Anda di halaman 1dari 30

PENGELOLAAN JALAN NAFAS DAN PEMBERIAN VENTILASI PADA

PASIEN SYOK HEMORAGIK

1. PENDAHULUAN

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis dimana terjadi

kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa

organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat

pada perfusi yang tidak adekuat. Syok hipovolemia terjadi sebagai akibat

berkurangnya volume darah sirkulasi. Penyebab utamanya biasanya

trauma sehingga terjadi perdarahan eksternal atau perdarahan tersembunyi

karena trauma tumpul. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat

kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik). Syok hipovolemik dapat

disebabkan oleh kehilangan volume massive yang disebabkan oleh:

perdarahan gastro intestinal, internal dan eksternal hemoragi, atau kondisi

yang menurunkan volume sirkulasi intravascular atau cairan tubuh lain,

intestinal obstruction, peritonitis, acute pancreatitis, ascites, dehidrasi dari

excessive perspiration, diare berat atau muntah, diabetes insipidus,

diuresis, atau intake cairan yang tidak adekuat. Syok hipovolemik

kebanyakan akibat dari kehilangan darah akut sekitar 20% dari volume

total. Tanpa darah yang cukup atau penggantian cairan, syok hipovolemik

dapat menyebabkan kerusakan irreversible pada organ dan system. Respon

pasien trauma terhadap kehilangan darah haus dipertimbangkan terhadap

adanya pergeseran cairan antara kompartemen-kompartemen cairan

didalam tubuh, khususnya kompartemen ekstraseluler. Setiap tahun sekitar


5,8 juta orang meninggal dunia karena trauma, dimana sekitar 9,7% persen

populasi orang yang mengalami trauma akan berakhir dengan kematian

dan kecacatan. Sekitar 40% trauma yang berakhir dengan kematian

disebabkan oleh kehilangan darah dalam jumlah yang besar. Hilangnya

darah yang berlebihan tersebut dapat menyebabkan penurunan drastic

pasokan oksigen ke seluruh tubuh karena darah memiliki fungsi mengikat

oksigen dan mendistribusikannya ke seluruh tubuh, akibat hal tersebut

maka tubuh akan berusaha memenuhi kebutuhan oksigen tersebut dengan

meningkatkan kerja paru dalam hal pertukaran oksigen dan karbon

dioksida. Namun dalam pemenuhan kebutuhan oksigen tersebut yang

perlu diperhatikan adalah pengelolaan jalan napas yang baik sehingga

udara dapat mencapai paru dan melakukan pertukaran oksigen dan karbon

dioksida. Oleh karena itu, pada pasien dengan hemoragik syok diperlukan

penanganan pengelolaan jalan napas yang baik dan tepat untuk menjamin

pasokan oksigen tubuh.1, 2, 3, 4

2. DEFINISISYOK HEMORAGIK1

Syok hemoragik merupakan bagian dari syok hipovolemi yang diakibatkan

oleh kehilangan volume darah secara akut dan cepat. Dimana syok

hipovolemik merupakan kondisi medis dimana terjadi kehilangan cairan

dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan

oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi

oksigen yang tidak adekuat. Sehingga pasien dapat mengalami kondisi


apneu, hipoksia, dan hipercapnia yang akan berpengaruh terhadap

pernapasan.

3. FISIOLOGI HEMODINAMIK JANTUNG

Jantung merupakan organ yang berfungsi untuk memompakan darah

keseluruh tubuh. Jantung bergerak secara otonom yang diatur melalui

mekanisme sistim saraf otonom dan hormonal dengan autoregulasi

terhadap kebutuhan metabolime tubuh. Mekanisme otonom aktifitas otot

jantung ini berasal dari cetusan listrik (depolarisasi) pada otot jantung itu

sendiri. Depolarisai otonom otot jantung berasal dari sekelompok sel-sel

yang menghasilkan potensial listrik yang disebut dengan nodus sinoatrial

[sinoatratrial (SA) node]. SA node terletak di atrium kanan berdekatan

dengan muara vena cava superior. Impuls listrik yang dihasilkan oleh SA

node akan dialirkan keseluruh otot-otot jantung (miokardium) sehingga

menyebabkan kontraksi. Mekanisme penyebaran impuls ini teratur


sedemikian rupa sesuai dengan siklur kerja jantung. Pertama impuls

dialirkan secara langsung ke otot-otot atrium kiri dan kanan sehingga

menyebabkan kontraksi atrium. Atrium kanan yang berisi darah yang

berasal dari sistim vena sitemik akan dipompakan ke ventrikel kana, dan

darah pada atrium kiri yang berasl dari paru (vena pulmonalis) akan

dialirkan ke ventrikel kiri. Selanjutnya impuls diteruskan ke ventrikel

melalui sistim konduksi nodus atrioventrikuler [atrioventricular (AV)

node], terus ke atrioventricular (AV) bundle dan oleh serabut purkinje ke

seluruh sel-sel otot ventrikel jantung. Impils listrik yang ada di ventrikel

terjadinya depolarisasi dan selanjutnya menyebabkan otot-otot ventrikel

berkontraksi. Kontraksi ventrikel inilah yang dikenal sebagai denyut

jantung. Denyut ventrikel kanan akan mengalirkan darah ke paru untuk

pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida, dan denyut ventrikel

kiri akan mengalirkan darah ke seleuruh tubuh melalui aorta. Denyut

jantung yang berasal dari depolarisai SA node berjumlah 60-100 kali

permenit, dengan rata-rat 72 kali permenit.Kontraksi ventrikel saat

mengeluarkan darah dari jantung disebut sebagai fase sitolik atau ejeksi

ventrukuler. Jumlah darah yang dikeluarkan dalam satu kali pompan pada

fase ejeksi ventrikuler disebut sebagai ‘volume sekuncup’ atau stroke

volume, dan pada dewasa rata-rata berjumlah 70 ml. Dengan jumlah

kontraksi rata-rata 72 kali permenit, maka dalam satu menit jumlah darah

yang sudah melewati dan diponpakan oleh jantung sekitar 5 liter, yang

dsiebut sebagai curah jantung (cardiac output). Aktifitas listrik pada SA


node yang menyebabkan kontraksi otot jantung terjadi secara otonom

tanpa kontrol pusat kesadaran yang dipengaruhi oleh sistim saraf otonom

simpatis dan parasimpatis. Dengan demikian seperti yang terlihat pada

gambar-1, sistim saraf otonom sangat berperan dalam pengaturan

kardiovaskuler dengan mempengaruhi frekuensi denyut dan kontraktilitas

otot jantung. Disamping itu sisitim saraf otonom juga mempengaruhi

pembuluh darah terhadap perubahan resistensi pembuluh darah. Curah

jantung mempunyai peranan penting sebagai salah satu faktor untuk

memenuhi kebutuhan oksigenasi atau perfusi kejaringan sebagai tujuan

dari fungsi kardiovaskuler. Kecukupan perfusi jaringan ditentukan oleh

kemampuan fungsi sirkulasi menghantarkan oksigen ke jaringan yang

disebut sebagai oxygen delivery (DO2), dan curah jantung adalah faktor

utama yang menentukan DO2 ini. Gangguan pada faktor-faktor yang

mepengaruhi curah jantung dapat mengakibatkan terjadinya gangguan

perfusi dan berujung kepada syok. Misalnya kehilangan volume plasma

hebat akan mengurangi preload dan dapat mengakibatkan terjadinya syok

hipovolemik, gangguan kontraktilitas dapat mengakibatkan terjadinya

syok kardiogenik, dan gangguan resistensi vaskuler sitemik dapat berujung

ada syok distributive.

4. PATOFISIOLOGI SYOK HEMORAGIK6,7

Perdarahan hebat dapat menyebabkan kehilangan sel darah merah dalam

jumlah yang besar sehingga mengakibatkan hal-hal seperti menurunnya

perfusi oksigen ke myocardial yang berujung pada penurunan curah


jantung, selain itu kehilangan darah dalam jumlah besar juga dapat

mengakibatkan hipoksia pada organ vital lainnya yaitu otak. System saraf

simpatis, system cardiovascular, dan system neuro-endokrin memiliki

peran yang sangat penting pada respon homeostatic bila terjadi penurunan

volume intravaskuler yang drastic.

Tahapan klinis yang nampak pada seseorang yang mengalami shock

hipovolemi akibat perdarahan secara garis besar dibagi atas tiga yaitu

tahap kompensasi, tahap dekompensasi, dan tahap irreversible.

a. Tahap Kompensasi

Pada awal tahap kompensasi, terjadi penurunan tekanan darah oleh

baroreseptor yang berada pada arkus aorta dan sinus karotis yang
menyebabkan pengaktivan system saraf simpatis. Ketika saraf

simpatis telah aktif, sejumlah hormone akan dilepaskan, antara lain

hormone katekolamin. Peningkatan kadar katekolamin menyebabkan

peningkatan frekuensi nadi, peningkatan kontraktilitas myocardial,

dan menyebabkan vasokontriksi untuk memenuhi curah jantung yang

menurun. Vasokonstriksi terutama terjadi pada pembuluh darah

perifer, sehingga mengalihkan darah dari gastrointestinal, kulit, dan

otot-otot skelet, untuk menunjang perfusi oksigen ke otak dan jantung.

b. Tahap Dekompensasi

Pada tahap ini, respon system saraf simpatis tidak lagi cukup sehingga

menyebabkan curah jantung mrnurun secara drastic, yang ditandai

dengan penurunan tekanan darah, dan asidosis jaringan.

c. Tahap Ireversibel

Jika pada tahap dekompensasi tidak dapat diatasi dan berlangsung

secara terus menerus, pada akhirnya akan terjadi syok ireversibel yang

menyebabkan depresi curah jantung yang tidak dapat kembali normal

walaupun dengan pemberian terapi pengganti cairan.

5. KLASIFIKASI DAN GAMBARAN KLINIS SYOK HEMORAGIK3, 5

Berdasarkan presentase kehilangan darah, syok hemoragik dapat

diklasifikasikan sebgai berikut.

a. Kelas I (Kehilangan Volume Darah Hingga 15%)

Pada stadium ini tubuh mengkompensasi dengan vasokontriksi perifer

sehingga terjadi penurunan refiling kapiler. Gejala klinis dari


kehilangan volume dengan perdarahan kelas I umumnya tidak terlihat.

Dalam situasi tanpa komplikasi dapat timbul Aokikardia yang

minimal. Tidak terjadi perubahan-perubahan dalam tekanan darah,

tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Untuk pasien yang sehat,

kehilangan darah dengan jumlah sebanyak ini tidak memerlukan

pengganti darah. Pengisisan transkapiler dan mekanisme kompensasi

mengembalikan volume darah dalam 24 jam. Namun, bila ada

kehilangan cairan karena sebab lainnya, kehilangan darah ini dapat

menimbulkan gejala-gejala klinis, dimana penggantian cairan primer

yang hilang dapat memperbaiki keadaan sirkulasi, dan biasanya tidak

memerlukan transfuse darah.

b. Kelas II (Kehilangan Volume Darah 15-30%)

Pada stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu

menkompensasi fungsi kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi,

penurunan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi, refiling

kapiler yang melambat, peningkatan frekuensi nafas. Penurunan ini

berkaitan dengan meningkatnya komponen diastolic akibat

bertambahnya katekolamin yang beredar. Zat inotropic ini

menghasilkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh darah

perifer. Tekanan sistolik hanya berubah minimal pada awal syok

hemoragik, karena itu sangat penting untuk mengandalkan evaluasi

tekanan nadi daripada tekanan sistolik.

c. Kelas III (Kehilangan Volume Darah Hingga 30-40%)


Kehilagan darah pada kelas III (sekitar 2000 ml pada orang dewasa),

sudah cukup parah. Gejala-gejala yang muncul pada stadium ini

menjadi semakin berat. Tanda-tanda klasik perfusi organ yang tidak

adekuat telah muncul, tanda-tanda tersebut meliputi takikardi,

takipneu, perubahan status mental, dan penurunan tekanan darah

sistolik. Pada stadium ini pasien hamper selalu memerlukan transfuse

darah. Tetapi prioritas penanganannya adalah menghentikan

perdarahan, bila perlu dengan pembedahan dalam upaya untuk

menekan kebutuhan transfuse.keputusan untuk memberikan transfuse

darah didasarkan kepada respon pasien terhadap resusitasi cairan awal

serta terpenuhinya perfusi dan oksigenasi end-organ.

d. Kelas IV (Kehilnagan Volume Darah > 40%)

Derajat kehilangan darah pada stadium ini sangat berat. Gejala-

gejalanya meliputi takikardi, penurunan tekanan darah sistolik yang

signifikan, dan tekanan nadi yang sangat kecil atau tekanan diastolic

yang tidak teraba. Produksi urin hamper tidak ada, dan kesadaran jelas

menurun. Kulitnya dingin dan pucat. Pasien-pasien seringkali

memerlukan transfuse darah dan intervensi pembedahan segera. Hal

tersebut didasarkan atas respon pasien terhadap resusitasi cairan yang

diberikan. Kehilangan lebih dari 50% volume darah pasien,

mengakibatkan pasien tidak sadar, penurunan denyut nadi, dan

tekanan darah.
6. MANAJEMEN PENGELOLAAN JALAN NAPAS3

Penilaian bebasnya airway dan baik tidaknya pernapasan harus dikerjakan

dengan cepat dan tepat. Bila ditemukan masalah atau dicurigai, tindakan-

tindakan memperbaiki oksigenasi secepatnya harus segera dilakukan untuk

mencegah bahaya pernapasan lebih lanjut. Beberapa tanda objektif adanya

sumbatan jalan napas dapat diketahui melalui langkah-langkah berikut.

 Lihat (Look) apakah pasien mengalami agitasi atau kesadarannya

menurun, agitasi memberi kesan adanya hipoksia, dan penurunan

kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia. Selain itu yang perlu

diperhatikan adalah naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan

dinding dada yang adekuat.

 Dengar (Listen) adanya suara-suara abnormal pernapasan yang

berbunyi (stridor, gurgling) merupakan adanya obstruksi jalan napas.

Suara mendengkur (snoring), berkumur (gurgling), dan suara

pernapasan seperti bersiul (stridor) menunjukkan adanya obstruksi

parsial dari jalan napas yang harus segera dibebaskan.

 Raba (Feel) merasakan apakah ada aliran udara yang keluar dari

saluran pernapasan, serta menentukan lokasi trachea dan dengan cepat

menentukan apakah trakea berada di tengah.


Selanjutnya untuk mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka, maka

diperlukan teknik-teknik pembebasan jalan napas dan pemberian

tambahan ventilasi. Teknik-teknik tersebut berupa teknik manual dalam

hal ini maneuver chin lift dan maneuver jaw trust, sedangkan teknik-

teknik lain yang dapat digunakan dalam melakukan pembebasan jalan

napas yaitudengan menggunakan alat khusus seperti penggunaan pipa

orofaring, penggunaan pipa nasofaring, dan intubasi endotrakeal

menggunakan pipa endotrakeal, dan yang terakhir pembebasan jalan

napas dengan metode pembedahan yaitu krikotiroidotomi dengan jarum

dan krikotiroidotomi melalui pembedahan.

 Manuever Chin Lift

Jari-jemari salah satu tangan diletakkan di bawah rahang yang

kemudian secara hati-hati diangkat keatas untuk membawa dagu

kearah depan. Ibu jari tangan yang sama dengan tangan menahan bibir

bawah untuk membuka mulut. Ibu jari dapat juga diletakkan


dibelakang gigi seri bawah dan secara bersama, dagu dengan hati-hati

diangkat.

 Manuever Jaw Trust

Maneuver mendorong rahang dilakuakn dengan cara mendorong sudut

rahang bawah kiri dan kanan dan mendorong rahang bawah kedepan.

Bila cara ini dilakukan sambil menggunakan masker dari alat bag-

valve dapat dicapai kerapatan yang baik dan ventilasi yang adekuat.

 Pemasangan Pipa Orofaring


Pipa orofaring disisipkan kedalam mulut di balik lidah. Teknik yang

dipilih adalah dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan

lidah dan menyisipkan airway tersebut kebelakang. Alat ini tidak

boleh digunakan pada pasien yang sadar karena dapat menyebabkan

sumbatan, muntah, dan aspirasi.

 Pemasangan Pipa Nasofaring

Pipa nasofaring disisipkan pada salah satu lubang hidung dan

dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior. Alat tersebut

sebaiknya dilumasi baik-baik kemudian disisipkan ke lubang hidung.

 Melakukan Intubasi Endotrakeal


Pasien yang mempunyai GCS 8 atau lebih rendah, harus segera di

intubasi. Faktor yang paling menentukan dalam pemilihan intubasi

endotrakeal adalah pengalaman dokter, dan yang kedua teknik tersebut

aman dan efektif bla dilakukan secara tepat. Sebelum melakukan

intubasi, pastikan bahwa ventilasi yang adekuat dan oksigenasi tetap

berjalan, dan peralatan telah disiapkan terlebih dahulu.

 Krikotiroidotomi dengan Jarum

Menusuk jarum melewati membrane krikotiroid atau kedalam trakea

merupakan teknik yang berguna dalam situasi darurat dan mampu


memberikan oksigen dalam jangka waktu pendek samapi airway

definitive di pasang.

 Krikotiroidotomi dengan Pembedahan

Teknik ini dilakukan dengan membuat irisan kulit menembus melalui

membrane krikotiroid. Suatu hemostat dapat diselipakn untuk

melebarkan lubang tersebut atau pipa endotrakeal kecil dapat

disisipkan.

7. MASALAH PERNAPASAN YANG DAPAT DITEMUKAN PADA

PASIEN TRAUMA3

a. Trauma Maksilofasial

Trauma pada wajah membutuhkan penanganan airway yang agresif.

Trauma pada bagian tengah wajah dapat menyebabkan fraktur dan

dislokasi dengan gangguan pada nasofaring dan orofaring. Fraktur pada

wajah mungkin menyebabkan perdarahan yang terus-menerus yang

menambah masalah dalam mempertahankan airway. Fraktur rahang

bawah, terutama fraktur mandibular bilateral, dapat menyebabkan


hilangnya tumpuan normal dan sumbatan jalan napas akan terjadi

apabila pasien berada di posisi terlentang.

b. Trauma Leher

Luka tembus leher dapat menyebabkan kerusakan vaskuler dengan

perdarahan yang berat yang dapat mengakibatkan perubahan letak dan

sumbatan jalan napas. Perdarahan dari kerusakan vaskuler dapat

berjumlah cukup banyak dan mungkin memerlukan pembedahan untuk

mengatasinya. Cedera tumpul atau tajam pada leher dapat menyebabkan

kerusakan pada laring atau trakea yang kemudian menyebabkan

sumbatan jalan napas atau perdarahan hebat pada system

tracheobronkial yang memerlukan airway definitive secara urgen.

c. Hematothoraks Massif

Hematothoraks merupakan suatu keadaan dimana terakumulasinya

darah pada rongga hemithoraks yang bisanya diakibatkan oleh trauma

yang berat pada dada. Hematothoraks massif terjadi apabila terjadi

akumulasi cepat lebih dari 1500ml darah dalam rongga thoraks.

Perdarahan akan disertai hipoksia. Vena jugular dapat ditemukan datar

akibat adanya hypovolemia berat atau akan mengalami distensi akibat

adanya tension pneumothoraks. Hemithoraks massif dijumpai bila syok

yang erjadi berhubungan dengan hilangnya suara napas atau perkusi

redup pada salah satu hemithoraks.

d. Trauma Tracheobronchial Tree


Trauma pada trakea dan bronkus utama jarang terjadi, dan berpotensi

menyebabkan kondisi yang fatal yang seringkali terlewatkan pada

penilaian awal. Pada trauma tumpul seringkali trauma pada oragan

tersebut terjadi pada jarang sekitar 2,4cm dari carina. Sebagian besar

pasien meninggal seketika. Bila dicurigai adanya trauma trakeobronkial

maka konsultasi bedah harus segera dilakukan. Biasanya pasien dating

dengan hemoptysis, emfisema subkutan, dan tension pneumothoraks.

Intubasi pada pasien dengan trauma trakeobronkial seringkali

menemukan kesulitan akibat adanya distorsi anatomi dan hematoma

paratracheal.

8. PENATALAKSANAAN SYOK HEMORAGIK3,8,9,10,11

Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-tanda

vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya

kondisi tersebut dipertahankan dan dijaga agar tetap pada kondisi satabil.

Pencatatan data-data awal penting untuk memonitor respon pasien-pasien

terhadap terapi. Tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran

merupakan faktor penting.

A. Airway and Breathing

Menjamin airway yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi yang

adekuat merupakan prioritas pertama. Pemberian oxygen tambahan

diberikan untuk mempertahankan saturasi lebih dari 95%.

a) Pengelolaan Jalan Napas Pada Pasien Trauma


Bagaimanapun mekanisme trauma yang dialami pasien,

pengelolaan jalan napas bertujuan untuk mengidentifikasi risiko

terjadinya masalah pada jalan napas dan memastikan bahwa jalan

napas tetap terbuka. Beberapa klinis yang dapat dijadikan tanda

bahwa telah terjadi masalah pada jalan napas adalah terdengar

bunyi napas tambahan seperti stridor, gurgling, nyeri, dispneu,

dysphonia, dysphagia. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan

darah yang terkumpul pada jalan napas, bruising, luka, dan tanda-

tanda hematothorks maupun pneumothorax. Oleh karena itu pada

pasien-pasien dengan trauma berat harus segera dilakukan

intervensi untuk mengelola jalan napas pasien, entah itu melalui

intubasi orotracheal atau intubasi melalui luka langsung yang

berada pada jalan napas. Namun degan menggunakan tehnik

intubasi tracheal dapat menambah luas luka di jalan napas dan

menambah perdarahan sehingga seringkali sulit dilakukan. Pada

keadaan tersebut dapat dilakukan pembedahan darurat untuk

membebaskan jalan napas dengan trakheostomi.


b) Pengelolaan Jalan Napas Pada Pasien Hemoragik Syok Perlu

di Intubasi atau Tidak12

Kebanyakan standar manajemen trauma menyatakan bahwa

intubasi dan ventilasi tekanan positif diperlukan pada pasien

dengan syok hemoragik, sementara bukti mengenai pengelolaan

jalan napas dan pemeberian ventilasi tekanan positif tersebut

masih belum jelas. Beberapa potensi bahaya yang dapat

disebabkan oleh penggunaan intubasi dan pemberian ventilasi

tekanan positif adalah penurunan curah jantung, apnea, hypoxia,

dan hipocapnea. Pada psien syok akibat trauma, melakukan


intubasi diharapkan dapat mempatentkan jalan nafas dan

memaksimalkan pasokan oksigen ke jaringan. Pada pasien trauma

yang mengalami syok pilihan intubasi mungkin dipertimbangkan

dengan alasan dapat memaksimalkan oksigen masuk keparu

sehingga transport oksigen ke jaringan juga dapat terpenuhi,

namun pada kenyataannya oksigen tersebut dapat menumpuk di

dalam darah yang disertai dengan peningkatan kadar laktat dalam

darah sehingga menyebabkan kerusakan sel yang ireversibel.

Selain itu pemberian ventilasi tekanan positif juga sewaktu-waktu

dapat menyebabkan penurunan cardiac output melalui

peningkatan tekanan intratoraks yang menyebabkan terjadinya

penuruanan aliran darah pada ventrikel kanan dan aliran darah

paru. Pada penelitian retrospektif terhadap 444 pasien trauma

yang di intubasi di Canadian Tertiary Trauma Center, sekitar 161

orang pasien (36,3%) mengalami hipotensi pasca intubasi,

menandakan bahwa tindakan tersebut berpengaruh terhadap curah

jantung. Penelitian lain pada 2,403 pasien yang dilakukan intubasi

di departemen kegawat daruratan ditemukan sebanyak 41 paisen

atau sekitar 1,7% mengalami cardiac arrest setelah diintubasi

selama 10 menit. Hal ini menunjukkan pentingnya resusitasi

cairan terhadap pasien-pasien dengan syok hemoragik yang berat.

Hal ini juga menekankan bahwa intervensi jalan nafas dan

pemberian ventilasi tekanan positif bukan merupakan manajemen


standar pada pasien dengan syok hemragik. Keputusan untuk

melakukan intubasi pada pasien dengan hemoragik syok harus

diambil secara hati-hati karena memiliki risiko yang sangat besar

yang dapat berakhir dengan kematian. Tindakan intubasi pada

pasien-pasien tersebut sebaiknya tidak dilakukan pada saat

penanganan pasien sebelum dibawa ke rumah sakit. Terdapat

beberapa pilihan agen sedative yang dapat digunakan selain

melakukan intubasi, namun pada pasien dengan trauma yang berat

penggunaan ketamine sangat disarankan karena lebih aman.

B. Circulation

Prioritas dalam sirkulasi meliputi kontrol perdarahan, memperoleh

akses intravena, pemberian resusitasi cairan, dan menilai perfusi

jaringan.

a) Kontrol Perdarahan

PASG (Pneumatic Anti Syok Garment) dapat digunakan

untukmengontrol perdarahan pada patah tulang pelvis atau

ekstremitas bawah, tetapi penggunaannya seharusnya tidak

mengganggu pemuliahn volume intravaskuler dengan pemberian

cairan intravenous.

b) Akses Intravena
Akses pada pembuluh darah harus didapat dengan benar. Pilihan

yang perlu dipertimbangkan adalah memasang 2 kateter intravena

ukuran besar pada vena perifer sebelum dipertimbnagkan jalur vena

sentral. Kateter intravena yang pendek dengan caliber besar

merupakan pilihan tepat untuk dapat memasukkan cairan dalam

jumlah besar dengan cepat. Bila keadaan tidak memungkinkan

penggunaan vena perifer, maka digunakan vena sentral dengan

menggunakan teknik Seldinger atau melakukan vena seksi pada

vena safena di kaki.

c) Terapi Cairan Awal

pemberian terapi cairan awal pada pasien dengan syok hemoragik

akibat trauma terlebih dulu harus diperhitungkan estimasi

kehilangan volume darah dengan menjumlahkan kebutuhan cairan

tubuh normal dengan sumber cairan yang masuk melalui oral.

Kebutuhan cairan tubuh normal pada orang dewasa biasanya

berkisar 30-50ml/kgBB/hari. larutan isotonis misalnya Ringer

Laktat atau normal saline, digunakan untuk resusitasi awal. Cairan

jenis ini mengisi volume intravaskuler dalam waktu yang singkat

dan juga menstabilkan volume vaskuler dengan cara menggantikan

kehilangan cairan penyerta yang hilang ke dalam ruang interstitial

dan intraseluler. Penggunaan cairan colloid juga perlu

diperhitungkan karena dapat mengurangi ekspansi plasma dengan

tekanan onkotiknya yang besar. Alternative cairan awal adalah


dengan larutan garam hipertonik, walaupun menurut kepustakaan

terbaru belum tentu menguntungkan. Pada beberapa penelitian

dikatakan bahwa larutan garam hipertonik dapat meningkatkan

tekanan arteri rata-rata, meingkatkan curah jantung, dan

meningkatkan aliran mikro sirkulasi dengan cara mengurangi

edema pada sel endothelial. Tahap awal, bolus cairan diberikan

secepatnya. Dosis umumnya hingga 1-2 literuntuk dewasa dan

20ml/kgBB untuk anak-anak. Respon pasien diawasi selama

pemberian cairan.
d) Respon Terhadap Resusitasi Cairan

Respon pasien terhadap pemberian cairan awal adalah kunci untuk

menentukan terapi selanjutnya.

 Respon Cepat

Pasien-pasien dalam kelompok ini menunjukkan respon yang

cepat terhadap bolus cairan awal dan hemodinamis tetap

normal setelah bolus cairan awal selesai dan diteruskan dengan

pemberian cairan maintenance. Pasien-pasien seperti ini

biasanya kehilangan volume darahnya minimal. Tidak ada

indikasi penambahan bolus cairan atau pemberian darah, tetapi

pemeriksaan golongan darah dan crossmatch-nya harus tetap

dikerjakan.
 Respon Sementara

Kelompok pasien-pasien ini memberikan respon terhadap

pemberian cairan awal, namun bila dilanjutkan pemberian

cairan maintenance, maka hemodinamik pasien akan langsung

menurun kembali. Hal ini menunjukkan adanya kehilangan

darah yang masih berlangsung atau resusitasi yang tidak

cukup. Kebanyakan pada pasien-pasien ini kehilangan volume

darah sebanyak 20-40%. Pemberian bolus cairan tambahan dan

transfuse darah diperlukan pada kelompok ini. Respon

sementara terhadap pemberian darah menunjukkan pasien-

pasien mana yang masih mengalami pendarahan dan

memerlukan operasi segera.

 Respon Minimal Atau Tidak Ada Respon

Tidak adanya respon terhadap pemberian cairan dan darah

menandakan perlunya tindakan intervensi secepatnya untuk

menghentikan perdarahan.
e) Transfusi Darah

Keputusan untuk memberikan transfuse darah didasarkan pada

respon pasien.

 Tansfusi PRC

Pada awal perdarahan transfuse PRC menjadi pilihan utama

pada syok hemoragik yang berat, untuk menunjang pasokan

oksigen pada pembuluh darah arteri. Dengan pemberian prosuk

darah ini juga diharapkan hemoglobin dapat naik dan pasokan

oksigen ke jaringan dapat tercukupi dengan cepat.

 Transfusi Whole Blood

Penggunaan produk darah ini dapat mencegah hilangnya

kualitas komponen darah. Transfuse whole blood tergolong

simple dari transfuse produk darah lainnya

 Transfusi Platelete

Transfuse platelete direkomendasikan jika jumlah platelete

<50.000. kadar platelete dalam darah seharusnya lebih tinggi

pada pasien-pasien dengan trauma. Pada beberapa penelitian

mengatakan bahwa transfuse platelete pada pasien trauma

dapat mengurangi resiko kematian pasien tersebut.

C. Disability

Pemeriksaan neurologic singkat dapat menentukan tingkat kesadaran,

pergerakan mata dan respon pupil, serta fungsi motoric dan sensorik.

Informasi ini sangat berguna dalam menilai perfusi otak untuk


mengikuti perkembangan kelainan neurologis dan meramalkan

pemulihan selanjutnya. Perubahan fungsi system saraf sentral pada

pasien-pasien dengan hipotensi akibat syok hipovolemik tidak selalu

disebabkan oleh cidera intracranial tetapi mungkin mencerminkan

perfusi otak yang kurang adekuat. Pemulihan perfusi dan oksigenasi

otak harus dicapai sebelum menganggap bahwa penemuan-penemuan

tersebut berasal dari cidera intracranial.

D. Exposure

Pada tahap ini yang perlu dipantau adalah produksi urin pasien.

Kateterisasi kandung kemih digunakan untuk penilain urin akan

adanya hematuria dan evaluasi terhadap perfusi ginjal dengan

memonitor produksi urin. Penggantian volume resusitasi yang adekuat

seharusnya mnghasilkan produksi urin sekitar 0,5ml/kgBB/jam pada

orang dewasa, dan 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak. Ketidakmampuan

untuk menghasilkan produksi urin pada level ini atau menurunnya

produksi urin yang disertai meningkatnya berat jenis menunjukkan

resusitasi yang tidak adekuat. Keadaan ini menunjukkan perlu adanya

penambahan volume cairan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Dewi, E et al. Kegawat Daruratan Syok Hipovolemik. Universitas Kartasura,

Jawa Tengah. 2010

2. Rhardjo, S et al. Manajemen Preoperatif Kehamilan Ektopik Terganggu

Dengan Syok Hipovolemia. Jurnal Komplikasi Anestesi RSUP Sardjito.

Yogyakarta. 2017

3. American College of Surgeon Committee on Trauma. Advance Trauma Life

Support for Doctor Eight Edition. Amerika. 2007

4. Jacob, MC et al. The Challenge In Management Of Hemorrhagic Shock In

Trauma. India. 2014

5. Hardisman. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik:

Update dan Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas. Padang. 2013

6. Jeremy, B et al. Diagnosis And Management Of Shock In The Emergency

Department. Department of Anesthesia Massachusetts General Hospital,

Boston. 2014

7. Wang, J et al. Hypovolemic Shock Complex in the Trauma Setting: A

Pictorial Review. Faculty of Medicine University of British Columbia.

Canada. 2013

8. Chang, R et al. Optimal Fluid Therapy for Traumatic Hemorrhagic Shock.

Center for Translational Injury Research University of Texas Health Science

Center. America. 2017


9. Bougle, Aet al. Resuscitative Strategies In Traumatic Hemorrhagic Shock.

Departement of Anesthesia and Intensive Care Bicêtre Hospital Hôpitaux

universitaires. Paris. 2013

10. Cherkas, D. Traumatic Hemorrhagic Shock: Advances In Fluid Management.

Department of Emergency Medicine Mount Sinai School of Medicine

Elmhurst Hospital Center. New York. 2011

11. Mahoney et al. Anesthesia Handbook. International Committtee of The Red

Cross. America. 2017

12. Hudson, Aet. Al. Airway And Ventiation Management Strategies for

Hemorrhagic Shock. To Tube, or No to Tube, That is The Question. Trauma

Acute Care Surgery. Inggris. 2018

13. Butterworth et al. Clinical Anesthesiology. Amerika Serikat. 2013

14. Pashoe, S et al. Management of Hypovolaemic Shock in the Trauma Patient.

Institute of Trauma And Injury Management Amerika Serikat. 2007

Anda mungkin juga menyukai