TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Transfusi darah merupakan suatu rangkaian proses pemindahan darah dari
seseorang donor kepada resipien. Proses ini terkait dengan beberapa usaha untuk
memelihara dan mempertahankan kesehatan donor, memelihara keadaan biologis
darah atau komponennya agar bermanfaat bagi pasien.1
Darah adalah materi biologis yang bersifat multiantigenik sehingga secara
potensial dapat menimbulkan berbagai reaksi imunologik pada resepien.
Berdasarkan asal darah yang diberikan transfusi dikenal homologous transfusi
yang berasal dari darah orang lain dan autologous transfusi yang berasal dari
darah sendiri.1 Autologous transfusi biasanya diaplikasikan pada operasi elelektif
dengan syarat donor harus sehat dan operasi elektif dilakukan 6 minggu
kemudian. Hb donor harus ≥ 11 g/dL dan diambil tiap minggunya, namun darah
tidak boleh diambil beberapa hari sebelum operasi dilakukan. Autologous
transfusi pada anak jarang dilakukan karena tidak mendapatkan izin dari orang
tua.2
6
Darah lengkap disimpan pada suhu 1 – 4 °C. Waktu penyimpan tergantung
tipe antikoagulan dan bahan tambahan (additive) yang digunakan. ACD tidak
digunakan lagi. Darah sitrat fosfat dekstrose (CPD) dapat disimpan sampai 21
hari. Darah CPDA1- A2 dapat disimpan sampai 35 hari. Jika ditambah dengan
additives seperti Nutrisol atau Adsol, darah dapat disimpan sampai 42 hari.4
7
Hipotensi atau syok yang membutuhkan vasopressor
Post operasi besar
Cedera otak traumatik yang berat
Hemoglobin < 15 g/dl (Hematokrit <45%) pada neonatus:
Penyakit jantung kongenital sianosis
b. Anak – anak usia > 4 bulan
Kehilangan darah masif atau kehilangan darah akut yang disebabkan oleh
trauma, operasi, atau penyebab lain yang terkait dengan syok hipovolemik
(>15% volume darah total)
Hemoglobin ≤ 8 g/dl dengan operasi emergensi/urgensi, anemia
simptomatik (takikardi, takipneu), radioterapi/kemoterapi, pasien PICU
yang stabil secara hemodinamik.
Anemia preoperatif yang signifikan ketika terapi koreksi lainnya tidak
tersedia
Hemoglobin ≤ 10 g/dL dan cedera otak berat
Hemoglobin ≤ 13 g/dL dengan penyakit jantung sianotik, ECMO, penyakit
paru berat
Pasien dengan hemoglobinopati dan / atau anemia hemolitik kronik
(seperti pada sickle cell anemia, talasemia).
Sel darah merah pekat disimpan pada suhu antara 1°-6°C. Bila
menggunakan antikoagulan CPDA maka masa simpan sel darah merah ini adalah
35 hari dengan nilai hematokrit 70-80%. Bila menggunakan antikoagulan CPD
maka masa simpan sel darah merah ini adalah 21 hari. Bila disimpan dalam
larutan tambahan (buffer, dekstrosa, adenin, manitol) maka masa simpan sel darah
8
merah ini adalah 42 hari dengan nilai hematokrit 52-60%. Penyimpanan pada
suhu 1 - 40°C.4
Indikasi dari pemberian PRC adalah pada keadaan kehilangan darah akut
>15% dari total volume darah dan konsentrasi Hb <7 gr/dL.5 Transfusi sel darah
merah diberikan untuk mengatasi keadaan anemia karena keganasan, anemia
aplastik, thalassemia, anemia hemolitik, anemia defisiensi yang berat dengan
ancaman gagal jantung atau menderita infeksi berat.1
Setiap unit PRC akan menaikkan Hb kira-kira 1 g/dL atau kenaikan
hematokrit sekitar 3%. Hampir semua anak-anak mentoleransi dosis 5-10 mL/kg.
Dosis neonatus adalah 10-15 mL/kg. Digunakan dosis 5 ml/kg apabila hematokrit
<20% dan dosis 2,5 mL/kg bila hematokrit <10%. Transfusi PRC 3 mL/kg akan
menaikkan Hb 1 g/dL atau 10 mL/kg akan menaikkan hematokrit 10%. Lama
pemberian PRC minimal 2 jam dan maksimum 4 jam.6
Penghitungan dosis:6
Volume transfusi = Total volume darah x (Ht yang diharapkan-Ht sebelum transfusi
Ht donor unit
9
2.4.3 Trombosit
1. Plasma kaya trombosit (PRP)
Mengandung trombosit dengan elemen plasma lainnya masih lengkap.1
10
Disfungsi tromobosit (didapat atau bawaan) tanpa memperhatikan
jumlah trombosit
Perdarahan masif, biasanya sebagai bagian dari protokol transfusi masif
Profilaksis pada pasien dengan jumlah trombosit <30.000/uL (berdasarkan
usia).
11
2.4.4. Leukosit / granulosit
Komponen ini didapat dengan melakukan sentrifugasi berupa buffy coat.
Komponen ini harus digunakan dalam 24 jam setelah diambil dan disimpan pada
suhu ruangan. Satu kantong granulosit memiliki 1011 granulosit dalam 200 cc
plasma. Dosis yang direkomendasikan yaitu 109 granulosit/kg berat badan per
kalinya dan dapat diulang setiap 12-24 jam selama 4 – 6 hari.4
12
- Pencegahan perdarahan pada hemofilia A, penyakit Von
Willebrand, afibrinogenemia, disfibrinogenemia, dan
defisiensi faktor VII dan XIII
3.b Konsentrat faktor VIII (factor anti hemofilia)
Indikasi : perdarahan penyakit hemofilia A, Von
Willebrand
3.c Konsentrat faktor IX
Indikasi : Hemofilia B dan penyakit Christmas, defisiensi
atau defek faktor VII, X, dan protrombin.
13
Defisiensi faktor koagulasi multiple (contoh: penyakit hati)
Ketika faktor konsentrat spesifik tidak tersedia (contoh: faktor II,
faktor V, faktor X, faktor XI)
Defisiensi protein plasma yang signifikan secara klinis.
Koreksi emergensi dari defisiensi vitamin K (contoh: perdarahan aktif,
operasi emergensi).
Neonatus dengan perdarahan yang tidak dapat dijelaskan yang tidak
respon terhadap pengukuran lain dapat diberikan plasma tanpa PT, PTT.
Haemorrhagic disease of the newborn dengan perdarahan.
b. Anak – anak usia > 4 bulan
Pendukung selama Disseminated Intravascular Coagulation (DIC),
transfusi masif
Terapi pengganti untuk defisiensi yang signifikan secara klinis, termasuk:
Defisiensi faktor koagulasi multiple (contoh: penyakit hati)
Ketika faktor konsentrat spesifik tidak tersedia (contoh: faktor II,
faktor V, faktor X, faktor XI)
Defisiensi protein plasma yang signifikan secara klinis.
Koreksi emergensi dari defisiensi vitamin K (contoh: perdarahan aktif,
operasi emergensi).
2.4.5.2 Kriopresipitat
Dibuat dari FFP dengan mengumpulkan endapan yang terbentuk selama pencairan
terkontrol pada suhu 4°C dan dilarutkan dalam 10 – 20 ml plasma. Berisi setengah
dari Faktor VIII dan fibrinogen pada whole blood yang disumbangkan.
Penyimpanan pada -25°C atau suhu lebih dingin dan dapat disimpan sampai satu
tahun.5
Kriopresipitat diindikasikan pada: 7
Hipofibrinogenemia (fibrinogen <125 mg/dL) atau disfibrinogenemia,
dengan perdarahan aktif atau menjalani prosedur invasiv
Hemofilia A (defisiensi faktor VIII) atau penyakit von Willebrand
Terapi pengganti pada defisiensi faktor VIII dengan perdarahan aktif atau
menjalani prosedur invasif.
14
Komponen ini harus diberikan dalam waktu 6 jam setelah pencairan.
Untuk menaikkan aktivitas faktor VIII 80-100% dibutuhkan 1-2 kantong Cryo.
Dosis kriopresipitat adalah 1-2 mL/kgBB atau satu kantong Cryo/6 kgBB. Dosis
tambahan dapat diberikan dengan interval 8-12 jam kemudian. Jika
memungkinkan, gunakan produk darah yang kompatibel ABO.5,6
Tabel 2.3 Pilihan darah Rh dari grup komponen donor pada anak.4
Pasien Grup Rh Donor Grup Rh
Sel darah merah Trombosit FFP
Rh positif
Pilihan pertama Rh +ve Rh +ve Rh +ve
Pilihan kedua Rh -ve Rh -ve Rh –ve
Rh negatif
Pilihan pertama Rh -ve Rh -ve Rh –ve
Pilihan kedua - Rh +ve* Rh +ve
Keterangan: * Jika trombosit Rh +ve diberikan pada resipien Rh negatif, anti-D globulin
dosis 250 mcg harus diberikan pada resipien. Satu kali pemberian anti-D globulin dapat
digunakan sampai lima kali transfusi trombosit.
15
Tabel 2.4 Pilihan darah ABO dari komponen grup donor pada anak.4
Pasien Grup ABO Donor Grup ABO
Sel darah merah Trombosit FFPA
O
Pilihan pertama O O O
Pilihan kedua - A A atau B atau AB
A
Pilihan pertama A A A atau B
Pilihan kedua O* O*
B
Pilihan pertama B B# B atau AB
*
Pilihan kedua O A atau O*
AB
Pilihan pertama AB AB# AB
Pilihan kedua A atau B A A
Pilihan ketiga O*
Keterangan: * = Golongan darah O tanpa titer tinggi anti-A atau anti-B. # = Trombosit
golongan B atau AB mungkin tidak selalu tersedia. A = FFP golongan O harus diberikan
pada resipien bergolongan darah O
16
2. Kantung darah transfusi tidak bocor
3. Kantung darah tidak berada di luar lemari es lebih dari 2 jam, warna
plasma darah tidak merah jambu atau bergumpal dan sel darah merah tidak
terlihat keunguan atau hitam
4. Tanda gagal jantung. Jika ada, beri furosemid 1mg/kgBB IV saat awal
transfusi darah pada anak yang sirkulasi darahnya normal. Jangan
menyuntik ke dalam kantung darah.9
Lakukan pencatatan awal tentang suhu badan, frekuensi napas dan denyut
nadi anak. Jumlah awal darah yang ditransfusikan harus sebanyak 20 ml/kgBB
darah utuh, yang diberikan selama 3-4 jam.10
Selama transfusi
1. Jika tersedia, gunakan alat infus yang dapat mengatur laju transfusi
2. Periksa apakah darah mengalir pada laju yang tepat
3. Lihat tanda reaksi transfusi, terutama pada 15 menit pertama transfusi
4. Catat keadaan umum anak, suhu badan, denyut nadi dan frekuensi napas
setiap 30 menit
5. Catat waktu permulaan dan akhir transfusi dan berbagai reaksi yang
timbul.10
Setelah transfusi
Nilai kembali anak. Jika diperlukan tambahan darah, jumlah yang sama harus
ditransfusikan dan dosis furosemid (jika diberikan) diulangi kembali.10
V = W X (PCV 1 – PCV 0)
Keterangan :
V = volume darah yang diperlukan
W = berat badan (kg)
PCV 1 = Kenaikan kadar Ht (%)
PCV 0 = Kadar Ht awal (%)
18
2.7.2 Transfusi masif
Transfusi masif adalah transfusi darah dengan volume yang besar dalam waktu
singkat pada pasien dengan perdarahan yang berat atau tidak terkendali. Transfusi
ini sering digunakan pada keadaan perdarahan akut yang hebat, karena trauma,
pembedahan, dll, sebagai pencegahan syok hipovolemik. Perdarahan masif
membutuhkan transfusi masif untuk mempertahankan sirkulasi dan hemostasis
yang memadai. Pemberian darah transfusi pada kasus ini digunakan infus
bertekanan dengan kecepatan tinggi.12
Indikasi dilakukan transfusi masif pada anak-anak ditentukan berdasarkan
Total Blood Volume (TBV) menurut berat badan dan umur anak:12
Transfusi lebih dari 100% TBV dalam 24 jam
Transfusi pendukung untuk mengganti perdarahan yang sedang
berlangsung >10% TBV/menit
Penggantian >50% TBV oleh produk darah dalam 3 jam.
19
Tabel 2.6 Protokol transfusi masif pada anak12
Package RBC Plasma Platelets Cryo
(unit) (unit) (unit) (unit)
Neonatus (0-4 kg)
Emergensi ½
2 ½ 1/2 2 (3)
3 ½ 1/2 2 (1)
4 ½ 1/2 2 (3)
5 ½ 1/2 2 (1)
Infant (5-9 kg)
Emergensi 1
2 1 1 3
3 1 1 3 (2)
4 1 1 3
5 1 1 3 (2)
Young child (10-24 kg)
Emergensi 2
2 2 2 4 (6)
3 2 2 4
4 2 2 4 (6)
5 2 2 4
Older child (25-49 kg)
Emergensi 3
2 3 3 6
3 3 3 8
4 3 3 6
5 3 3 8
Gejala klinis
Reaksi transfusi AHTR baru mulai menimbulkan gejala setelah pasien menerima
setidaknya 20 mL darah yang inkompatibel. Manifestasi klinis AHTR yang umum
terlihat adalah tanda hemolisis intravaskular seperti hemoglobinuria (dark urine)
dan hemoglobinemia. Pelepasan histamin dan vasoaktif amin lain, serta sitokin
terutama interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-a (TNF-a),
menyebabkan pasien mengalami demam, menggigil, mual, muntah, hipotensi atau
hipertensi, mengi, nyeri dada, nyeri pinggang, atau nyeri abdomen,
hemoglobinuria, oliguria atau anuria, dan nyeri pada daerah insersi kateter vena.
21
Demam merupakan tanda awal AHTR yang penting dan untuk itulah perlunya
pengawasan pada menit-menit awal transfusi.
Kejadian AHTR akibat inkompatibilitas transfusi ini merupakan penyebab
kematian pada lebih dari separuh kasus kematian yang terkait transfusi. Insiden
AHTR tidak diketahui akan tetapi diperkirakan antara 1:12.000 – 70.000 transfusi
eritrosit. Insiden ini diduga lebih rendah dari yang sebenarnya karena kegagalan
dalam pengenalan dan pelaporan reaksi AHTR.13,14
Tatalaksana
Pencegahan AHTR terutama dengan meminimalisasi mistransfusi dan
inkompatibilitas ABO. Karena penyebab tersering AHTR adalah kekeliruan
pemberian darah yang kompatibel, maka identifikasi pasien dan unit darah atau
komponen darah yang dibedakan harus benar-benar tepat.13,14
22
Reaksi anafilasksis umumnya berupa reaksi hipersensitifitas tipe I yang
diperantarai IgE. Ketika alergen protein dari plasma daerah yang ditransfusikan
terikat pada IgE, sel mast teraktivasi dan melepaskan mediator anafilatoksin
seperti histamin, heparin, platelet-activating factor, leukotrien, sitokin dan
kemokin. Anafilatoksin ini merangsang influks sel dan cairan ke jaringan
menimbulkan gejala reaksi alergi di kulit, saluran nafas, sistem gastrointestinal
dan sistem kardiovaskular. Aktivasi sel mast juga dapat diperantarai oleh
mekanisme non-IgE seperti oleh IgG, kompleks imun, dan
komplemen.Imunoglobulin IgG dapat memperantarai reaksi alergi melalui fiksasi
komplemen yang menyebabkan pelepasan anafilatoksin C3a dan C5a.
Reaksi alergi dapat juga terjadi akibat adanya komponen dalam produk
darah seperti IgA, haptoglobin, obat seperti penisilin, atau bahan kimia sisa proses
penyediaan darah seperti etilen oksida yang dipakai untuk sterilisasi darah, dan
latex. Pasien yang menderita defisiensi IgA memiliki antigen terhadap IgA yang
akan bereaksi dengan IgA dalam darah donor. Pada orang normal yang juga
defisiensi IgA, antibodi terhadap IgA terbentuk pada 20-30% orang, sementara
pada orang yang menderita penyakit autoimun antibodi anti- IgA terdapat pada
80% pasien. Adanya anti-IgA pada resipien merupakan penyebab reaksi
anafilaksis yang berat, namun anti-IgA pada darah donor (donor mengalami
defisiensi IgA) dilaporkan tidak menimbulkan reaksi alergi berat bila
ditransfusikan pada resipien yang tidak defisiensi IgA. Defisiensi IgA banyak
dilaporkan di Finlandia yaitu 1:500 donor, Amerika Serikat dan UK 1:900 donor,
dan di Jepang dilaporkan lebih sedikit yaitu 1:18.500 donor.13,14
Gejala klinis
Manifestasi klinis reaksi alergi pada transfusi dapat bersifat lokal atau sistemik,
dapat berupa reaksi ringan atau berat dan mengancam jiwa. Untuk reaksi lokal
alergi umumnya memperlihatkan gejala ringan seperti urtikaria lokal, dan mulai
timbul selama transfusi atau 2-4 jam setelah transfusi selesai. Makin cepat awitan
gejala reaksi alergi muncul, makin berat menifestasi klinisnya. Reaksi alergi
ringan umumnya berupa gatal diikuti timbulnya ruam morbiliform, urtikaria atau
hives, angioedema lokal, edema bibir, lidah, atau uvula, edema dan pruritus
23
periorbita, atau edema konjungtiva. Reaksi urtikaria yang khas ditandai oleh
adanya bentol (hives) lokal, dengan batas tegas, disertai eritema sekitarnya dan
pruritus, sedangkan reaksi sistemik berupa reaksi alergi yang lebih berat dapat
berupa urtikaria generalisata, rasa gatal yang meluas atau menyeluruh biasanya
akan diikuti kemerahan kulit (flushing) dan urtikaria generalisata atau
angioedema. Gejala dan tanda reaksi alergi pada saluran nafas umumnya berupa
batuk, suara serak, atau obstruksi jalan nafas atas dan bawah. Obstruksi jalan
nafas atas menimbulkan perasaan seperti tersedak, nafas berbunyi, dan stridor.
Obstruksi jalan nafas bawah menyebabkan sesak, dada terasa berat, bunyi mengi
yang bisa nyata terdengar, dan sianosis.
Pada reaksi anafilaksis dan anafilaktoid, reaksi ini mulai timbul 1-45 menit
setelah transfusi. Gejala berupa urtikaria, pruritus, flushing, dan ruam yang luas
(>25% luas tubuh), mual, dan muntah. Gejala sistemik lain yang mengenai saluran
nafas akan muncul diikuti gejala kegagalan sirkulasi, hipotensi, takikardia, syok,
disertai penurunan kesadaran, dan henti jantung. 13,14
Tatalaksana
Tata laksana reaksi alergi adalah suportif dan tergantung derajat beratnya gejala.
Antihistamin seperti difenhidramin, loratadin, cetirizin, atau fexofenadin biasanya
cukup untuk mengatasi reaksi alergi ringan. Pemberian secaraintravena lebih
diutamakan untuk mendapat efek terapi yang cepat.
Urtikaria generalisata dapat diatasi dengan epinefrin disertai antihistamin.
Gejala gangguan saluran nafas seperti batuk, mengi atau sesak dapat diatasi
dengan pemberian inhalasi beta-2 agonis dan suplementasi oksigen. Hipotensi
perlu diatasi dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid secara cepat (10- 20
mL/kg berat badan). Pada reaksi alergi ringan lokal, transfusi dihentikan
sementara, pasien diberi antihistamin, dan apabila gejala alergi menghilang dalam
30 menit, maka transfusi dapat dilanjutkan. Cara ini hanya berlaku untuk reaksi
kulit lokal dan tidak berlaku bagi reaksi alergi yang lebih luas. Pada reaksi yang
luas atau sistemik sisa unit darah yang ditransfusikan tidak boleh diberikan lagi
meskipun gejala reaksi alergi telah menghilang.
24
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi berat yang merupakan
kegawatdaruratan medis sehingga perlu diobati secara agresif (Tabel 2.7).
Epinefrin merupakan obat pilihan pertama mengatasi reaksi anafilaksis oleh sebab
apapun termasuk akibat transfusi. Segera setelah diketahui terjadi reaksi
anafilaksis atau anafilaktoid, larutan epinefrin 1:1000 (1 mg/mL), harus
disuntikkan secara subkutan dengan dosis 0, 01 mL/kg berat badan (0, 2-0, 5 mL).
Dosis ini bisa diulang setelah 15-30 menit jika diperlukan. Cairan kristaloid 10-20
mL/kg berat badan diberikan secara cepat dalam 30 menit untuk menjaga volume
sirkulasi yang adekuat. Apabila pasien mengalami hipotensi, epinefrin 1:10.000
(0, 1 mg/mL) dosis 0, 1 mL/kg (1-5 mL) diberikan secara bolus intravena dalam
2-5 menit. Bila perlu epinefrin dilanjutkan dengan rumatan 1-4 μg/menit.
Pemberian inotropik dapat dipertimbangkan sesuai keadaan pasien.13
25
Gejala klinis
Gejala yang muncul pada FNHTR merupakan hasil rangkaian reaksi imun yang
dipicu oleh terbentuknya antibodi pada resipien terhadap human leukocyte antigen
(HLA) yang terpapar pada transfusi sebelumnya (alloimunisasi). Leukosit donor
ini berperan penting pada terjadinya alloimunisasi terutama pada pasien yang
sering mendapatkan transfusi. Resipien akan bereaksi terhadap paparan HLA yang
ada pada trombosit dan leukosit donor dengan melepaskan sitokin-sitokin pirogen
dan inflamasi seperti IL-1, IL-6, dan TNF-a. Selain alloimunisasi, FNHTR juga
dapat disebabkan oleh adanya produksi sitokin oleh leukosit donor yang
terakumulasi selama penyimpanan darah. Transfusi dengan darah yang
mengandung sitokin-sitokin ini mencetuskan FNHTR tanpa tergantung dari
produksi sitokin endogen.13,14
Tatalaksana
Apabila terjadi FNHTR maka transfusi harus dihentikan segera. Demam pada
FNHTR umumnya dapat menurun sendiri dalam 1-2 jam setelah transfusi
selesai.Antipiretik dapat diberikan untuk mempercepat penurunan demam dan
membuat pasien nyaman. Obat asetaminofen 10-15 mg/kgBB/hari per oral
merupakan obat utama pada kasus FNHTR. Antihistamin tidak terindikasi karena
FNHTR tidak terkait dengan pelepasan histamin. Sisa darah yang belum
ditransfusikan dapat diberikan pada pasien yang mengalami FNHTR berulang dan
ringan. Sebaiknya ditunggu hingga minimal 30 menit sebelum memulai transfusi
kembali untuk melihat kemungkinan timbulnya manifestasi klinis reaksi transfusi
yang berat. Sisa darah transfusi sebaiknya diberikan perlahan-lahan dan sambil
dipantau lebih ketat dan segera dihentikan apabila gejala muncul kembali. Demam
yang meningkat lebih dari 2 0C dari suhu awal sebeluum transfusi
mengindikasikan adanya reaksi akibat kontaminasi bakteri. Dalam keadaan seperti
ini maka sisa darah tidak boleh diberikan kembali.13,14
26
Tabel 2.7 Reaksi alergi dan tatalaksananya.14
Manifestasi klinis Terapi Pencegahan
Kulit Antihistamin : Untuk reaksi sedang-berat:
Urtikaria Diphenhydramin, oral atau 6–12 jam sebelum
Pruritis IV 1-1.5 mg/kg/dosis(max. transfusi:
Flushing 50 mg) Metilprednisolon IV 1
Edema area wajah mg/kg/dosis atau
Angioedema Hidrokortison IV 1
Saluran nafas mg/kg/dosis atau
Wheezing Inhalasi beta-2 agonis Prednison oral 1
Stridor (bronkospasme) mg/kg/dosis
Nebulisasi albuterol 0,5% :
Sesak
0,005 ml/kg (max. 1 ml
Batuk
diencerkan dalam 1-2 ml
Kardiovaskular normal saline)
Hipotensi
Penurunan
kesadaran
Gastrointestinal
Mual
Muntah
Tindakan agresif harus
Reaksi anafilaksis atau dilakukan, meliputi
anafilaktoid resusitasi dan pemberian
obat :
Epinephrine (1 : 1000)
SK 0.01
mg/kg/kali(Max. dose
0.5 mg [0.5 mL])
Diphenhydramine 1
mg/kg/dosis IV atau
IM (Max. 50 mg)
Metilprednisolon 1–2
mg/kg/dosis IV (Max.
125 mg)
Albuterol 0.5%,
nebulizer 0.01–0.05
mL/kg (Max. 1 mL)
28
Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari setelah transfusi
berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit, peningkatan kadar
bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada
apusan darah tepi. Beberapa kasus DHTR tidak memperlihatkan gejala klinis,
tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang
menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi
GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami
penyakit kritis, DHTR akan memperburuk kondisi penyakit.14
Jika tidak dijumpai reaksi hemolitik yang berat, tidak ada pengobatan yang
spesifik, dan dapat diberikan terapi suportif untuk mengatasi gejala klinis.
Pemberian transfusi dapat dihentikan atau diganti dengan pengganti darah jenis
lain. Konfirmasi pemeriksaan laboratorium pada prinsipnya hampir sama dengan
reaksi hemolitik akut.14
29
3. Gravt versus host disease (GVHD)
Transfusion-associated graft-versus-host disease merupakan reaksi yang
kompleks, jarang, dan sering fatal. Penyebab umumnya yaitu transfer limfosit T
imunokompeten pada komponen darah pada pasien dengan penurunan imun berat.
Hal ini bisa juga terjadi dari transfusi yang berasal dari anggota keluarga tingkat
pertama. Limfosit donor dikenali dan membelah pada resipien dengan penurunan
imun berat. Sel yang dikenali ini bereaksi terhadap jaringan asing asal resipien,
menyebabkan komplikasi pendarahan dan infeksi.15
Biasanya diagnosis ditegakkan pada stadium terakhir dari penyakit, pada
stadium permulaan kadang-kadang tidak dapat dibedakan dengan penyakit lain
seperti alergi obat atau akibat keracunan. Gejalanya berupa demam, bercak merah
(diffuse erythematous) yang biasanya timbul 1-2 minggu setelah transfusi darah
(terjadi setelah pembedahan). Selain gejala tersebut diatas dapat timbul gejala lain
yaitu gangguan fungsi hati, diare dan adanya darah di dalam feses selama
beberapa hari. Selanjutnya akan terjadi pansitopenia dan aplasia sumsum tulang
bahkan dapat berakibat fatal.15
Setelah diagnosis ditegakkan diberikan Cyclosporin A dan anti CD3. Tidak
ada suatu terapi yang tersedia untuk dapat menyembuhkan GVHD sesudah
transfusi dan angka kematian rata-rata mencapai 95%.15
4. Iron Overload
Iron overload atau kelebihan zat besi merupakan komplikasi utama pada pasien
yang memerlukan transfusi rutin dalam jangka waktu panjang dan lama, misalnya
pada pasien thallasemia beta mayor dan anemia refrakter. Setiap transfusi satu
unit darah biasanya mengandung 200 - 250 mg besi. Pasien dengan thalassemia
mayor atau anemia refrakter menerima 2-4 unit darah per bulan, asupan zat besi
pada pasien ini lebih kurang 5000 – 10.000 mg per tahun atau 0,3-0,6 mg/kg per
hari. Dalam kondisi normal, penyerapan dan pengeluaran zat besi seimbang dalam
tubuh yaitu 1 mg/hari, pada pasien ini tubuh tidak mampu mengeluarkan
kelebihan zat besi yang terjadi akibat transfusi darah sehingga terjadi penimbunan
zat besi / iron overload.1,16
30
Iron overload yang diakibatkan transfusi darah menyebabkan kerusakan
hati, organ endokrin, dan jantung. Kematian pada pasien dengan thallasimia beta
mayor tanpa terapi kelasi zat besi terjadi akibat gagal jantung atau aritmia,
biasanya terjadi pada akhir masa kanak-kanak atau pada usia remaja.1,16 Pada
keadaan penimbunan besi, terjadi peningkatan kadar besi serum, feritin serum,
SGOT, SGPT, kadar enzim transaminase serum dan saturasi transferin. Biopsi
hati merupakan baku emas (gold standard) untuk menilai penimbunan besi di hati,
serta dapat memberikan informasi mengenai derajat kerusakan hati, distribusi
penimbunan besi di hepatosit dan sel Kupffer dan penentuan secara langsung
konsentrasi besi di hati.17
31
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
1. Transfusi darah pada anak sebaiknya digunakan satu guideline yang dapat
diterapkan pada seluruh layanan kesehatan.
32
DAFTAR PUSTAKA
2. Grindon AJ. Blood donation. Dalam: Hillyer CD, Strauss RG, Luban NLC.
Pediatric Transfusion Medicine. Philadelphia: Elsevier; 2004. h. 2-3.
3. National blood users group. 2004. Guidelines for the administrations of blood
ang blood components. Dublin: Trinity College.h.18
4. Shah K Nitin dan Udgire Sunil. Blood components in pediatric practice. Dalam:
Lokeshwar MR. Textbook of pediatric hematology and hemato-oncology. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2016. h. 363-71.
8. Harris S, 2015. Blood Transfusion Policy for Children and Neonates. The
Royal Cornwall Hospitals NHS Trust
11. WHO. Pocket book of hospital care for children. 2013. Geneva: WHO.
12. Pahm HP, Shaz BH, 2013. Update on massive transfusion. British Journal of
Anaesthesia. New york: New York Bood Center.
16
18. Nency Yetty Movieta dan Sumanti Dana. Latar belakang penyakit pada
penggunaan transfusi komponen darah pada anak. Sari Pediatri. 2011; 13 (3): 159-
164.
34