Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

MENINGOENSEFALITIS

Oleh :
Adolf Finensius Sarumaha (123307001)

Pembimbing

dr. Irna Sp.A

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
RS BHAYANGKARA
MEDAN
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Pembimbing

dr. Irna, Sp.A


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Meningoensefalitis”
dalam rangka melengkapi persyaratan Kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di RS
Bhayangkara Medan.
Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada pembimbing dr. Irna Sp.A atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti Kepanitraan
Klinik Ilmu Kesehatan Anak RS Bhayangkara Medan, serta dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa jurnal ini masih banyak kekurangan, kritik dan saran yang
sifatnya membangun sangat penulis harapkan, guna perbaikan laporan kasus ini di kemudian
hari.
Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan
serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan Ilmu Kesehatan Anak di klinik dan
masyarakat.

Medan, 11 Juli 2017

Adolf Finensius Sarumaha


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Berbagai macam penyakit yang menyerang otak merupakan masalah yang serius dalam
bidang kesehatan terutama di Indonesia. Penyakit meningoenchepalitis mulai banyak ditemukan
di masyarakat kita. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan mikroorganisme
patogen lainnya. Penyakit ini merupakan penyakit yang serius yang menyerang selaput otak dan
jaringan otak, penyakit ini juga bisa menyebabkan penurunan kesadaran dari penderita hingga
kematian.
Insidens Meningitis sebenarnya masih belum diketahui pasti. Meningitis bakterial terjadi
pada kira-kira 3 per 100.000 orang setiap tahunnya di negara-negara Barat. Studi populasi secara
luas memperlihatkan bahwa meningitis virus lebih sering terjadi, sekitar 10,9 per 100.000 orang,
dan lebih sering terjadi pada musim panas. Di Brasil, angka meningitis bakterial lebih tinggi,
yaitu 45,8 per 100,000 orang setiap tahun. Afrika Sub-Sahara sudah mengalami epidemik
meningitis meningokokus yang luas selama lebih dari satu abad, sehingga disebut “sabuk
meningitis”.
Encephalitis sendiri merupakan penyakit langka yang terjadi pada sekitar 0,5 per
100.000 orang, dan paling sering terjadi pada anak-anak, orang tua, dan orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang lemah (misalnya, orang dengan HIV / AIDS atau kanker).1
Prognosis penyakit ini juga didukung oleh ketepatan dan kecepatan dokter dalam
memberikan terapi yang sesuai. Pada banyak kasus, penderita meningitis yang ringan dapat
sembuh sempurna walaupun proses penyembuhan memerlukan waktu yang lama. Sedangkan
pada kasus yang berat, dapat terjadi kerusakan otak dan saraf secara permanen, dan biasanya
memerlukan terapi jangka panjang.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Meningens merupakan selaput atau membran yang terdiri atas jaringan ikat yang melapisi
dan melindungi otak. Selaput otak atau meningens terdiri dari tiga bagian yaitu:
2.1.1. Durameter
Durameter merupakan selaput otak yang terbentuk dari jaringan ikat fibrous.
Durameter ini terdiri atas dua lapis, yaitu endosteal dan lapisan meningeal. Kedua lapisan
ini melekat dengan rapat, kecuali sepanjang tempat-tempat tertentu, terpisah dan
membentuk sinus-sinus venosus. Lapisan endosteal sebenarnya merupakan lapisan
periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang cranium. Lapisan meningeal
merupakan lapisan durameter yang sebenarnya, sering disebut dengan cranial durameter.
Lapisan meningeal ini terdiri atas jaringan fibrous padat dan kuat yang membungkus otak
dan melanjutkan menjadi durameter spinalis setelah melewati foramen magnum yang
berakhit sampai segmen kedua dari os sacrum.15,16
Lapisan meningeal membentuk septum ke dalam, membagi rongga cranium menjadi
ruang-ruang yang saling berhubungan dengan bebas dan menampung bagian-bagian otak.
Fungsi septum ini adalah untuk menahan pergeseran otak. Adapun empat septum itu
antara lain:
a. Falx cerebri adalah lipatan durameter berbentuk bulan sabit yang terletak pada garis
tengah diantara kedua hemisfer cerebri. Ujung bagian anterior melekat pada crista
galli. Bagian posterior melebar, menyatu dengan permukaan atas tentorium cerebelli.
b. Tentorium cerebelli adalah lipatan durameter berbentuk bulan sabit yang menutupi
fossa crania posterior. Septum ini menutupi permukaan atas cerebellum dan
menopang lobus occipitalis cerebri.
c. Falx cerebelli adalah lipatan durameter yang melekat pada protuberantia occipitalis
interna.
d. Diapharma sellae adalah lipatan sirkuler kecil dari durameter, yang mmenutupi sella
turcica dan fossa pituitary pada os sphenoidalis. Diafragma ini memisahkan pituitary
gland dari hypothalamus dan chiasma opticum. Pada bagian tengah terdapat lubang
yang dilalui oleh tangkai hypophyse.

Pada pemisahan dua lapisan durameter ini, terdapat sinus duramatris yang berisi
darah vena. Sinus venosus/duramatris ini menerima darah dari drainase vena pada otak
dan mengalir menuju vena jugularis interna. Dinding dari sinus-sinus ini dibatasi oleh
endothelium. Sinus pada calvaria yaitu sinus sagitalis superior. Sinus sagitalis inferior,
sinus transverses dan sinus sigmoidea. Sinus pada basis crania antara lain: sinus
occipitalis, sinus sphenoidalis, sinus cavernosus, dan sinus petrosus.
Pada lapisan durameter ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh darah yang
berasal dari arteri carotis interna, a. maxilaris, a.pharyngeus ascendens,a.occipitalis dan
a.vertebralis. 15,16

2.1.2. Arachnoid
Lapisan ini terletak diantara piameter dan durameter. Membran ini dipisahkan dari
durameter oleh ruang potensial yaitu spatium subdurale dan dari piameter oleh cavum
subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid. Cavum subarachnoid (subarachnoid space)
merupakan suatu rongga/ruangan yang dibatasi oleh arachnoid dibagian luar dan piameter
pada bagian dalam. Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh mesothelial cell yang
pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol ke dalam sinus venosus membentuk villi
arachnoidales. Agregasi ini berfungsi sebagai tempat perembesan cerebrospinal fluid ke
dalam aliran darah.
Arachnodi berhubungan dengan piameter melalui untaian jaringan fibrosa halus yang
melintasi cairan dalam cavum subarachnoid. Struktur yang berjalan dari dan ke otak
menuju cranium atau foraminanya harus melalui cavum subarachnoid. 15,16

2.1.3. Piameter
Lapisan piameter berhubungan erat dengan otak dan sum-sum tulang belakang,
mengikuti tiap sulcus dan gyrus. Piameter ini merupakan lapisan dengan banyak
pembuluh darah dan terdiri atas jaringan penyambung yang halus serta dilalui pembuluh
darah yang memberi nutrisi pada jaringan saraf.
Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang berakhir sebagai end feet
dalam piameter untuk membentuk selaput pia-glia Selaput ini berfungsi untuk mencegah
masuknya bahan-bahan yang merugikan ke dalam susunan saraf pusat.
Piameter membentuk tela choroidea, atap ventriculus tertius dan quartus dan menyatu
dengan ependyma membentuk plexus choroideus dalam ventriculus lateralis, tertius dan
quartus. 15,16

Gambar 1. Penampang melintang lapisan pembungkus jaringan otak

Sedangkan encephalon adalah bagian sistem saraf pusat yang terdapat di dalam cranium;
terdiri atas proencephalon (disebut juga forebrain yaitu bagian dari otak yang berkembang
dari anterior tiga vesikel primer terdiri atas diensefalon dan telensefalon); mesencephalon
(disebut juga brainstem yaitu bagian dari otak yang berkembang dari bagian tengah tiga
vesikel primer, terdiri atas tektum dan pedunculus); dan rhombencephalon (disebut juga
hindbrain,terdiri atas mesensefalon (serebelum dan pons) dan mielensefalon (medulla
oblongata). 15,16
Gambar 3. jaringan otak (encephalon)

2.2. Definisi Meningoencephalitis


Meningoencephalitis adalah proses peradangan akut yang melibatkan meningen dan
sampai ke tingkat yang bervariasi, jaringan otak. Nama lain dari meningoencephalitis adalah
cerebromeningitis, encephalomeningitis, dan meningocerebritis.3

2.3. Etiologi Meningoencephalitis


Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus yang jarang
disebabkan oleh jamur. Istilah meningitis aseptic merujuk pada meningitis yang disebabkan
oleh virus tetapi terdapat kasus yang menunjukan gambaran yang sama yaitu pada meningitis
yang disebabkan organisme lain (lyme disease, sifilis dan tuberculosis); infeksi
parameningeal (abses otak, abses epidural, dan venous sinus empyema); pajanan zat kimia
(obat NSAID, immunoglobulin intravena); kelainan autoimn dan penyakit lainnya.
Bakteri yang sering menyebabkan meningitis bacterial sebelum ditemukannya vaksin
Hib, S.pneumoniae, dan N. meningitidis. Bakteri yang menyebabkan meningitis neonatus
adalah bakteri yang sama yang menyebabkan sepsis neonatus.4

Tabel 1. Bakteri penyebab meningitis 4


Golongan Bakteri yang paling sering Bakteri yang jarang menyebabkan
usia menyebabkan meningitis meningitis
Neonatus Group B streptococcus Staphylococcus aureus
Escherichia coli Coagulase-negative staphylococci
Klebsiella Enterococcus faecalis
Enterobacter Citrobacter diversus
Salmonella
Listeria monocytogenes
Pseudomonas aeruginosa
Haemophilus influenzae types a, b, c, d, e,
f, dan nontypable
>1 bulan Streptococcus pneumonia H. influenzae type b
Neisseria meningitides Group A streptococci
Gram-negatif bacilli
L. monocytogenes

Virus yang menyebabkan meningitis pada prinsipnya adalah virus golongan enterovirus
dimana termasuk didalamnya adalah coxsackieviruses, echovirus dan pada pasien yang tidak
vaksinasi (poliovirus). Virus golongan enterovirus dan arbovirus adalah golongan virus yang
paling sering menyebabkan meningoencephalitis. Selain itu virus yang dapat menyebabkan
meningitis yaitu HSV, EBV, CMV lymphocytic choriomeningitis virus, dan HIV. Virus
mumps adalah virus yang paling sering menjadi penyebab pada pasien yang tidak
tervaksinasi sebelumnya. Sedangkan virus yang jarang menyebabkan meningitis yaitu
Borrelia burgdorferi (lyme disease), B. hensalae (cat-scratch virus), M. tuberculosis,
Toxoplasma, Jamus (cryptococcus, histoplasma, dan coccidioides), dan parasit
(Angiostrongylus cantonensis, Naegleria fowleri, Acanthamoeba).
Encephalitis adalah suatu proses inflamasi pada parenkim otak yang biasanya
merupakan suatu proses akut, namun dapat juga terjadi postinfeksi encephalomyelitis,
penyakit degeneratif kronik, atau slow viral infection. Encephalitis merupakan hasil dari
inflamasi parenkim otak yang dapat menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis sendiri
dapat bersifat difus atau terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan encephalitis
dengan satu dari dua mekanisme yaitu (1). Infeksi secara langsung pada parenkim otak atau
(2) sebuah respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent immune-mediated
response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula pada beberapa hari setelah
munculnya manifestasi ekstraneural.

Tabel 2. Virus penyebab meningitis 4


1. Virus
Togaviridae
Alfavirus
Virus Ensefalitis Equine Eastern
Virus Ensefalitis Equine Western
Virus Ensefalitis Equine Venezuela
Flaviviridae
Virus Ensefalitis St. Louis
Virus Powassan
Bunyaviridae
Virus Ensefalitis California
Virus LaCrosse
Virus Jamestown Canyon
Paramyxoviridae
Paramiksovirus
Virus Parotitis
Virus Parainfluenza
Morbilivirus
Virus Campak
Orthomyxoviridae
Influenza A
Influenza B
Arenaviridae
Virus khoriomeningitis limfostik
Picornaviridae
Enterovirus
Poliovirus
Koksakivirus A
Koksakivirus B
Ekhovirus
Reoviridae
Orbivirus
Virus demam tengu Colorado
Rhabdoviridae
Virus Rabies
Retroviridae
Lentivirus
Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe 2
Onkornavirus
Virus limfotropik T manusia tipe 1
Virus limfotropik T manusia tipe 2
Herpesviridae
Herpes virus
Virus Herpes simpleks tipe 1
Virus Herpes simpleks tipe 2
Virus Varisela zoster
Virus Epstein Barr
Sitomegalovirus
Sitomegalovirus manusia
Adenoviridae
Adenovirus
2.4. Patofisiologi Meningoencephalitis
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran darah,
penyebaran langsung, komplikasi luka tembus. Penyebaran melalui peredaran darah dalam
bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung
dapat melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus paranasales.
Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses peradangan ini
membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah, dan agregasi leukosit
yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti
jaringan otak disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk
dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi
leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini memakan waktu
kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus
atau ruang subaraknoid yang dapat mengakibatkan meningitis.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus yang melalui
parotitis, morbili, varisela, dll. masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan.
Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus herpes simpleks melalui mulut atau mukosa
kelamin. Virus-virus yang lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies)
atau nyamuk. Bayi dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau
cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian
terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara
lain ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde axoplasmic spread misalnya oleh virus-
virus herpes simpleks, rabies dan herpes zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar
secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan
meningitis aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan
glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak, peradangan pada pembuluh darah kecil,
trombosis, dan mikroglia. 1
Amuba meningoensefalitis diduga melalui berbagai jalan masuk, oleh karena parasit
penyebabnya adalah parasit yang dapat hidup bebas di alam. Kemungkinan besar infeksi terjadi
melalui saluran pernapasan pada waktu penderita berenang di air yang bertemperatur hangat.
Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma dapat timbul dari penularan ibu-fetus.
Mungkin juga manusia mendapat toksoplasma karena makan daging yang tidak matang. Dalam
tubuh manusia, parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista, terutama otot dan jaringan susunan
saraf pusat. Pada fetus yang mendapat toksoplasma melalui penularan ibu-fetus dapat timbul
berbagai manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan bagian tubuh
lainnya. Maka manifestasi dari toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus meninggal dalam
kandungan, neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang nyata misalnya mikrosefalus, dll. 2

2.5. Gejala Klinis 5


Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala meningitis dan
ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting) diikuti oleh perubahan kesadaran,
dan konvulsi. Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis ensefalitis secara umum sama
berupa Trias ensefalitis yang terdiri dari:
a. Demam,
b. Kejang
c. Penurunan kesadaran.
Masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai:
a. Demam,
b. Sakit kepala,
c. Pusing,
d. Muntah,
e. Nyeri tenggorokan,
f. Malaise,
g. Nyeri pada ekstremitas dan pucat,
Kejang terjadi pada lebih kurang 44% anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh
Streptococcus pneumonia, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Manifestasi
gangguan kesadaran berupa:
a. Apatis,
b. Letargi,
c. Renjatan,
d. Koma.

Pada bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun) gejala yang muncul, yaitu:
a. Demam,
b. Malas makan,
c. Muntah,
d. Kejang,
e. Menangis dengan merintih,
f. Ubun-ubun menonjol,
g. Kaku kuduk dan tanda Kernig dan Brudzinski positif.
Pada anak-anak dan remaja gejala yang terjadi:
a. Demam tinggi,
b. Sakit kepala,
c. Muntah yang diikuti oleh perubahan sensori,
d. Fotofobia,
e. Halusinasi,
f. Perilaku agresif,
g. Stupor,
h. Koma,
i. Kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski positif.
Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa permulaan penyakit juga terjadi akut diantaranya:
a. Panas,
b. Nyeri kepala yang bisa hebat sekali,
c. Malaise umum,
d. Nyeri otot dan nyeri punggung.
Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas. Selanjutnya terjadi
kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan takikardi karena septikimia
Gejala klinis meningitis dan ensefalitis pada anak umur lebih 2 tahun lebih khas dibandingkan
anak yang lebih muda. Gejala tersebut antara lain terdapatnya panas, menggigil, muntah, nyeri
kepala, kejang, gangguan kesadaran, dan yang paling utama terdapatnya tanda-tanda rangsangan
meningeal seperti kaku kuduk, tanda Brudzinski, Kernig, dan Laseque. Yang membedakan
meningitis dan ensefalitis dari segi pemeriksaan fisik ialah pada meningitis didapatkan tanda-
tanda perangsangan meningeal seperti kaku kuduk, tanda Brudzinski, Kernig, dan Laseque,
sedangkan pada ensefalitis tidak terdapat tanda-tanda tersebut melainkan adanya gejala-gejala
fokal kerusakan jaringan otak tergantung dari lokasi infeksi.6

2.6. Diagnosis Meningoencephalitis


2.6.1. Anamnesis
- Riwayat pada anak yang merupakan faktor resiko seperti: semakin muda anak semakin
kecil kemungkinan ia untuk menunjukan gejala klasik yaitu demam, sakit kepala, dan
rangsang meningeal; trauma kepala; splenektomi; penyakit kronis; dan anak dengan
selulitis wajah, selulitis periorbital, sinusitis, dan arthritis septic memiliki peningkatan
risiko meningitis.
- Riwayat infeksi ibu atau pireksia saat proses persalinan.
- Riwayat tidak mendapatkan imunisasi untuk campak, gondok dan rubella beresiko
mengalami meningoencephalitis viral
- Pasien immunocompromised beresiko mengalami meningoencephalitis akibat infeksi
jamur 7
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
a. Kesadaran menurun
b. Demam
c. Munculnya tanda rangsangan meningeal 6
Tanda rangsang meningeal sebagai berikut: 6
a. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan rotasi
kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada
pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri sehingga dagu tidak dapat disentuhkan ke
dada. Kaku kuduk yang disebabkan oleh iritasi selaput otak tahanan didapatkan ketika
menekukan kepala, sedangkan bila kepala hiperekstensi dan rotaasi kepala dapat
dilakukan dengan mudah. Sedangkan pada kelainan lain (myositis otot kuduk, artritis
servikalis, tetanus) biasanya rotasi dan hiperekstensi kepala terganggu.
b. Pemeriksaan tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, lalu difleksikan paha pada persendian panggul sampai
membuat sudut 90°. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.
Biasanya dapat dilakukan ekstensi hingga sudut tangan 135° antara tungkai bawah dan
tungkai atas. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut
135° yang disertai nyeri dan adanya tahanan. Seperti pada tanda Lasegue, tanda Kernig
positif terjadi pada keadaan iritasi meningeal dan iritasi akar lumbosacral atau
pleksusnya ( misalnya pada HNP Lumbal). Pada meningitis tanda Kernig positif
bilateral sedangkan HNP Lumbal Kernig positif unilateral.

Gambar. Pemeriksaan Kernig’s Sign

c. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I (Brudzinski Leher)


Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah kepala dan
tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada
sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi kedua
tungkai.
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi paha pada sendi panggul sedangkan
tungkai satunya lagi dalam keadaan ekstensi. Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi pada sendi panggul kontralateral
Gambar. Pemeriksaan Brudzinski I
2.6.3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Pungsi Lumbal 8
Jika dicurigai bakteri meningitis dan encephalitis, pungsi lumbal harus dilakukan.
Pungsi lumbal harus dihindari dengan adanya ketidakstabilan kardiovaskular atau tanda-tanda
tekanan intrakranial meningkat.
Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil pemeriksaan cairan serebrospinal yang keruh
karena mengandung pus, nanah yang merupakan campuran leukosit yang hidup dan mati,
jaringan yang mati dan bakteri. Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi peningkatan cairan
serebrospinal.
Indikasi Pemeriksaan Lumbal:
a. Mengambil bahan pemeriksaan CSF untuk diagnostic dan persiapan pemeriksaan pasien
yang dicurigasi mengalami meningitis, encepahilitis atau tumor malignan.
b. Untuk mengidentifikasi adanya darah dalam CSF akibat trauma atau dicurigai adanya
perdarahan subarachnoid.
c. Untuk mengidentifikasi adanya tekanan intrakarnial/intraspinal,
Kontraindikasi Pemeriksaan Lumbal:
a. Terdapat tanda tekanan intrakranial yang meningkat (pupil yang tidak sama, tubuh kaku
atau paralisis salah satu ekstremitas, atau napas yang tidak teratur).
b. Infeksi pada daerah kulit tempat jarum akan ditusukkan.
Tabel. hasil analisa cairan serebrospinal pada beberapa jenis meningitis

2. Pemeriksaan Darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dan jenis leukosit, kadar glukosa,
kadar ureum. Pada meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit dengan pergeseran
ke kiri pada hitung jenis, biasanya terdapat kenaikan jumlah leukosit.11 Gangguan elektrolit
sering terjadi karena dehidrasi. Di samping itu hiponatremia dapat terjadi akibat pengeluaran
hormon ADH (Anti Diuretic Hormon) yang menurun.2 Pada Mycobacterium tuberculosa,
leukosit meningkat sampai 500/mm3 dengan sel mononuklear yang dominan, pemeriksaan
pada darah ditemukan jumlah leukosit meningkat sampai 20.000, dan test tuberkulin sering
positif. 9

3. Pemeriksaan Radiologis
CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI) otak dapat menyingkirkan kemungkinan
lesi massa dan menunjukkan edema otak. Untuk menegakkan diagnosa dengan penyebab herpes
simpleks, diagnosa dini dapat dibantu dengan immunoassay antigen virus dan PCR untuk
amplifikasi DNA virus. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan dengan bukti disfungsi
otak difus. 10
2.7.Diagnosis Banding Meningoencephalitis
3,11,12,13
Beberapa diagnosis banding untuk meningoencephalitis adalah:
1. Kejang demam
2. Meningitis
3. Encephalitis
4. Intracranial abscess
5. Infark cerebral
6. Perdarahan cerebral

2.8. Penatalaksanaan Meningoencephalitis


2.8.1. Perawatan umum
a. Atasi kejang:
Anti Kejang.
- Beri Diazepam iv pelan-pelan dengan dosis 0,2-0,5 mg/menit dengan kecepatan 2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Obat yang
praktis diberikan yaitu diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kg. Atau:
Diazepam rektal 5mg untuk anak dengan BB kurang dari 12 kg;
Diazepam rektal 10mg untuk BB lebih dari 12 kg;
- Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulangi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih kejang, dianjurkan ke RS, agar dapat diberikan
diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
- Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara iv dengan dosis awal 10-
20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50mg/menit. Bila
kejang berhenti, dosis selanjutnya adalah 5-10 mg/kg/hari,dimulai 12 jam setelah
dosis awal.
- Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat
intensif.
g. Sumber infeksi yang menimbulkan meningitis purulenta diberantas dengan obat –
obatan atau dengan operasi
h. Kenaikan tekanan intra kranial diatasi dengan :
Manitol
Dosisnya 0,25 – 0,5 mg/kg BB secara IV
Kortikosteroid
Biasanya dipakai deksametason secara IV dengan dosis 0,6
mg/kgbb/hari dosis dibagi tiap 6 jam, pemberiannya selama 2-4 hari.
Terapi dimulai sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama
antibiotik. Kortikosteroid masih menimbulkan pertentangan. Ada
yang setuju untuk memakainya tetapi ada juga yang mengatakan
tidak ada gunanya.
Pernafasan diusahakan sebaik mungkin dengan membersihkan jalan
nafas.
i. Efusi subdural pada anak dikeluarkan 25 – 30 cc setiap hari selama 2 – 3 minggu,
bila gagal dilakukan operasi.8

2.8.2. Pemberian Antibiotika.


Antibiotika spektrum luas harus diberikan secepat mungkin tanpa menunggu hasil
biakan. Baru setelah ada hasil biakan diganti dengan antibiotika yang sesuai. Pada terapi
meningitis diperlukan antibiotika yang jauh lebih besar daripada konsentrasi bakterisidal
minimal, oleh karena :
Dengan menembusnya organisme ke dalam ruang sub araknoid berarti daya tahan
host telah menurun.
Keadaan likuor serebrospinalis tidak menguntungkan bagi leukosit dan fagositosis
tidak efektif.
Pada awal perjalanan meningitis purulenta konsentrasi antibodi dan komplemen
dalam likuor rendah.12
Pemberian antibiotika dianjurkan secara intravena yang mempunyai spektrum luas baik
terhadap kuman gram positif, gram negatif dan anaerob serta dapat melewati sawar darah otak
(blood brain barier). Selanjutnya antibiotika diberikan berdasarkan hasil test sensitivitas
menurut jenis bakteri.12
Antibiotika yang sering dipakai untuk meningitis purulenta adalah :
a. Ampisilin
Diberikan secara intravena
Dosis :
Infeksi Ringan – Sedang : 50-200 mg/kgBB dalam 4 dosis.
Infeksi Berat (dosis Intrakranial) : 300-400 dalam 4 dosis.

b. Gentamisin
Diberikan secara intravena drip tiap 30 menit.
Dosis :
Umur kehamilan Umur Pascnatal Dosis (mg/kg) Interval
(pascakonsepsi) (hari)
dalam minggu)
0-7 5 48
≤29 8-28 4 36
≥29 4 24
0-7 4,5
30-34 24
≥8 4
≥ 35 Semua 4 24

c. Kloramfenikol
Diberikan secara intravena driip
Dosis :
Infeksi Ringan-Sedang: 50-70 mg/kgBB/hari
Infeksi Berat (Intrakranial) : 75-100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis

d. Ceftriaxone
Diberikan secara intravena
Dosis biasa : 80 mg/kgbb/hari
Dosis Intrakranial : 100 mg/kgbb/hari terbagi dalam 2 dosis.
Bila dilakukan kultur dan bakteri penyebab dapat ditemukan, biasanya antibiotika yang
digunakan adalah seperti yang tercantum dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.7: Pilihan antibiotik berdasakan kuman penyebab
No Kuman penyebab Pilihan pertama Alternatif lain
1. H. influenza Ampisilin Cefotaksim
2. S. pneumonia Penisillin G Kloramfenikol
3. N. meningitides Penisillin G Kloramfenikol
4. S. aureus Nafosillin Vancomisin
5. S. epidermitis Sefotaksim Ampisillin bila sensitif dan atau
Enterobacteriaceae ditambah aminoglikosida secara
intrateca.
6. Pseudomonas Pipersillin + Sefotaksim
Tobramisin
7. Streptococcus Penicillin G Vankomisin
Group A / B
8. Streptococcus Ampisillin +
Group D Gentamisin
9. L monocytogenes Ampisillin Trimetoprim
Sulfametoksasol

Terapi suportif melibatkan pengobatan dehidrasi dengan cairan pengganti


dan pengobatan shock, koagulasi intravaskular diseminata , patut sekresi hormon antidiuretik ,
kejang , peningkatan tekanan intrakranial , apnea , aritmia , dan koma.Terapi suportif juga melibatkan
pemeliharaan perfusi serebral yang memadai dihadapan edema serebral .12
Dengan pengecualian dari HSV dan HIV , tidak ada terapi spesifik untuk virus ensefalitis
. Manajemen mendukung dan sering membutuhkan masuk ICU , yang memungkinkan terapi
agresif untuk kejang , deteksi tepat waktu kelainan elektrolit ,dan , bila perlu , pemantauan jalan
napas dan perlindungan dan pengurangan peningkatan tekanan intrakranial .IV asiklovir adalah
pilihan perawatan untuk infeksi HSV . Infeksi HIV dapat diobati dengan kombinasi ARV .
Infeksi M. pneumoniae dapat diobati dengan doksisiklin ,eritromisin , azitromisin , klaritromisin
atau , meskipun nilai mengobati penyakit mikoplasma SSP dengan agen ini masih diperdebatkan.
Perawatan pendukung sangat penting untuk menurunkan
tekanan intrakranial dan untuk mempertahankan tekanan perkusi serebral yang memadai dan
oksigenasi.12

2.9. Prognosis
Prognosis penyakit ini bervariasi, tergantung pada :
1. Umur : Semakin muda semakin bagus prognosisnya
2. Kuman penyebab
3. Lama penyakit sebelum diberikan antibiotika
4. Jenis dan dosis antibiotika yang diberikan
5. penyakit yang menjadi faktor predisposisi.
Pada banyak kasus, penderita meningitis yang ringan dapat sembuh sempurna walaupun
proses penyembuhan memerlukan waktu yang lama. Sedangkan pada kasus yang berat, dapat
terjadi kerusakan otak dan saraf secara permanen, dan biasanya memerlukan terapi jangka
panjang. 14

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sopar Tambunan
Umur : 1 tahun 6 bulan 4 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalan Periuk Sei Putih.
Pendidikan :-
Status : Umum
Agama : Kristen
Tanggal masuk : 20 Juni 2017
Tanggal keluar : 20 Juni 2017

II. ANAMNESIS
Anamnesa dilakukan secara alloanamnesa pada tanggal 20 Juni 2017.
1. Keluhan utama : Kejang
2. Telaah :
Os dibawa ibunya ke RS Bhayangkara tingkat II Medan dengan keluhan kejang
disertai dengan demam. Kejang didahului oleh demam. Demam dirasakan 1
hari ini. Kejang berlangsung >30 menit dengan sifat kejang seluruh tubuh,
sebelumnya os tidak mengalami gangguan kesadaran. Mual, muntah (-),
mencret (+) dengan frekuensi >20x / hari, sejak 1 hari yang lalu, air lebih
banyak dari ampasnya, os juga tidak nafsu makan dan sedikit minum, nyeri
kepala (-), badan lemas (+).
3. Riwayat Penyakit Terdahulu :
Os tidak pernah mengalami seperti ini sebelumnya
4. Riwayat Pemberian Obat :
Tidak ada riwayat pemberian obat
5. Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada riwayat serupa dalam keluarga
6. Riwayat alergi : Os tidak memiliki alergi obat tertentu
7. Riwayat imunisasi : Imunisasi dasar lengkap

III. KEADAAN UMUM


1. Kesan keadaan sakit : Os tampak sangat lemah
2. Kesadaran : Somnolen.

IV. VITAL SIGN


HR = 98 x / menit
RR = 22 x/ menit
T = 39,7°C
BB = 11 kg

V. PEMERIKSAAN FISIK
a) Kepala
Bentuk kepala simetris
Rambut hitam, tebal, berombak
Tidak ada terlihat ikterik pada sklera
Tidak ada anemis pada konjungtiva, mata isokor dan tidak cekung
Septum nasi terletak di tengah, hidung simetris
Telinga simetris, membran timpani intak, tidak ada serumen
Mulut tidak sianosis, bibir kering
b) Leher
a. Tidak ada pembesaran KGB
b. Trakea terletak di tengah
c) Paru
a. Inspeksi : bentuk thorax simetris
b. Palpasi : stem fremitus normal
c. Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan batas paru, suara perkusi sonor
d. Auskultasi : suara napas vesikuler
suara tambahan wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
d) Jantung
a. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
b. Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan batas jantung
c. Auskultasi : tidak terdengar suara bising jantung
e) Abdomen
a. Inspeksi : bentuk abdomen normal, simetris, tidak terlihat adanya
ascites
b. Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
c. Auskultasi : suara peristaltik (+)
f) Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan genitalia
g) Ekstremitas
a. Nadi teraba, tekanan per volume cukup, akral hangat
b. Tidak ada clubbing finger, tidak ada sianosis, capillary refill time normal

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Kejang demam Kompleks
2. Meningoensefalitis
3. Meningitis
4. Encephalitis

VII. DIAGNOSIS SEMENTARA


Kejang Demam Kompleks

VIII. TERAPI SEMENTARA


- Ceftriaxone 2 × 500 mg IV
- Dexametason ½ amp/8 jam IV
- Paracetamol IV 150 mg drip/4-8 jam
- Phenobarbital 200 mg/IV
- Ranitidine ½ amp/12 jam IV
- Zanic 1 × 5 ml PO (Jika Anak Sadar)
- Ringer Laktat 50 gtt/menit (mikro)
- Stesolid 3 × ½ cth PO.
- Diazepam 5 mg Suppositoria (diberi jika terjadi kejang).

IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Pemeriksaan darah lengkap tanggal 20 Juni 2017
No Pemeriksaan Hasil Satuan Normal
1. Hemoglobin 13,5 mg/dL 13,3-15,5
2. Leukosit 23.100 /mm3 5.000-11.000
3. Laju endap darah 10 mm/jam 0-20
4. Trombosit 347.000 /mm3 150.000-450.000
5. Hematokrit 40,4 % 30,5-45,0
6. Eritrosit 5,17 106/mm3 4,50-6,50
7. MCV 78,3 fL 75,0-95,0
8. MCH 26,1 pg 27,0-31,0

9. MCHC 33,4 g/dL 33,0-37,0

10. Hitung Jenis Leukosit


Eosinofil 2 % 1-3
Basofil 0 % 0-1
Monosit 7 % 2-8
Neutrofil 77 % 50-70
Limfosit 14 % 20-40

Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


METABOLISME KARBOHIDRAT
Gula Darah Ad Random 143 mg/dl <200

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2 URL :


http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm
2. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI; 1999. h. 339-76
3. Samik A. 2000. Meningoensefalitis dalam Buku Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. EGC.
4. Solomon T. 2012. Management of suspected viral encephalitis in children e Association of
British Neurologists and British Paediatric Allergy Immunology and Infection Group
National Guidelines. URL:
http://www.encephalitis.info/files/6113/3993/2249/YJINF2822_final_proof_copy.pdf
5. Antoniuk S. 2011. Childhood acute bacterial meningitis: risk factors for acute neurological
complications and neurological sequelae
6. Lumban tobing SM, Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental, FKUI, Jakarta, 2004;
7-111
7. Mansjoer, A. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapis, Jakarta
8. Ellenby, Miles., Tegtmeyer, Ken., Lai, Susanna., and Braner, Dana. 2006. Lumbar Puncture.
The New England Journal of Medicine. 12 : 355 URL
:http://content.nejm.org/cgi/reprint/355/13/e12.pdf
9. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta: 2003
10. Ginsberg, L. 2007. Lecture Notes Neurologi. Edisi Delapan. Erlangga, Jakarta
11. Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2 URL :
http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm
12. Quagliarello, Vincent J., Scheld W. 1997. Treatment of Bacterial Meningitis. The New
England Journal of Medicine. 336 : 708-16 URL
:http://content.nejm.org/cgi/reprint/336/10/708.pdf
13. Ismael S. 2016. Kejang Demam Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
14. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI; 1999. h. 339-76
15. Drake, RL, 2015. Gray's Anatomy for Students. 3rd ed. Canada: Churchill Livingstone Elsevier.
16. Suwono W, 1996. Diagnosis Topik Neurologi, Edisi Kedua. EGC.

Anda mungkin juga menyukai