Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma kepala didefiniskan sebagai trauma non degeneratif maupun non kongenital
yang terjadi akibat trauma yang mencederai kepala yang berakibat pada gangguan kognitif,
fisik, dan psikososial baik sementara atau permanen yang berhubungan dengan berkurang atau
berubahnya derajat kesadaran. Mekanisme dari cedera kepala itu sendiri dapat berasal dari
cedera langsung ke jaringan otak, rudapaksa luar yang mengenai bagian luar kepala
(tengkorak) yang menjalar ke dalam otak, ataupun pergerakan dari jaringan otak di dalam
tengkorak.1 Trauma kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi,
deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya.1 Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat
benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre coup). Diduga countre coup
terjadi karena gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam
jaringan otak ke arah yang berlawanan, teoritis pada sisi countre coup ini terjadi
tekanan yang paling rendah.1,2 Daerah pada otak yang seringkali menderita kerusakan-
1
kerusakan ini adalah pada daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.
Di negara maju maupun berkembang, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
utama kematian pada usia antara 2–44 tahun, dimana 70% di antaranya mengalami trauma
kepala, diantranya Laki-laki 2 – 3 kali lebih sering dibandingkan wanita, terutama pada
kelompok usia resiko tinggi (usia 15 – 24 tahun dan >75 tahun). 2,3 Berdasarkan studi
epidemiologi, kecelakaan sepeda motor dan violence-related injuries merupakan penyebab
trauma kepala yang paling sering.
Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakan diagnosis sedini mungkin agar
tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan prognosa yang baik. 3 Peranan
diagnosa imajing juga diperlukan terutama pada pasien dengan tingkat resiko sedang-berat. 3,4
Tujuan utama dari pemeriksaan imajing pada pasien trauma kepala adalah untuk
mengkonfirmasi adakah cedera intrakranial yang berpotensi mengancam jiwa pasien bila tidak
segera dilakukan tindakan.3,5
Pencitraan diagnostik pada trauma kepala adalah seperti foto polos kepala, tomografi
komputer, pencitraan resonansi magnetik dan angiografi serebral. Tomografi komputer
merupakan pencitraan diagnostik gold standard pada semua kasus trauma kepala dan harus
3, 4
dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadaran akibat trauma.
Hadirnya modalitas imajing seperti CT scan (tomografi komputer) telah merevolusi cara
mengevaluasi diagnosa trauma kepala. Penelitian menunjukkan tindakan operasi pada trauma
kepala berat dalam rentang waktu 4 jam pertama setelah kejadian, dapat menyelamatkan kurang
lebih 70% pasien. Sebaliknya, tingkat mortalitas dapat naik sampai 90% bila tindakan intervensi
dilakukan lebih dari 4 jam. Penegakan diagnosa trauma kepala diperoleh dengan pemeriksaan
klinis awal yang diteliti dan tentu ditunjang oleh diagnosa imajing.5,6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Kepala dan Bagiannya1,3,5


1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective
tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose connective tissue
atau jaringan penunjang longgar, dan pericranium.

2. Tulang Tengkorak
Anatomi normal tengkorak ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Masalah yang
paling umum pada foto tengkorak polos adalah membedakan sutura tengkorak dari alur
pembuluh darah dan fraktur. Sutura utama adalah koronal, sagital, dan lambdoid. Sebuah sutura
juga berjalan dalam bentuk pelangi di atas telinga. Pada orang dewasa, sutura berbentuk simetris
dan memiliki tepi yang sklerotik (sangat putih). Alur vaskular biasanya terlihat pada tampilan
lateral dan meluas pada sisi posterior dan superior dari hanya di depan telinga. Alur vaskular
tersebut merupakan gambaran dari Arteri Meningea Media, yang mana jika terjadi trauma
kepala dapat menyebabkan arteri ini pecah, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perdarahan
epidural.

Gambar 1. Foto Polos Kepala dari Proyeksi Lateral


Gambar 2. Skematik Foto Polos Kepala
Proyeksi Lateral (A) dan AP (B)

Gambar 3. Vaskularisasi pada Tulang Tengkora


3. Meningen

Gambar 3. Potongan Melintang Tulang Tengkorak dan Meningen

Meningen merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang.
Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan
cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri
atas 3 lapisan, yaitu :

a. Duramater (Lapisan sebelah luar)

Duramater adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat
tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater
propia di bagian dalam. Duramater pada tempat tertentu mengandung rongga yang
mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior yang
terletak diantara kedua hemisfer otak.

b. Arachnoid (Lapisan tengah)

Arachnoid adalah membran impermeabel halus yang meliputi otak dan terletak
diantara piamater di sebelah dalam dan duramater di sebelah luar. Ruang sub arachnoid
pada bagian bawah serebelum merupakan ruangan yang agak besar disebut sistermagna.

c. Piamater (Lapisan sebelah dalam)

Piamater merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak.
Piameter berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat.
4. Otak

Otak merupakan suatu organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat dari
semua organ tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium)
yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil
(cerebellum), dan batang otak (Trunkus serebri). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram,
7/8 bagian berat terdiri dari otak besar.

Gambar 4. Bagian Utama dari Otak

a. Otak besar (cerebrum)


Otak besar adalah bagian terbesar dari otak dan terdiri dari dua hemispherium
cerebri yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut corpus callosum.
Setiap hemisfer terbentang dari os frontale sampai ke os occipitale, diatas fossa
cranii anterior, media, dan posterior, diatas tentorium cerebelli. Hemisfer dipisahkan
oleh sebuah celah dalam, yaitu fossa longitudinalis cerebri, tempat menonjolnya falx
cerebri.
Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas dan permukaan bawah. Kedua
lapisan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (substansia grisea) yaitu pada bagian korteks
serebral dan substansia alba yang terdapat pada bagian dalam yang mengandung
serabut saraf. Fungsi otak besar yaitu sebagai pusat berpikir (kepandaian),
kecerdasan dan kehendak. Selain itu otak besar juga mengendalikan semua kegiatan
yang disadari seperti bergerak, mendengar, melihat, berbicara, berpikir dan lain
sebagainya.

b. Otak kecil (cerebellum)


Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang dihubungkan
oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan dan
menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur
keseimbangan tubuh serta mengkoordinasikan kerja otot ketika bergerak.
c. Batang Otak (Trunkus serebri)
Batang otak terdiri dari :
1. Diensefalon
Bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum dengan
mesensefalon, kumpulan dari sel saraf yang terdapat dibagian depan lobus
temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap kesamping.
Diensefalon ini berperan dalam proses vasokonstriksi (memperkecil pembuluh
darah), respiratorik (membantu proses pernafasan), mengontrol kegiatan refleks,
dan membantu pekerjaan jantung.
2. Mesensefalon
Atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke atas,
dua di sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua disebelah
bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior. Mesensefalon ini berfungsi
sebagai pusat pergerakan mata, mengangkat kelopak mata, dan memutar mata.
3. Pons
Pons merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu memiliki jalur
lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak serabut yang
berjalan menyilang menghubungkan kedua lobus cerebellum dan
menghubungkan cerebellum dengan korteks serebri.
4. Medula Oblongata
Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis. Medulla oblongata memiliki
fungsi yang sama dengan diensefalon.

5. Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal adalah hasil sekresi plexus khoroid. Cairan ini bersifat alkali,
bening mirip plasma dengan tekanannya 60-140 mmH2O. Sirkulasi cairan serebrospinal yaitu
cairan ini disalurkan oleh plexus khoroid ke dalam ventrikel-ventrikel yang ada di dalam otak.
Cairan itu masuk ke dalam kanalis sentralis sumsum tulang belakang dan juga ke dalam ruang
subaraknoid melalui celah-celah yang terdapat pada ventrikel keempat. Setelah itu cairan ini
dapat melintasi ruangan di atas seluruh permukaan otak dan sumsum tulang belakang hingga
akhirnya kembali ke sirkulasi vena melalui granulasi araknoid pada sinus sagitalis superior. Oleh
karena susunan ini maka bagian saraf otak dan sumsum tulang belakang yang sangat halus
terletak diantara dua lapisan cairan. Dengan adanya kedua ‘bantalan air’ ini maka sistem
persarafan terlindungi dengan baik. Cairan serebrospinal ini berfungsi sebagai buffer,
melindungi otak dan sumsum tulang belakang dan menghantarkan makanan ke jaringan sistem
persarafan pusat.

6. Tekanan Intra Kranial (TIK)

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan peningkatan


tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu perfusi otak dan akan memacu
terjadinya iskemia. Tekanan intrakranial normal pada saat istirahat adalah 10 mmHg. Tekanan
intrakranial yang lebih dari 20 mmHg khususnya bila berkepanjangan dan sulit diturunkan akan
menyebabkan hasil yang buruk kepada penderita

Doktrin Monro-Kellie

Doktrin Monro-Kellie adalah suatu konsep sederhana namun penting sekali dapat
menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume total
intrakranial harus selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang
tidak mungkin membesar. Oleh karena itu segera setelah cedera kepala, suatu massa perdarahan
dapat membesar sementara tekanan intrakranial masih tetap normal. Namun bila batas
penggeseran cairan serebrospinal dan darah intravaskuler terlampaui maka tekanan intrakranial
akan mendadak meningkat dengan cepat.

Doktrin Monro-Kellie(kompensasi intrakranial terhadap massa yang berkembang):

Votak + VCSS + Vdarah + Vmassa = Konstan

Dalam Doktrin Monro-Kellie, dijelaskan bahwa volume isi intrakranial akan selalu
konstan. Bila terdapat penambahan massa seperti adanya hematoma akan menyebabkan
tergesernya CSS dan darah vena keluar dari ruang intrakranial dengan volume yang sama, TIK
akan tetap normal. Namun bila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan jumlah
massa yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.

Kurva Volume-Tekanan menjelaskan bahwa isi intrakranial dapat mengkompenasi


sejumlah massa baru intrakranial, seperti perdarahan subdural atau epidural sampai pada titik
tertentu. Bila volume masa perdarahan ini telah mencapai 100-150 ml, akan terjadi peningkatan
tekanan intrakranial yang sangat cepat dan akan menyebabkan penghentian aliran otak.

B. Trauma Kepala1,3,5,7,8
1. Definisi
Trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga
dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain
Injury Association of America, trauma kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik.

2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, misalnya, setiap tahun sekitar 1,6 juta orang mengalami
cedera otak traumatis, di antaranya 800.000 menerima perawatan rawat jalan dan 270.000
membutuhkan perawatan rawat inap. Setiap tahun sekitar 52.000 orang tewas dan 80.000
pasien permanen cacat neurologis parah akibat cedera otak traumatis. Di seluruh
dunia, trauma kapitis adalah penyebab terbesar jumlah cacat dan kematian. Di negara
berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan,
frekuensi trauma kapitis cenderung makin meningkat.

3. Etiologi
Separuh dari semua trauma kapitis adalah karena kecelakaan di jalan raya yang
melibatkan mobil, sepeda motor, sepeda, dan pejalan kaki. Kecelakaan ini adalah penyebab
utama dari trauma kapitis pada orang di bawah usia 75 tahun. Bagi mereka berusia 75
tahun ke atas, mayoritis mengalami trauma kapitis karena jatuh. Sekitar 20% dari trauma
kapitis adalah karena kekerasan, seperti senjata api dan serangan kekerasan terhadap
anak, dan sekitar 3% adalah karena cedera olahraga. Selain itu setengah dari insiden
trauma kapitis melibatkan penggunaan alkohol. Penyebab trauma kapitis berperan dalam
menentukan hasil
pasien.

4. Patofisiologi
Pada trauma kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater,
dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio
“coup”, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat
lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala
tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala
akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada
akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,
bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan
intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countrecoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak.

4. Klasifikasi
Berdasarkan ATLS, cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan
morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2. Beratnya Cedera Kepala


Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan,
mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara
pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata
ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS
sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera kepala berat.
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera kepala dengan nilai GCS 9-13
dikategorikan sebagai cedera kepala sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15
dikategorikan sebagai cedera kepala ringan.
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik
“bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya
fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan
yang terjadi cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut
:
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
b. Basis cranii ( dasar tengkorak )
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup

b. Lesi Intra Kranial


Otak juga dapat mengalami perdarahan dan terdapat perbedaan posisi yang terkena
perdarahan pada kasus trauma kepala tersebut, diantaranya :
1. Cedera otak difus
Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin
mengalami amnesia retro/anterograd.
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak
karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera
setelah trauma.
Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan
trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis
menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi
klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural.
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks
serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus
frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari
otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah
menjadi perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi.

Untuk menyatakan suatu diagnosa pada kasus-kasus diatas, ada beberapa


pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk memastikannya. Salah satunya adalah
dengan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi pada kasus trauma kepala tersebut
adalah Foto Polos Kepala, CT-Scan Kepala dan MRI. Berikut adalah penjelasan mengenai
pemeriksaan radiologi tersebut dan beberapa kasus trauma kepala yang berkaitan dengan
hal itu.
C. Pemeriksaan Radiologi beserta gambaran radiologi pada trauma kepala3,5,8
Pemeriksaan Radiologi ada kasus trauma kepala terdiri dari 4, yaitu:
1. Foto Polos Kepala
Foto polos kepala pernah merupakan pemeriksaan penting dalam mengevaluasi trauma
kepala, sekarang telah digantikan dengan tomografi komputer dan jarang digunakan lagi
pada pasien dengan trauma kepala tertutup. Kadang-kadang foto polos kepala digunakan
pada pasien dengan luka tembak di kepala untuk menentukan ada tidaknya fragmen peluru
intrakranial yang tertinggal. Pemeriksaan ini dapat melihat pergeseran (displacement)
fraktur
9
tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial.
Jenis-jenis fraktur pada tengkorak dapat berupa fraktur impresi, fraktur linear dan
fraktur diastasis. Fraktur impresi biasanya disertai kerusakan jaringan otak dan pada foto
terlihat sebagai garis atau dua garis sejajar dengan densitas tinggi pada tulang tengkorak.
Fraktur linear harus dibedakan dari sutura dan pembuluh darah. Pada foto, fraktur ini terlihat
sebagai garis radiolusen, paling sering di daerah parietal. Garis fraktur biasanya lebih
radiolusen daripada pembuluh darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur pada dasar tengkorak
seringkali sukar dilihat. Adanya bayangan cairan (air-fluid level) dalam sinus sfenoid
menunjukkan adanya fraktus basis kranii. Fraktur diastasis lebih sering pada anak-anak dan
9
terlihat sebagai pelebaran sutura.

Gambar 5 Gambar 6
Gambar 5 & 6: Gambaran foto polos kepala lateral menunjukkan dua jenis fraktur tengkorak
Gambar 5: Menunjukkan fraktur linear (panah hitam)
Gambar 6: Menunjukkan fraktur impresi (panah hitam)
B. Tomografi Komputer (TK)
Tomografi Komputer adalah satu pemeriksaan yang menggunakan sifat tembus sinar-
x, di mana sumber sinar-x dan detektor berputar di sekitar objek kemudian informasi yang
diperoleh dapat digunakan untuk menghasilkan gambaran cross-sectional oleh
komputer. Foto tomografi komputernakan tampak sebagai penampang-penampang melintang
dari objeknya. Tomografi Komputer adalah modalitas alat pencitraan utama yang
digunakan dalam keadaan akut dan sangat bermanfaat pada dalam menegakkan serta
menentukan tipe trauma kapitis karena kemampuannya memberikan gambaran fraktur,
hematoma dan edema yang jelas baik bentuk maupun ukurannya. Melalui pemeriksaan ini
dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan merupakan alat yang paling baik untuk
mengetahui dan menentukan lokasi serta ukuran dari perdarahan intrakranial.
Indikasi pemeriksaan tomografi komputer pada kasus trauma kepala adalah seperti
berikut:

 Trauma kepala sedang dan berat


 Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
 Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
 Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran
 Sakit kepala yang berat
 Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan
otak
 Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
Indikasi Pemeriksaan Tomografi Komputer untuk Pasien Dewasa
Pasien dewasa yang mengalami trauma kapitis dan mempunyai satu atau lebih dari
resiko berdasarkan Tabel 1 perlu dilakukan pemeriksaan Tomografi Komputer dengan
segera.

Tabel 1
NO RESIKO
1 Skor SKG < 13 sewaktu pihak IGD melakukan pemeriksaan buat pertama kali
2 Skor SKG < 15 selepas 2 jam berlakunya trauma kapitis sewaktu pihak IGD melakukan
pemeriksaan buat pertama kali
3 Suspek trauma kapitis dengan fraktur terbuka & depresi tulang tengkorak
4 Tanda-tanda fraktur basal tengkorak (haemotympanum, racoon eyes, kebocoran cairan
cerebrospinal melalui telinga dan hidung, Battle’s sign)
5 Terjadinya kejang post-trauma
6 Penurunan fokal neurologis
7 Muntah 1 kali atau lebih
8 Amnesia > 30 menit

Indikasi Pemeriksaan Tomografi Komputer untuk Pasien Dewasa dengan


penurunan kesadaran dan amnesia
Pasien dewasa yang mengalami trauma kepala dan mempunyai satu atau lebih dari resiko
berdasarkan Tabel 2 dan hilang kesadaran serta amnesia serta merta setelah kecelakaan lalu
12
lintas (KLL) perlu dilakukan pemeriksaan TK dengan segera.

Tabel 2
NO RESIKO
1 Usia lebih dari 65 tahun
2 Koagulopati (riwayat perdarahan, gangguan pembekuan, saat ini pengobatan dengan
warfarin)
3 Mekanisme KLL yang terlalu berbahaya
Indikasi Pemeriksaan Tomohgrafi Komputer untuk Pasien Anak-anak
Pasien anak-anak yang mengalami trauma kapitis dan mempunyai satu atau lebih dari
resiko berdasarkan Tabel 3 perlu dilakukan pemeriksaan TK dengan segera.

Tabel 3
NO RESIKO
1 Hilang kasadaran lebih dari 5 menit
2 Amnesia (antegrade atau retrograde) lebih dari 5 menit
3 Pening yang abnormal
4 Muntah 3 kali atau lebih
5 Suspek klinis mungkin telah terjadi cedea tanpa KLL
6 Kejang post-trauma tanpa ada riwayat epilepsi
7 SKG < 14, anak bayi < 1 tahun SKG (Pediatrik) < 15, sewaktu pihak IGD melakukan
pemeriksaan pertama kali
8 Suspek trauma kapitis dengan trauma terbuka, depresi tulang tengkorak atau
9 Tanda-tanda fraktur basal tengkorak (haemotympanum, racoon eyes, kebocoran cairan
cerebrospinal melalui telinga dan hidung, Battle’s sign)
10 Penurunan fokal neurologis
11 Usia < 1 tahun, adanya memar, bengkak atau laserasi lebih dari 5 cm di kepala.
12 Mekanisme KLL yang terlalu berbahaya

Kepentingan dilakukan pemeriksaan TK dengan segera


Kepentingan untuk melakukan pemeriksaan TK (serta pembacaan) dalam masa 1
jam berdasarkan resiko tabel 4.

Tabel.4
NO RESIKO
1 SKG < 13 sewaktu pihak IGD melakukan pemeriksaan pertama kali
2 SKG < 15 2 jam setelah trauma kapitis
3 Suspek trauma kapitis dengan fraktur terbuka & depresi tulang tengkorak
4 Tanda-tanda fraktur basal tengkorak (haemotympanum, racoon eyes, kebocoran cairan
cerebrospinal melalui telinga dan hidung, Battle’s sign)
5 Muntah 1 kali atau lebih untuk pasien dewasa, muntah 3 kali atau lebih untuk anak-anak
6 Kejang post-trauma
7 Koagulopati (riwayat perdarahan, gangguan pembekuan, saat ini pengobatan dengan
warfarin) + penurunan kesadaran dan amnesia. Pasien saat ini dengan pengobatan
antiplatelet mungkin akan mengalami resiko yang lebih tinggi untuk
perdarahan intrakranial
8 Penurunan fokal neurologis
Gambaran Tomografi Komputer pada Trauma Kepala
1. Komosio Serebri
Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya kerusakan
anatomi jaringan otak akibat adanya cedera kepala. Sedangkan secara klinis didapatkan
penderita pernah atau sedang tidak sadar selama kurang dari 15 menit, disertai sakit kepala,
pusing, mual-muntah adanya amnesia retrograde atau antegrade. Pada
pemeriksaan
radiologis tomografi komputer tidak didapatkan adanya kelainan.

2. Kontusio Serebri
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat
adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan pasien pernah atau sedang
tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis akibat
kerusakan jaringan otak seperti hemiparese/plegi, afaasia disertai gejala mual-muntah,
pusing sakit kepala, amnesia retrograde atau antegrade, pada pemeriksaan tomografi
komputer didapatkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri
menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arakhnoid pada daerah yang mengalami
contusio serebri yang
gambaran pada tomografi komputer disebut “Pulp brain”.
Gambaran Tomografi Komputer akut awalnya menunjukkan isodens kontusio yang
menjadi lebih jelas pada tindak lanjut pemindaian TK. Gambaran TK seperti terlihat di
bawah, sering menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu dalam ukuran dan jumlah
kontusio dan jumlah perdarahan dalam kontusio. Awalnya, temuan gambaran TK boleh
normal atau minimal abnormal karena volume parsial antara microhemorrhages padat
dan edema hipodens dapat menyebabkan kontusio isodens relatif terhadap jaringan otak
sekitarnya.
Gambar 7
Gambar 7: Gambaran kontusi serebri akut pada temporal kortikal kanan Gliding contusion
disebabkan oleh percepatan sudut sagital dengan peregangan dan robeknya pembuluh darah
parasagittal. Gliding contusion sering hemoragik, tidak hanya dari gerak diferensial struktur
subkortikal (sering disebut sebagai cedera geser), tetapi juga dari robeknya vena parasagittal.
Ketika otak tiba-tiba bergeser pada saat dampak, jaringan subkortikal meluncur lebih dari
korteks. Para Convexities dari setiap belahan yang berlabuh ke dura secara
granulasi
arakhnoid. Gliding contusion juga cenderung bilateral.

Gambar 8
Gambar 4: Gambaran acute gliding contusions
3. Hematoma Epidural
Tomografi komputer adalah pemeriksaan pilihan jika dicuriga adanya hematoma
epidural intrakranial. Namun, karena volume rata-rata berada dengan tulang yang
berdekatan, hematoma epidural yang kecil dapat menjadi sulit untuk dideteksi dengan
tomografi komputer.
Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan dari hematoma subdural dengan
adanya bentuk biconvex, dibandingkan dengan bentuk bulan sabit dari hematoma subdural.
Selain itu, tidak seperti hematoma subdural, hematoma epidural biasanya tidak
melewati sutura.
Dengan bentuk biconvex yang khas, elips, ekstra-aksial koleksi cairan, penampilan
hematoma epidural pada tomografi komputer tergantung pada sumber perdarahan, waktu
berlalu sejak
cedera, tingkat keparahan perdarahan, dan tingkat organisasi gumpalan dan pemecahan.

Gambar 9. Hematoma Epidural

Akut, atau tipe 1, hematoma epidural mungkin mengandung hyperdense clot


dan swirling lucency. Temuan ini diyakini merupakan campuran dari perdarahan aktif dan
serum yang tersisa setelah pembentukan gumpalan sebelumnya. Subakut, atau tipe 2,
hematoma epidural menjadi hiperdens homogen dengan adanya perdarahan aktif berhenti
dan bentuk gumpalan terorganisir. Kronis, atau tipe 3, hematoma epidural mengandung
setidaknya sebagian hipodens dengan gumpalan mengalami kerusakan dan resorpsi.
Peningkatan pembentukan membran mungkin hasil dari neovascularitas dan
pembentukan jaringan
granulasi di dura pengungsi selama proses gumpalan-resorpsi.
Gambar 10
Gambar 10:Gambaran Hematoma Epidural Akut
Meskipun tomografi komputer merupakan pemeriksaan pilihan dalam mengevaluasi
hematoma epidural intrakranial, modalitas ini terbatas dalam mengevaluasi hematoma
epidural tulang belakang karena kesulitan dalam memeriksa segmen tulang belakang yang
panjang dengan gambar aksial tomografi komputer dan karena atenuasi rendah subakut atau
hematoma epidural kronis.

4. Hematoma Subdural
Perdarahan terjadi di antara duramater dan arakhoid yang disebabkan robekan vena- vena
di daerah korteks serebri atau bridging vein oleh suatu trauma. Lokalisasi terutama di daerah
frontoparietotemperoral. Hematoma subdural dibagikan dalam tiga jenis: akut, subakut dan
kronik.
Pada gambaran Tomografi Komputer , subdural hematoma akut dapat ditemukan area
hiperdens tipis, merata berbentuk semilunar atau bulan sabit (crescentic appearance) di antara
tabula dan parenkim otak. Pada minggu kedua dan ketiga (fase subakut), subdural hematoma
menjadi isodense terhadap otak dan sering menjadi bentuk lensa sehingga dapat membingung
dengan epidural hematoma. Setelah beberapa minggu kemudian, akan timbul hematoma
subdural kronik, pada gambaran TK yang ditemukan area hipodens, isodens, atau sedikit
hiperdens dan berbentuk bikonveks yang berbatas tegas. Seringkali, hematoma subdural
kronis muncul sebagai lesi heterogen padat dengan fluid level antara (hipodens) komponen
akut dan (hiperdens) komponen kronis hematoma.
Gambar 11 Gambar 12 Gambar 13
Gambar 11: Menunjukkan Hematoma subdural akut. Gambaran TK ditemukan
hiperdens diantara duramater dan araknoid, umumnya akibatkan robekan dari briging vein.
Gambaran seperti bulan sabit, disertai mildline shift
Gambar 12: Menunujukkan Hematoma subdural subakut. Gambaran hematoma berbentuk
bulan sabit yang kurang densitas berbanding daripada gambaran TK hematoma subdural akut
Gambar 13: Menunjukkan gambaran TK Hematoma subdural kronik dan disertai midline
shift

Gambar 14
Gambar 14: Kronis subdural hematoma (SDH) umumnya bilateral dan memiliki area
perdarahan akut, yang mengakibatkan densitas yang heterogen. Tampak kurangnya
pergeseran garis tengah karena adanya hematoma bilateral.
5. Perdarahan Subarakhoid (SAH)

Perdarahan subarakhnoid yang terjadi karena trauma biasanya terletak di atas gyri
pada konveksitas otak, SAH yang disebabkan oleh pecahnya aneurisma otak biasanya terletak
di cisterns subarakhnoid pada dasar otak. SAH dapat terjadi sendiri atau dalam hubungan
dengan hematoma intraserebral atau ekstraserebral lainnya. Pada gambaran Tomografi
Komputer, SAH terlihat mengisi ruangan subaraknoid yang biasanya terlihat gelap dan terisi
cairan serebrospinal di sekitar otak. Rongga subaraknoid yang biasanya hitam mungkin
tampak putih di perdarahan akut. Temuan ini paling jelas terlihat dalam rongga subaraknoid
yang besar. Jika pemeriksaan TK dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan
awal, temuan akan tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan cenderung
menurun, dan tampak sebagai abu-abu. SAH dapat menyebabkan hidrosefalus dan konfusi
akibat trauma, pecahnya pembuluh darah arteri (aneurisme) atau malformasi arteriovenosa
(AVM). Selain menentukan SAH, gambaran Tomografi Komputer juga dapat digunakan untuk
melokalisir sumber perdarahan.

Gambar 15 Gambar 16
Gambar 15: Menunujukkan perdarahan subarachoid. Gambaran TK kepala
ditemukan adanya perdarahan di ruang subarakhoid (tanda panah hitam)
Gambar 16: Menunjukkan pasien mengalami hematoma esktradural di sebelah kanan
dan perdarahan subarakhnoid di sebelah kiri
6. Hematoma Intraserebral
Hematoma intraserebral adalah perdarahan parenkhim otak disebabkan pecahnya
pembuluh darah, sehingga timbulnya hematom intraparenkim sesudah 30 menit hingga 6 jam
trauma. Hematom ini boleh timbul di daerah kontralateral (contrecoup). Pada gambaran
TK
sesudah beberapa jam akan tampak daerah hematom (hiperdens) dan tepi yang tidak rata.

Gambar 17
Gambar 17: Hematoma intraserebral. Gambaran TK ditemukan perdarahan parenkim otak
dengan adanya gambaran lesi hiperdens (panah putih), jaringan di sekitar tampak
densitasnya lebih rendah akibat infark atau edema.

7. Perdarahan Intraventrikular
Sebelum ketersediaan ultrasonografi, tomografi komputer digunakan untuk diagnosis
dan tindak lanjut. Tomografi komputer tidak lagi digunakan untuk diagnosis dan tindak
lanjut mengingat keamanan dan efektivitas biaya sonografi.

Gambar 18
C. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah pemeriksaan yang menggunakan medan


magnet dan pulsa energi gelombang radio untuk mengambil gambar kepala. Dalam banyak
kasus, MRI memberikan informasi yang tidak dapat dilihat pada X-ray, USG, atau
Tomografi Komputer (TK). Untuk MRI kepala, pasien berbaring dengan kepala di dalam
sebuah mesin khusus (scanner) yang memiliki magnet kuat. MRI dapat menunjukkan
kerusakan jaringan atau penyakit, seperti infeksi, radang, atau tumor. Informasi dari MRI
dapat disimpan dalam komputer untuk studi yang lebih lanjut. Foto-foto atau film pandangan
tertentu juga dapat dibuat. Selain itu, gambaran stroke dan kejang dapat dilihat dari
pemeriksaan MRI. Dalam beberapa kasus, pewarnaan (bahan kontras) dapat digunakan
ketika dilakukan pemeriksaan MRI untuk menampilkan gambaran struktur yang lebih jelas.
Cairan tersebut dapat membantu menunjukkan aliran darah, mencari beberapa jenis
tumor, dan menunjukkan area
peradangan.
MRI saat ini tidak digunakan pada trauma kapitis akut, tetapi berperan penting ketika
tidak ada informasi atau gambaran yang jelas untuk menentukan diagnosis pada
trauma subakut atau kronis. Tujuan dari pemeriksaan MRI dalam mengevaluasi perdarahan
intrakranial adalah sebagai berikut:
 Untuk melihat ada atau tidaknya perdarahan
 Untuk mengetahui lokasi dan membedakan perdarahan (ekstra-aksial
dibandingkan intra-aksial): ekstra-aksial, untuk membedakan perdarahan subarakhnoid
(SAH), hematoma subdural (SDH), dan hematoma epidural (EDH), dan intra-aksial,
untuk menemukan lokasi spesifik dari neuroanatomi
 Untuk menentukan sudah berapa lama perdarahan terjadi
 Untuk mengetahui etiologi
 Untuk membantu penatalaksanaan perdarahan dan menentukan prognosis pasien
Perdarahan Intraserebral Berdasarkan Waktu
1. Perdarahan Hiperakut

Gambar 19
Gambar 19: Magnetic Resonance Imaging aksial menunjukkan hematoma hiperakut dalam
kapsul eksternal yang tepat dan korteks insular pada pasien hipertensi. T1 aksial
menunjukkan isointens untuk lesi hipointens di daerah temporoparietal kanan yang
hiperintens pada T2 dan dengan kecenderungan tampak sebagai intensitas sinyal rendah
karena darah pada gradien-
echo (GRE). Sebuah lingkaran kecil edema vasogenik mengelilingi hematoma.

2. Perdarahan Akut

Gambar 20
Gambar 20: Magnetic Resonance Imaging menunjukkan hematoma akut pada daerah
frontal kiri. T1 aksial dan T2 menunjukkan hematoma yang hipointens. Sebuah
lingkaran kecil edema vasogenik mengelilingi hematoma terlihat di T2.
3. Perdarahan Subakut Awal (Early Subacute Hemorrhage)

Gambar 21
Gambar 21: Magnetic Resonance Imaging menunjukkan hematoma subakut awal di daerah
oksipital kiri. Lesi terlihat hiperintens pada T1 dan hipointens pada T2 ditandai
dengan kecenderungan disebabkan oleh hematoma pada gradien-echo (GRE). Hematoma
intraventrikular juga terlihat jelas sebagai sinyal rendah pada GRE.

4. Perdarahan Subakut Akhir (Late subacute hemorrhage)

Gambar 22
Gambar 22: Magnetic Resonance Imaging menunjukkan perdarahan subakut akhir di kedua
daerah thalamus pada pasien malaria cerebral. T1, T2, dan gradient-echo (GRE)
menunjukkan hematoma hiperintens. T2 dan GRE menunjukkan lingkaran kecil hipointens
yang disebabkan hemosiderin.
5. Perdarahan Kronik

Gambar 23
Gambar 23: Magnetic Resonance Imaging menunjukkan hematoma kronik sebagai space-
occupying lesion pada fossa posterior kanan. Perdarahan terlihat sebagai gambaran
hipointens di T1 dan T2. Hipointensitas diperjelas oleh efek darah pada GRE.

6. Subdural Hematoma dan Epidural Hematoma


Seperti perdarahan intraserebral, subdural hematoma (SDH) memiliki 5 tahap yang
berbeda evolusinya, oleh karena itu, terdapat 5 penampilan di MRI. Dura tervaskularisasi
dengan baik dan mempunyai tekanan oksigen yang agar tinggi, mengakibatkan
perkembangan dari satu tahap ke tahap lainnya menjadi lebih lambat di dalam lesi daripada
di dalam otak. 4 tahapan yang pertama itu adalah sama dengan yang untuk hematoma
parenkim, dengan karakteristik yang sama pada T1-WI dan T2-WI. Tahap kronis ditandai
dengan denaturasi oksidatif methemoglobin yang terus-menerus, terjadi pembentukan
hemochromates nonparamagnetic. Selain itu, tidak ada pinggiran hemosiderin dan jaringan
makrofag terlihat di sekitarnya hematoma. Apabila terjadinya perdarahan rekuren di SDH,
akan terlihat lesi
dengan gambaran intensitas sinyal yang berbeda pada MRI.
Perkembangan epidural hematoma (EDH) dan subdural hematoma (SDH) adalah
sangat mirip. EDH berbentuk bikonveks klasik dan dengan dasar dura mater yang
berintensitas, manakala SDH berbentuk konkave.
Gambar 24
Gambar 24: Hematoma subdural subakut pada frontoparietal. KT menunjukkan isodens –
hipodens subdural hematoma. Pada MRI, T1 dan T2 terlihat gambaran intensitas sinyal
tinggi menunjukkan perdarahan subakut akhir.

Gambar 25
Gambar 25: Pada MRI T1 menunjukkan subdural hematoma subakut bilateral dengan
intensitas sinyal yang meningkat. Daerah intensitas yang intermediate
menunjukkan perdarahan akut pada perdarahan subakut.

Meskipun MRI sangat sensitif dalam mengevaluasi SEDH (spinal epidural


hematoma), MRI jarang menjadi modalitas awal pilihan untuk menilai hematoma epidural
intrakranial yang dikarenakan oleh tahap akut dan tingkat keparahan hematoma
epidural. Gerak artefak pada pasien tidak sadar dan tidak adanya unit MRI tersedia di luar
daerah perkotaan juga membatasi kegunaannya. MRI menunjukkan massa bikonveks
dipisahkan dari
dura atasnya oleh pelek tipis serum diekstrusi terletak di antara gumpalan dan dura.
Garis ini
23
hyperintense pada kedua gambar T1-W dan T2-W.
Hematoma epidural akut adalah isointense untuk minimal hipointense pada
gambar T1-W dan nyata hipointense pada gambar T2-W; penampilan ini sesuai dengan fase
deoxyhemoglobin. Hematoma epidural subakut adalah hyperintense pada gambar T1-W,
karena deoxyhemoglobin diubah menjadi methemoglobin. Pada gambar T1-W, dura dapat
dilihat sebagai garis tipis hipointense bahwa hematoma tersebut berpindah menuju ke
23
dalam.
MRI juga dapat menunjukkan fraktur dengan cairan antara margin fraktur. Modalitas
ini dapat membantu dalam menunjukkan oklusi sinus dural dalam kasus flap fraktur
23
akibat intimal berhubungan dengan vena sinus hematoma epidural.

Gambar 26
Gambar 26: Gambaran Hematoma Epidural Akut

MRI biasanya menunjukkan kontusio otak dari timbulnya cedera. MRI adalah sensitif
terhadap hiperakut kontusio hemoragik (<12 jam). Pada MRI, kontusio adalah isointense ke
hyperintense pada T1-W dan hyperintense pada gambar T2-W. Gradient-echo MRI dapat
mengungkapkan hipointensitas, yang sangat penting untuk deteksi dan deliniasi kontusio.
Gambar 27
Gambar 27: Gambaran MRI pada kontusio serebri

7. Perdarahan Subarachnoid (SAH) dan Perdarahan intraventricular (IVH)


Perdarahan subarachnoid (SAH) dan perdarahan intraventricular (IVH) berbeda dari
perdarahan intraparenchymal, subdural hematoma (SDH), dan epidural hematoma
(EDH) dimana mereka dicampur dengan cairan serebrospinal. Seperti EDH dan SDH, SAH
memiliki kadar oksigen yang tinggi, sehingga mereka menua lebih lambat daripada
hematoma
parenkim yang lakukan.

Gambar 28
Gambar 28: MRI menunjukkan perdarahan subarachnoid (SAH). SAH muncul hyperintense
pada T2 dan fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) images. Isointense - hipointense
pada gambar T1. Marked blooming diamati pada gambar echo gradient (GRE). Gambaran
28
menunjukkan perdarahan hiperakut atau akut.
Gambar 29
Gambar 29: Perdarahan subarachnoid tampak hiperintense pada gambar T2, hipointense
pada FLAIR, dan tampak marked blooming pada gradien echo-(GRE) gambar di celah
Sylvian, pada basal cisterns, dan sepanjang folia serebellar karena darah. Gambaran ini
28
menunjukkan perdarahan subarachnoid kronis dan / atau siderosis superfisia.

D. Angiografi Serebral

Pemeriksaan angiografi adalah pemeriksaan pembuluh darah dengan menggunakan


zat kontras. Sejak perkembangan Tomografi Komputer di pertengahan 1970-an, kebutuhan
angiografi serebral pada trauma kepala telah menurun secara dramatis. Angiografi serebral
berperan dalam menunjukkan dan mengelola cedera vaskuler yang traumatis. Cedera
vaskuler biasanya disebabkan oleh trauma tajam (misalnya, luka tembak atau tusuk), fraktur
tulang tengkorak basal, atau trauma leher. Namun, pemeriksaan ini bermanfaat bila alat
tomografi komputer tidak disediakan. Pemeriksaan angiografi serebral pada trauma kepala
dapat memperlihatkan adanya hematoma subdural dan hematoma epidural. Bila ada
kelainan di dalam otak akan terlihat adanya pergeseran pembuluh darah.
Pada pemeriksaan angiografi serebral, hematoma subdural menunjukkan pendesakan
arteri dan vena berbentuk konveks sesuai dengan lengkung hemisfer serebri. Sesuai dengan
lokalisasi perdarahan, akan tampak pendesakan arteri serebri anterior, arteri serebri media
maupun deep vein. Kadang-kadang ditemukan lesi yang luas, tetapi pendesakan arteri
serebri anterior, arteri serebri media dan vena serebri interna sangat sedikit (tidak seimbang),
maka harus dilakukan angiografi sisi kontralateral karena kemungkinan adanya hematoma
subdural di sisi kontralateral tersebut. Membedakan hematoma epidural dan hematoma
subdural pada angiogram sering sulit. Jika arteri meningea media terdesak ke arah median
(ke dalam), maka diagnosis hematoma epidural dapat ditegakkan. Jika hematoma
epidural masuk ke dalam sinus venosus, maka sinus venosus ini akan terpisah dari tabula
interna.
Gambar 30 Gambar 31 Gambar 32
Gambar 30: Menunjukkan gambaran Bilateral subdural hematoma. Tampak depresi
permukaan hemisfera serebral (panah hitam).
Gambar 31: Hematoma subdural di bagian parietal kiri.
Gambar 32: Hematoma epidural di daerah temporal kiri.

Sebelum perkembangan Tomografi Komputer, angiografi serebral sering


digunakan pada trauma kepala akut untuk membedakan hematoma ekstra-aksial daripada
hematoma intra-aksial.

Gambar 33 Gambar 34
Gambar 29: Menunjukkan Massa ekstra-aksial (hematoma subdural akut),
tampak pemisahan antara permukaan otak (panah padat) dan tengkorak (panah terbuka).
Gambar 30: Menunjukkan ekstravasi bahan kontras (panah hitam) dari arteri
meningeal medial (tanda panah melengkung) ke dalam hematoma epidural. Tampak garis
fraktur (panah terbuka) meluas di meningeal groove, dan bahan kontras memenuhi alur
sepanjang meningeal.

1
BAB III
KESIMPULAN

Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Berdasarkan
ATLS, cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi. Fraktur kranium
dan lesi intrakranial merupakan beberapa contoh dari kasus trauma kepala. Yang merupakan
contoh dari kasus lesi intrakranial adalah epidural hematoma, subdural hematoma, perdarahan
subarachnoid, kontusio dan hematoma intraserebral, serta cedera difus pada otak.
Untuk menyatakan diagnosis kasus-kasus diatas, pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan radiologi sangat dibutuhkan. Pemeriksaan radiologi tersebut adalah foto polos
kepala, CT-Scan Kepala, MRI, ataupun angiografi.
1. Pada Pemeriksaan foto polos kepala dapat melihat pergeseran (displacement) fraktur
tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial.
Sekarang, pemeriksaan foto polos kepala telah digantikan oleh TK dan jarang
digunakan lagi pada pasien dengan trauma kapitis tertutup.
2. Pada Tomografi Komputer (TK) adalah modalitas alat pencitraan utama yang
digunakan dalam keadaan akut dan sangat bermanfaat dalam menegakkan serta
menentukan tipe trauma kapitis karena kemampuannya memberikan gambaran fraktur,
hematoma dan edema yang jelas baik bentuk maupun ukurannya.
3. Pada Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan informasi yang
tidak dapat dilihat pada sinar-X atau tomografi komputer (TK).
4. Pada Angiografi serebral berperan dalam menunjukkan dan mengelola cedera vaskuler
yang traumatis, terutama bila ada kelainan di dalam otak akan terlihat adanya
pergeseran pada pembuluh darah.
Pemeriksaan tomografi komputer(CT Scan)merupakan pemeriksaan kepala yang sangat
berguna pada trauma kepala karena isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada
trauma kepala, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun
ukurannya. Selain itu, ketiga pemeriksaan radiologi tersebut selain membantu untuk
menyatakan diagnosis, juga dapat menuntun seorang dokter untuk penatalaksanaan berikutnya
yang akan dilakukan terhadap pasien trauma kepala.
2
DAFTAR PUSTAKA

1. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Radiologi Diagnostik. Edisi 7. 2001. Balai


Penerbit FKUI

2. Irwan O. Trauma Kepala. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2006

3. Misra R, Holmes E. A-Z of Emergency Radiology. New York; Cambridge University


Press; 2004. 1-20

4. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke -6. 2006.Jakarta:
EGC.

5. Malueka R. G. Radiologi Diagnostik.Edisi 2. 2007. Yogyakarta: Pustaka Cendekia


Press Yogyakarta

6. American College of Surgeons. Advance Trauma Life Support For Doctor. 7th ed.
2004. USA: First Impression..

7. Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani WI., SetiowulanW. Kapita Selekta Kedokteran.


Edisi Ketiga. 2000. Jakarta: Media Aesculapius.

8. Zee CS. Neuroradiology: A Study Guide. Los Angeles; Mcgraw; 1996. 235-241

Anda mungkin juga menyukai