Anda di halaman 1dari 20

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

PRESENTASI REFERAT

KOLELITIASIS DAN KOLESISTITIS

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Bedah
Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono, Magelang

Pembimbing:
Letkol CKM dr. Aditya Wicaksana, Sp.BS

Disusun Oleh:
Maulana Chasan
30101206785

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RUMAH SAKIT TENTARA TK II DR. SOEDJONO, MAGELANG
PERIODE 15 JANUARI 2018 – MARET 2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI REFERAT

KOLELITIASIS DAN KOLESISTITIS

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Bedah
Rumah Sakit Tentara TK II dr. Soedjono, Magelang

Disusun Oleh:
Maulana Chasan
30101206785

Telah Disetujui Oleh Pembimbing

Pembimbing : Letkol CKM dr. Aditya Wicaksana, Sp.BS

Tanggal :
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan


eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Cedera
tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis
akibat trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga
dsb (Sjamsuhidayat, 2005).
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olah raga, dan sebagainya yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu
atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi
(Sjamsuhidayat, 2005)
Menurut National Spinal Cord Injury Statistical Center, diperkirakan bahwa
angka kejadian tahunan cedera tulang belakang yang tidak termasuk mereka yang
meninggal di tempat kecelakaan, sekitar 40 kasus per juta penduduk di Amerika
Serikat atau sekitar 12.500 kasus baru setiap tahun, dengan kisaran umur 42
tahun sejak 2010. 80% dari penderita cedera tulang belakang adalah laki-laki
(NSCISC, 2015).

1.2 Tujuan penulisan

a. Tujuan Umum

Mengetahui dan mampu mendiagnosis pada pasien dengan cedera tulang


belakang

b. Tujuan Khusus

Makalah ditujukan agar dapat mengetahui dan memahami tentang:


1. Etiologi cedera tulang belakang
2. Patofisiologi cedera tulang belakang
3. Faktor predisposisi cedera tulang belakang
4. Proses diagnostik cedera tulang belakang
5. Serta tatalaksana cedera tulang belakang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher
sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang
servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus
intervertebrale merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot
ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan
memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai
pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka
akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000)
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma : jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan
olah raga, dan sebagainya yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu
atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi
(Sjamsuhidayat, 2005).

2.2 Epidemiologi
Insiden cedera tulang belakang di Amerika Serikat adalah sekitar 40 kasus
per juta penduduk, atau sekitar 12.500 pasien, per tahun berdasarkan data di
National Spinal Cord Injury basis data. Perkiraan dari berbagai penelitian
menunjukkan bahwa jumlah orang di Amerika Serikat hidup pada tahun 2010
dengan cedera tulang belakang adalah sekitar 276.000 orang dengan kisaran
240,000-337,000 dengan usia rata-rata 42 tahun (NSCISC, 2015).
Sebuah tren yang signifikan dari waktu ke waktu telah diamati dalam distribusi
rasial orang dengan cedera tulang belakang. Sejak tahun 2015, 64% adalah non-
hispanik putih, 23% adalah non-hispanik hitam, 10% adalah Hispanik, dan 2,0%
adalah Asia. Laki-laki memiliki kemungkinan 4 kali lebih banyak dibandingkan
perempuan untuk terkena cedera tulang belakang. Secara keseluruhan, laki-laki
account untuk 80,7% dari cedera yang dilaporkan (NSCISC, 2015).
2.3 Etiologi
Trauma tulang belakang biasanya disebabkan oleh:
1. Kecelakaan kendaraan bermotor.
Mobil dan sepeda motor kecelakaan adalah penyebab utama dari
cedera tulang belakang, terhitung lebih dari 35 persen dari cedera
tulang belakang baru setiap tahun.
2. Jatuh dari ketinggian
Cedera tulang belakang setelah usia 65 paling sering disebabkan
oleh jatuh. Secara keseluruhan, jatuh menyebabkan lebih dari
seperempat dari cedera tulang belakang.
3. Tindak kekerasan
Sekitar 15 persen dari cedera tulang belakang hasil dari kekerasan,
sering melibatkan tembak dan pisau luka
4. Olahraga dan cedera rekreasi
Kegiatan atletik, seperti olahraga dampak dan menyelam di air
dangkal, menyebabkan sekitar 9 persen dari cedera tulang
belakang.
5. Alkohol
Penggunaan alkohol adalah faktor dalam sekitar 1 dari setiap 4
cedera tulang belakang.
6. Penyakit.
Penyakit juga dapat menyebabkan trauma ulang belakang, antara
lain: Kanker, arthritis, osteoporosis dan radang sumsum tulang
belakang juga dapat menyebabkan cedera tulang belakang.

2.4 Faktor Resiko


Meskipun cedera tulang belakang biasanya merupakan hasil dari
kecelakaan dan dapat terjadi pada siapa saja, faktor-faktor tertentu dapat
mempengaruhi untuk memiliki risiko lebih tinggi mengalami cedera tulang
belakang, di antaranya:
1. Laki-laki
Cedera tulang belakang mempengaruhi jumlah yang tidak
proporsional dari pria. Bahkan, perempuan hanya sekitar 20
persen dari cedera tulang belakang traumatis di Amerika Serikat.
2. Usia 16 sampai 30 tahun dan > 65 tahun
3. Memiliki perilaku berisiko
Menyelam ke dalam air terlalu dangkal atau bermain olahraga
tanpa mengenakan peralatan keselamatan yang tepat atau
mengambil tindakan pencegahan yang tepat dapat menyebabkan
cedera tulang belakang. Kecelakaan kendaraan bermotor adalah
penyebab utama dari cedera tulang belakang untuk orang di bawah
65 tahun.
4. Memiliki gangguan tulang atau sendi.
Cedera yang relatif kecil dapat menyebabkan cedera tulang
belakang jika memiliki gangguan lain yang mempengaruhi tulang
atau sendi, seperti artritis atau osteoporosis

2.5 Klasifikasi
Trauma tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi, trauma
medulla spinalis tanpa abnormalitas radiografik (SCIWORA), atau cedera
penetrans. Setiap pembagian diatas dapat lebih lanjut diuraikan sebagai stabil dan
tidak stabil.Walaupun demikian penentuan stabilitas tipe cedera tidak selalu
sederhana dan ahlipun kadang-kadang berbeda pendapat. Karena itu terutama
pada penatalaksanaan awal penderita, semua penderita dengan deficit neurologist,
harus dianggap mempunyai trauma tulang belakang yang tidak stabil. Karena itu
penderita ini harus tetap diimobilisasi sampai ada konsultasi dengan ahli bedah
saraf/ ortofedi.
 Dislokasi atlanto – oksipita (atlanto – occipital dislokatiaon)
Cedera ini jarang terjadi dan timbul sebagai akibat dari trauma fleksi
dan distraksi yang hebat. Kebanyakan penderita meninggal karena
kerusakan batang otak. Kerusakan neurologist yang berat
ditemukan pada level saraf karanial bawah.kadang –kadang
penderita selamat bila resusitasi segera dilakukan ditempat
kejadian.
 Fraktur atlas (C-1)
Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaan sendi yang
lebar. Fraktur C-1 yang palig umum terdiri dari burst fraktur (fraktur
Jefferson).mekanisme terjadinya cedera adalah axial loading,
seperti kepala tertimpa secara vertical oleh benda berat atau
penderita terjatu dengan puncak kepala terlebih dahulu. Fraktur
jeferson berupa kerusakan pada cincin anterior maupun posterior
dari C-1, dengan pergeseran masa lateral. Fraktur akan terlihat
jelas dengan proyeksi open mouth dari daerah C-1 dan C-2 dan
dapat dikomfirmasikan dengan CT Scan. Fraktur ini harus ditangani
secara awal dengan koral sevikal.
 Rotary subluxation dari C-1
Cedera ini banyak ditemukan pada anak –anak. Dapat terjadi
spontan setelah terjadi cedera berat/ ringan, infeksi saluran napas
atas atau penderita dengan rematoid arthritis. Penderita terlihat
dengan rotasi kepala yang menetap. .pada cedera ini jarak odontoid
kedua lateral mass C-1 tidak sama, jangan dilakukan rotasi dengan
paksa untuk menaggulangi rotasi ini, sebaiknya dilakukan
imobilisasi. Dan segera rujuk.
 Fraktur aksis(C-2)
Aksis merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai bentuk
yang istimewah karena itu mudah mengalami cedera.
1. Fraktur odontoid
Kurang 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid suatu tonjolan
tulang berbentuk pasak. Fraktur ini daoat diidentifikasi dengan
foto ronsen servikal lateral atau buka mulut.
2. Fraktur dari elemen posterior dari C-2
Fraktur hangman mengenai elemen posterior C-2, pars
interartikularis 20 % dari seluruh fraktur aksis fraktur
disebabkan oleh fraktur ini. Disebabkan oleh trauma tipe
ekstensi, dan harus dipertahankan dalam imobilisasi eksternal.
 Fraktur dislokasi ( C-3 sampai C-7)
Fraktur C-3 saangat jarang terjadi, hal ini mungkin disebabkan
letaknya berada diantara aksis yang mudah mengalami cedera
dengan titik penunjang tulang servikal yang mobile, seperti C-5 dan
C-6, dimana terjadi fleksi dan ekstensi tulang servikal terbesar.
 Fraktur vertebra torakalis ( T-1 sampai T-10)
Fraktur vertebra Torakalis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori :
(1) cedera baji karena kompresi bagian korpus anterior, (2) cedera
bursi, (3) fraktur Chance, (4) fraktur dislokasi. Axial loading disertai
dengan fleksi menghasilkan cedera kompresi pada bagian anterior.
Tip kedua dari fraktur torakal adalah cedera burst disebabkan oleh
kompresi vertical aksial. Fraktur dislokasi relative jarang pada
daerah T-1 sampai T-10.
 Fraktur daerah torakolumbal (T-11 sampai L-1) fraktur lumbal
Fraktur di daerah torakolumbal tidak seperti pada cedera tulang
servikal, tetapi dapat menyebabkan morbiditas yang jelas bila tidak
dikenali atau terlambat mengidentifikasinya. Penderita yang jatuh
dari ketinggian dan pengemudi mobil memakai sabuk pengaman
tetapi dalam kecepatan tinggi mempunyai resiko mengalami cedera
tipe ini. Karena medulla spinalis berakhir pada level ini , radiks saraf
yang membentuk kauda ekuina bermula pada daerah torakolumbal.
 Trauma penetrans
Tipe trauma penetrans yang paling umum dijumpai adalah yang
disebabkan karena luka tembak atau luka tusuk. Hal ini dapat
dilakukan dengan mengkombinasikan informasi dari anamnesis,
pemeriksaan klinis, foto polos dan CT scan. Luka penetrans pada
tulang belakang umumnya merupakan cedera yang stabil kecuali
jika disebabkan karena peluru yang menghancurkan bagian yang
luas dari columna vertebralis.

2.6 Patofisiologi
Cedera pada tulang belakang membawa ancaman ganda, yaitu kerusakan
pada kolumna vertebral dan kerusakan pada jaringan saraf. Cedera tulang dibagi
menjadi dua, yaitu cedera tulang stabil dan tidak stabil. Cedera stabil adalah di
mana komponen vertebral tidak akan tergeser oleh gerakan normal. Pada cedera
stabil jika ada elemen saraf tidak rusak hanya memiliki resiko yang kecil untuk
menjadi rusak. Cedera tidak stabil adalah cedera yang memiliki resiko yang
signifikan untuk terjadinya displasmen dan kerusakan yang lebih lanjut pada
jaringan saraf.
Gambar 2.1 Unsur struktur pada spina. Garis vertikal memperlihatkan
klasifikasi Denis mengenai struktur pada spina. Tiga unsur itu adalah kompleks
posterior, komponen pertengahan dan kolumna anterior. Konsep ini sangat
berguna untuk menilai stabilitas cedera lumbalis
Pada cedera tulang belakang yang lebih lanjut, kerusakan dapat dilihat
mulai saat cedera. Dimana apabila terjadi gerakan pada tulang belakang ini akan
menyebabkan kerusakan yang lebih buruk pada lesi. Oleh karena itu, penting
untuk mencurigai semua cedera sebagai cedera yang tidak stabil sampai terbukti
sebaliknya.
Dalam menilai stabilitas tulang belakang, tiga elemen struktur harus
dipertimbangkan:
1. Kompleks osseoligamentous posterior (atau kolom posterior) yang terdiri
dari pedikel, sendi facet, posterior tulang lengkung, interspinous dan
ligamen supraspinata;
2. kolom tengah terdiri dari setengah posterior vertebra yang tubuh, bagian
posterior dari disk intervertebralis dan posterior ligamentum longitudinal;
3. anterior kolom terdiri dari setengah anterior vertebral yang tubuh, bagian
anterior dari disk intervertebralis dan ligamentum longitudinal anterior
(Denis, 1983).
Untungnya, hanya 10 persen dari patah tulang belakang tidak stabil dan
kurang dari 5 persen berhubungan dengan kerusakan sumsum.
Perubahan primer, cedera fisik mungkin terbatas pada kolumna vertebral,
termasuk komponen jaringan lunaknya dan bervariasi dari strain ligamen ke fraktur
vertebra dan fraktur dislokasi patah tulang dan fraktur-dislokasi. Sumsum tulang
belakang dan / atau akar saraf dapat terluka, baik oleh awal trauma atau
ketidakstabilan struktural yang sedang berlangsung dari segmen tulang belakang,
menyebabkan kompresi langsung, perpindahan energi yang parah, gangguan fisik
atau kerusakan yang suplai darah.
Perubahan sekunder, Selama jam dan hari setelah cedera tulang belakang
terjadi, perubahan biokimia dapat menyebabkan gangguan seluler yang lebih
lanjut dan perluasan kerusakan neurologis awal.
 Mekanisme Cidera
Pada spina lumbalis usaha otot yang tertahan dapat menimbulkan avulsi
prosesus tranversus; pada vertebra servikal prosesus spinosus ketujuh
biasanya mengalami avulsi (fraktur „clay-shoveller“). Dokter harus
waspada terhadap fraktur avulsi dan memeriksa foto sinar X dengan lebih
hati-hati untuk menyingkirkan cedera lain yang mungkin lebih penting ;
tetapi cedera otot ini sendiri tidak memerlukan pembelahan dan terbaik
diterapi dengan akivitas.

Gambar 2.2 Mekanisme cedera Spina biasanya cedera lewat salah satu dari
dua cara (a) jatuh pada kepala atau bagian leher; (b) pukulan pada dahi, yang
memaksa leher berhiperekstensi

Cedera tak langsung biasanya terjadi bila kolumna spinalis mengalami


kolaps pada poros vertikalnya, khususnya saat jatuh dari tempat tinggi atau
bila seseorang terjebak di bawah reruntuhan ; arah kekuatan pada setiap
spina ditentukan oleh posisi kolumna vertebra pada saat benturan. Segmen
servikal dan lumbal yang fleksibel dapat juga mengalami cedera karena
gerakan bebas yang hebat pada leher atau badan. Tipe pergerseran
penting :

1. Hiperkestensi (Kombinasi distraksi dan ekstensi)


Hiperekstensi jarang terjadi pada daerah torakolumbal tetapi amat
sering ditemukan pada leher; pukulan pada muka atau dahi akan
memaksa kepala ke belakang dan tak ada yang menyangga oksiput
hingga kepala itu membentur bagian atas punggung. Ligamen anterior
dan diskus dapat rusak atau arkus saraf mungkin mengalami fraktur.
Biasanya cedera itu stabil, tetapi fraktur pada pedikulus C2 (fraktur
orang yang digantung) sering tidak stabil.
2. Fleksi
Kalau ligamen posterior tetap utuh, fleksi paksaan akan meremukkan
badan vertebral menjadi baji; ini adalah cedera yang stabil dan
merupakan tipe fraktur vertebral yang palig sering ditemukan. Kalau
ligamen posterior terobek, cedera bersifat tak stabil dan badan vertebra
bagian atas dapat miring ke depan di atas badan vertebrab di
bawahnya; pada leher, tipe subluksasi ini sering terlewatkankarena
pada saat dilakukan sinar X vertebra telah kembali ke tempatnya.
3. Pergeseran aksial (kompresi)
Kekuatan vertikal yang menimpa segmen lurus pada spina servikal
atau lumbal akan menimbulkan kompresi aksial Nukleus pulposus akan
mematakan lempeng vertebra dan menyebabkan fraktur vertikal pada
vertebra; dengan kekuatan yang lebih besar, bahan diskus di dorong
masuk ke dalam badanvertebral , menyebabkan fraktur remuk (burst
fracture). Karena unsur posterior utut,keadaan ini didefinisikan sebagai
cedera stabil. Tetapi, fragmen tulang dapat terdorong ke belakang ke
dalam kanalis spinalis dan inilah yang mnjadikan fraktur ini berbahaya.
Kerusakan neurologik sering terjadi.
4. Fleksi, kompresi dan distraksi posterior
Kombinasi fleksi dengan kompresi anterior dan distraksi posterior dapat
mengganggu kompleks vertebra pertengahan di samping kompleks
posterior. Fragmen tulang dan bahan diskus dapat bergeser ke dalam
kanalis spinalis. Berbeda dengan fraktur kompresi murni,keadaan ini
merupakan cedera tak stabil dengan resiko progresi yang tinggi
(Ferguson dan Allen, 1984)
Fleksi lateral yang terlalu banyak dapat menyebabkan kompresi pada
setengah korpus vertebra dan distraksi pada unsur lateral dan posterior
pada sisi sebaliknya. Kalau permukaan dan pedikulus remuk, lesi
bersifat tak stabil.
5. Fleksi yang digabungkan dengan rotasi dan pemuntiran
Cedera spina yang paling berbahaya adalah akibat kombinasi fleksi,
rotasi dan pemuntiran. Ligamen dan kapsul sendi terengang sampai
batas kekuatannya; mereka dapat robek, permukaan sendi dapat
mengalami fraktur atau bagian atas dari satu vertebra dapat terpotong.
Akibatnya adalah pergeseran atau dislokasi ke depan vertebra di atas,
dengan atau tanpa dibarengi kerusakan tulang. Semua fraktur-dislokasi
bersifat tak stabil dan terdapat banyak resiko munculnya kerusakan
neurologik.
6. Translasi horisontal.
Kolumna vertebralis ‘teriris‘ dan segmen bagian atas atau bawah
dapaat bergeser ke anteroposterior atau ke lateral. Lesi bersifat tak
stabil dan kerusakan saraf sering terjadi (Solomon, Louis., et.al., 2010)

2.7 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi. Kerusakan melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi
motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal.
Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien dengan trauma tulang belakang
adalah: nyeri mulai dari leher sampai bawah, kehilangan fungsi (misal tidak dapat
menggerakkan lengan), kehilangan atau berubahnya sensasi di berbagai area
tubuh.

2.8 Diagnosis
 History
Kecurigaan terhadap adanya trauma tulang belakang sangat penting
meskipun tanda dan gejalanya mungkin minimal. Setiap pasien dengan trauma
tumpul diatas clavikula, cidera kepala, atau kehilangan kesadaran patut dicurigai
adanya trauma tulang belakang sampai terbukti sebaliknya. Setiap pasien dengan
mekanisme cidera jatuh dari ketinggian atau kecelakaan deselerasi dalam
kecepatan tinggi harus diperlakukan sebagai trauma thoracolumbar. Pada trauma
multipel juga dapat dimungkinkan memiliki trauma tulang belakang, trauma yang
lebih ringan namun disertai dengan nyeri di daerah leher/punggung/terdapat gejala
neurologis di anggota tubuh.
 Pemeriksaan Fisik
Leher
Pasien yang datang dengan menyangga kepala dengan tangan perlu
diwaspadai dengan baik. Kepala dan wajah harus dilakukan pemeriksaan, apakah
ada jejas yang memungkinkan adanya trauma indirek kepada tulang belakang.
Tulang dan jaringan lunak disekitar leher dipalpasi apakah ada tenderness untuk
melihat adanya kerusakan pada kolumna posterior. Bagian belakang leher juga
harus dilakukan pemeriksaan tapi pada keseluruhan pemeriksaan tidak boleh
menggerakkan servikal dan tulang belakang dikarenakan meninggatkan resiko
trauma tulang belakang pada trauma yang tidak stabil.
Punggung
Pasien dilakukan “log-roll” untuk mencegah pergerakan dari columna
vertebralis. Punggung dilakukan inspeksi apakah ada deformitas, trauma tembus,
hematoma, atau jejas. Tulang dan jaringan lunak dipalpasi dengan referensi pada
interspinous space. Adanya hematom, gap atau step adalah tanda adanya
ketidakstabilan.
General Examination (Syok)
Pemeriksaan ABC sangat penting untuk dilakukan. Ada 3 kemungkinan
syok yang dapat timbul pada trauma tulang belakang. Syok Hipovolemik, ditandai
dengan takikardi, konstriksi perifer dan hipotensi. Syok Neurogenik muncul karena
kerusakan simpatis pada tulang belakang, pembuluh darah perifer dilatasi dan
mengakibatkan hipotensi namun tidak mempengaruhi peningkatan denyut jantung.
Kombinasi dari paralisis, perfusi yang bagus pada area perifer, bradikarsi serta
hipotensi dengan tekanan diastol yang rendah adalah tanda Syok Neurogenik.
Penggunaan cairan sresusitasi yang berlebihan dapat menyebabkan pulmonari
edem, dalam hal ini atropin dan vasopresor mungkin dibutuhkan. Spinal shock
terjadi ketika tulang belakang rusak akibat dari trauma. Bahkan bagian tubuh yang
berkaitan dengan medula spinalis dapat terlibat, dibawah level yang terjadi trauma
dapat muncul flasid dari otot, refleks dan sensasi yang menghilang. Apabila refleks
primitif menghilang, perbaikan akan muncul dengan berjalannya waktu
Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis lengkap harus dilakukan pada setiap kasus, dan
mungkin dilakukan berulang kali selama beberapa hari pertama, setiap dermatome,
myotome dan refleks harus dilakukan pemeriksaan.
Fungsi kolumna longitudalis di tes: traktus kortikospinalis (posterolateral
cord, ipsilateral motor power), traktus spinotalamikus (anterolateral cord,
contralateral pain dan suhu), serta kolumna posterior (ipsilateral propriosepsi).
Sacral sparing harus dilakukan pemeriksaan dengan melihat flexi kaki,
active anal squeeze dan intact perianal sensation untuk melihat lesi sebagian atau
komplit. Pasien yang tidak sadarkan diri sulit untuk dilakukan pemeriksaan, trauma
tulang belakang harus diasumsikan hingga terbukti yang sebaliknya. Clue untuk
adanya trauma tulang belakang adalah riwayat jatuh atau dari kecepatan tinggi,
trauma kepala, nafas diafragma, flaccid anal spincter, hipotensi dengan bradikardi
dan nyeri dibagian atas klavikula (Solomon, Louis., et.al., 2010).
Respons Motorik
• Diafragma berfungsi normal C3, C4, C5
• Mengangkat bahu C4
• Fleksi siku (biceps) C5
• Ekstensi pergelangan tangan C6
• Ekstensi siku C7
• Fleksi pergelangan tangan C7
• Abduksi jari tangan C8
• Membusungkan dada T1-T12
• Fleksi panggul L2
• Ekstensi lutut L3-L4
• Fleksi dorsal pergelangan kaki L5-S 1
• Fleksi plantar pergelangan kaki S1-S2

Respons sensorik
• Paha anterior L2
• Lutut anterior L3
• Pergelangan kaki anterolateral L4
• Jempol kaki dan jari kedua dorsal L5
• Kaki lateral S1
• Betis posterior S2
• Perineum S2-S5

Gambar 2.3 Pemeriksaan Neurologis

 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain:
1. Foto x-ray : pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang vertebra,
untuk melihat adanya fraktur ataupun pergeseran pada vertebra, serta
untuk memperlihatkan sifat dan tingkat lesi tulang. Untuk mendapatkan
gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka
diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan
tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya superposisi. Hal
yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Radiografi lateral biasanya akan menunjukkan penurunan ketinggian
anterior dari vertebrae, sementara ketinggian posterior normal.
Besarnya kehilangan ketinggian vertebral dan derajat kyphosis pada
radiografi membantu untuk menentukan stabilitas fraktur. Kehilangan
tinggi vertebra lebih dari 50% , serta lebih dari 30 % dari kyphosis atau
pelebaran interspinous harus menimbulkan kecurigaan terjadinya
gangguan PLC. Hal tersebut merupakan cedera yang tidak stabil
dengan risiko deformitas kyphotic progresif dan defisit neurologis
2. Computerized Tomography : pemeriksaan ini sifatnya membuat
gambar vertebra 2 dimensi. Pemeriksaan vertebra dilakukan dengan
melihat irisan-irisan yang dihasilkan CT scan. CT scan harus dilakukan
dalam kasus-kasus yang meragukan untuk menyingkirkan
kemungkinan fraktur karena memiliki visualisasi yang baik dari elemen
posterior. Hal ini juga memungkinkan visualisasi dari kanal tulang
belakang, tingkat kompromi kanal, tingkat kominusi dan aposisi
fragmen.
3. Magnetic Resonance Imaging: pemeriksaan ini menggunakan
gelombang frekuensi radio untuk memberikan informasi detail
mengenai jaringan lunak di daerah vertebra. Gambaran yang akan
dihasilkan adalah gambaran 3 dimensi . MRI sering digunakan untuk
mengetahui kerusakan jaringan lunak pada ligament dan discus
intervertebralis dan menilai cedera medulla spinalis.
4. Hitung darah lengkap : Hematokrit mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi
fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan jumlah
leukosit adalah respons stress normal setelah trauma.
5. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal (Rajasekaran, 2011)

2.9 Penatalakasanaan
Semua penderita korban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya
kerusakan pada tulang belakang seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan
anggota gerak atau perubahan sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien
kerusakan tulang belakang sampai dibuktikan bahwa tidak ada kerusakan tersebut
(Rizal, Ahmad., et.al, 2014)
Setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan pemeriksaan
cedera lain yang menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka
pengelolaan patah tulang belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada
stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan imobilisasi
dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang dengan gangguan
neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk stabilisasi
patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan
mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyakit yang
timbul pada kelumpuhan akibat cidera tulang belakang seperti infeksi saluran
napas, infeksi saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga
dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi untuk
menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan harapan dapat
mengembalikan fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut.
Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam pascatrauma untuk
mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak boleh dilakukan
dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan menambah instabilitas tulang
belakang (Rizal, Ahmad., et.al, 2014).
Penanggulangan Cedera Tulang Belakang dan Medula spinalis, meliputi:
1. Prinsip umum
 Pikirkan selalu kemungkinan adanya cedera medula spinalis
 Mencegah terjadinya cedera kedua
 Waspada akan tanda yamg menunjukkan jejas lintang
 Lakukan evaluasi dan rehabilitasi
2. Tindakan
 Adakan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan)
 Optimalisasi faal ABC: jalan napas, pernafasan, dan peredaran
darah
 Penanganan kelainan yang lebih urgen
 Pemeriksaan neurologik untuk menentukan tempat lesi
 Pemeriksaan radiologik (kadang diperlukan)
 Tindakan bedah (dekompresi, reposisi, atau stabilisasi)
 Pencegahan penyulit
 Ileus paralitik  sonde lambung
 Penyulit kelumpuhan kandung kemih  kateter
 Pneumonia
 Dekubitus
2.10 Komplikasi
Defisit neurologis sering meningkat beberapa jam atau hari pada trauma
medula spinalis akut, meskipun sudah mendapat terapi optimal. Salah satu tanda
adanya kemunduran neurologis adanya defisit sensoris. Pasien dengan trauma
medula spinalis beresiko tinggi terjadi aspirasi, karena itu perlu pemasangan NGT.
Resiko tinggi tersebut adalah hipotermi, dekubitus, pneumonia, ulkus akibat
tekanan, emboli pulmo, infeksi pasca operasi (Rizal, Ahmad., et.al, 2014).

2.11 Prognosis
Pada awal tahun 1990, angka kematian 1 tahun setelah trauma pada
pasien dengan lesi komplit mencapai 100%. Namun kini, angka ketahanan hidup
5 tahun pada pasien dengan trauma quadreplegia mencapai 90%. Perbaikan yang
terjadi dikaitkan dengan pemakaian antibiotik untuk mengobati pneumonia dan
infeksi traktus urinarius.
Pasien dengan trauma belakang komplit berpeluang sembuh kurang dari
5%. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang
perbaikan adalah nol.
Prognosis trauma belakang inkomplit lebih baik. Jika fungsi sensoris masih
ada, peluang pasien untuk dapat berjalan kembali lebih dari 50% (Rizal, Ahmad.,
et.al, 2014).
BAB III
KESIMPULAN

Dalam mengetahui prinsip diagnosis dan penatalaksanaan trauma tulang


belakang hendaknya kita mengenali sedini mungkin cedera medulla spinalis,
pembuatan status neurologis, melakukan stabilisasi tulang belakang dan tujuan
terapi yang diberikan kepada pasien dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer, dkk, 2000 . Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. FKUI, Jakarta:
Medica Aesculpalus
National Spinal Cord Injury Statistical Center . 2015. Spinal Cord Injury (SCI)
Facts and Figures at a Glance 2015
Rajasekaran, S. 2011. Spinal Infections and Trauma. India. Jaypee Brothers
Medical Publisher.
Rizal, Ahmad., et al. 2014. Penatalaksanaan Orthopedi Terkini Untuk Dokter
Layanan Primer. Jakarta. Mitra Wacana Media: hal 95-111.
Sjamsuhidajat. R (2005), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
Solomon, Louis., Warwick, David., Nayagam, Selvadurai. 2010. Apley’s System
of Orthopaedics and Fractures 9th edition. London. Replika Press: pp 806-
812.

Anda mungkin juga menyukai