Anda di halaman 1dari 14

A.

IDENTITAS KASUS
Nama Anak : An Selvi
Tanggal lahir / Umur : 8 April 2007 / 7 tahun 3 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Inoto Kec. Lambeidea

B. ANAMNESIS
Berdasarkan aloanamnesis dari ibu penderita.
Keluhan utama : demam
Demam tinggi dialami sejak 6 hari sebelum di rawat di rumah sakit, bersifat naik
turun dan demam mulai meninggi ketika sore menjelang malam hari. Sehari yang lalu anak
mengalami kejang diseluruh tubuh satu kali dengan durasi kurang lebih 5 menit, setelah
kejang pasien sadar. Saat demam pasien sempat menggigil, mual muntah, kemarin muntah
±3xsehari (berisi makanan), nafsu makan menurun, buang air besar kemarin 3x dengan
konsistensi encer bercampur ampas. Pasien tidak mengeluh nyeri sendi, tidak ada mimisan
ataupun gusi berdarah dan tidak timbul bintik merah pada kulit.
Riwayat diopname di Puskesmas selama 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat
menderita demam tifoid 6 bulan yang lalu, tidak pernah kejang sebelumnya. Riwayat
makanan yaitu sebelum sakit pasien makan 3 kali sehari makanan rumah dan biasa makan
jajanan di luar rumah. Di keluarga dan lingkungan keluarga pasien tidak ada yang menderita
demam berdarah ataupun mengalami sakit serupa.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit berat, gizi kurang 86,9% (BB : 20 kg, PB : 120,5 cm),
sadar
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 80 kali/menit, reguler, kuat angkat
Pernapasan : 18 kali/ menit
0
Suhu : 38,9 C
Pucat : (-)
Sianosis : (-)
Ikterus : (-)
Turgor : baik
Tonus : Normal
1
Keadaan Spesifik
Kepala : Normochepal
Muka : Simetris Ki=Ka
Rambut : Hitam lurus tidak mudah tercabut
UUB : Tertutup
Mata : mata agak cekung, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Hidung : Sekret tidak ada
Telinga : Sekret tidak ada
Bibir : Kering (-)
Lidah : lidah kotor (+), tremor (-)
Tenggorok : hiperemis (-)
Tonsil : T2/T3 hiperemis (-)
Sel mulut : stomatitis (-)
Leher : Kaku kuduk (-), pembesaran kel. limfe submandibula ±5 mm
Pemeriksaan Thorax
Inspeksi : Simetris kiri=kanan, retraksi tidak ada
Palpasi : Sela iga kiri=kanan,nyeri tekan (-) masa tumor (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler. Bunyi tambahan tidak ada
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kiri = linea midclavikula kiri, batas jantung
kanan = linea parasternal kanan
Auskultasi : Bunyi Janting I/II reguler
Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+) massa tumor (-)
Perkusi : Timpani(+) pekak hepar (+)
Limpa : Tidak teraba
Hati : Tidak teraba
Alat kelamin : Tidak ada kelainan
Anggota Gerak : Tidak ada kelainan
2
Kulit : Pteki (-), rumple leed (-)
Tasbeh : (-)
Col. Vertebralis : skoliosis (-), gibbus (-)
Refleks Patologis : Babinski (-)

D. HASIL LABORATORIUM
Hematologi:
 Hemoglobin : 11,5 g/dl (N 12,0-16,0)
 Hematokrit : 33,8 % (N 37,0-48,0)
 Trombosit : 168x103/uL (N 150-400)
 Leukosit : 6.300/ul (N 3.600-11.000)

E. ANJURAN PEMERIKSAN
 SGOT, SGPT
 Tes Widal
 Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)

F. RINGKASAN
Telah diperiksa seorang anak perempuan berumur 7 tahun 3 bulan keluhan utama
demam tinggi sejak 6 hari sebelum di rawat di rumah sakit, bersifat naik turun dan demam
mulai meninggi ketika sore menjelang malam hari. Anak mengalami kejang satu hari yang
lalu diseluruh tubuh sebanyak satu kali dengan durasi kurang lebih 5 menit, setelah kejang
pasien sadar. Saat demam pasien sempat menggigil, mual muntah, kemarin muntah ±3xsehari
(berisi makanan), nafsu makan menurun, buang air besar kemarin 3x dengan konsistensi
encer bercampur ampas. Pasien tidak mengeluh nyeri sendi, tidak ada mimisan ataupun gusi
berdarah dan tidak timbul bintik merah pada kulit. Riwayat diopname di Puskesmas selama 3
hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat menderita demam tifoid 6 bulan yang lalu, tidak
pernah kejang sebelumnya. Riwayat makanan yaitu sebelum sakit pasien makan 3 kali sehari
makanan rumah dan biasa makan jajanan di luar rumah. Di keluarga dan lingkungan keluarga
pasien tidak ada yang menderita demam berdarah ataupun mengalami sakit serupa.
Pada pemerisaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, tampak sakit sedang, sadar.
Tanda vital :

3
 Tekanan darah : 100/70 mmHg
 Nadi : 80 kali/menit, reguler, kuat angkat
 Pernapasan : 18 kali/ menit
 Suhu : 38,9 0
C
Pada pemeriksaan fisis didapatkan mata agak cekung, mulut kering (-), turgor baik, lidah
yang kotor (+), tonsil T2/T3 hiperemis (-), pembesaran kelenjar limfe submandibula (+). Cor
dan pulmo dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan
epigastrium (+). Pada pemeriksaan laboratorium hematologi dalam batas normal.

G. DIAGNOSIS
 Tersangka demam tifoid
 Tonsilitis

H. DIAGNOSIS BANDING
 DHF
 Malaria
 ISK
 Sepsis

I. PENATALAKSANAAN
 IVFD D5 ½ NS 15 tpm makro
 Kloramfenikol 4 x 500 mg
 Amoxicilin 3 x 500 mg
 Paracetamol 4 x 250 mg
 Domperidone 3 x 2 mg
 Tirah baring ±2 minggu
 Diet makanan lunak

J. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
10/7/2014 Demam (+), mual KU: Lemah,  IVFD D5 ½
Pk 18.00 (+), nyeri perut sadar NS 15 tpm
(+), sakit menelan TV: TD: 90/60 makro
(-) BAB dan BAK mmHg, N: 100  Kloramfenikol

4
lancar normal x/m, P: 20x/m, 4 x 500 mg
S: 37,8 OC  Amoxicilin 3
x 500 mg
 Paracetamol 4
x 250 mg
 Tirah baring
 Diet makanan
lunak
Pk. 00.00 TV: TD: 100/60 Lanjut
mmHg, N: 80 pengobatan
x/m, P: 16 x/m,
S: 37,0 OC
11/7/2014 Demam (-), mual KU: Lemah,  IVFD D5 ½
Pk 06.00 (-), nyeri perut (-), sadar NS 15 tpm
sakit menelan (-) , TV: TD: 100/60 makro
malas makan, BAB mmHg, N: 100  Kloramfenikol
dan BAK lancar x/m, P: 20x/m, 4 x 500 mg
normal S: 36,9 OC  Amoxicilin 3
x 500 mg
 Tirah baring
 Diet makanan
lunak
Pk 12.00 (-) KU: baik, sadar Lanjut
TV: TD: 100/60 pengobatan
mmHg, N: 98
x/m, P: 20x/m,
S: 36,0 OC
Pk 18.00 (-) KU: baik, sadar Lanjut
TV: TD: 100/60 pengobatan
mmHg, N: 98
x/m, P: 20x/m,
S: 36,5 OC
Pk 00.00 (-) KU: baik, sadar Lanjut
TV: TD: 100/60 pengobatan
mmHg, N: 98
x/m, P: 18x/m,
S: 36,5 OC
12/7/2014 (-) KU: baik, sadar  Pasien boleh
TV: TD: 100/60 pulang
mmHg, N: 98  Kloramfenikol
x/m, P: 20x/m, 4 x 500 mg
S: 36,5 OC selama 7 hari
 Amoxicilin 3
x 500 mg
selama 7 hari
 Tirah baring di
Rumah
 Diet makanan
lunak

5
K. ANALISIS KASUS
Pada pasien ini di tegakkan diagnosa tersangka demam typhoid tanpa komplikasi.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis:
Demam sudah 6 hari dan mulai meninggi ketika sore menjelang malam hari, tidak ada
mimisan ataupun gusi berdarah dan tidak timbul bintik merah pada kulit, biasa makan jajanan
di luar rumah, riwayat menderita demam tifoid 6 bulan yang lalu, serta buang air besar
kemarin 3x dengan konsistensi encer bercampur ampas.
Pada pasien ini pemerikasaan fisiknya ditemukan :
 Didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, keadaan umum yang sedang,
tanpa gangguan kesadaran
 Pada lidah pasien ditemukan kotor (+)
 Pada pemeriksaan perut ditemukan nyeri tekan epigastrium
Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa demam typhoid
yaitu (1) isolasi kuman penyebab demam typhoid melalui biakan kuman (2) uji serologis
untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen, (3) pemeriksaan melacak DNA kuman S. Tyhpi.
Karena keterbatasan fasilitas rumah sakit, maka pemeriksaan tidak dilakukan.
Penatalaksanaan penderita dengan demam typhoid, terutama pada pasien ini dengan
perawatan bed rest, pemberian diet yang lunak yang mudah dicerna. Pemberiaan obat-obatan
diberikan antibiotik kloramfenikol sebagai pengobatan kausalnya. Selain itu diberikan
antipiretik (paracetamol), anti mual (domperidone) sebagai pengobatan simptomatis.
Pasien diperbolehkan pulang setelah perawatan di rumah sakit karena tidak ada keluhan
dan ada perbaikan klinis. Namun pasien tetap dianjurkan untuk istirahat dan mobilisasi
bertahap, diet makanan lunak, dan melanjutkan antibiotik sampai 5 hari bebas demam.

I. PEMBAHASAN
1. Definisi dan Epidemiologi
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini hanya didapatkan pada
manusia. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk,

6
kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis
dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah
15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini
tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
2. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella lain merupakan bakteri basil gram
negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Organisme
salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif.
Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan
pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15
menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama
beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah,
bahan makanan kering, dan bahan tinja. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri
dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen
(K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekul lipopolisakarida
kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin.

Gambar. Strukur Salmonella typhi

7
3. Patogenesis
Patofisiologi demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti
organisme Yaitu : (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan
organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial, (3) bakteri bertahan hidup di dalam
aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam
kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.
Bakteri S.thypi dan S.parathypi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan
atau minuman terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung dengan pH
<2, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon
imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel
epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Sel-sel M adalah sel epitel
khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi S.thypi
dan S.paratyphi. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrorag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
plak Peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Setelah melalui periode tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu mala S.typhi dan S.paratyphi akan
keluar dari habitatnya. Selanjutnya keluar melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sitemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ
manapun, akan tetapi tempat yang disukai adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Kuman pathogen-berikatan dengan susunan molekuler (PAMPs) seperti
flagella dan lipopolisakarida yang masih bertahan di dalam dapat dikenali makrofag
melalui kuman tool-like receptor (TLR)-5 dan TLR-4/MD2/CD-14 complex, makrofag dan
sel epitel intestinal kemudian mengaktivasi sel T dan neutrofil serta interleukin 8 (IL-8),
8
sehingga terjadilah proses inflamasi. Kuman S.typhimemiliki fimbriae yang mendukung
untuk terjadinya penempelan pada epitel. Selain itu, S.typhi juga memiliki kapsul Vi yang
menutupi PAMPs yang berfungsi untuk melawan neutrofil. Proses yang sama terulang
kembali yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, ganguan mental
dan koagulasi. Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (Salmonellaintramakrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat
erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia
akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid
ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan
perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan
gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari Salmonellamenstimulasi makrofag dalam hati, limpa,
folikel limpoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan
zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem
vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologik. Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun
seluler baik di tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi, bagaimana
mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi S.typhi tidak
diketahuo dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan. Penurunan
jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier
memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen S.typhipada uji hambatan
migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah besar hasil virulen melewati usus setiap harinya
dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki epitel pejamu.

4. Gejala Klinis
Perbedaan antara demam tifoid pada anak dan dewasa adalah mortalitas (kematian)
demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan dengan dewasa. Risiko terjadinya
komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak besar dengan gejala klinis berat, yang

9
menyerupai kasus dewasa. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun
atau lebih dan mempunyai gejala klinis ringan ataupun tanpa gejala (asimptomatik).
Masa inkubasi rata-rata bervariasi 7-20 hari. Inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60
hari. Lamanya masa inkubasi berkorelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan
umum atau status gizi serta status imunologis pasien. Walaupun gejala demam tifoid ini
bervariasi namun secara garis besar dapat dikelompokan, antara lain :
- Demam satu minggu atau lebih;
- Gangguan pencernaan; dan
- Gangguan kesadaran.
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai infeksi akut pada umumnya,
seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, dan konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua
maka gejala dan tanda klinis makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran
hati dan limpa, perut kembung, mungkin disertai gangguan kesadaran dari yang ringan
sampai dengan yang berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti orang dewasa,
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula
mendadak tinggi dan remiten (39-41◦C) serta dapat juga bersifat ireguler terutama pada
bayi dan tifoid kongenital.
Lidah tifoid terjadi beberapa hari setelah panas meninggi dengan tanda-tanda antara
lain lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di
bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominem.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan nodul kecil menonjol dengan diameter 2-4cm, berwarna merah pucat, serta
hilang pada penekanan. Rosola ini merupakan emboli kuman dimana di dalamnya
mengandug kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, dan kadang-
kadang daerah pantat maupun bagian flexor lengan atas.
Limpa pada umumnya sering membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran oleh karena malaria. Pembesaran limpa
pada tifoid tidak progresif dengan kosistensi lebih lunak.
Tifoid kongenital didapatkan dari ibu hamil yang menderita demam tifoid dan
menularkan pada janin melalui darah. Pada umumnya besifat fatal namun pernah
dilaporkan tifoid kongenital dapat hidup dengan gejala tidak khas dan menyerupai sepsis
10
neonatorum. Pada tipe kongenital kuman dapat ditemukan dalam darah, hati, limpa, serta
kelainan patologis pada usus tidak didapatkan. Hal ini menjelaskan bahwa pada tifoid
kongenital penularannya lewat darah dan secara cepat menimbulkan gejala-gejala tifoid
sepsis pada janin. Demam tifoid pada anak usia < 2 tahun jarang dilaporkan, bila terjadi
biasanya gambaran klinisnya berbeda dengan anak yang lebih besar. Kejadiannya sering
mendadak disertai panas yang tinggi, muntah-muntah, kejang, dan tanda-tanda
perangsangan meningeal. Pada pemeriksaan darah ditemukan leukositosis (20.000-
25.000/mm3), limpa sering teraba pada pemeriksaan fisik. Perjalanan fisiknya lebih
pendek, lebih variasi, sering tidak melebihi minggu, angka kematian yang tinggi (
12,5%).
E. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang
diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Pemeriksaan ini ditujukan untuk
membantu menegakkan diagnosis, menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit
dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.
1. Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus
atau perforasi. Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal
atau tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED
(Laju Endap Darah) : meningkat. Jumlah trombosit normal atau menurun
(trombositopenia).
2. Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai
hepatitis Akut.
3. Imunologi
Tes Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi
(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi atau paratyphi (reagen). Uji
ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta terutama
di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapitd
test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya
aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin.
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil
positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-
11
faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain
(Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor
rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain
penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari
1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik
lain.
Diagnosis Demam Tifoid atau Paratifoid dinyatakan bila titer O = 1/160,
bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit
demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu 1.
Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru
menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka
kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontak
sebelumnya.
4. Mikrobiologi
Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam
Typhoid atau paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti
untuk Demam Tifoid atau Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu
bukan Demam Tifoid atau Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang
dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan
membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat
pengambilan darah masih dalam minggu pertama sakit, sudah mendapatkan terapi
antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi.
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu
waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2 - 7 hari, bila belum ada
pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan
pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut atau carrier digunakan
urin dan tinja.

F. Komplikasi
Pada minggu ke-2 atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai dari
yang ringan sampai berat bahkan kematian. Komplikasi yang sering terjadi pada demam
tifoid adalah perdarahan usus dan perforasi merupakan komplikasi serius dan perlu
12
diwaspadai dari demam tifoid yang muncul pada minggu ke-3. Sekitar 5 persen penderita
demam tifoid mengalami komplikasi ini.
Perdarahan usus umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut membesar, nyeri
pada perabaan, seringkali disertai dengan penurunan tekanan darah dan terjadinya syok,
diikuti dengan perdarahan saluran cerna sehingga tampak darah kehitaman yang keluar
bersama tinja. Perdarahan usus muncul ketika ada luka di usus halus, sehingga membuat
gejala seperti sakit perut, mual, muntah, dan terjadi infeksi pada selaput perut
(peritonitis). Jika hal ini terjadi, diperlukan perawatan medis yang segera.
Komplikasi lain yang lebih jarang, antara lain :
1. Anak dengan panas tinggi umumnya tidak mau makan karena ada diare. Sehingga
dapat terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan elektrolit.
2. Kejang Demam
3. Gangguan Kesadaran
4. Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis).
5. Pneumonia.
6. Peradangan pankreas (pankreatitis).
7. Infeksi ginjal atau kandung kemih.
8. Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis).
9. Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis.

G. Managemen Penatalaksanaan
1. Pengobatan kausal
a. Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgBB/hari oral atau iv dibagi dalam 4
dosis selama 10-14 hari.
b. kotrimoksasol dengan dasar trimetropin 8-10 mg/kgBB/ hari atau sulfameoksasol
40-50 mg/kgBB/hari selama 7 hari
c. amoksisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis selama 10 hari
d. sefriakson 80 mg/kgBB/hari selama 7 hari
e. sefiksim 15-20 mg/kgBB/hari iv atau im selama 5 hari
2. Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran. Deksametason
1-3 mg/kgBB/hari iv dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik.
3. Memperbaiki keadaan umum : koreksi elektrolit atasi dehidrasi, hipoglikemi
4. Pengobatan dietetik tergantung kondisi penderita bila perlu makanan lunak/ cair
mudah dicerna tinggi kalori dan protein
13
5. Tirah baring bila perlu isolasi penderita
6. Transfusi darah sesuai keperluan
7. Tindakan diperlukan pada penyulit perforasi usus
8. Diet : makanan tidak berserat dan mudah dicerna, setelah demam reda dapat diberikan
makanan yang lebih padat dengan kalori cukup.

Daftar Pustaka
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi dan
penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi 16. Philadelphia : WB Saunders, 2012.
Rampengan T.H., Laurent I. R. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 1993.
Risky V. P., Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak. Available at
http://www.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.pdf. Accessed at 19 Jul
2014.
Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus A., Marcellus S., Siti S. Demam Tifoid. Dalam :
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid II. Jakarta : Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006 : 1774.
Tirta Swarga. Demam Tifoid. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia. 2008
Puspa Wardani, Prihartini, Probohusodo. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan
Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of Clinical and Medical
Labolatory. 2005.

14

Anda mungkin juga menyukai