404 H/ 1014 M. menuju Almeria.12

Pada suatu saat, Ali bin Hamud yang menyatakan dirinya sebagai penguasa
Almeria, menjatuhkan Sulaiman, Amir Bani Umayyah di sana yang merupakan
pelindung Ibnu Hazm. Hal ini terjadi pada tahun 407 H/ 1017 M. Peristiwa itu
dilatar belakangi oleh kecurigaan Ali bahwa Ibnu Hazm bersekongkol dengan
Sulaiman untuk menegakkan dinasti Umayyah. Maka Ibnu Hazm sempat
dipenjara beberapa bulan lamanya. Kemudian Ibnu Hazm melarikan diri ke Hishn
al Qashr.

10
Raghib Sirjani, Qissatu Andalus Min al Futuh Ila al Suqut, Muasasah Iqra, Cairo: 2011, juz 1,
hal. 321
11
Lebih lengkap tentang pembagian wilayah pemerintahan Andalusia Lihat: Raghib Sirjani,
Qissatu Andalus Min al Futuh Ila al Suqut, hal. 323
12
Muhammad Abu Zahroh, Op. cit, hal 540

5
Ketika Ibnu Hazm mendengar informasi bahwa Abdurahman IV Al Murtadha
memproklamirkan diri sebagai khalifah Umawiyah di Valencia, segera ia
meninggalkan Hishn al Qashr menuju kesana. Di Valencia ia bergabung dengan
teman-temannya, dan bahkan menjabat sebagai menteri Al Murtadha dan
bergabung dengan tentaranya untuk menyerang Granada. Pasukan Al Murtadha
mengalami kekalahan dan Ibnu Hazm pun ikut tertawan, namun tidak lama
kemudian dilepaskan kembali.13

Ibnu Hazm kembali ke Cordoba pada bulan Syawal 409 H, ketika Al Qasim
ibn Hamud menjabat sebagai Khalifah, setelah meninggalkan kota itu selama
lebih kurang 6 tahun. Al-Qasim digantikan Abdurrahman V Al-Mustazhhir,
sahabat Ibnu Hazm yang kemudian mengangkatnya sebagai menteri. Setelah lebih
kurang 2 bulan Al Mustazhhir berkuasa, ia digulingkan pada bulan Zulqa’dah 414
H / Januari 1024 M. karena keterlibatannya dalam pemerintahan Al-Mustazhir,
Ibnu Hazm sempat ditahan. Sejak saat itu Ibnu Hazm meninggalkan kegiatan
politik dan lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada ilmu pengetahuan.
Namun rasa fanatiknya terhadap keluarga Umawiyah sempat pula menyeret Ibnu
Hazm kembali ke kancah politik dengan jabatan sebagai menteri lagi pada masa
Hisyam Al-Mu’tadd Billah, Khalifah terakhir daulah Bani Umayyah di Spanyol
sampai dengan munculnya Mulk al-Thawaif pada tahun 422 H. Sejak saat itu
Spanyol terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil yang lemah, bahkan unsur-
unsur dari umat kristen pun mulai menggerogoti kekuatan Islam, sehingga kondisi
kekuatan politik Islam Spanyol diambang titik kehancuran.14

Ibnu Hazm menyaksikan dengan mata kepala sendiri tragedi yang menimpa
umat Islam Spanyol. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap kepribadian Ibnu
Hazm. Ia melihat dan menyaksikan kehebatan umat kristen di saat umat Islam
mulai lemah dan terpecah belah. Diduga inilah yang mendorong Ibnu Hazm untuk
mendalami ajaran Kristen dan agama lain yang beredar di kalangan rakyat
Spanyol, yang kemudian memmunculkan karyanya berjudul Al Fishal Fi al Milal
wa al Ahwa’ wa al Nihal.

13
Raghib Sirjani, Op. cit, hal. 340
14
Ibid, hal. 342

6
Sebagai orang yang berasal dari keluarga pejabat, maka logis jika dia merasa
sedih dan sakit hati menyaksikan Spanyol Islam yang semula damai, makmur dan
sejahtera, kemudian terpecah belah. Tidak mengherankan apabila ia merasa
bekewajiban dan berusaha mengembalikan suasana sebagaimana semula. Untuk
itu ia membantu Al Murtadha baik sewaktu di Valencia maupun di Cordoba, dan
menjadi menteri pada masa Al Mustazhhir dan Al Mu’tadd Billah berkuasa,
meskipun usaha itu boleh dikatakan gagal. Akhirnya diplomasi ilmiah dianggap
satu-satunya cara terbaik dalam mengabdikan dirinya bagi kebesaran Islam.

Jika dibandingkan dengan kondisi sosial politik pada masa imam madzhab
yang lain sebelum masanya, jelas terjadi perbedaan mendasar yang melatar
belakangi pemikiran mereka karena keempat imam madzhab – dalam periodisasi
fiqh – hidup di masa para mujtahid (awal abad 2 H. – pertengahan abad 4 H.)15
dimana fiqh pada masa ini berkembang dengan pesat seiring banyaknya
problematika baru di masa itu, serta adanya perhatian dari para penguasa (dinasti
Abbasiyah) terhadap perkembangan fiqh dan keilmuan yang lain.16

Sedangkan Ibnu Hazm berada di periode taqlid (pertengahan abad 4 H. –


runtuhnya Baghdad) dimana fiqh pada masa ini mengalami stagnansi dikarenakan
melemahnya minat para fuqaha’ dalam berijtihad, serta anggapan bahwa ijtihad
diterima apabila didasarkan pada nash (Al Quran-Sunnah)17, selain itu Ibnu Hazm
dihadapkan pada nuansa bencana dan tragedi akan hancurnya Islam di suatu
negara yang ketika masa kecilnya mencapai puncak kejayaan dengan berbagai
keberhasilan dalam peradaban dan ilmu pengetahuan.

Berangkat dari sini, maka bangunan pemikiran yang dicetuskan oleh keempat
madzhab adalah bagaimana mendinamisasikan nash dengan berbagai metode
Istinbath dalam kehidupan yang dipenuhi problematika umat pada saat itu,
sedangkan bangunan pemikiran Ibnu Hazm adalah bagaimana agar nash tidak

15
Ali Gomaah membagi periodisasi fiqh menjadi 4 periode yakni: masa sahabat dan tabi’in (10 H.
– awal abad 2 H.), masa mujtahid (awal abad 2 H. – pertengahan abad 4 H.), masa taqlid
(pertengahan abad 4 H. – runtuhnya Baghdad), dan masa modern (abad 7 H. – sekarang). Lihat:
Ali Gomaah, al Madkhal ila Dirasah al Madzahib al Fiqhiyah, hal. 350-357)
16
Ali Gomaah, al Madkhal ila Dirasah al Madzahib al Fiqhiyah, Dar al Salam, Cairo: 2007, cet 2,
hal. 354
17
Ibid, hal 355

7
ditinggalkan oleh umat Islam Spanyol yang mulai digerogoti oleh politik dan
pemahaman Kristen.

D. Pendidikan dan Keilmuan Ibnu Hazm

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa Ibnu Hazm selain sebagai seorang


politikus, ia juga seorang sastrawan, ahli fiqih sekaligus sejarawan. Dalam
pembahasan kali ini lebih ditekankan pada sosok Ibnu Hazm sebagai seorang
faqih.

Ibnu Hazm yang lahir, tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga elit
aristokrat tentu tidak disibukkan oleh berbagai pekerjaan dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dilihat dari segi materi, tampak ada kemiripan dengan Abu
Hanifah yang kaya raya sebagai seorang saudagar yang sukses.

Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya dibawah asuhan para dayang. Atas


jasa mereka ia pandai menulis, menghafal Al Quran dan syair-syair yang berisi
pesan-pesan moral sehingga memiliki perangai dan budi bahasa yang halus. Meski
demikian, ia tetap pandai menjaga diri walaupun di sekelilingnya terdapat para
dayang yang notabene adalah perempuan.
Dalam perjalanan keilmuannya, Ibnu Hazm awalnya menganut madzhab
Maliki yang waktu itu memang menjadi madzhab mayoritas penduduk Andalusia
dan Afrika utara. Demi memperdalam madzhab tersebut ia pun belajar kitab
Muwattha’ karya imam Malik. Namun dalam pandangannya, setiap orang
memiliki kebebasan dalam bermadzhab. Ibnu Hazm pernah berkata: Saya akan
mengikuti kebenaran serta berijtihad, dan tidak akan terpaku dengan satu
madzhab.18
Dari ucapan tersebut tampak bahwa Ibnu Hazm memiliki pemikiran netral,
liberal dan kritis, serta tidak mau terikat dengan mazhab tertentu. sehingga dia
merasa bahwa selain mempelajari madzhab Maliki ia juga perlu mempelajari
madzhab lain diantaranya adalah madzhab Syafi’i.

18
Muhammad Abu Zahroh, Op. cit, hal 541

8
Tak lama kemudian ia beralih ke madzhab Syafi’i, meskipun tidak seorang
pun diantara gurunya yang bermadzhab Syafi’iyah. Hal demikian karena
ketakjuban Ibnu Hazm pada pemikiran yang diusung Imam Syafi’i ketika
menelaah literatur-literatur Madzhab Syafi’i.19
Terakhir Ibnu Hazm tercatat sebagai penganut madzhab Dzahiri yang dia
pelajari dari gurunya, Abu al-Khiyar20. Melalui madzhab ini Ibnu Hazm memiliki
bangunan pemikiran bahwa hukum islam harus didasarkan pada nushus (Al
Quran-Sunnah) dan bahwa ijtihad dengan Ra’yu (nalar) beserta cabang-cabangnya
tidak bisa dijadikan hujjah. Dia mendasarkan pendapatnya ini pada firman Allah
Surat An-Nisa ayat 59:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesua-
tu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Madzhab Dzahiri-lah yang dipilih oleh Ibnu Hazm hingga akhir hayatnya,
bahkan dia dianggap sebagai peletak dasar metode istinbath hukum ala madzhab
Dzahiri yang konon pemikiran literalisnya melebihi Dawud Al Ashbihani21. me-
lalui karyanya Al Muhalla dan Al Nubadz fi Ushul Al Fiqh, Ibnu Hazm merekam
metode dan pemikiran yang diusung madzhab Dzahiri dan kemudian menjadi
pedoman dalam penyebaran madzhab Dzahiri di masa berikutnya.

E. Dasar Hukum Ibnu Hazm

Sebelumnya telah dipaparkan bahwa Ibnu Hazm dalam menentukan hukum


mendasarkan pada dzahir-nya nushus yakni Al Quran dan As Sunnah, sehingga
dapat disimpulkan bahwa dasar hukum dalam Madzhab Dzahiri yang diusung
oleh Ibnu Hazm adalah sebagai berikut:

19
Ibid, hal. 542
20
Dia Adalah Abu Al Khiyar Mas’ud bin Sulaiman bin Muflit Al Andalusi (w. 426 H.), guru Ibnu
Hazm yang mengusung kebebasan berfikir dan tidak terpaku pada satu madzhab tertentu, akan
tetapi dia menganut metode Dawud al Ashbihani dalam menentukan sebuah hukum.
21
Dia adalah Dawud bin Ali al Ashbihani (202 – 270 H.) pendiri madzhab Dzahiri di Iraq.
Sebelum mendirikan madzhab tersebut, dia sempat menjadi pengikut madzhab Syafi’i, namun dia
menyatakan keluar dari syafi’iyah ketika mengetahui bahwa Syafi’i menolak penggunaan Istihsan
yang merupakan slaah satu cabang Qiyas, padahal Qiyas menjadi salah satu sumber hukum
Syafi’i, sehingga dia menyatakan menolak adanya ra’yu (nalar) dalam proses penentuan hukum.
(Lihat: Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al Madzahib al Islamiyah, hal. 531)

9
1. Al Quran

Al Quran merupakan dasar yang pertama bagi syariat Islam secara


keseluruhan. Terkait universalitas makna yang terkandung dalam Al Quran, Ibnu
Hazm berpendapat bahwa penjelasan akan ayat Al Quran terkadang dihasilkan
dari ayat yang lain, dalam hal ini penjelasan yang dihasilkan ada yang jelas dan
ada pula yang samar yang hanya bisa diketahui oleh pakar tertentu. Selain itu
penjelasan akan universalitas Al Quran ada yang membutuhkan penjelasan dari
Sunnah.22

Dalam pandangan Ibnu Hazm setiap ayat yang mengandung perintah maka
hukumnya wajib sedangkan ayat larangan maka berarti mengandung unsur hukum
haram, dan tidak diperbolehkan mengatakan hukum sunnah atau makruh kecuali
dibuktikan dengan nash sahih yang menjelaskan akan hal itu. Hal yang sama juga
berlaku dalam nash-nash sunnah.23

2. Sunnah

Sebagaimana dasar yang ditetapkan oleh imam madzhab yang lain, sunnah
merupakan sumber kedua dalam syariat Islam setelah Al Quran. Ibnu Hazm
dengan kecerdasan intelektualnya menyatakan bahwa Sunnah itu seperti Al Quran
karena sama-sama wahyu meski tidak menyerupai dalam hal susunan maupun
kemukjizatan. Selain itu ia menempatkan keduanya dalam satu tingkat dalam arti
kewajiban untuk mentaati keduanya.

Dalam menetapkan hukum bersumber pada Sunnah, Ibnu Hazm hanya


membatasi bahwa ke-hujjah-an Sunnah hanya berlaku pada Sunnah Qouliyah dan
Taqririyah saja, sedangkan Sunnah Af’aliyah tidak dianggap sebagai hujjah
kecuali jika disertai sabda Rasul atau firman Allah yang menunjukkan bahwa
perbuatan itu merupakan aplikasi dari keduanya.24

3. Ijma’

22
Muhammad Abu Zahroh, Op. cit, hal. 570
23
Ibnu Hazm Al Andalusi, Al Nubadz fi Ushul al Fiqh al Dzahiri, Dar Ibnu Hazm, Cairo, 1999,
cet. 2, hal. 69
24
Muhammad Abu Zahroh, Op. cit, hal. 572

10
Sumber ini juga menjadi acuan Ibnu Hazm dalam menetapkan hukum, hanya
saja dia memberi batasan bahwa Ijma’ yang dijadikan Hujjah hanya Ijma’ para
sahabat. Sedangkan Ijma’ yang dilakukan setelah masa sahabat tidak dianggap
karena 2 alasan: pertama, hal tersebut adalah sebuah bentuk kesepakatan dalam
hal kebatilan karena belum pernah terucap dari seorang sahabatpun sebelumnya,
kedua, hal tersebut merupakan klaim tanpa dasar, sehingga hukum yang
dihasilkan rusak.25

Apa yang diterapkan oleh Ibnu Hazm terkait Ijma’ pada masanya cukup
beralasan, mengingat memang tidak memungkinkan bagi para ulama dunia Islam
untuk berkumpul dalam satu dimensi ruang dan waktu karena kondisi dan jarak
geografis yang jauh antara Andalusia (Barat) dan Jazirah Arab (Timur), sehingga
konsep Ijma’ seperti yang terjadi di masa sahabat tidak mungkin terjadi.

Pada dasarnya, perbedaan mendasar antara madzhab Dzahiri dan Madzhab


yang lain terletak pada konsep yang diusung ketika meneliti sebuah nash. Jumhur
fuqaha’ memandang pada nash bahwa dalam nash tersebut tersimpan kandungan
makna yang logis dimana melalui nash tersebut tujuan dari hukum-hukum agama
telah tersusun sehingga mengantar umat untuk menuju jalan yang benar.
Sedangkan madzhab Dzahiri memiliki pandangan bahwa nash itu diturunkan demi
kebaikan manusia, tetapi setiap nash terbatas pada obyek tertentu, dan Mereka
tidak berfikir akan alasan mendasar diturukannya nash. Meski meyakini bahwa
nash diturunkan demi kebaikan manusia, namun mereka tidak memberi hukum
haram atau halal kecuali dengan nash yang jelas.26

Setelah memaparkan sumber hukum yang dipegang oleh Ibnu Hazm melalui
madzhab Dzahiri yang dianutnya, lalu bagaimana menyikapi problematika yang
belum disinggung dalam nash? Maka jawabannya adalah dengan menggunakan
metode Istishab.

Istishab adalah sebuah metode yang didasarkan bahwa hukum asal segala
sesuatu itu boleh selama nash tidak pernah menyinggung akan haramnya sesuatu
tersebut, dengan kata lain Istishab menurut Ibnu Hazm adalah tetapnya hukum

25
Ibnu Hazm al Andalusi, Op. cit, hal. 25
26
Muhammad Abu Zahroh, Op. cit, hal. 575

11
yang didasarkan pada nash sampai terdapat dalil dari nash yang menunjukkan
pada perubahan hukum baik dari halal menjadi haram maupun sebaliknya. Dia
pun menetapkan bahwa segala sesuatu di dunia itu diperbolehkan kecuali jika
terdapat penjelasan dari nash akan haramnya sesuatu, berpegang pada firman
Allah:

....dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sam-
pai waktu yang ditentukan.(QS. Al Baqarah: 36)27
Contoh populer tentang teori istishab Ibnu Hazm adalah bagaimana dia
memberikan hukum boleh memainkan musik secara mutlak tanpa ada kriteria
tertentu karena memang belum pernah disinggung dalam nash tentang dilarangnya
memainkan alat musik.

F. Kesimpulan

Dari pemaparan pada makalah sederhana ini, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:

- Ibnu Hazm merupakan salah satu pemikir hukum (Faqih) yang lahir dan
hidup di wilayah Andalusia, dia tumbuh dan dewasa di lingkungan keluarga
elit aristokrat yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah Bani
Umayyah. Secara materi, Ibnu Hazm tergolong kaya meski pada beberapa
saat sempat mengalami krisis, namun tidak sampai membuatnya jatuh miskin.
Selain sebagai seorang pemikir hukum, Ibnu Hazm juga seorang sastrawan,
filosuf, sejarawan, sekaligus politikus.
- Meski Ibnu Hazm berkecimpung di dunia politik dan sempat memegang
jabatan Wazir di masa kekhalifahan Bani Umayyah, tak bisa dielakkan bahwa
dia hidup di masa krisis yang paling tragis dalam peradaban Islam di Spanyol,
dimana pada saat itu peradaban Islam mengalami masa transisi dengan
gejolak politik dan banyaknya pemberontakan yang terjadi dalam tubuh
pemerintah Bani Umayyah sebelum Islam terpecah menjadi fragmen
kerajaan-kerajaan kecil di Spanyol. Selain itu, umat Islam dihadapkan pada

27
Ibid, hal. 577

12
kekuatan politis kaum kristen yang semakin menguat seiring kelemahan yang
menimpa umat Islam saat itu.
- Pemikiran Ibnu Hazm didasari oleh pendidikan yang diterimanya sejak kecil,
dimana dia dididik secara halus oleh para dayang. Dalam proses belajarnya,
Ibnu Hazm sangat haus akan kebenaran, sehingga dia tidak segan untuk
berpindah madzhab dari Maliki, Syafi’i hingga Dzahiri.
- Sebagaimana metode istinbath hukum yang dimunculkan oleh Dawud Al
Ashbihani (pendiri madzhab Dzahiri) bahwa Ijtihad dengan Ra’yu tidak
dilegalkan, maka Ibnu Hazm pun berpendapat bahwa dasar hukum yang bisa
dijadikan hujjah adalah Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’ sahabat. Sedangkan
jika dia tidak menemukan hukum akan sebuah problematika baru dari ketiga
dasar hukum tersebut, maka metode Istishab menjadi alternatif yang dia
gunakan dalam menentukan hukum.

G. Daftar Pustaka
- Amin, Samsul Munir, 2010, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah
- Iqbal, Muhammad, 2003, 100 Tokoh Islam Terhebat Dalam Sejarah, Ja-
karta: Intimedia.
- Kamaluddin, Laode, 2012, Andalusia: Mutiara Peradaban Islam di
Kerajaan Spanyol, Semarang: Gigih Pustaka Mandiri.

- Abu Zahroh, Muhammad, 1996, Tarikh al Madzahib al Islamiyah, Cairo:


Dar al Fikr al Arabi.
- Ahmad Zarqa, Mustafa, 1966, Ensiklopedi Fiqh Ibnu Hazm Al Dzahiri,
Damaskus: Maktabah Dar el Fikr.
- Sirjani, Raghib, 2011, Qissatu Andalus Min al Futuh Ila al Suqut, Cairo:
Muassasah Iqra.
- Gomaah, Ali, 2007, al Madkhal ila Dirasah al Madzahib al Fiqhiyah,
Cairo: Dar al Salam.
- Al Andalusi , Ibnu Hazm, 1999, Al Nubadz fi Ushul al Fiqh al Dzahiri,
Cairo: Dar Ibnu Hazm.

13

Anda mungkin juga menyukai