Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS

SKENARIO I : KASUS MALARIA DI INDONESIA MASIH TINGGI

NAMA TUTOR :
Fadhilah Tia Nur, dr, Sp.A M.Kes

OLEH :
KELOMPOK B-9

1. Ahadina Rahma Zulardi G0011008


2. Aulia Nadhiasari G0011046
3. Deyona Annisa Putri G0011072
4. Firdausul Ma’rifah G0011094
5. Lauraine W.Sinuraya G0011126
6. Safitri Dwi Martanti G0011188
7. Wuryan Dewi M. A. G0011212
8. Ardian Pratiaksa G0011034
9. I Kadek Rusjaya G0011110
10. Ristyadita Yuniandri G0011178

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kedokteran Komunitas merupakan cabang ilmu kedokteran yang
memusatkan perhatian pada kesehatan anggota-anggota komunitas,
dengan menekankan diagnosis dini penyakit, memperhatikan faktor-
faktor yang membahayakan kesehatan yang berasal dari lingkungan dan
pekerjaan, serta pencegahan penyakit pada komunitas (The Free
Dictionary, 2010).
Kedokteran komunitas tidak hanya memberikan perhatian kepada
anggota komunitas yang sakit tetapi juga anggota komunitas yang
sehat. Tujuan utama kedokteran komunitas adalah mencegah penyakit
dan meningkatkan kesehatan anggota-anggota komunitas. Karena
menekankan upaya pencegahan penyakit, maka kedokteran komunitas
kadang-kadang disebut juga kedokteran pencegahan (preventive
medicine). Kedokteran komunitas memberikan pelayanan
komprehensif dari preventif, promotif, kuratif hingga rehabilitatif.
Pada skenario pertama ini yang menyajikan artikel koran berjudul
’Kasus Malaria di Indonesia Masih Tinggi’, mahasiswa dituntut untuk
dapat memahami tentang apa itu kedokteran komunitas, sehingga dapat
mengahasilkan lulusan dokter yang mampu bersaing di pasar global dan
berorientasi kepada Kedokteran Komunitas

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu KLB, endemic, dan wabah?
2. Apa saja criteria KLB?
3. Bagaimana pencegahan yg dpt dilakukan pada wilayah endemis?
4. Bagaimana wujud pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan dan
penanggulangan malaria?
5. Apa saja indicator tinggi rendahnya prevalensi? Apa saja macam-
macam prevalensi?
6. Kenapa perlu dilakukan surveilans? Apa saja jenis-jenis surveilans dan
siapa yang boleh melakukan surveilans?
7. Apa saja langkah invetigasi dan penanggulangan wabah pada kasus
KLB?
8. Apa saja syarat bebas dari status endemic?
9. Bagaimana riwayat alamiah suatu penyakit?
10. Apa ada perbedaan dikatakan KLB pada setiap penyakit?

C. TUJUAN
1. Mengetahui tentang KLB, endemic, dan wabah
2. Mengetahui kriteria KLB
3. Mengetahui pencegahan yg dpt dilakukan pada wilayah endemis
4. Mengetahui wujud pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan dan
penanggulangan malaria
5. Mengetahui indicator tinggi rendahnya prevalensi dan macam-macam
prevalensi
6. Mengetahui tentang surveilans
7. Mengetahui langkah invetigasi dan penanggulangan wabah pada kasus
KLB
8. Mengetahui syarat bebas dari status endemic
9. Mengetahui riwayat alamiah suatu penyakit
10. Mengetahui perbedaan dikatakan KLB pada setiap penyakit

D. MANFAAT
1. Mahasiswa mampu mengetahui tentang KLB, endemic, dan wabah
2. Mahasiwa mampu mengetahui kriteria KLB
3. Mahasiswa mampu mengetahui pencegahan yg dpt dilakukan pada
wilayah endemis
4. Mahasiswa mampu mengetahui wujud pemberdayaan masyarakat
dalam pencegahan dan penanggulangan malaria
5. Mahasiswa mampu mengetahui indicator tinggi rendahnya prevalensi
dan macam-macam prevalensi
6. Mahasiswa mampu mengetahui tentang surveilans
7. Mahasiswa mampu mengetahui langkah invetigasi dan
penanggulangan wabah pada kasus KLB
8. Mahasiswa mampu mengetahui syarat bebas dari status endemic
9. Mahasiswa mampu mengetahui riwayat alamiah suatu penyakit
10. Mahasiswa mampu mengetahui perbedaan dikatakan KLB pada setiap
penyakit
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Insidensi dan Prevalensi


Insidensi merupakan jumlah kasus baru dari suatu “kejadian” atau
suatu penyakit dalam sebuah populasi, di dalam populasi yang telah
ditentukan.

Cara menghitung insidensi : ;

dengan hasil hitungan antara 0-1.

Namun untuk kasus penyakit kronis, dalam penghitungan insidensi


ini, jumlah kasus lama tidak masuk ke dalam penghitungan “populasi yang
berisiko” sehingga cara penghitungannya menjadi

Insidensi:

Sementara itu, ukuran prevalensi suatu penyakit dapat digunakan untuk hal
berikut yaitu :

1. Menggambarkan tingkat keberhasilan program pemberantasan penyakit

2. Penyusunan perencanaan pelayanan kesehatan misalnya: penyediaan


obat-obatan, tenaga kesehatan, dan ruangan

3. Menyatakan banyaknya kasus yang dapat di diagnosa

4. Digunakan untuk keperluan administratif lainnya

Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan lamanya sakit.


Lamanya sakit adalah suatu periode mulai dari didiagnosanya suatu penyakit
hingga berakhirnya penyakit teresebut yaitu sembuh, kronis, atau mati
PePR (Periode Prevalence Rate)

PePR yaitu perbandingan antara jumlah semua kasus yang dicatat dengan
jumlah penduduk selama 1 periode

Rumus:

PePR =(P/R)k

P = jumlah semua kasus yang dicatat

R = jumlah penduduk

k = pada saat tertentu

PoPR (Point Prevlene Rate)

Point Prevalensi Rate adalah nilai prevalensi pada saat pengamatan yaitu
perbandingan antara jumlah semua kasus yang dicatat dengan jumlah
penduduk pada saat tetentu

Rumus:

PoPR =(Po/R)k

Po = perbandingan antara jumlah semua kasus yang dicatat

R =jumlah penduduk

k = selama 1 perode

Point prevalensi meningkat pada keadaan berikut :

1. Imigrasi penderita

2. Emigrasi orang sehat

3. Imigrasi tersangka penderita atau mereka dengan risiko tinggi untuk


menderita

4. Meningkatnya masa sakit

5. Meningkatnya jumlah penderita baru

Point prevalensi menurun pada :

1. Imigrasi orang sehat


2. Emigrasi penderita

3. Meningkatnya angka kesembuhan

4. Meningkatnya angka kematian

5. Menurunnya jumlah penderita baru

6. Masa sakit jadi pendek

B. Endemik
Endemik adalah suatu keadaan dimana penyakit secara menetap berada
dalam masyarakat pada suatu tempat / populasi tertentu (DepKes, 2004).

Tingginya side positive rate (SPR) menentukan endemisitas suatu


daerah dan pola klinis penyakit malaria akan berbeda. Secara tradisi
endemisitas daerah dibagi menjadi:
1. Hipoendemik: bila parasit rate atau spleen rate 0-10%
2. Mesoendemik: bila parasit rate atau spleen rate 10-50%
3. Hiperendemik: bila parasit rate atau spleen rate 50-75%
4. Holoendemik: bila parasit rate atau spleen rate >75%
Parasit rate dan spleen rate ditentukan pada pemeriksaan anak-anak
usia 2-9 tahun (Harijanto, 2006)
- Syarat bebas Status Endemik

C. Wabah
Outbreak adalah peningkatan insidensi kasus yang melebihi ekspektasi
normal secara mendadak pada suatu komunitas, di suatu tempat terbatas atau
institusi yang tertutup pada suatu periode waktu tertentu (Last JM, 2001).

D. Kejadian Luar Biasa


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.1501/Menkes/Per/X/2010, KLB (Kejadian Luar Biasa) adalah timbulnya
atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna
secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan
merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
Ditetapkannya KLB apabila memenuhi criteria sebagai berikut :
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/ tidak
dikenal
2. Meningkatnya kejadian terus- menerus selama 3 kurun waktu berturut-
turut menurut penyakitnya (jam hari minggu).
3. Meningkatnya kejadian penyakit/ kematian 2 kali lipat atau lebih
disbanding periode sebelumnya.
4. Jumlah penderita baru dalam 1 bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat
atau lebih disbanding dengan angka rata- rata per bulan dalam periode
sebelumnya.
5. Angka rata- rata per bulan 2 kali lipat atau lebih disbanding angka rata-
rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
6. Angka kematian dalam satu kurun waktu tidak naik ≥50% dari kurun
waktu sebelumnya.
7. Angka populasi penyakit penderita baru dalam 1 periode naik 2 kali lipat
atau lebih disbanding 1 periode sebelumnya dalam kurun waktu yang
sama.
8. a. Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (di daerah
endemis).
b. Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana dalam periode 4
minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit
bersangkutan.
9. Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita (keracunan
makanan, keracunan pestisida).
- Cara Penetapan

Penyakit yang dapat menimbulkan KLB adalah:


1. Cholera
2. PES
3. Demam Kuning
4. Demam Bolak balik
5. Tifus bercak wabah
6. Demam Berdarah Dengue
7. Campak
8. Polio
9. Difteri
10. Pertusis
11. Rabies
12. Malaria
13. Influensa
14. Hepatitis
15. Tifus berat
16. Meningitis
17. Encapalitis
18. Antrax (Masrochah, 2006)

- 7 Langkah Pencegahan KLB

E. Upaya Penanggulangan Wabah


Menurut UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular,
penanggulangan wabah memiliki tujuan : 1) memperkecil angka kematian
akibat wabah dengan pengobatan, 2) membatasi penularan dan penyebaran
penyakit agar penderita tidak bertambah banyak dan wabah tidak menyebar
ke daerah lain.
Upaya penanggulangan wabah tersebut menurut PP No.4 Tahun
1991 adalah sebagai berikut :
1. Penyelidikan epidemiologi yang bertujuan untuk mengetahui sebab
penyakit wabah, menentukan factor penyebab timbulnya wabah,
mengetahui kelompok masyarakat yang terancam terkena wabah, dan
menentukan cara penanggulangan.
2. Pemeriksaan
3. Pengobatan
4. Perawatan dan isolasi penderita
5. Pencegahan dan pengebalan
6. Pemusnahan penyebab penyakit
7. Penanganan jenazah akibat wabah
8. Penyuluhan kepada masyarakat, dll.

F. Surveillans
Surveillans adalah pengamatan secara terus- menerus terhadap
semua aspek penyakit tertentu, baik keadaan/ penyebabnya dalam suatu
masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangannya.
- Tujuan
Jenis-jenis surveillans ada 6 yaitu:
1. Surveillans individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan
memonitor individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit
serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis.
Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional
segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat
dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional
yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang
sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama
periode menular. Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit
selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001). Isolasi
institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan
SARS. Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina
parsial. Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang
terpapar penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah
kontak dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi
kebebasan gerak kontak secara selektif, berdasarkan perbedaan tingkat
kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah
diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang
dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan
pada pos tertentu dicutikan, sedang di pospos lainnya tetap bekerja.
Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan
masalah legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi,
akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut
untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur,
2007).
2. Surveillans penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan
insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi
terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan
lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan
individu. Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya
didukung melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program
surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari
sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit
yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena
pemerintah kekurangan biaya. Banyak program surveilans penyakit
vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit
lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan
biaya untuk sumberdaya masingmasing, dan memberikan informasi
duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.
3. Surveillans sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance)
melakukan pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan
gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik
mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun
populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans
sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola
perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat
ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium
tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal,
regional, maupun nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans sindromik
berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-
like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam
surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan skrining
pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk4 atau
sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus,
jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan
jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna untuk
memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu
burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan
dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah
berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit
tertentu dari fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas,
pada lokasi tertentu, disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel
melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk
memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang
terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010).
4. Surveillans berbasis laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi
dan menonitor penyakit infeksi.
Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan
seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk
mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak
penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang
mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).
5. Surveillans terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan
memadukan semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi
(negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik
bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan
personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang
diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan
surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data
khusus penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang
surveilans sebagai pelayanan bersama (common services); (2)
Menggunakan pendekatan solusi majemuk; (3) Menggunakan
pendekatan fungsional, bukan struktural; (4) Melakukan sinergi antara
fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis data,
tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan
supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber
daya); (5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit.
Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap
memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang
berbeda (WHO, 2002).
6. Surveillans kesehatan masyarakat global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern,
migrasi manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi
penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah masalah yang
dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin
serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya
menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang
manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi
internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans
yang melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular
merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul
kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru
muncul (newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan
SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-
aktor baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan
ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).

Surveillans migrasi : merupakan suatu cara untuk menemukan penderita


malaria di masyarakat dengan cara mengambil sediaan darah dari masyarakat
yang datang maupun pergi ke daerah endemis untuk diperiksa lebih lanjut.
Surveilans program pencegahan penyakit malaria dilakukan secara
aktif oleh juru malaria desa atau petugas lapangan malaria, dengan jenis
kunjungan dilakukan pada beberapa jenis criteria desa endemic malaria,
antara lain:
1. Desa High Case Incidence (HCI), dengan melakukan kunjungan rumah
2 minggu sekali
2. Desa Middle Case Incidence (MCI), dengan melakukan kunjungan
ditingkat dusun sebulan sekali
3. Desa Low Case Incidence (LCI), dengan melakukan kunjungan
ditingkat dusun sebulan sekali
Tindakan lanjut kunjungan diatas, kemudian diikuti dengan kegiatan
pengambilan sediaan darah. Kegiatan ini hanya dilakukan pada penduduk
yang memenuhi beberapa kriteria yang dipersyaratkan seperti demam,
menggigil, baik disertai sakit kepala atau tidak dalam tiga hari terakhir
(Harijanto, 2006).

G. Posmaldes
Pos Malaria Desa adalah wadah pemberdayaan masyarakat dalam
pencegahan dan penanggulangan malaria yang dibentuk dari, oleh dan untuk
masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan (Kemenkes, 2010).

- Kader (Tujuan Syarat, Tugas)


- Indikasi Pasien dirujuk ke Posmaldes
BAB III
PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA

DepKes (2004). Keputusan Menteri Kesehatan No. 1479/MenKes/SK/X/2003, tentang


pedoman penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi penyakit menular
dan penyakit tidak menular terpadu. Jakarta: DepKes RI.
Harijanto, P (2006). Malaria. Dalam : Alwi I, Sudoyo AW, dan Setiati S (eds).
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Keputusan Dirjen PPM No.451/91 tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan
KLB

Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc

Masrochah , Siti (2006). Sistem informasi surveilans epidemiologi sebagai


pendukung kewaspadaan dini kejadian luar biasa (klb) penyakit di dinas
kesehatan kota semarang. Masters thesis, Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro.
Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2010) Rencana Operasional
Promosi Kesehatan untuk Eliminasi Malaria. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.

PP No.4 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular

Anda mungkin juga menyukai