Anda di halaman 1dari 39

ASUHAN KEPERAWATAN DIVERTICULAR DISEASE

MAKALAH

oleh
Istna Abidah Mardiyah
NIM 152310101070

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNVERSITAS JEMBER
2017
ASUHAN KEPERAWATAN DIVERTICULAR DISEASE

MAKALAH

diajukan guna melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah dengan dosen
pengampu Ns. Mulia Hakam,M.Kep., Sp.Kep.MB

oleh :
Istna Abidah Mardiyah
NIM 152310101070

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNVERSITAS JEMBER
2017

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunianya,sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Diverticular Disease”. Makalah ini disusun berdasarkan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Jember.

Penyusunan makalah ini tentunya tidak terlepas dari kontribusi berbagai pihak.
Oleh karenaitu,penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ns. Mulia Hakam,M.Kep., Sp.Kep.MB selaku dosen mata kuliah keperawatan


Medikal Bedah Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember.
2. Semua pihak yang secara tidak langsung membantu terciptanya makalah ini
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Jember, Mei 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i


HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
PRAKATA ..................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................... 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Pengertian ....................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi .................................................................................... 3
2.3Etiologi .............................................................................................. 3
2.4 Klasifikasi ........................................................................................ 6
2.5 Phatogenesis ..................................................................................... 6
2.6Phatofisiologi .................................................................................... 7
2.7Manifestasi klinis.............................................................................. 7
2.8PemeriksaanPenunjang ................................................................... 9
2.9Penatalaksanaan medis.................................................................... 9
BAB 3.KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN........................................... 13
3.1 Pengkajian ....................................................................................... 13
3.2 Diagnosis .......................................................................................... 20
3.3 Intervensi ......................................................................................... 21
3.4Implementasi .................................................................................... 23
3.5Evaluasi ............................................................................................. 23
BAB 4.PENUTUP ........................................................................................... 24
4.1 Simpulan ......................................................................................... 24
4.2 Saran ............................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit deverticular disease merupakan penyakit yang berhubungan dengan


pola makan dan asupan gizi pada tubuh. Penyakit deverticular disease terjadi karena
perubahan pola makan akubat dari konsumsi jenis makanan yang mengandung banyak
serat ke jenis makanan yang kurang mengandung banyak serat. Prevalensi deverticula
disease berjumlah 75% dari jumlah populasi di Amerika Serikat yang berusia diatas 80
tahun. Prevalensi tersebut meningkat secara drastis seiring dengan menurunnya asupan
makanan berserat tinggi. (Schwartz, 2007). Berdasarkan survey lapangan didapatkan
hasil prevalensi penyakit divertikula diperkirakan kurang dari 5% pada usia 40 tahun,
meningkat menjadi 30%pada usia 60 tahun, dan menjadi sebesar 65% pada usia 85
tahun dengan semua jenis kelamin dapat terserang penyakit deverticular disease yaitu
meliputi pria dan wanita. Secara geografis, penyakit divertikula tersebut banyak muncul
di negara yang tinggi terhadap industrialisasi seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat
daripada Negara dengan industrialisasi yang kurang seperti Afrika, Amerika Selatan,
dan Asia. (Sabiston, 2000). Diperkirakan 90-95% penderita dengan divertikulosis
melibatkan kolon sigmoid, dan 65% penderita mempunyai penyakit yang terbatas hanya
terbatas pada kolon sigmoid. Sebaliknya, hanya 2-10% penderita mempunyai penyakit
yang terbatas pada colon asenden atau transversum. (Sabiston,2000).

Deverticular disease merupakan penyakit karena adanya peradangan yang terjadi


pada divertikula yang disebabkan oleh kontraksi otot kolon (Painter, 2013). Terbukti
dengan penelitian penderita divertikula dapat menimbulkan respon kontraktil berlebihan
terhadap stimuli hormonal sehingga kontraksi otot kolon yang abnormal tersebut
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal dengan akibat hipertrofi otot polos dan
pembentukan divertikula. Divertikulum sering disebut dengan istilah herniasi usus
besar yang menyerupai kantung yang terbentuk melalui defek pada lapisan otot tertentu.
(Brunner, 2016). Penyakit ini disepabkan karena kurangnya supan serat pada tubuh,
misalnya diet tinggi lemak. Kebanyakan diera modern ini masyarakat dunia termasuk di
Indonesia kurang memperhatikan asupan serat bagi tubuh dalam memenuhi nutrisi

1
seharai-hari. Sehingga perlu adanya penyuluhan dan deteksi dini terkait penyakit
diverticular disease ini.

Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian divertikular disease ?
1.2.2 Bagaimana epidemiologi divertikular disease ?
1.2.3 Bagaimana etiologi dari divertikular disease ?
1.2.4 Bagaimana klasifikasi divertikular disease ?
1.2.5 Bagaimana pathogenesis divertikular disease ?
1.2.6 Bagaimana patofisiologi divertikular disease ?
1.2.7 Bagaimana manifestasi klinis divertikular disease ?
1.2.8 Bagaimana pemeriksaan penunjang divertikular disease ?
1.2.9 Bagaimana penatalaksanakan medis divertikular disease ?
1.2 Tujuan
Tujuan Umum
Untuk mempelajari tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Diverticular
disease.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui konsep dasar teoritis Divertikular disease.
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan
Divertikular disease, yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,
intervensi, implementasi dan evaluasi.

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Deverticular disease merupakan penyakit karena adanya peradangan yang terjadi
pada divertikula yang disebabkan oleh kontraksi otot kolon (Painter, 2013).
Divertikular disease yaitu adanya divertikel semu multiple, tidak bergejala pada
80% penderita. Divertikulitis adalah radang akut dalam divertikel tanpa atau
dengan perforasi. (Sjamsuhidajat, 2007).

Gambar 2.1.1 Diverticular disease

Divertikular disease merupakan penyakit pada saluran pencernaan yang timbul


karena adanya penonjolan berbentuk kantung dari dinding kolon dengan besar
bervariasi dari beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter. Divertikula
biasanya merupakan manifestasi motalitas yang abnormal. Divertikulum dapat
terjadi di mana saja sepanjang saluran gastrointestinal.(Sabiston, 2000).
Divertikular disease adalah penyakit yang terjadi karena adanya herniasi pada kolon
yang menyerupai kantung yang terbentuk melalui defek pada lapisan otot tertentu.
(Brunner, 2016).
Jadi, berdasarkan beberapa pengertian devertikular disease diatas dapat
disimpulkan bahwa deverticular sisease merupakan gangguan pada pencernaan
yang terjadi di divertikula karena kontraksi pada otot kolon, biasanya ditemukan
penonjolan berbentuk kantung di dinding kolon.
2.2 Epidemiologi

3
Berdasarkan survey penyakit tidak menular ditemukan jumlah prevalensi dari
divertikular disease diperkirakan kurang dari 5% pada usia 40 tahun, meningkat
menjadi 30% pada usia 60 tahun, dan menjadi besar 65% pada usia 85 tahun
dengan semua jenis kelamin dapat terserang penyakit deverticular disease yaitu
meliputi pria dan wanita. Secara geografis, penyakit divertikula tersebut banyak
muncul di negara yang tinggi terhadap industrialisasi seperti Amerika Serikat dan
Eropa Barat daripada Negara dengan industrialisasi yang kurang seperti Afrika,
Amerika Selatan, dan Asia. (Sabiston, 2000)
2.3 Etiologi
Deverticular disease biasanya disebabkan kan kare kurangnya supan serat pada
tubuh. Penyebab timbulnya divertikula diduga karena faktor makanan. Penelitian
klinik dan eksperimental telah melibatkan diet-rendah-serat sebagai faktor
radiologic yang menonjol. Diet yang kurang serat sayuran diduga merupakan
predisposisi untuk timbulnya divertikula akibat motilitas kolon terganggu. Terdapat
bukti bahwa penderita divertikula menimbulkan respon kontraktil berlebihan
terhadap makanan dan stimuli hormonal. otot abnormal ini diduga menyebabkan
peningkatan tekanan intraluminal dengan akibat hipertrofi otot polos dan
pembentukan divertikula. Secara anatomi, divertikula membentuk titik”lemah”
dimana pembuluh darah nutrient (vasa recta) menembus lapisan otot sirkular ke
mukosa. “perforasi” pembuluh darah ini cenderung menembus dinding kolon
sepanjang tepi mesenteric kedua taenia antimesentrik. Divertikula dapat terjadi
dilokasi manapun diusus kecil maupun kolon sigmoid. Diverkulosis terjadi apabila
terdapat beberapa divertikula tanpa disertai inflamasi atau gejala. Kasus ini paling
sering dijumpai pada lansia usia lebih dari 80 tahun. Asupan rendah serat diet yang
rendah merupakan faktor predisposisi utama. Divertikulitis terjadi ketika makanan
dan bakteri yang tertahan didalam divertikulum menyebabkan infeksi dan inflamasi
yang dapat menghambat pengeluaran cairan dan mengakibatkan perforasi atau
abses. Diverticulitis dapat terjadi dalam bentuk serangan akut atau sebagai infeksi
kronis yang terpendam. Predisposisi kemungkinan bersifat congenital apabila
gangguan muncul pada individu berusia dibawah 40 tahun. (Brunner, 2016)
Divertikulum yang didapat merupakan pembentukan kantong keluar yang
diinduksi tarikan pada dinding kolon, yang berkembang dalam pola agak klasik

4
dalam dua baris diantara tenia, melalui cacat dalam stratum sirkularis tunika
muskularis pada tempat masuknya pembuluh darah. Perkembangannya
berhubungan dengan area lokalista tekanan intralumen yang tinggi diantara cincin
kontraksi haustra. Divertikulosis mempunyai predileksi bagi kolon sigmoideum dan
descenden distalis dalam sekitar 80% pasien. Divertikulosis jarang timbul didalam
rectum dan kadang terlihat pada sisi kanan. Divertikulosis terutama mengenai
masyarakat beradab dan kurangnya bagian kasar diet bisa berperanan sebagai
penyebab. Faktor lain mencakup penuaan, obesitas, sifat genetika, dan konstipasi
kronis. (Sabiston, 1994)
2.4 Klasifikasi

2.4.1 Divertikulosis

Diverticulosis merupakan gangguan perncernaan karena adanya penonjolan-


penonjolan deverticula di usus besar, sehingga menyebabkan perdarahan pada usus
besar. Perdarahan dapat diduga akan terjadi pada 15% penderita dengan
divertikulosis, dan penyakit divertikula merupakan penyebab bagi 30-50%
perdarahan kolon massif. Perdarahan divertikula timbul dari kolon kanan pada 70-
90% penderita, dan 70% penderita dengan perdarahan divertikula akan berhenti
spontan. (Sabiston, 2000).

2.4.2 Divertikulitis

Diverticulitis dapat terjadi karena diverkulosis yang sudah parah dan tidak
segera diatasi karena diverticulum pecah dan infeksi set di sekitar divertikulum
tersebut, kondisi tersebut disebut dengan diverticulitis. Istilah divertikulitis
menyatakan inflamasi satu atau lebih divertikula dan menggambarkan, pada tingkat
anatomic, perforasi divertikulum kedalam ruang perikolik. Penderita diverticulitis
dengan komplikasi menimbulkan masalah seperti obstruksi kolon, pembentukan
abses, perforasi bebas, atau fistulisasi. (Sabiston, 2000)
2.5 Patogenesis
Divertikel saluran cerna paling sering ditemukan dikolon, khususnya disigmoid.
Divertikel kolon adalah divertikel palsu karena terdiri dari mukosa yang menonjol
melalui lapisan otot seperti hernia kecil. Di vertikel sejati jarang ditemukan

5
dikolon. Divertikel ini disebut divertikel pulsi (pukulan) karena disebabkan oleh
tekanan tinggi dibagian usus distal ini. Besarnya berkisar antara beberapa
millimeter – 2 sentimeter; leher divertikel atau pintunya biasanya sempit tetapi
mungkin lebar. Kadang terbentuk fekolit (batu tinja) didalamnya. Pada orang barat
95% divertikel kolon terdapat disigmoid. Divertikel soliter disekum atau divertikel
multiple dikolon asendens, yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang
asia. (Sjamsuhidajat, 2007)
Pathogenesis dipengaruhi tekanan intralumen dan defek didinding sigmoid.
Tekanan intraluminer bergantung pada kepadatan feses yang meningkat
bilakekurangan serat. Defek kecil dilapisan otot dinding usus ditemukan pada
tempat keluarnya arteri ke apendiks epiploika. (Sjamsuhidajat, 2007)
2.6 Patofisiologi/patologi
Divertikulosis menunjukkan kehadiran divertikulum didalam kolon dan keadaan
patologi terlazim dengan lesi ini adalah diverticulitis. Merupakan suatu keadaan
peradangan yang timbul setelah obstruksi leher divertikulum oleh tinja dan kadang-
kadang barium. Proses ini menyebabkan penyempitan kolon dan bisa berlanjut ke
obstruksi lengkap yang meniru manifesti klinis karsinoma. Perdarahan
gastrointestinal bawah yang massif bisa mengikuti ulserasi didalam divertikulum.
Abses, fistula atau perforasi sering mengkomplikasi perjalanan diverticulitis, sering
dengan perikolitis dan edema mesentrium. (Sabiston, 1994)
Divertikulosis kolon merupakan penyebab yang paling umum dari perdarahan
saluran cerna bagian bawah. Divertikula kolon merupakan lesi yang diperoleh
secara umum dari usus besar pada perut. Dasar anatomi penyebab dari perdarahan
ialah pecahnya secara asimetris cabang intramural (di vasa recta) dari arteri
marginal pada kubah divertikulum atau pada margin antimesenterikus. Divertikula
paling sering terletak pada kolon sigmoid dan kolon descendens. Kemungkinannya
disebabkan oleh faktor traumatis lumen, termasuk fecalith yang menyebabkan
abrasi dari pembuluh darah, sehingga terjadi perdarahan. Perdarahan dari lesi kolon
kanan dapat lebih banyak dan menghasilkan volume yang lebih besar daripada
divertikula sisi sebelah kiri. Perdarahan divertikular berasal dari vasa recta yang
terletak di submukosa, yang dapat pecah pada bagian puncak atau leher dari
divertikulum tersebut. Divertikula yang terletak pada sisi kanan dapat mengekspos

6
bagian yang lebih besar dari vasa recta menjadi luka, karena mereka memiliki
bagian leher yang lebih luas dan bagian kubah yang lebih besar dibandingkan
dengan divertikulum khas pada kolon sisi kiri.

Pathway
Penurunan kekuatan otot Peningkatan tekanan Volume kolon rendah
dalam dinding kolon intraluminal serat

Hipertrofi muskuler

Herniasi lapisan
mukosa dan submukosa

Divertikulum

Obstruksi

Inflamasi

Inflamasi menyebar ke Inflamasi menimbulkan


dinding erosi pembuluh darah
arterial

Abses
perdarahan

peritonitis

7
2.7 Manifestasi Klinis
Divertikulum kolon tanpa gejala,kecuali bila dikomplikasi oleh mikroperforasi
dan infeksi, diverticulitis atau perdarahan rectum tanpa nyeri. Diverticulitis akut
mengikuti perforasi dan fekalit yang terperangkap mengerosi mukosa serta
memungkinkan infeksi menyebar ke dinding usus berdekatan. Manifestasi klinis
diverticulitis mencakup nyeri dan nyeri tekan abdomen, konstipasi, distensi ringan,
demam, dan lekositosis. Masa didalam abdomen, rectum atau vagina biasanya
dapat dipalpasi serta juga bisa timbul diare. Gejala iritasi vesika urinaria karena
piuria (frekuensi, disuria, dan urgency) sering disebabkan oleh masa peradangan
yang mengenai vesika urinaria atau perkembangan fistula kedalam vesika urinaria.
Perdarahan dari divertikulum timbul sebagai perdarahan rectum mendadak
berwarna merah tua atau merah terang. Biasanya tanpa nyeri atau bisa disertai
dengan kram ringan. Kadang perdarahan bisa massif, yang menyebabkan syok
hemoragik atau kematian. Perdarahan divertikulum jarang timbul menyertai
diverticulitis akuta. Diagnosis banding mencakup apendisitis, penyakit adneska
peradangan, karsinoma ovarium, prostatitis, karsinoma sigmoideum dan berbagai
jenis colitis peradangan,iskemik, infeksiosa. Jika kolon sigmoideum berlebihan
danmelipat kearah kuadran kanan bawah, maka diverticulitis dalam area ini dapat
meniru apenditis. Enema barium adalah pemeriksaan diagnostic yang penting,
tetapi biasanya ditunda selama stadium akuta. Setelah serangan akuta mereda,maka
dilakukan persiapan usus dengan enema pembersihan yang lembut daripada dengan
laksatif. Criteria radiografi bagi diagnosis diverticulitis akuta telah berubah dalam
tahun belakang ini. Pola gigi gergaji bergerigi tajam dengan divertikulum dalam
penyempitan lumen, criteria yang lazim digunakan dimasa lampau, tidak lagi
merupakan bukti peradangan yang tepat. (Sabiston, 1994)
Obstruksi bisa mengikuti diverticulitis kronika, penebalan peradangan, fibrosis,
dan tekanan dari abses perikolika. Kecuali respon klinis terhadap terapi non bedah
segera didapat, maka pendekatan operasi yang serupa dengan yang digunakan bagi
diverticulitis akuta dengan abses, diindikasikan. (Sabiston, 1994). Perforasi kolon
yang disertai dengan abses jarang terjadi, tetapi kadang-kadang terihat menyertai
terapi kortikoseroid. Tanda sepsis dan syok bisa ditutup sementara waktu oleh
steroid dan tingginya indeks kecurigaan penting dalam membuat diagnosis. Eksisi

8
segera dengan kolostomi penglihatan proksimal merupakan terapi pilihan.
(Sabiston, 1994)
Perdarahan dari divertikulum kolon biasanya berhenti spontan dan dapat
ditangani secara konservatif dengan penggantian darah sesuai keperluan. Kurang
dari 20% pasien dengan perdarahan divertikulum mengalami perdarahan bermakna
yang menetap atau kambuh. Walaupun divertikulum kolon kanan kurang sering
dibandingkan kolon kiri, bila ada tampaknya mempunyai kecenderungan lebih
besar untuk berdarah. Perbedaan jelas ini sebagian bisa karena kebingungan dengan
malformasi anteriovenosa didalam kolon kanan.karena malformasi demikian sulit
didiagnosis dengan cara biasa bersama perdarahan yang menetap dan tak dapat
dispesifikasi, maka arteriografi diindikasikan. Karsinoma kolon dapat
menyebabkan perdarahan massif, tetapi hal tersebut tidak lazim. (Sabiston, 1994).
Divertikulosis yaitu adanya divertikel semu multiple, tidak bergejala pada 80%
penderita. Keluhan dan tanda berupa serangan nyeri, obstipasi, dan diare oleh
gangguan motilitas sigmoid. Pada pemeriksaan didapatkan nyeri tekan local ringan
dan sigmoid sering dapat dan diraba sebagai struktur padat. Tidak ada demam atau
leukositosis bila tidak ada radang. Keadaan umum tidak terganggu dan tanda
sistemik juga tidak ada. Pada foto roentgen barium tampak divertikel dengan
spasme local dan penebalan dinding yang menyebabkan penyempitan lumen.
(Sjamsuhidajat, 2007)
Menurut brunner, 2016
a. Sering kali tidak terlihat gejala yang bermasalah,konstipasi kronis kerap
mengawali perjalanan penyakit.
b. BAB yang tidak teratur, sesekali disertai diare,mual dan anoreksia, serta
kembung atau distensi abdomen.
c. Kram,ukuran feses menyempit , dan peningkatan konstipasi atau terkadang
obstruksi usus.
d. Kelemahan,keletihan, dan anoreksia.

Diverticulitis adalah radang akut dalam divertikel tanpa atau dengan perforasi.
Biasanya radang disebabkan oleh retensi feses didalamnya. Tekanan tinggi dalam
sigmoid yang berperan pada terjadinya divertikel. Perforasi akibat diverticulitis

9
menyebabkan peridivertikulitis terbatas, abses, atau peritonis umum. Diagnosis
banding terpenting adalah karsinoma kolon kiri atau kelainan ginekologik.
(Sjamsuhidajat,2007)
Menurut brunner, 2016
a. Nyeri akut ringan hingga berat dikuadran kiri bawah.
b. Mual, muntah, demam, menggigil, dan leuositosis.
c. Jika tidak ditangani peritonitis dan septicemia.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar x dengan barium enema.
b. Endokopi (kolonoskopi) untuk menyingkirkan karsinoma kolon.
c. Laboratorium
2.9 Penatalaksanakan Medis
Pada serangan akut dilakukan tindakan konservatif berupa puasa, pemasangan
pipa hisab lambung, infuse, pemberian antibiotic sistemik, dan analgetik. Reseksi
bagian kolon yang mengandung divertikel multiple dapat dikerjakan secara elektif
setelah diverticulitis menyembuh. Reseksi sigmoid biasanya dilakukan dengan cara
Hartmann dengan kolostomi sementara. Cara ini dipilih untuk menghindari resiko
tinggi gangguan penyembuhan luka anastomosis baru dikerjakan setelah rongga
perut dan lapangan bedah bebas kontaminasi dan radang.(Sjamsuhidajat, 2007).
Komplikasi parah diverticulitis yang mencakup perforasi kolon, perdarahan tak
terkendali, fistula dan obstruksi merupakan indikasi intervensi bedah gawat darurat.
Proses peradangan dalam diverticulitis akuta bisa dilokalisir oleh peritoneum
abdomen sekeliling atau bisa berpenetrasi kedalamorgan berdekatan. Jika proses ini
tampak tampak local tanpa bukti peritonitis yang menyebar maka diindikasikan
terapi non bedah intensif. Pengisapan nasogaster bagi distensi dan cairan intravena
untuk pemeliharaan hidrasi dan keseimbangan elektrolit bersifat penting.
Antibiotika berspektrum luas, biasanya mencakup ampisilin dan gentamisin,
diberikan secara sistemik. Sering abses hilang dengan terapi demikian serta laksatif
yang menyerap air dan bertindak sebagai masa didalam kolon, dan diet yang tepat
bisa mencegah serangan lebih lanjut. (Sabiston, 1994)
Menetap atau membesarnya masa peradangan bersama demam, peningkatan
nyeri dan nyeri tekan, lekositosis serta tanda sepsis mengaharuskan intervensi

10
bedah segera. Jika masa peradangan tak dapat disingkirkan, maka biasanya
dilakukan kolostomi pengalihan. Hal ini merupakan penatalaksanaan klasik
perforasi dan jika digunakan mungkin dapat dianjurkan untuk menempatkan
kolostomi serendah mungkin, lebih disukai dalam kolon desenden atau kolon
sigmoideum untuk memungkinkan evakuasi melalui kolostomi dan mencegah
peradangan lebih lanjut pada tempat abses. Abses juga didrainase serentak, terapi
suportif intensif diteruskan dan reseksi dapat dilakukan secara terencana 6-8
minggu kemudian dengan pemulihan kesinambungan. Akhirnya pembukaan
kolostomi dilakukan sebagai operasi ketiga. Ini adalah terapi tradisional bagi
diverticulitis perforate dengan peritonitis yang dianjurkan dimasa lampau.
Pendekatan ini memerlukan tiga operasi dengan konvalensensi lama dan
peningkatan mortalitas total. Biasanya kolon yang terlibat direseksi dengan drainasi
abses dan kolostomi proksimal dengan penutupan kolon sigmoideum distal.
Reanastomosis terencana pada kolon dilakukan 6-8 minggu kemudian. Reseksi
segera dan anstomosis ujung ke ujung tanpa pembuatan kolostomi penglihatan telah
dianjurkan dalam pasien terpilih dan merupakan tindakan yang dapat diterima.
(Sabiston, 1994).
Penanganan diverticulitis Menurut Brunner (2016), penatalaksanaannya dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Diverticulitis biasanya ditangani dengan rawat jalan, berupa pemberian medikasi
dan diet, gejala ditangan dengan istirahat,analgesic, dan antispasmedik.
b. Pasien dianjurkan untuk minum cairan bening sampai inflamasi mereda,
kemudian berikan diet tinggi serat dan rendah lemak. Antibiotic diresepkan
untuk 7-10 hari, dan laksatif pembentuk bungkal juga diresepkan.
c. Pasien yang menunjukkan gejala berat, dan terkadang pasien lansia,pasien yang
mengalami gangguan imu, atau pasien yang menggunakan kortikosteroid harus
dirawat inap. Untuk diistirahatkan dengan menghentikan asupan cairan,
memberikan cairan IV dan melakukan pengisapan nasogastric.
d. Antibiotic spectrum luas dan analgesic diresepkan, opioid diresepkan untuk
meredakan nyeri. Asupan oral ditingkatkan setelah gejala reda. Diet rendah serat
harus diberikan sampai tanda-tanda infeksi berkurang.
e. Antipasmodik seperti propantelin bromide dan oksifensiklimina diresepkan.

11
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
a. Identitas klien
Nama :-
Umur : terjadi pada klien dengan usia 40tahun, tetapi lebih banyak pada
klien yang berusi >60tahun
Jenis Kelamin: Laki-laki memiliki resiko yang sama
Suku :-
Alamat : Lebih banyak terjadi di Negara industri seperti Amerika Serikat
dan Eropa Barat
b. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Klien datang dengan keluhan nyeri didaerah abdomen.
2. Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan gejala devertikulum biasanya merasakan nyeri hebat
dibagian perut yang terinfeksi.
3. Riwayat penyakit dahulu
Memiliki riwayat nyeri perut sebelumnya.
4. Riwayat penyakit keluarga
Salah satu keluarga memiliki riwayat devertikular disease
c. Pola fungsi kesehatan
1. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien mengalami penurunan nafsu makan karena klien akan muntah bila
makan.
2. Pola aktivitas.
Aktivitas klien akan terbatasi karena klien kehilangan sebagian energy
akibat susah makan.
3. Pola istirahat dan tidur.
Terjadi perubahan pola tidur karena kadang klien merasakan nyeri.
4. Pola eliminasi
Seseorang yang mengalami divertikulum sebagian besar mengalami
kesulitan dalam pola eliminasi.

12
5. Pola hubungan peran
Hubungan dan peran klien dalam keluarga mengalami perubahan karena
adanya perubahan kenyamanan pada klien.
6. Pola penanggulan stress
Biasanya klien merasa cemas dan stress karena keadaan penyakitnya.
7. Pola tata nilai dan kepercayaan
Dalam hal beribadah klien sedikit terganggu dengan adanya nyeri pada
abdomen.
8. Pola fungsi dan seksualitas
Reproduksi klien dalam batas normal
d. Observasi dan pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Kesadaran composmentis, tampak lemah
2. Tanda-tanda vital
Nadi : takikardi
Suhu : Hipertermi, jika terkena infeksi
TD : Hipertensi karena ansietas terhadap nyeri
3. Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala : simetris, tidak terdapat luka, tidak ada benjolan, kulit kepala
bersih.
Rambut : tidak ketombe
Muka : tampak sayu, tidak ada luka
Mata : penglihatan normal, konjungtiva tidak enemis
Hidung : bentuk simetris tidak terdapat secret
Mulut : bibir agak kering, tidak bau, lidah tidak kotor.
Leher : tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
4. Pemeriksaan thorax
Bentuk normal tidak ada kelainan, paru suara dan nafas normal tidak ada
suara tambahan,jantung teratur tidak ada suara tambahan
5. Pemeriksaan abdomen
Terjadi ketegangan pada abdomen sehingga sulit untuk BAB
6. Pemeriksaan ektremitas

13
Ekstremitas tidak ada kelainan
7. Pemeriksaan integumen
Kulit kering tidak ada kelainan
8. Pemeriksaan genetalia
Keadaan genetalia bersih
9. Pemeriksaan neurologi
System syaraf normal
e. Pemeriksaan diagnostic
1. Sinar-X abdomen
2. Enema barium
3. CT scan
4. Test laboratorium
5. kolonoskopi
3.2 Diagnosa
Data Etiologi Masalah
Ds: klien mengeluh nyeri Penahanan/ penonjolan Nyeri akut
pada perut. keluar pada mukosa dan
Do: Klien tampak sub mukosa disaluran
gelisah gastrointestinal.
Ds: klien mengeluh Penyempitan kolon Gangguan BAB
kembung pada sekunder akibat (Konstipasi)
abdomen, merasa penebalan segmen otot
mual. dan struktur.
Do: perut klien buncit,
agak keras
Ds: Klien mengatakan Penurunan nafsu makan ketidakseimbangan nutrisi
mual, tidak nafsu terhadap nyeri ditandai kurang dari kebutuhan
makan. dengan hanya makan 3-4 tubuh.
Do: klien lemas, lesu, sendok.
porsi makan hanya 3-
4 sendok.
Ds: klien mengatakan Gangguan pola tidur Gangguan pola tidur

14
tidak bisa tidur karena berhubungan dengan
merasa nyeri. nyeri pada abdomen yang
Do:klien gelisah ditandai klien gelisah.
Ds : klien cemas, Ansietas yang Ansietas
penyakitnya tidak berhubungan dengan
sembuh sembuh nyeri yang tidak sembuh
Do : klien tampak cemas sembuh ditandai klien
tampak cemas
Ds : Klien merasakan Hipertermia yang Hipertermia
panas dalam berhubungan dengan
tubuhnya, kedinginan. dehidrasi ditandai dengan
Do: Suhu 39oC, nadi suhu tubuh 39oC, nadi
cepat cepat

Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kronis yang berhubungan dengan penahanan/ penonjolan keluar
pada mukosa dan sub mukosa disaluran gastrointestinal yang ditandai
klien mengeluh nyeri pada perut, klien tampak gelisah.
2. Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi (pembedahan) ditandai dengan
klien Terdapat luka post operasi pada daerah kuadran kiri bawah.
,Klien meringis kesakitan dan skala nyeri 5
3. Konstipasi yang berhubungan dengan penyempitan kolon sekunder akibat
penebalan segmen otot dan struktur yang ditandai dengan klien mengeluh
kembung pada abdomen, merasa mual, perut klien buncit, agak keras.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuhyang berhubungan
dengan penurunan nafsu makan terhadap nyeri ditandai dengan hanya
makan setengah porsi makan.
5. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan klien merasakan nyeri
pada abdomen ditandai pasien gelisah.
6. Ansietas yang berhubungan dengan nyeri yang tidak kunjung sembuh
yang ditandai klien tampak cemas.

15
7. Hipertermia yang berhubungan dengan dehidrasi yang ditandai dengan
suhu tubuh 39oC, nadi cepat
3.3 Intervensi
Diagnosa Tujuan dan criteria hasil intervensi
Nyeri akut NOC 1. osis optimal.
Pain level 2. Pilih rute pemberian secara
Pain control IV, IM untuk pengobatan
Comfort level nyeri teratur.
Kriteria hasil 3. Monitor vital sign sebelum
1. Mampu mengontrol dan sesudah pemberian
nyeri (tahu penyebab analgesic pertama kali.
nyeri, mampu 4. Berikan analgesic tepat
menggunakan teknik 5. waktu terutama saat nyeri
non farmakologi hebat.
untuk mengurangi 6. Evaluasi efektivitas
nyeri) analgesic tanda dan gejala.
2. Melaporkan bahwa
nyeri berkurang
dengan menggunakan
manjemen nyeri.
3. Mampu mengenali
nyeri (skala,
intensitas, frekuensi
dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri
berkurang.
Nyeri kronis NOC NIC
Comfort level 1. Pain Manajemen
Pain control 2. Monitor kepuasan
Pain level pasien terhadap
Kriteria hasil manajemen nyeri3.

16
1. Tidak ada gangguan 3. Tingkatkan istirahat
tidur dan tidur yang adekuat
2. Tidak ada gangguan 4. Kelola anti analgetik
konsentrasi 5. Jelaskan pada pasien
3.Tidak ada gangguan penyebab nyeri
hubungan interpersonal 6. Lakukan tehnik
4. Tidak ada ekspresi nonfarmakologis
menahan nyeri dan (relaksasi, masase
ungkapan secara verbal punggung)
5. Tidak ada tegangan
otot

Konstipasi NOC NIC


Bowel elimination Konstipasi/impaction
Hydration management
Kriteria hasil 1. Monitor tanda dan gejala
1. Mempertahankan konstipasi.
bentuk feses. 2. Monitor bising usus.
2. Lunak setiap 1-3 hari. 3. Monitor feses (frekuensi,
3. Bebas dari konsistensi, dan volume)
ketidaknyamanan dan 4. Jelaskan etiologi dan
konstipasi. rasionalisasi tindakan
4. Mengidentifikasi terhadap pasien.
indicator untuk 5. Identifikasi faktor
mencegah konstipasi. penyebab konstribusi
5. Feses lunak dan konstipasi.
berbentuk. 6. Dukung intake cairan
7. Kolaborasikan pemberian
laksatif.
8. Pantau tanda-tanda dan
gejala impaksi.

17
9. Memantau gerakan usus,
termasuk konsistensi
frekuensi, bentuk,
volume, dan warna.
10. Memantau bising usus.
11. Konsultasikan dengan
dokter tentang
penurunan/kenaikan
frekuensi bising usus.
12. Pantau tanda gejala
pecahnya usus/peritonitis
13. Jelaskan etiologi masalah
dan pemikiran untuk
tindakan pasien.
14. Mendorong meningkatkan
asupan cairan.
15. Evaluasi profil obat untuk
efek samping
gastrointestinal.
16. Anjurkan pasien/keluarga
mencatat warna, volume,
frekuensi, dan konsistensi
tinja.
17. Anjurkan pasien untuk
diet tinggi serat.
18. Anjurkan pasien pada
penggunakan yang tepat
dari obat pencahar.
19. Anjurkan pasien pada
hubungan asupan diet,
olahraga, dan cairan
sembelit/impaksi.

18
20. Timbang BB pasien
secara teratur.
Ketidakseimbangan NOC NIC
nutrisi kurang dari 1. Nutrisional status Nutrision management
kebutuhan tubuh 2. Intake 1. Kaji adanya alergi
3. Weight control makanan.
Kriteria Hasil 2. Kolaborasi dengan ahli
1. Adanya peningkatan gizi untuk menentukan
berat badan sesuai jumlah kalori dan nutrisi
tujuan. yang dibutuhkan pasien.
2. Berat badan ideal 3. Anjurkan pasien untuk
sesuai tinggi badan. meningkatkan protein dan
3. Mampu vitamin C
mengidentifikasi 4. Berikan substansi gula.
kebutuhan nutrisi. 5. Yakinkan diet yang
4. Tidak ada tanda-tanda dimakan mengandung
malnutrisi. tinggi serat untuk
5. Menunjukkan mencegah konstipasi.
peningkatan fungsi 6. Berikan makanan yang
pengecapan dan terpilih.
menelan. 7. Monitor jumlah nutrisi
6. Tidak terjadi dan kandungan kalori.
penurunan berat badan 8. Berikan informasi tentang
yang berarti. kebutuhan nutrisi.
9. Kaji kemampuan pasien
untuk mendapatkan
nutrisi yang dibutuhkan.
Nutrision monitoring
1. BB pasien dalam batas
normal.
2. Monitor adanya
penurunan berat badan.

19
3. Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa
dilakukan.
4. Monitor interaksi anak
atau orang tua selama
makan.
5. Monitor lingkungan
selama makan.
6. Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi.
7. Monitor turgor kulit
8. Monitor kekeringan,
rambut kusam, dan
mudah patah.
9. Monitor mual dan
muntah.
10. Monitor kadar albumin,
total protein, Hb, dan
kadar Ht.
11. Monitor pertumbuhan dan
perkembangan.
12. Monitor pucat, kemerahan
dan kekeringan jaringan
konjungtiva.
13. Monitor kalori dan intake
nutrisi.
14. Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik,
papilla lidah dan cavitas
oral.
15. Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet.

20
Gangguan pola NOC NIC
tidur 1. Anxiety reduction Sleep Enhancement
2. Comfort level 1. Determinasi efek-efek
3. Pain level medikasi terhadap pola
4. Rest : Extent dan tidur
pattern 2. Jelaskan pentingnya tidur
5. Sleep : Extent yang adekuat.
danpattern 3. Fasilitas untuk
Kriteria Hasil mempertahankan aktifitas
1. Jumlah jam tidur dalam sebelum tidur.
batas normal 6-8 4. Ciptakan lingkungan yang
jam/hari. nyaman.
2. Pola tidur, kualitas 5. Kolaborasi pemberian obat
dalam batas normal. tidur.
3. Perasaan segar sesudah 6. Diskusikan dengan pasien
tidur atau istirahat. dan keluarga tentang teknik
4. Mampu tidur pasien
mengidentifikasi hal- 7. Monitor waktu makan dan
hal yang dapat minum dengan waktu tidur.
meningkatkan tidur. 8. Monitor/catat kebutuhan
tidur pasien setiap hari dan
jam.
Ansietas NOC NIC
1. Anxiety self-control Anxiety Reduction
2. Anxity level 1. Gunakan pendekatan yang
3. Koping menyenangkan.
Kriteria Hasil 2. Nyatakan dengan jelas
1. Klien mampu harapan terhadap pelaku
mengidentifikasi dan pasien.
mengungkapkan gejala 3. Jelaskan semua prosedur
cemas. dan apa yang dirasakan
1. Mengidentifikasi, selama prosedur

21
mengungkapkan dan 4. Pahami perspektif pasien
menunjukkan teknik terhadap situasi stress.
untuk mengontrol 5. Temani pasien untuk
cemas. memberikan keamanan
2. Vital sign dalam batas dan mengurangi rasa
normal. takut.
3. Postur tubuh, ekpresi 6. Lakukan back atau neck
wajah, bahasa tubuh rub.
dan tingkat aktivitas 7. Dorong keluarga untuk
menunjukkan menemani.
berkurangnya 8. Dengarkan dengan penuh
kecemasan. perhatian.
9. Identifikasi tingkat
kecemasan
10. Bantu pasien untuk
mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
11. Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan,persepsi.
12. Instrusikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi.
13. Berikan obat untuk
mengurangi kecemasan.
Hipertermia NOC NIC
Thermoregulation Fever treatment
Kriteria hasil 1. Monitor suhu sesering
1. Suhu tubuh dalam mungkin.
rentang normal. 2. Monitor IWL
2. Nadi dan RR rentang 3. Monitor warna dan suhu
normal. kulit.

22
3. Tidak ada perubahan 4. Monitor tekanan darah,
warna kulit dan tidak nadi dan RR
ada pusing 5. Monitor tingkat
penurunan kesadaran.
6. Monitor WBC, Hb, dan
Htc.
7. Monitor intake dan
output.
8. Berikan antipiretik
9. Berikan pengobatan untuk
mengobati penyakit
demam
10. Selimuti pasien
11. Lakukan tapid sponge
12. Kolaborasi pemberian
cairan intravena.
13. Kompres pasien pada
lipat paha dan aksila.
14. Tingkatkan sirkulasi
udara.
15. Berikan pengobatan untuk
mencegah terjadinya
menggigil.
Temperature regulation
1. Monitor suhu minimal
tiap 2 jam.
2. Rencanakan monitoring
suhu secara kontinyu.
3. Monitor TD, nadi dan RR
4. Monitor warna dan suhu
kulit.
5. Monitor tanda hipertermi

23
dan hipotermi.
6. Tingkatkan intake cairan
dan nutrisi.
7. Selimuti pasien untuk
mencegah hilangnya
kehangatan tubuh.
8. Ajarkan pada pasien cara
mencegah keletihan
akibat panas.
9. Diskusikan tentang
pentingnya pengaturan
suhu dan kemungkinan
efek negative dari
kedinginan.
10. Beritahukan tentang
indikasi terjadinya
keletihan dan penanganan
emergency yang
diperlukan.
11. Berikan antipiretik
Vital sign Monitoring
1. Monitor TD,nadi, suhu,
dan RR
2. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk dan
berdiri.
4. Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
5. Monitor TD,nadi, RR

24
sebelum selama dan
setelah aktivitas.
6. Monitor kualitas nadi.
7. Monitor frekuensi dan
irama pernafasan.
8. Monitor suara paru.
9. Monitor pola pernafasan
abnormal
10. Monitor suhu, warna,
kelembapan kulit.
11. Monitor sianosis perifer.
12. Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign

3.4 Implementasi
Diagnose Implementasi
Nyeri akut Pain management
1. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi,karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
dan faktor presipitasi.
2. Mengobservasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan.
3. Menggunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
mengetahui pengalaman nyeri pasien.
4. Mengkaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri.
5. Mengevaluasi pengalaman nyeri masa lampau.
6. Mengevaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain
tentang ketidakefektifan control nyeri masa lampau.

25
7. Membantu pasin dan keluarga untuk mencari dan
menemukan dukungan.
8. Mengkontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan
kebisingan.
9. Mengurangi faktor presipitasi nyeri.
10. Memilih dan melakukan penanganan nyeri
(farmakologi,non farmakologi dan interpersonal)
11. Mengkaji tipe dan sumber nyeri untuk menentuka
intervensi.
12. Mengajarkan teknik non farmakologi.
13. Memberikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
14. Mengevaluasikeefektifan control nyeri.
15. Meningkatkan istirahat.
16. Memonitor penerimaan pasien tentang manajemen
nyeri.
Analgesic administration.
1. Menentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
derajad nyeri sebelum pemberian obat.
2. Memilih analgesic yang diperlukan atau kombinasi
dari analgesic ketika pemberian lebih dari satu.
3. Menentukan pilihan anlgesik tergantung tipe dan
beratnya nyeri.
4. Menentukan analgesic pilihan, rute pemberian dan
dosis optimal.
5. Memilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri teratur.
6. Memonitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesic pertama kali.
7. Memberikan analgesic tepat waktu terutama saat nyeri
hebat.
8. Mengevaluasi efektivitas analgesic tanda dan gejala.

26
Nyeri kronis 1. manajemen nyeri klien
2. Memonitor kepuasan pasien terhadap manajemen nyeri
3. Mingkatkan istirahat dan tidur yang adekuat pada klien
4. Mengelola anti analgetik
5. Menjelaskan pada pasien penyebab nyeri
6. Melakukan tehnik nonfarmakologis (relaksasi, masase
punggung)

Konstipasi Konstipasi/impaction management


1. Memonitor tanda dan gejala konstipasi.
2. Memonitor bising usus.
3. Memonitor feses (frekuensi, konsistensi, dan volume)
4. Menjelaskan etiologi dan rasionalisasi tindakan
terhadap pasien.
5. Mengidentifikasi faktor penyebab konstribusi
konstipasi.
6. Mendukung intake cairan
7. Mengkolaborasikan pemberian laksatif.
8. Memantau tanda-tanda dan gejala impaksi.
9. Memantau gerakan usus, termasuk konsistensi
frekuensi, bentuk, volume, dan warna.
10. Memantau bising usus.
11. Mengkonsultasikan dengan dokter tentang
penurunan/kenaikan frekuensi bising usus.
12. Memantau tanda gejala pecahnya usus/peritonitis
13. Menjelaskan etiologi masalah dan pemikiran
untuktindakan pasien.
14. Mendorong meningkatkan asupan cairan.
15. Mengevaluasi profil obat untuk efek samping
gastrointestinal.
16. Menganjurkan pasien/keluarga mencatat warna,
volume, frekuensi, dan konsistensi tinja.

27
17. Menganjurkan pasien untuk diet tinggi serat.
18. Menganjurkan pasien pada penggunakan yang tepat
dari obat pencahar.
19. Menganjurkan pasien pada hubungan asupan diet,
olahraga, dan cairan sembelit/impaksi.
20. Menimbang BB pasien secara teratur.
Keseimbangan Nutrision management
nutrisi kurang dari 1. Mengkaji adanya alergi makanan.
kebutuhan tubuh 2. Mengkolaborasikan dengan ahli gizi untukmenentukan
jumlah kalori dannutrisi yang dibutuhkan pasien.
3. Menganjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan
vitamin C.
4. Memberikan substansi gula.
5. Meyakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi
serat untuk mencegah konstipasi.
6. Memberikan makanan yang terpilih.
7. Memonitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
8. Memberikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.
9. Mengkaji kemampuan pasien untuk mendapatkan
nutrisi yang dibutuhkan.
Nutrision monitoring
1. Menimbang BB pasien dalam batas normal.
2. Memonitor adanya penurunan berat badan.
3. Memonitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa
dilakukan.
4. Memonitor interaksi anak atau orang tua selama
makan.
5. Memonitor lingkungan selama makan.
6. Memonitor kulit kering dan perubahan pigmentasi.
7. Memonitor turgor kulit
8. Memonitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah
patah.

28
9. Memonitor mual dan muntah.
10. Memonitor kadar albumin, total protein, Hb, dan
kadar Ht.
11. Memonitor pertumbuhan dan perkembangan.
12. Memonitor pucat, kemerahan dan kekeringan jaringan
konjungtiva.
13. Memonitor kalori dan intake nutrisi.
14. Mencatat adanya edema, hiperemik, hipertonik,
papilla lidah dan cavitas oral.
15. Mencatat jika lidah berwarna magenta, scarlet.
Gangguan pola tidur Sleep Enhancement
1. Mendeterminasi efek-efek medikasi terhadap pola
tidur
2. Menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat.
3. Memfasilitasi untuk mempertahankan aktifitas
sebelum tidur.
4. Menciptakan lingkungan yang nyaman.
5. Mengkolaborasikan pemberian obat tidur.
6. Mendiskusikan dengan pasien dan keluarga tentang
teknik tidur pasien
7. Memonitor waktu makan dan minum dengan waktu
tidur.
8. Memonitor/mencatat kebutuhan tidur pasien setiap
hari dan jam.
Ansietas 1. Mengggunakan pendekatan yang menyenangkan.
2. Menyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku
pasien.
3. Menjelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan
selama prosedur
4. Menjelaskan perspektif pasien terhadap situasi stress.
5. Menemani pasien untuk memberikan keamanan dan
mengurangi rasa takut.

29
6. Melakukan back atau neck rub.
7. Mendorong keluarga untuk menemani.
8. Mendengarkan dengan penuh perhatian.
9. Mengidentifikasi tingkat kecemasan
10. Membantu pasien untuk mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
11. Mendorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,
ketakutan,persepsi.
12. Menginstrusikan pasien menggunakan teknik
relaksasi.
13. Memberikan obat untuk mengurangi kecemasan.
Hipertermia Fever treatment
1. Memonitor suhu sesering mungkin.
2. Memonitor IWL.
3. Memonitor warna dan suhu kulit.
4. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR
5. Memonitor tingkat penurunan kesadaran.
6. Memonitor WBC, Hb, dan Htc.
7. Memonitor intake dan output.
8. Memberikan antipiretik.
9. Memberikan pengobatan untuk mengobati penyakit
demam.
10. Menyelimuti pasien.
11. Melakukan tapid sponge.
12. Mengkolaborasikan pemberian cairan intravena.
13. Mengkompres pasien pada lipat paha dan aksila.
14. Meningkatkan sirkulasi udara.
15. Memberikan pengobatan untuk mencegah terjadinya
menggigil.
Temperature regulation
1. Memonitor suhu minimal tiap 2 jam.
2. Merencanakan monitoring suhu secara kontinyu.

30
3. Memonitor TD, nadi dan RR.
4. Memonitor warna dan suhu kulit.
5. Memonitor tanda hipertermi dan hipotermi.
6. Meningkatkan intake cairan dan nutrisi.
7. Menyelimuti pasien untuk mencegah hilangnya
kehangatan tubuh.
8. Mengajarkan pada pasien cara mencegah keletihan
akibat panas.
9. Mediskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu
dan kemungkinan efek negative dari kedinginan.
10. Memberitahukan tentang indikasi terjadinya keletihan
dan penanganan emergency yang diperlukan.
11. Memberikan antipiretik
Vital sign Monitoring
1. Memonitor TD,nadi, suhu, dan RR
2. Mencatat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Memonitor VS saat pasien berbaring, duduk dan
berdiri.
4. Melakukan auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
5. Memonitor TD,nadi, RR sebelum selama dan setelah
aktivitas.
6. Memonitor kualitas nadi.
7. Memonitor frekuensi dan irama pernafasan.
8. Memonitor suara paru.
9. Memonitor pola pernafasan abnormal.
10. Memonitor suhu, warna, kelembapan kulit.
11. Memonitor sianosis perifer.
12. Memonitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
13. Mengidentifikasi penyebab dari perubahan vital sign

31
3.5 Evaluasi
Data Evaluasi
Nyeri akut S : klien mengatakan nyeri di abdomen sedikit berkurang
O : Ekspresi wajah tenang
A : Masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
Nyeri kronis S : klien mengatakan nyeri di abdomen sedikit berkurang
P: nyeri karena adanya penonjolan
Q : seperti ditusuk-tusuk
R : kuadran kiri bawah
S : skala nyeri 5
T : hilang timbul
O : Ekspresi wajah tenang
A : Masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi
Konstipasi S : klien mengatakan sudah lancer BAB
O : feses lunak
A : masalah teratasi
P : Anjurkan makan diet tinggi serat
Ketidakseimbangan S : klien mengatakan sudah nafsu makan dan tidak mual.
nutrisi kurang dari O : Porsi makan penuh dihabiskan
kebutuhan tubuh A : Masalah teratasi
P : anjurkan tetap makan meskipun mual.
Gangguan pola S : Klien mengatakan sudah bisa tidur
tidur O : Klien tidur
A : Masalah teratasi
P : Anjurkan tetap rileks
Ansietas S : Klien mengatakan sudah tidak gelisah
O : Klien tampak tenang
A : Masalah teratasi
P : Anjurkan tetap rileks
Hipertermia S : klien mengatakan suhu tidak panas lagi

32
O : Suhu tubuh normal
A : Masalah teratasi
P : Anjurkan banyak minum

33
BAB 4. PENUTUP

4. 1 Kesimpulan
Divertikula merupakan penonjolan berbentuk kantung dari dinding kolon
dengan besar bervariasi dari beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter.
Divertikula biasanya merupakan manifestasi motalitas yang abnormal.
Divertikulum dapat terjadi di mana saja sepanjang saluran gastrointestinal.
Biasanya penyakit ini disebakan karena klien mengkonsumsi rendah serat.
Penyakit divertikula ini sering terjadi di amerika serikat,mayoritas penyakit
divertikulaini menyerang pada usia lansia >80 tahun.
4. 2 Saran
Memperhatikan nutrisi yang kita konsumsi sangatlah penting, agar system
pencernaan kita tidak mengalami gangguan seperti penyakit divertikula. Oleh
karena itu, sebelum makan kita harus memperhatikan kandungan dalam makanan.
Upaya yang dapat kita lakukan untuk menghindari penyakit divertikula adalah
mengkonsumsi makanan yang tinggi serat, terutama bagi lanjut usia karena
penyakit ini mudah menyerang kepada usia lanjut.

34
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth.2016. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Carpenito – moyet,L.J. 2004. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.

Corwin J. Elisabet.2004.patofisiologi untuk perawat.EGC,Jakarta.

Doenges, Marilyn E, dkk.(1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, 3 th ed. Jakarta : EGC.

Pierce,A,.Grace,.Neil R. Borley,.2006. At a Glance Ilmu Bedah.Jakarta : EGC

Tambayong, Jan,2000.Patofisiologi untuk Keperawatan.Jakarta:EGC

Sabiston, & David. 2000. Buku Teks Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara

Sabiston. 1994. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC

Schwartz. 2007. Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Sjamsuhidajat. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Suzanne C.Smeltzer & Brenda G.Bare.2001. KMB vol 3. Hal.2194 BAB 60 UNIT
15.EGC.Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai